"Bulik, siapa yang pesan taksi ini?" tanyaku sebelum aku malu."Loh, bukannya kamu? Tadi bulik lihat mobilnya berhenti tepat di depan rumah, ya bulik panggil aja mendekat." Bulik bicara dengan santainya, tanpa ada rasa bersalah sedikit pun."Bulik, kita salah taksi. Ini bukan taksi pesanan saya.""Ngga apa-apa. Sudah terlanjur masuk, biar saya antar," ucap pemilik suara yang duduk di depan kemudi. Pak Hamid, ya laki-laki di depan kemudi itu adalah bosku juga pimpinan Mas Rasyid."Tapi ini jauh, Pak. Mau keluar kota."Pak Hamid kembali menoleh seraya tersenyum. "Ngga apa-apa. Biar saya antar.""Tapi, Pak—""Wes to, Nduk. Bapaknya bilang mau ngantar, ya sudah kamu naik saja. Toh kita juga akan bayar nantinya," sela bulik menghentikan ucapanku."Tapi Buli—""Sudah ngga apa-apa. Kamu naik saja," sahut Pak Hamid lagi.Aku jadi serba salah begini. Hendak menolak tapi bulik sudah terlanjur duduk di dalam. Meminta bulik turun juga dicegah sama bapak. Tak punya pilihan lain, aku pun terpaksa
Read more