PoV Hamid Karzai"Masya Allah, terima kasih ya, Dik Nita sudah bersedia menerima pinangan saya," ujarku penuh haru. Debar dalam dadaku seketika lenyap berganti dengan rasa bahagia yang tak terduga."Bismillah ya, Pak. Saya bersedia memulai hidup baru dengan bapak. Semoga berkah," balasnya lirih. Perlahan bibir yang sejak tadi sibuk menangis kini mulai terkembang. Senyum yang membuat wajahnya makin terlihat menawan."Iya. Saya janji akan membawa pernikahan ini menjadi pernikahan yang sakinah mawaddah dan rahmah.""Permisi, Pak. Pelakunya sudah tertangkap, hampir saja diamuk warga. Sebaiknya bagaimana ini? Langsung dibawa ke kantor polisi apa kita selesaikan secara kekeluargaan saja? Soalnya dia mengaku hanya sebagai suruhan." Ketua RT datang menemui ku di depan kamar Dik Nita."Suruhan?" tanyaku memastikan. "Mari kita bicara di depan saja. Saya juga harus memastikan sendiri benar suruhan atau dia hanya mengada-ada untuk melindungi diri dari hukuman.""Mari, Pak. Saya sudah ikat dia di
"Kita berangkat ya?" ajak Mas Hamid kemudian.Kami lantas memulai perjalanan ini dengan sedikit rasa canggung yang masih tersisa. Betapa dulu aku menghormatinya sebagai atasan di tempat kerjaku juga sebagai pimpinan Mas Rasyid, tapi kini laki-laki ini sudah jadi calon suamiku.Masya Allah, begitu mudah Allah balikkan keadaanku dari kondisi yang benar-benar terpuruk menjadi seperti sekarang yang sedikit terbuka untuk menerima laki-laki lain sebagai pendamping hidup. Meskipun diawali dengan tragedi, tapi itu tidak membuatku trauma. Aku percaya kejadian itu merupakan pertanda dari Allah untukku mengambil keputusan."Mas senang bisa pergi berdua begini." Senyum yang terpasang di wajah Mas Hamid itu membuatnya tampak ... tampan. "Saya yang tidak tenang," balasku sambil menunduk, merasai canggung dan cemas yang berbaur jadi satu."Ya ngga apa-apa, sabar sebentar. Kita kan bukan pergi untuk jalan-jalan tapi ada masalah yang harus kita bahas.""Memangnya siapa yang sudah menyuruh orang itu."
"Lihatlah dirimu, bahkan untuk meminta maaf atas kesalahanmu saja kamu enggan." Mas Hamid terus mencecar Khadijah dengan kalimat yang menyudutkan."Bukan enggan, Pak," sela Khadijah cepat. Helaan napasnya keluar bersamaan dengan bahunya yang bergerak ke bawah."Saya tidak akan memaksa kamu untuk melakukan permintaan saya, sebab semua itu tergantung dari hati kamu sendiri." Mas Hamid menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia memundurkan badannya hingga punggungnya bersandar di kursi yang ia duduki.Khadijah menunduk. Jari-jarinya masih saling bertaut, belum terlepas. Sesekali ia terlihat menghela napas panjang.Sebenarnya aku tidak tega melihat ekspresi Khadijah yang mulai terlihat merasa bersalah itu. Tapi bagaimana pun ekspresinya, dia tetap harus diberi efek jera."Saya tidak menyangka jika Mbak melakukan ini pada saya. Padahal saya selalu berbuat baik, bagaimana pun ketusnya ucapan Mbak, saya tidak pernah membalas. Kalau Mbak bilang sama saya bahwa Mbak menyukai Mas Hamid, say
"Aisyah," gumamku dengan pandangan menerawang."Entahlah, Mbak, siapa namanya. Saya tidak paham, wong dia sakit parah dan ngga pernah keluar rumah," balas laki-laki itu."Baiklah, Pak. Makasih ya?" ucap Mas Hamid kemudian. Ia lantas kembali menginjak pedal gas untuk melanjutkan perjalanan yang hampir sampai."Kita muter lewat rumah Pak Rasyid ya?" tawar Mas Hamid saat mobil mulai melaju."Buat apa?" sergahku cepat."Entahlah, saya ingin lewat saja."Aku diam saja. Menolak juga pastinya dia akan tetap mempertahankan keinginannya. Biarlah mau lewat manapun, sesukanya.Mobil pun berjalan melewati gang yang lainnya, menuju rumah Mas Rasyid yang juga berada satu jalur dengan rumahku.Namun, saat kami tiba di dekat rumah ibu, kulihat ibu sedang berjalan dengan bahu yang bergerak sambil membawa sebuah tas besar. Ia berjalan menuju arah jalan raya utama."Itu ibunya Pak Rasyid kan?" tanya Mas Hamid sambil menunjuk ke arah ibu. Ia segera menghentikan mobilnya. "Turun deh, Dik. Coba tanya itu ke
PoV Rasyid"Dadaku sakit, Mas," rintih Aisyah. Ia sedang terbaring di atas tempat tidur sambil memegang dadanya. "Mas ambilkan obat ya?" tawarku sambil menatapnya tak tega. Wanita yang membuatku kelimpungan ini tampak kehilangan semangat hidupnya. Berbeda dengan beberapa waktu lalu ketika Anita dan Pak Hamid datang menjenguknya. "Ngga usah, Mas. Aku ngga mau minum obat. Percuma juga, sakitnya hanya hilang sebentar tapi nanti timbul lagi. Aku ngga kuat, Mas. Bawa ke mana saja asal sakit ini lekas hilang," racaunya lagi sambil memejam menahan sakit."Dibawa kemana lagi? Mas ini sudah tidak punya apapun. SK milik Mas sudah Mas gadaikan bersama dengan punyamu beberapa waktu lalu untuk biaya kemo. Sekarang kamu minta dibawa kemana lagi? Uang apa? Mas hanya pegang untuk kita bertahan hidup saja.""Carilah, Mas! Pinjam siapa gitu. Atau sertifikat rumah ini kan ada! Jangan diam saja, aku sudah ngga kuat.""Sabar lah, Sayang. Mas juga sudah berusaha merawat dan menjagamu dengan sepenuh hati
PoV RasyidSebuah ambulan tiba dan lekas membawa Aisyah ke rumah sakit. Aku hanya duduk sambil menangis melihat istriku yang tak henti mendapatkan musibah."Sampai kapan semua ini ya Allah?" rintihku sambil terus berjalan mondar mandir di depan ruangan IGD. Banyak lalu lalang pengunjung atau kerabat pasien yang baru datang dan mereka memperhatikanku tapi aku tak peduli. Siapa yang tidak panik jika mendapatkan musibah begini."Bagaimana kondisinya, Pak?" tanya pengemudi mobil yang menabrak Aisyah. Ia baru saja datang setelah perdebatan di pinggir jalan tadi."Bagaimana bisa baik kalau Bapak tahu sendiri bagaimana dia terjatuh! Darah mengalir dari tubuhnya, sudahlah dia sedang sakit malah mendapatkan musibah begini.""Sungguh, Pak. Saya tidak sengaja menabraknya. Saya tidak sanggup jika bapak meminta saya untuk menanggung semua biaya berobatnya tapi saya bisa sedikit membantu meringankan beban bapak.""Meringankan buat apa! Tabrakan itu membuat beban saya makin berat!""Saya minta maaf,
PoV Rasyid "Alhamdulillah," balasku sedikit terlambat. Bibirku mendadak kelu untuk mengucapkan keperluanku pada Anita, terlebih ada adegan didepanku yang masih berlangsung itu. Senyum yang terkembang di bibir mereka berdua membuat hatiku makin rontok.Iri? Jelas. Apalagi dengan melihat keadaanku sekarang ini. Tapi aku bisa apa?"Ada yang bisa kami bantu Pak Rasyid? Katakan. Kalau bisa pasti akan kami usahakan. Oh iya, bagaimana kondisi Bu Aisyah? Katanya habis kecelakaan?" Pak Hamid kembali bersuara.Pertanyaan Pak Hamid pas sekali dengan kebutuhanku. Tanpa basa basi, aku bisa mengatakannya sekarang."Iya, kondisinya mengkhawatirkan. Ada cedera di kepala yang membuatnya tidak sadarkan diri sejak kejadian kemarin. Tadi dia sadar dan memanggil-manggil nama Dik Nita. Sepertinya ada yang mau dia sampaikan. Barangkali berkenan, saya minta tolong kesediaan hati Dik Nita untuk datang menjenguknya.""Untuk apa mencari saya? Apalagi yang dimau dari saya? Maaf. Saya tidak bisa." Anita menjawab
PoV RasyidAku memutus panggilan dari paklik. Sudahlah kepalaku pusing karena musibah ini, ditambah dengan ocehannya yang tidak karuan. Bukannya dalam hidup ini pasti ada masalah? Siapapun pasti punya masalah. Begitu juga denganku. Bukannya bantu atau kasih solusi, tapi baru dengar suara sudah marah-marah.Kuremas rambutku dengan keras, berharap semua ini hanyalah mimpi. Kehidupan rumah tangga yang semestinya sudah sangat kurindukan. Sejak masalah itu datang, hidupku sudah morat marit tak karuan.Derit pintu ruang ICU yang terdengar membuatku menoleh. Pak Hamid dan Dik Anita sudah keluar rupanya. Gegas aku berdiri untuk menghampiri sepasang pengantin baru itu."Bagaimana, Pak? Aisyah bilang apa?" ucapku saat aku sudah berada di hadapannya."Bu Aisyah meminta maaf pada Dik Nita. Beliau sangat menyesali perbuatannya. Sebaiknya Bapak tenangkan beliau, kasihan beliau terlihat sedih sekali.""Menyesal?""Iya. Beliau meminta bertemu dengan Dik Nita karena sudah menyadari kesalahannya selam
"Mbak Anita balik sini lagi?" sapa Laili, tetangga sebelah rumah, saat Anita baru saja turun dari mobil yang ditumpanginya."Iya, Mbak. Bagaimanapun rumah sendiri lebih nyaman." Anita tersenyum setelah menjawab pertanyaan tetangganya. Di dalam gendongannya, Nata masih terlelap."Ah iya, Mbak bener. Apalagi diantara kalian belum ada anak."Anita hanya tersenyum untuk menjawab ucapan tetangganya itu. Ia pun lantas masuk ke dalam rumahnya setelah Pak Mahmud membantunya menurunkan koper, meninggalkan perbincangan yang tak berarti dengan tetangganya itu."Makasih ya, Pak," ucap Anita setelah menyelipkan amplop ke dalam genggaman tangan laki-laki yang telah menjemputnya."Sama-sama, Mbak."Selepas kepergian Pak Mahmud, Anita duduk bersandar di sofa ruang tengah. Matanya memejam, memikirkan langkah hidup selanjutnya. Kepergian Hamid yang tiba-tiba membuatnya harus berpikir keras, sama ketika ia baru saja menyandang status janda dulu.Kepala Anita kembali mengingat obrolannya dengan Nisa sebe
Sindy bersama Anita berangkat menuju rumah sakit tempat Hamid dirawat. Rasa cemas tak henti-hentinya singgah dalam diri Anita membayangkan bagaimana keadaan sang suami.Ditambah dengan pertengkaran pagi tadi yang membuatnya benar-benar merasa bersalah karena telah membuat sang suami pergi bekerja dengan hati yang tidak nyaman."Semoga kondisi Mas Hamid tidak mengkhawatirkan," lirih Anita tak tenang."Semoga ya, Mbak. Baru kali ini Mas Hamid kayak gini, biasanya ngga pernah. Pasti ada sesuatu yang terjadi sampai dia nyetir mobil ngga konsentrasi begini.""Mbak juga ngga tau. Mas Hamid ngga pernah cerita masalah apapun yang terjadi sama usahanya. Biasanya kalau ada apa-apa, pasti dia duduk lama di ruang kerja. Kalau sudah begitu, Mbak ngga akan berani ganggu.""Mas Hamid memang begitu. Ngga pernah terbuka soal kerjaan sama istrinya. Baginya, masalah dia soal kerjaan adalah masalah dia sendiri.""Padahal Mbak malah senang kalau diajak diskusi.""Itulah, Mbak."Perjalanan pun tiba di ruma
"Mbak belum pernah ke mall ini," ucap Anita setibanya mereka di lobby utama. Ia mengamati sekitar dengan dua bola matanya sambil membawa Nata dalam gendongan."Masak belum pernah, Mbak? Secara bapak duitnya banyak.""Bukan perkara duit, Sa. Tapi memang ngga ada waktunya kesini. Kalau sendirian juga Mbak ngga mungkin bisa pergi. Mana berani.""Mbak ngga ngajak aku sih," seloroh Nisa. Ia tertawa setelahnya."Ya mana kepikiran, Sa. Kamu di sana, Mbak disini.""Iya juga sih. Ya sudah, yuk jalan lagi." Nisa menggandeng tangan Anita menuju ke area mall. Mata Anita mengitari sekitar, betapa selama beberapa bulan ini ia hanya menghabiskan waktu di rumah saja tanpa sedikitpun berpikir untuk berjalan-jalan menikmati udara luar. Ia hanya pergi ketika akan mengunjungi Naila atau ke tempat bulik. Selebihnya, Anita hanya di rumah menunggu sang suami pulang kerja."Kemana, Sa?" tanyq Anita saat Nisa menggandengnya menuju eskalator."Cari makanan, Mbak.""Tadi di rumah ditawari makan ngga mau.""Bed
"Halo," panggil suara di ujung panggilan. Suara bariton dari lelaki yang saat ini membuat hati Anita kebat-kebit."Sayang?"Anita terdiam. Ia masih belum ingin menjawab panggilan dari sang suami."Sayang masih di situ kan?" ucap Hamid lagi. Ia melihat ponselnya yang masih menampakkan layar panggilan."Sayang aku minta maaf," kata Hamid lagi. Ia tahu pasti sang istri merasa aneh dengan sikapnya tadi pagi. Ditambah dengan penolakannya atas permintaan Anita."Emm ... I-iya, Mas." Anita menjawab dengan ragu-ragu."Aku minta maaf ya, tadi aku buru-buru berangkat soalnya ada masalah yang harus Mas selesaikan." Hamid menurunkan nada suaranya. Ia paham dengan perasaan seseorang yang kini mulai memenuhi relung hatinya."Aku yang harusnya minta maaf. Aku terlalu banyak permintaan pada Mas.""Enggak, ngga apa-apa. Oh Iya, Mas cuma mau kasih tau kalau Mas nyuruh Sindy cari pembantu buat kamu.""Pembantu? Mas aku bisa kerjain semuanya sendiri.""Ngga apa-apa. Biar dia bantu kamu beres-beres sekal
Anita terduduk melamun di ruang tengah. Ia masih belum bisa menerima penolakan Hamid terhadap permintaannya. Ada rasa kesal dan amarah yang mulai bergelut dalam dadanya. Akan tetapi, Anita sadar bahwa segalanya sudah terpenuhi di rumah ini. Ia tidak kekurangan apapun yang bisa dijadikan alasan untuk menjadi wanita mandiri.Dering telepon berbunyi dari ponsel yang ada di sampingnya. Anita pun segera meraih ponsel itu untuk menerima panggilan dari seseorang."Assalamualaikum," sapa suara di ujung sana."Waalaikum salam. Ciee manten baru," goda Anita setelah mendengar suara Nisa yang terdengar ceria. Suara Nisa itu menjadi hiburan tersendiri di saat hatinya sedang kesal."Hihihi, Mbak nih! Bikin malu aja," balas Nisa cengengesan. Wajahnya merona karena mengingat bagaimana rasanya menjadi pengantin baru."Nyesel kan, kenapa ngga dari dulu aja nikahnya.""Hahaha enggak juga. Ada sih dikit tapi lebih ke riweh nya, Mbak. Tapi alhamdulilah semua berjalan dengan lancar.""Alhamdulillah. Mbak
Hamid membawa Anita duduk di teras samping rumahnya. Jam dinding yang berputar masih menunjukkan angka lima lebih tiga puluh menit, masih ada banyak waktu untuk bisa berbicara dengan istrinya soal semalam.Laki-laki yang memakai kaos polos dengan celana pendek itu menatap sang istri yang menunduk. Ia menunggu perempuan yang rambutnya dikucir kuda itu menjawab pertanyaannya yang baru saja dilempar."Ada apa denganmu?" tanya Hamid sekali lagi. Ia masih terus menikmati wajah Anita yang membisu."Mas bukan dukun, bukan pula orang pintar yang tahu isi hatimu tanpa harus bertanya lebih dulu. Kalau ada apapun, baiknya bicarakan pada Mas, untuk kita bahas bersama. Jangan tiba-tiba diam seperti ini." Hamid berusaha menjelaskan apa yang ia mau. Memulai hubungan tanpa perkenalan yang dekat memang harus ada salah satu pihak yang menjadi mengalah untuk memulai. Jika pihak perempuan tidak demikian, maka pihak laki-laki yang harus mengalah untuk memulai membangun komitmen kedepannya.Anita diam saj
Hamid memperhatikan istrinya disela-sela konsentrasinya mengemudi. Ia merasa aneh sebab sejak kembali dari kafe istrinya lebih banyak diam.Suara musik instrumental menemani mereka dalam perjalanan, dan menjadi satu-satunya suara dalam kabin mobil tersebut. Konsentrasi Hamid terpecah, akan tetapi suara musik itu membuatnya tetap bisa mengemudi dengan baik sekalipun hatinya sedang tak biasa.Hari sudah larut. Tidak ada waktu untuk Hamid bisa bertanya perihal perubahan sikap istrinya dengan tenang. Ia harus fokus dengan jalanan yang lumayan lengang agar lekas sampai di rumah.Sekilas Hamid melirik sang istri lagi. Wajah wanitanya itu terus saja melihat ke arah jendela. Sejak mulai perjalanan sampai hampir sampai Surabaya wajah itu tak beranjak dari depan kaca dengan tatapan nanar ke sepanjang bangunan di pinggir jalan.Dalam hatinya, Hamid kepayahan menahan diri. Tapi ia tak punya banyak pilihan sebab khawatir akan terjadi pertengkaran jika grusah grusuh membahas masalah sensitif seperti
Di sebuah klinik, Rasyid sedang menunggu dokter memeriksa kondisi Ratih. Ia menjambak rambutnya untuk melampiaskan rasa kesal yang terus saja hinggap di hidupnya."Gimana bisa kamu tabrak istri saya!" omel Fajar. Ia berjalan mondar-mandir di depan Rasyid."Saya ngga nabrak. Dia sendiri yang lari pas saya berusaha pergi. Perlu kamu tahu, antara saya dan Ratih tidak ada apa-apa. Kami dulu memang berteman baik, setelah itu terpisah sekian tahun karena kami sibuk dengan kehidupan kami masing-masing.Baru beberapa hari yang lalu kami kembali bertemu dan saat itu, saya melihat ada gelagat aneh dari Ratih pada saya. Jika saja saya tau rumah tangga kalian sedang tidak baik-baik saja, maka saya tidak akan pernah mau untuk berurusan dengan dia lagi.""Jangan bohong kamu! Ratih terlihat sekali kalau dia menginginkan kamu!" ucap Fajar bersungut-sungut."Menginginkan?" Rasyid menyahut. Dahinya mengerut tak paham dengan ucapan Fajar."Iya, dia terlihat memaksa kamu untuk menerima dia!"Rasyid teetaw
Nata tidur dalam perjalanan pulang. Ia terlelap nyenyak dalam pelukan sang ibu. Sesekali jemari ibunya mengusap pipi mulus bayi yang terlelap itu.Ada rasa lega yang mejalari hati Anita. Bayi yang dulu ia khawatirkan akan kekurangan kasih sayang bapak, nyatanya kini malah mendapatkan limpahan kasih sayang dari dua bapak sekaligus.Hubungan Anita dengan Rasyid yang membaik itu merupakan diluar prediksinya. Ia bersyukur memiliki suami yang mampu menjadi penengah antara dirinya dan mantan suaminya."Kecapekan ya dia?" tanya Hamid saat melihat sang istri berulang kali memandangi wajah mungil itu.Anita menoleh ke arah sang suami. Bibirnya tersungging sedikit."Iya. Dari siang aktif terus. Tidur cuma sebentar aja." Lagi, Anita mendaratkan pandangannya pada bayi dalam dekapannya itu."Ya sudah biarkan dia tidur. Kasihan.""Iya, Mas. Mas ngga capek? Kalau capek kita nginep di rumah aja," balas Anita. Ia melihat perjalanan masih sampai di sekitar tempat tinggalnya yang lama. Tidak butuh waktu