"Maksudnya?" Kurasa satu kata itu cukup untuk mewakili banyak kalimat tanya di pikiranku."Anak-anak pulang pagi hari ini, sementara guru-guru pada takziah ke rumah kepala sekolah. Lusa mertua Pak Hamid meninggal lalu malam tadi istrinya menyusul. Jadi Mas kabur ke rumah ibu, ngga ikut takziah bareng sama guru-guru. Biar Aisyah nyangkanya saya masih ngajar."Aku tercengang dengan kabar yang baru saja disampaikan Mas Rasyid.Ibu dan istri Pak Hamid meninggal dengan dalam waktu yang hampir bersamaan? Tak bisa kubayangkan bagaimana hancurnya perasan Pak Hamid saat ini. Sayangnya untuk mengucapkan bela sungkawa pun aku tidak punya nomor ponselnya. Untuk membeli ponsel baru juga rasanya belum butuh."Ouwh. Sampaikan pada beliau kalau saya turut berbelasungkawa. Bagaimana pun saya berterima kasih pada kepala sekolah di tempat Mas mengajar karena sudah membantu saya kemarin."Mas Rasyid terkekeh. Ia menoleh ke arahku sejenak, lalu kembali fokus menghadap jalanan. "Iya, kamu berterima kasih,
Kutekan perasaan yang mulai tak sopan merasuki hati. Sebisa mungkin aku harus menjaga diri dari hal yang akan merendahkan martabatku sebagai seorang wanita, terlebih aku sudah menjadi janda. Biarlah semesta yang mengaturnya, siapapun laki-laki yang Allah takdirkan untukku, aku yakin pasti baik menurut Allah. Bahkan jika itu Pak Hamid sekalipun."Mau ngapain nyari aku?" Dahiku mengerut. Ada sedikit debaran dalam dadaku, tapi aku tidak boleh gegabah. Harus kutepis sekuat tenaga agar tidak membuatku lupa diri."Ish Mbak ini ngga peka apa gimana sih? Di ruangan sewing tuh pada heboh bicarain Mbak. Mereka nyangkanya Mbak resign emang beneran mau di nikahin sama pak bos.""Astaghfirullah. Ngga ada seperti itu! Mana ada nikah! Mbak ngga lagi dekat dengan siapapun." Aku mencoba menyangkal, sebab kenyataannya memang tidak seperti itu."Lah pak bos itu? Apa namanya kalau ngga dekat?" "Beberapa waktu lalu memang beliau sempat menyatakan niatnya, tapi Mbak tolak."Nisa membelalakkan matanya tak
PoV Hamid Karzai"Sayang, ikhlas ya? Ridho ya? Ibu sudah lebih dulu menghadap Allah," ucapku sambil memegang tangan istriku yang tidak lagi selentik dulu. Kutatap wajahnya yang sayu, yang kerap kali menitikkan air mata saat kubacakan ayat Al Qur'an di sampingnya.Namun kali ini, bukan bacaan Al Qur'an yang membuat air matanya kembali mengalir tapi kabar kepergian ibunya. Wanita yang kerap kali datang untuk mengusap dan memijat kakinya.Aku tak kuasa melihat air mata istriku jatuh tiada henti itu. Bukan tak ikhlas, hanya saja ibunyalah yang menjadi sumber kekuatan selain aku, suaminya. Kabar ini pasti sangat menyesakkan hatinya.Seandainya istriku bisa bicara, dia pasti akan menangis tersedu-sedu karena rasa terpukulnya. Sayangnya saat ini hanya bisa menangis tanpa mampu berkata-kata.Kutinggalkan istriku untuk bertemu sanak keluarga jauh yang sedang takziah di rumah ibu. Sungkan kalau ada saudara jauh yang jarang datang, tapi aku tidak menemui mereka, sebab rumah kami bersebelahan."P
"Bulik, tolong jangan begitu." Mas Rasyid menyela ucapan bulik."Jangan begitu gimana! Kamu itu, sudah bikin anak saya sakit hati, masih aja nyusahin! Kasih racun sekalian aja itu perempuan biar cepet pergi dari dunia ini, ngga nyusahin orang-orang lagi!""Astaghfirullah." Aku berujar sedikit keras menyela ucapan bulik. Sudah ngawur itu.Aku lantas berdiri, memegang bahu bulik agar tak lagi mengomel yang bisa saja membuat kesehatannya terganggu. "Bulik sudah, jangan berteriak. Lagian Anita juga keberatan kalau ibu tinggal disini. Bagaimana pun Aisyah itu sudah jadi menantunya yang sekarang. Tidak pantas kalau ibu ada di sini sementara menantunya yang sedang sakit sedang ada di rumahnya sendirian.""Tapi ibu tidak mau kuajak pulang, Dik.""Permisi, saya menyela. Lebih baik bawa ibunya pulang saja. Tidak enak dilihat orang kalau mantan mertua ada di rumah mantan menantu disaat ada menantunya yang sedang sakit datang membutuhkan uluran tangannya. Lebih baik Pak Rasyid ajak ibunya pulang
Pak Hamid terkekeh. "Dik Nita ini. Mengapa bisa berpikiran seperti itu? Itu saya sendiri yang buat perjanjiannya, masak ada karyawan yang tidak mendapatkan haknya saya diam saja?""Ya bisa saja itu alasan bapak, kan?" sergahku tak mau kalah."Ya enggak. Buat apa saya cari-cari alasan?! Saya hubungi Miftah nanti, biar dia kirim di sini."Aku membuang napas kasar. Rasanya menolak ucapan laki-laki di depanku ini tak lagi berguna. Sebab dia akan memberikan banyak lagi alasan lainnya untuk mendukung perbuatannya agar demi bisa mengambil hatiku.Bayangan susahnya kehidupan setelah menjanda kembali terbayang dalam kepalaku. Ucapan tetangga, dan beberapa kejadian yang membuatku merasa betapa beratnya hidup sebagai tulang punggung keluarga cukup menggelitik hatiku yang semula kupasang mode kokoh. Nyatanya, aku hanyalah wanita lemah yang ternyata tak sanggup dipaksa untuk bertahan menyandang dua tanggung jawab sekaligus.Bukan tak mau berjuang, hanya saja jika ada yang mengharapkanku menjadi p
"Bukankah semua yang ada di dunia ini adalah ujian, Pak?" sambung Pak Hamid lagi.Mas Rasyid langsung menunduk mendengar ucapan atasannya ini. Bahunya naik turun beraturan, seiring dengan dadanya yang kembang kempis."Assalamualaikum," sapa sebuah suara yang paling sangat ingin aku hindari. Tangannya memutar roda yang ada di sisi kanan dan kiri kursi yang didudukinya.Mas Rasyid langsung berdiri setelah mendengar suara istrinya. Ia membantu membenarkan posisi kursi rodanya tepat di samping kursi yang tadi ia duduki."Waalaikum salam, Bu." Laki-laki di sampingku berdiri untuk menghampiri mantan bawahannya itu."Gimana keadaannya, Bu?" Pak Hamid mengulurkan tangannya pada perempuan yang duduk di kursi putar itu, setelahnya ia duduk kembali di tempatnya semula."Alhamdulillah. Beginilah, Pak. Makin hari rasanya makin lemah saja. Kalau saja ngga ada Mas Rasyid yang sabar dan telaten pasti saya sudah ngga bisa apa-apa.""Bukan karena Pak Rasyid yang sabar tapi karena rasa bahagia ibu ketik
Aku duduk di dalam ruang tamu untuk meng-ASI-hi Nata. Ia tampak kehausan karena sejak kutinggal bulik tidak memberinya susu formula. Beliau hanya menimangnya sambil mengajaknya keluar rumah, karena Nata belum menangis meminta susu."Bulik tadi masak sayur bening, habis ini kamu makan dulu," ucap bulik sebelum masuk ke dalam ruang tengah."Iya, Bulik. Nanti saya makan, biar Nata minum ASI dulu."Setelah bulik masuk ke ruang tengah, tak berapa lama terdengar deru mobil berhenti di depan rumah. Aku tidak melihat keluar, paling tamu tetangga sebelah.Namun sebuah ketukan pintu membuatku mau tak mau menoleh ke arah pintu ruang tamu. Kudapati Pak Hamid berdiri di ambang pintu sambil tersenyum. Ditangannya terdapat satu tas berlogo merk toko ponsel yang terkenal di kota ini."Assalamualaikum," sapanya sambil tersenyum."Waalaikum salam. Ada yang ketinggalan, Pak?" tanyaku kaget. Tak biasanya beliau kembali datang setelah beberapa saat berpamitan."Tidak, hanya saja tadi buru-buru mau beli in
PoV Hamid Karzai Malam ini, sungguh aku tidak dapat tidur. Bagaimana jika Dik Nita mendapatkan petunjuk dan itu bukan mengarah padaku. Aku benar-benar tidak mau kalau itu sampai terjadi.Tasbih yang ada di ujung sajadah itu kuraih kembali. Tak bosan aku meminta pada Allah agar berkenan sedikit saja memberiku kebahagiaan setelah sekian lama bertarung dengan penyakit almarhumah Ezra.Malam ini, doaku bertarung meluruhkan doa wanita idamanku, Anita.Ponselku berdering ketika aku sedang khusyuk melantunkan dzikir. Kubiarkan saja, aku tidak mau ada yang mengganggu dzikirku yang sedang khusyuk ini. Doaku benar-benar tulus untuk memohon pada Allah.Tak henti berdering, aku menghentikan aktivitasku. Betapa bahagianya saat kudapati nama Dik Nita yang tertera dalam layar panggilan.Tak butuh waktu lama, segera kuraih ponselku agar segera terhubung dengan wanita yang sedang kuperjuangkan dengan doa ini.Dahiku mengerut, telingaku kupasang dengan tajam. Suara Dik Nita mengapa begini?Mendadak ak
"Mbak Anita balik sini lagi?" sapa Laili, tetangga sebelah rumah, saat Anita baru saja turun dari mobil yang ditumpanginya."Iya, Mbak. Bagaimanapun rumah sendiri lebih nyaman." Anita tersenyum setelah menjawab pertanyaan tetangganya. Di dalam gendongannya, Nata masih terlelap."Ah iya, Mbak bener. Apalagi diantara kalian belum ada anak."Anita hanya tersenyum untuk menjawab ucapan tetangganya itu. Ia pun lantas masuk ke dalam rumahnya setelah Pak Mahmud membantunya menurunkan koper, meninggalkan perbincangan yang tak berarti dengan tetangganya itu."Makasih ya, Pak," ucap Anita setelah menyelipkan amplop ke dalam genggaman tangan laki-laki yang telah menjemputnya."Sama-sama, Mbak."Selepas kepergian Pak Mahmud, Anita duduk bersandar di sofa ruang tengah. Matanya memejam, memikirkan langkah hidup selanjutnya. Kepergian Hamid yang tiba-tiba membuatnya harus berpikir keras, sama ketika ia baru saja menyandang status janda dulu.Kepala Anita kembali mengingat obrolannya dengan Nisa sebe
Sindy bersama Anita berangkat menuju rumah sakit tempat Hamid dirawat. Rasa cemas tak henti-hentinya singgah dalam diri Anita membayangkan bagaimana keadaan sang suami.Ditambah dengan pertengkaran pagi tadi yang membuatnya benar-benar merasa bersalah karena telah membuat sang suami pergi bekerja dengan hati yang tidak nyaman."Semoga kondisi Mas Hamid tidak mengkhawatirkan," lirih Anita tak tenang."Semoga ya, Mbak. Baru kali ini Mas Hamid kayak gini, biasanya ngga pernah. Pasti ada sesuatu yang terjadi sampai dia nyetir mobil ngga konsentrasi begini.""Mbak juga ngga tau. Mas Hamid ngga pernah cerita masalah apapun yang terjadi sama usahanya. Biasanya kalau ada apa-apa, pasti dia duduk lama di ruang kerja. Kalau sudah begitu, Mbak ngga akan berani ganggu.""Mas Hamid memang begitu. Ngga pernah terbuka soal kerjaan sama istrinya. Baginya, masalah dia soal kerjaan adalah masalah dia sendiri.""Padahal Mbak malah senang kalau diajak diskusi.""Itulah, Mbak."Perjalanan pun tiba di ruma
"Mbak belum pernah ke mall ini," ucap Anita setibanya mereka di lobby utama. Ia mengamati sekitar dengan dua bola matanya sambil membawa Nata dalam gendongan."Masak belum pernah, Mbak? Secara bapak duitnya banyak.""Bukan perkara duit, Sa. Tapi memang ngga ada waktunya kesini. Kalau sendirian juga Mbak ngga mungkin bisa pergi. Mana berani.""Mbak ngga ngajak aku sih," seloroh Nisa. Ia tertawa setelahnya."Ya mana kepikiran, Sa. Kamu di sana, Mbak disini.""Iya juga sih. Ya sudah, yuk jalan lagi." Nisa menggandeng tangan Anita menuju ke area mall. Mata Anita mengitari sekitar, betapa selama beberapa bulan ini ia hanya menghabiskan waktu di rumah saja tanpa sedikitpun berpikir untuk berjalan-jalan menikmati udara luar. Ia hanya pergi ketika akan mengunjungi Naila atau ke tempat bulik. Selebihnya, Anita hanya di rumah menunggu sang suami pulang kerja."Kemana, Sa?" tanyq Anita saat Nisa menggandengnya menuju eskalator."Cari makanan, Mbak.""Tadi di rumah ditawari makan ngga mau.""Bed
"Halo," panggil suara di ujung panggilan. Suara bariton dari lelaki yang saat ini membuat hati Anita kebat-kebit."Sayang?"Anita terdiam. Ia masih belum ingin menjawab panggilan dari sang suami."Sayang masih di situ kan?" ucap Hamid lagi. Ia melihat ponselnya yang masih menampakkan layar panggilan."Sayang aku minta maaf," kata Hamid lagi. Ia tahu pasti sang istri merasa aneh dengan sikapnya tadi pagi. Ditambah dengan penolakannya atas permintaan Anita."Emm ... I-iya, Mas." Anita menjawab dengan ragu-ragu."Aku minta maaf ya, tadi aku buru-buru berangkat soalnya ada masalah yang harus Mas selesaikan." Hamid menurunkan nada suaranya. Ia paham dengan perasaan seseorang yang kini mulai memenuhi relung hatinya."Aku yang harusnya minta maaf. Aku terlalu banyak permintaan pada Mas.""Enggak, ngga apa-apa. Oh Iya, Mas cuma mau kasih tau kalau Mas nyuruh Sindy cari pembantu buat kamu.""Pembantu? Mas aku bisa kerjain semuanya sendiri.""Ngga apa-apa. Biar dia bantu kamu beres-beres sekal
Anita terduduk melamun di ruang tengah. Ia masih belum bisa menerima penolakan Hamid terhadap permintaannya. Ada rasa kesal dan amarah yang mulai bergelut dalam dadanya. Akan tetapi, Anita sadar bahwa segalanya sudah terpenuhi di rumah ini. Ia tidak kekurangan apapun yang bisa dijadikan alasan untuk menjadi wanita mandiri.Dering telepon berbunyi dari ponsel yang ada di sampingnya. Anita pun segera meraih ponsel itu untuk menerima panggilan dari seseorang."Assalamualaikum," sapa suara di ujung sana."Waalaikum salam. Ciee manten baru," goda Anita setelah mendengar suara Nisa yang terdengar ceria. Suara Nisa itu menjadi hiburan tersendiri di saat hatinya sedang kesal."Hihihi, Mbak nih! Bikin malu aja," balas Nisa cengengesan. Wajahnya merona karena mengingat bagaimana rasanya menjadi pengantin baru."Nyesel kan, kenapa ngga dari dulu aja nikahnya.""Hahaha enggak juga. Ada sih dikit tapi lebih ke riweh nya, Mbak. Tapi alhamdulilah semua berjalan dengan lancar.""Alhamdulillah. Mbak
Hamid membawa Anita duduk di teras samping rumahnya. Jam dinding yang berputar masih menunjukkan angka lima lebih tiga puluh menit, masih ada banyak waktu untuk bisa berbicara dengan istrinya soal semalam.Laki-laki yang memakai kaos polos dengan celana pendek itu menatap sang istri yang menunduk. Ia menunggu perempuan yang rambutnya dikucir kuda itu menjawab pertanyaannya yang baru saja dilempar."Ada apa denganmu?" tanya Hamid sekali lagi. Ia masih terus menikmati wajah Anita yang membisu."Mas bukan dukun, bukan pula orang pintar yang tahu isi hatimu tanpa harus bertanya lebih dulu. Kalau ada apapun, baiknya bicarakan pada Mas, untuk kita bahas bersama. Jangan tiba-tiba diam seperti ini." Hamid berusaha menjelaskan apa yang ia mau. Memulai hubungan tanpa perkenalan yang dekat memang harus ada salah satu pihak yang menjadi mengalah untuk memulai. Jika pihak perempuan tidak demikian, maka pihak laki-laki yang harus mengalah untuk memulai membangun komitmen kedepannya.Anita diam saj
Hamid memperhatikan istrinya disela-sela konsentrasinya mengemudi. Ia merasa aneh sebab sejak kembali dari kafe istrinya lebih banyak diam.Suara musik instrumental menemani mereka dalam perjalanan, dan menjadi satu-satunya suara dalam kabin mobil tersebut. Konsentrasi Hamid terpecah, akan tetapi suara musik itu membuatnya tetap bisa mengemudi dengan baik sekalipun hatinya sedang tak biasa.Hari sudah larut. Tidak ada waktu untuk Hamid bisa bertanya perihal perubahan sikap istrinya dengan tenang. Ia harus fokus dengan jalanan yang lumayan lengang agar lekas sampai di rumah.Sekilas Hamid melirik sang istri lagi. Wajah wanitanya itu terus saja melihat ke arah jendela. Sejak mulai perjalanan sampai hampir sampai Surabaya wajah itu tak beranjak dari depan kaca dengan tatapan nanar ke sepanjang bangunan di pinggir jalan.Dalam hatinya, Hamid kepayahan menahan diri. Tapi ia tak punya banyak pilihan sebab khawatir akan terjadi pertengkaran jika grusah grusuh membahas masalah sensitif seperti
Di sebuah klinik, Rasyid sedang menunggu dokter memeriksa kondisi Ratih. Ia menjambak rambutnya untuk melampiaskan rasa kesal yang terus saja hinggap di hidupnya."Gimana bisa kamu tabrak istri saya!" omel Fajar. Ia berjalan mondar-mandir di depan Rasyid."Saya ngga nabrak. Dia sendiri yang lari pas saya berusaha pergi. Perlu kamu tahu, antara saya dan Ratih tidak ada apa-apa. Kami dulu memang berteman baik, setelah itu terpisah sekian tahun karena kami sibuk dengan kehidupan kami masing-masing.Baru beberapa hari yang lalu kami kembali bertemu dan saat itu, saya melihat ada gelagat aneh dari Ratih pada saya. Jika saja saya tau rumah tangga kalian sedang tidak baik-baik saja, maka saya tidak akan pernah mau untuk berurusan dengan dia lagi.""Jangan bohong kamu! Ratih terlihat sekali kalau dia menginginkan kamu!" ucap Fajar bersungut-sungut."Menginginkan?" Rasyid menyahut. Dahinya mengerut tak paham dengan ucapan Fajar."Iya, dia terlihat memaksa kamu untuk menerima dia!"Rasyid teetaw
Nata tidur dalam perjalanan pulang. Ia terlelap nyenyak dalam pelukan sang ibu. Sesekali jemari ibunya mengusap pipi mulus bayi yang terlelap itu.Ada rasa lega yang mejalari hati Anita. Bayi yang dulu ia khawatirkan akan kekurangan kasih sayang bapak, nyatanya kini malah mendapatkan limpahan kasih sayang dari dua bapak sekaligus.Hubungan Anita dengan Rasyid yang membaik itu merupakan diluar prediksinya. Ia bersyukur memiliki suami yang mampu menjadi penengah antara dirinya dan mantan suaminya."Kecapekan ya dia?" tanya Hamid saat melihat sang istri berulang kali memandangi wajah mungil itu.Anita menoleh ke arah sang suami. Bibirnya tersungging sedikit."Iya. Dari siang aktif terus. Tidur cuma sebentar aja." Lagi, Anita mendaratkan pandangannya pada bayi dalam dekapannya itu."Ya sudah biarkan dia tidur. Kasihan.""Iya, Mas. Mas ngga capek? Kalau capek kita nginep di rumah aja," balas Anita. Ia melihat perjalanan masih sampai di sekitar tempat tinggalnya yang lama. Tidak butuh waktu