Aku terhenyak dengan gambar yang dikirim oleh Pak Hamid. Separah itu kah?Seharusnya sebagai orang yang berada, istri sakit bisa dibawa berobat kemanapun. Bahkan membayar dokter yang terbaik bisa ia lakukan, tapi mengapa istrinya dibiarkan seperti itu?Aku tak habis pikir. Sudah tahu kondisi istrinya seperti itu, kenapa malah dia sibuk cari istri baru? Sebegitu kerasnya niatnya mendekatiku hingga rela membuang waktunya demi mengantarku ke pondok?[Dik Nita jangan berpikiran yang buruk-buruk dulu. Ada cerita dibalik semua ini. Saya sebenarnya kepengen ngobrol banyak dengan Dik Nita. Tapi reaksinya selalu begitu kalau ketemu.]Pesan yang dikirim Pak Hamid membuatku merasa tak enak hati. Aku terlalu keras mementingkan egoku sendiri tanpa mau peduli dengan apa yang ada dibalik niat dan tujuannya itu.Namun aku bisa apa. Pak Hamid sendiri juga tidak mengatakan dengan jelas bagaimana kondisi istrinya yang sebenarnya.Tak kubalas pesannya, panggilan dari Pak Hamid masuk ke dalam ponselku.Ak
Laki-laki itu memandangku dengan tatapan hangat, lalu dua sudut bibirnya terangkat ke atas. Tersirat sebuah rasa bahagia saat dua manik hitamnya itu mendapatiku ada di depannya.Ah laki-laki ini. Sebegitu kerasnya mengejarku hingga lagi-lagi tanpa pertanda tiba-tiba ada di depanku. Bahkan ia tak risih menimang bayi yang bukan siapa-siapanya.Hatiku gerimis seketika. Hatiku yang bak tanah gersang, bahkan hampir longsor, tiba-tiba bertemu dengan dia layaknya hujan di musim kemarau.Mendapatkan perhatian yang tanpa diminta, wajita mana yang tak tersentuh hatinya?Tidak. Aku tidak boleh lemah. Harus kubangun benteng yang kokoh agar aku tak lagi menajdi budak cinta, seperti yang aku rasakan terhadap Mas Rasyid. Yang ujung-ujungnya memberiku kecewa tak terlupakan."Kok sama Mas-nya ini? Tadi kata ibu pergi sama Dik Rosi?" tanya laki-laki itu sopan. Ia berjalan beberapa langkah mendekatiku yang masih tertegun karena mendapatinya berada di sini."Iya, Rosi harus jaga toko sebentar. Saya takut
Tatapan tajam itu perlahan berubah menjadi air mata. Ia tak kuasa membohongi dirinya sendiri yang sedang berada dalam pusara kesedihan yang mendalam. Naila tertunda pilu sambil bahunya berguncang."Bagi ibu, kebahagiaan Naila adalah kebahagiaan ibu juga. Kalau Naila tidak menghendaki adanya orang lain dalam rumah ini, Ibu tidak akan memaksa."Aku memberanikan diri mengusap lengan Naila agar ia tahu bagaimana pun ibunya ini masih memikirkan kebahagiaannya. Pernikahan itu bukan segalanya bagiku, toh aku tidak pernah mengiyakan permintaan Pak Hamid secara langsung.Naila menyandarkan kepalanya di atas bahuku. Air matanya kian jatuh, bahkan turut membasahi punggung tanganku yang bahunya menjadi sandaran kepala gadis kecilku ini."Bukan tidak boleh, hanya saja Naila belum merasa ingin ada orang lain yang masuk dalam kehidupan Naila. Lebih-lebih Naila khawatir kalau laki-laki itu akan menyakiti ibu seperti ayah menyakiti ibu," ujar Naila terbata.Entah apa yang ada dalam pikiran Naila sampa
"Saya mau menyerahkan surat ini," ucapku sambil mengulurkan amplop cokelat ke tangan Pak Tono, si security."Oh iya. Saya terima ya? Nanti saya sampaikan sama Mbak Miftah." Security itu berujar sambil menoleh ke arah kantor. Seseorang memanggilnya dari kejauhan.Telapak tangan Pak Tono itu terulur mengarah ke seseorang yang memanggil itu, sebagai isyarat kalau ia harus menunggu sebentar."Makasih ya, Pak?" ucapku setelah amplop itu berpindah tangan."Iya, Mbak sama-sama." Pak Tono mulai melangkah.Aku terdiam sesaat, lalu terbersit sebuah pertanyaan dalam kepalaku."Pak, siapa yang meninggal?" tanyaku yang seketika membuat Pak Tono menoleh. Ia menghentikan langkahnya setelah jarak kami sudah lumayan jauh.Pak Tono hanya menjawab dengan gerakan bibir tanpa suara. Silau sinar matahari membuatku susah payah untuk bisa melihat gerak bibir laki-laki berseragam itu dari kejauhan.Ah, Pak Tono. Mbok ya teriak saja.Aku pun kembali ke rumah dengan pikiran bertanya-tanya, siapa yang meninggal?
Tanganku mengusap kepala Naila yang kali ini tanpa memakai kain penutup. Ia melepasnya ketika di dalam rumah dan kembali memakainya saat hendak keluar rumah. Rambut Naila lurus dan hitam legam. Panjang dan wangi beraroma melon. Ia puas merawat diri ketika di rumah. Anak gadisku itu juga menghabiskan waktunya di kamar mandi dengan puas sebab jika di pondok semuanya serba terbatas. Meskipun begitu, Naila tidak malas untuk membantuku membersihkan rumah."Mengapa menangis, Nak?" tanyaku heran. Mengapa ia menyambut kabar yang kubawa dengan tangisan padahal ia tidak salah apapun."Maafkan Naila karena Naila membuat ibu susah seperti ini. Jika saja Naila tidak melarang ibu menikah, Naila tidak akan melihat ibu kesusahan bawa mesin jahit itu ke tukang servis, sampai ibu dijambret begini." Naila berujar setelah kembali duduk menghadapku. Tangannya mengusap sisa air yang membasahi wajah ayunya.Aku menatapnya dengan tatapan teduh. Betapa gadis kecilku ini anak yang perasa dan peka akan keadaan
"Maksudnya?" Kurasa satu kata itu cukup untuk mewakili banyak kalimat tanya di pikiranku."Anak-anak pulang pagi hari ini, sementara guru-guru pada takziah ke rumah kepala sekolah. Lusa mertua Pak Hamid meninggal lalu malam tadi istrinya menyusul. Jadi Mas kabur ke rumah ibu, ngga ikut takziah bareng sama guru-guru. Biar Aisyah nyangkanya saya masih ngajar."Aku tercengang dengan kabar yang baru saja disampaikan Mas Rasyid.Ibu dan istri Pak Hamid meninggal dengan dalam waktu yang hampir bersamaan? Tak bisa kubayangkan bagaimana hancurnya perasan Pak Hamid saat ini. Sayangnya untuk mengucapkan bela sungkawa pun aku tidak punya nomor ponselnya. Untuk membeli ponsel baru juga rasanya belum butuh."Ouwh. Sampaikan pada beliau kalau saya turut berbelasungkawa. Bagaimana pun saya berterima kasih pada kepala sekolah di tempat Mas mengajar karena sudah membantu saya kemarin."Mas Rasyid terkekeh. Ia menoleh ke arahku sejenak, lalu kembali fokus menghadap jalanan. "Iya, kamu berterima kasih,
Kutekan perasaan yang mulai tak sopan merasuki hati. Sebisa mungkin aku harus menjaga diri dari hal yang akan merendahkan martabatku sebagai seorang wanita, terlebih aku sudah menjadi janda. Biarlah semesta yang mengaturnya, siapapun laki-laki yang Allah takdirkan untukku, aku yakin pasti baik menurut Allah. Bahkan jika itu Pak Hamid sekalipun."Mau ngapain nyari aku?" Dahiku mengerut. Ada sedikit debaran dalam dadaku, tapi aku tidak boleh gegabah. Harus kutepis sekuat tenaga agar tidak membuatku lupa diri."Ish Mbak ini ngga peka apa gimana sih? Di ruangan sewing tuh pada heboh bicarain Mbak. Mereka nyangkanya Mbak resign emang beneran mau di nikahin sama pak bos.""Astaghfirullah. Ngga ada seperti itu! Mana ada nikah! Mbak ngga lagi dekat dengan siapapun." Aku mencoba menyangkal, sebab kenyataannya memang tidak seperti itu."Lah pak bos itu? Apa namanya kalau ngga dekat?" "Beberapa waktu lalu memang beliau sempat menyatakan niatnya, tapi Mbak tolak."Nisa membelalakkan matanya tak
PoV Hamid Karzai"Sayang, ikhlas ya? Ridho ya? Ibu sudah lebih dulu menghadap Allah," ucapku sambil memegang tangan istriku yang tidak lagi selentik dulu. Kutatap wajahnya yang sayu, yang kerap kali menitikkan air mata saat kubacakan ayat Al Qur'an di sampingnya.Namun kali ini, bukan bacaan Al Qur'an yang membuat air matanya kembali mengalir tapi kabar kepergian ibunya. Wanita yang kerap kali datang untuk mengusap dan memijat kakinya.Aku tak kuasa melihat air mata istriku jatuh tiada henti itu. Bukan tak ikhlas, hanya saja ibunyalah yang menjadi sumber kekuatan selain aku, suaminya. Kabar ini pasti sangat menyesakkan hatinya.Seandainya istriku bisa bicara, dia pasti akan menangis tersedu-sedu karena rasa terpukulnya. Sayangnya saat ini hanya bisa menangis tanpa mampu berkata-kata.Kutinggalkan istriku untuk bertemu sanak keluarga jauh yang sedang takziah di rumah ibu. Sungkan kalau ada saudara jauh yang jarang datang, tapi aku tidak menemui mereka, sebab rumah kami bersebelahan."P
"Mbak Anita balik sini lagi?" sapa Laili, tetangga sebelah rumah, saat Anita baru saja turun dari mobil yang ditumpanginya."Iya, Mbak. Bagaimanapun rumah sendiri lebih nyaman." Anita tersenyum setelah menjawab pertanyaan tetangganya. Di dalam gendongannya, Nata masih terlelap."Ah iya, Mbak bener. Apalagi diantara kalian belum ada anak."Anita hanya tersenyum untuk menjawab ucapan tetangganya itu. Ia pun lantas masuk ke dalam rumahnya setelah Pak Mahmud membantunya menurunkan koper, meninggalkan perbincangan yang tak berarti dengan tetangganya itu."Makasih ya, Pak," ucap Anita setelah menyelipkan amplop ke dalam genggaman tangan laki-laki yang telah menjemputnya."Sama-sama, Mbak."Selepas kepergian Pak Mahmud, Anita duduk bersandar di sofa ruang tengah. Matanya memejam, memikirkan langkah hidup selanjutnya. Kepergian Hamid yang tiba-tiba membuatnya harus berpikir keras, sama ketika ia baru saja menyandang status janda dulu.Kepala Anita kembali mengingat obrolannya dengan Nisa sebe
Sindy bersama Anita berangkat menuju rumah sakit tempat Hamid dirawat. Rasa cemas tak henti-hentinya singgah dalam diri Anita membayangkan bagaimana keadaan sang suami.Ditambah dengan pertengkaran pagi tadi yang membuatnya benar-benar merasa bersalah karena telah membuat sang suami pergi bekerja dengan hati yang tidak nyaman."Semoga kondisi Mas Hamid tidak mengkhawatirkan," lirih Anita tak tenang."Semoga ya, Mbak. Baru kali ini Mas Hamid kayak gini, biasanya ngga pernah. Pasti ada sesuatu yang terjadi sampai dia nyetir mobil ngga konsentrasi begini.""Mbak juga ngga tau. Mas Hamid ngga pernah cerita masalah apapun yang terjadi sama usahanya. Biasanya kalau ada apa-apa, pasti dia duduk lama di ruang kerja. Kalau sudah begitu, Mbak ngga akan berani ganggu.""Mas Hamid memang begitu. Ngga pernah terbuka soal kerjaan sama istrinya. Baginya, masalah dia soal kerjaan adalah masalah dia sendiri.""Padahal Mbak malah senang kalau diajak diskusi.""Itulah, Mbak."Perjalanan pun tiba di ruma
"Mbak belum pernah ke mall ini," ucap Anita setibanya mereka di lobby utama. Ia mengamati sekitar dengan dua bola matanya sambil membawa Nata dalam gendongan."Masak belum pernah, Mbak? Secara bapak duitnya banyak.""Bukan perkara duit, Sa. Tapi memang ngga ada waktunya kesini. Kalau sendirian juga Mbak ngga mungkin bisa pergi. Mana berani.""Mbak ngga ngajak aku sih," seloroh Nisa. Ia tertawa setelahnya."Ya mana kepikiran, Sa. Kamu di sana, Mbak disini.""Iya juga sih. Ya sudah, yuk jalan lagi." Nisa menggandeng tangan Anita menuju ke area mall. Mata Anita mengitari sekitar, betapa selama beberapa bulan ini ia hanya menghabiskan waktu di rumah saja tanpa sedikitpun berpikir untuk berjalan-jalan menikmati udara luar. Ia hanya pergi ketika akan mengunjungi Naila atau ke tempat bulik. Selebihnya, Anita hanya di rumah menunggu sang suami pulang kerja."Kemana, Sa?" tanyq Anita saat Nisa menggandengnya menuju eskalator."Cari makanan, Mbak.""Tadi di rumah ditawari makan ngga mau.""Bed
"Halo," panggil suara di ujung panggilan. Suara bariton dari lelaki yang saat ini membuat hati Anita kebat-kebit."Sayang?"Anita terdiam. Ia masih belum ingin menjawab panggilan dari sang suami."Sayang masih di situ kan?" ucap Hamid lagi. Ia melihat ponselnya yang masih menampakkan layar panggilan."Sayang aku minta maaf," kata Hamid lagi. Ia tahu pasti sang istri merasa aneh dengan sikapnya tadi pagi. Ditambah dengan penolakannya atas permintaan Anita."Emm ... I-iya, Mas." Anita menjawab dengan ragu-ragu."Aku minta maaf ya, tadi aku buru-buru berangkat soalnya ada masalah yang harus Mas selesaikan." Hamid menurunkan nada suaranya. Ia paham dengan perasaan seseorang yang kini mulai memenuhi relung hatinya."Aku yang harusnya minta maaf. Aku terlalu banyak permintaan pada Mas.""Enggak, ngga apa-apa. Oh Iya, Mas cuma mau kasih tau kalau Mas nyuruh Sindy cari pembantu buat kamu.""Pembantu? Mas aku bisa kerjain semuanya sendiri.""Ngga apa-apa. Biar dia bantu kamu beres-beres sekal
Anita terduduk melamun di ruang tengah. Ia masih belum bisa menerima penolakan Hamid terhadap permintaannya. Ada rasa kesal dan amarah yang mulai bergelut dalam dadanya. Akan tetapi, Anita sadar bahwa segalanya sudah terpenuhi di rumah ini. Ia tidak kekurangan apapun yang bisa dijadikan alasan untuk menjadi wanita mandiri.Dering telepon berbunyi dari ponsel yang ada di sampingnya. Anita pun segera meraih ponsel itu untuk menerima panggilan dari seseorang."Assalamualaikum," sapa suara di ujung sana."Waalaikum salam. Ciee manten baru," goda Anita setelah mendengar suara Nisa yang terdengar ceria. Suara Nisa itu menjadi hiburan tersendiri di saat hatinya sedang kesal."Hihihi, Mbak nih! Bikin malu aja," balas Nisa cengengesan. Wajahnya merona karena mengingat bagaimana rasanya menjadi pengantin baru."Nyesel kan, kenapa ngga dari dulu aja nikahnya.""Hahaha enggak juga. Ada sih dikit tapi lebih ke riweh nya, Mbak. Tapi alhamdulilah semua berjalan dengan lancar.""Alhamdulillah. Mbak
Hamid membawa Anita duduk di teras samping rumahnya. Jam dinding yang berputar masih menunjukkan angka lima lebih tiga puluh menit, masih ada banyak waktu untuk bisa berbicara dengan istrinya soal semalam.Laki-laki yang memakai kaos polos dengan celana pendek itu menatap sang istri yang menunduk. Ia menunggu perempuan yang rambutnya dikucir kuda itu menjawab pertanyaannya yang baru saja dilempar."Ada apa denganmu?" tanya Hamid sekali lagi. Ia masih terus menikmati wajah Anita yang membisu."Mas bukan dukun, bukan pula orang pintar yang tahu isi hatimu tanpa harus bertanya lebih dulu. Kalau ada apapun, baiknya bicarakan pada Mas, untuk kita bahas bersama. Jangan tiba-tiba diam seperti ini." Hamid berusaha menjelaskan apa yang ia mau. Memulai hubungan tanpa perkenalan yang dekat memang harus ada salah satu pihak yang menjadi mengalah untuk memulai. Jika pihak perempuan tidak demikian, maka pihak laki-laki yang harus mengalah untuk memulai membangun komitmen kedepannya.Anita diam saj
Hamid memperhatikan istrinya disela-sela konsentrasinya mengemudi. Ia merasa aneh sebab sejak kembali dari kafe istrinya lebih banyak diam.Suara musik instrumental menemani mereka dalam perjalanan, dan menjadi satu-satunya suara dalam kabin mobil tersebut. Konsentrasi Hamid terpecah, akan tetapi suara musik itu membuatnya tetap bisa mengemudi dengan baik sekalipun hatinya sedang tak biasa.Hari sudah larut. Tidak ada waktu untuk Hamid bisa bertanya perihal perubahan sikap istrinya dengan tenang. Ia harus fokus dengan jalanan yang lumayan lengang agar lekas sampai di rumah.Sekilas Hamid melirik sang istri lagi. Wajah wanitanya itu terus saja melihat ke arah jendela. Sejak mulai perjalanan sampai hampir sampai Surabaya wajah itu tak beranjak dari depan kaca dengan tatapan nanar ke sepanjang bangunan di pinggir jalan.Dalam hatinya, Hamid kepayahan menahan diri. Tapi ia tak punya banyak pilihan sebab khawatir akan terjadi pertengkaran jika grusah grusuh membahas masalah sensitif seperti
Di sebuah klinik, Rasyid sedang menunggu dokter memeriksa kondisi Ratih. Ia menjambak rambutnya untuk melampiaskan rasa kesal yang terus saja hinggap di hidupnya."Gimana bisa kamu tabrak istri saya!" omel Fajar. Ia berjalan mondar-mandir di depan Rasyid."Saya ngga nabrak. Dia sendiri yang lari pas saya berusaha pergi. Perlu kamu tahu, antara saya dan Ratih tidak ada apa-apa. Kami dulu memang berteman baik, setelah itu terpisah sekian tahun karena kami sibuk dengan kehidupan kami masing-masing.Baru beberapa hari yang lalu kami kembali bertemu dan saat itu, saya melihat ada gelagat aneh dari Ratih pada saya. Jika saja saya tau rumah tangga kalian sedang tidak baik-baik saja, maka saya tidak akan pernah mau untuk berurusan dengan dia lagi.""Jangan bohong kamu! Ratih terlihat sekali kalau dia menginginkan kamu!" ucap Fajar bersungut-sungut."Menginginkan?" Rasyid menyahut. Dahinya mengerut tak paham dengan ucapan Fajar."Iya, dia terlihat memaksa kamu untuk menerima dia!"Rasyid teetaw
Nata tidur dalam perjalanan pulang. Ia terlelap nyenyak dalam pelukan sang ibu. Sesekali jemari ibunya mengusap pipi mulus bayi yang terlelap itu.Ada rasa lega yang mejalari hati Anita. Bayi yang dulu ia khawatirkan akan kekurangan kasih sayang bapak, nyatanya kini malah mendapatkan limpahan kasih sayang dari dua bapak sekaligus.Hubungan Anita dengan Rasyid yang membaik itu merupakan diluar prediksinya. Ia bersyukur memiliki suami yang mampu menjadi penengah antara dirinya dan mantan suaminya."Kecapekan ya dia?" tanya Hamid saat melihat sang istri berulang kali memandangi wajah mungil itu.Anita menoleh ke arah sang suami. Bibirnya tersungging sedikit."Iya. Dari siang aktif terus. Tidur cuma sebentar aja." Lagi, Anita mendaratkan pandangannya pada bayi dalam dekapannya itu."Ya sudah biarkan dia tidur. Kasihan.""Iya, Mas. Mas ngga capek? Kalau capek kita nginep di rumah aja," balas Anita. Ia melihat perjalanan masih sampai di sekitar tempat tinggalnya yang lama. Tidak butuh waktu