PoV RasyidAku memutus panggilan dari paklik. Sudahlah kepalaku pusing karena musibah ini, ditambah dengan ocehannya yang tidak karuan. Bukannya dalam hidup ini pasti ada masalah? Siapapun pasti punya masalah. Begitu juga denganku. Bukannya bantu atau kasih solusi, tapi baru dengar suara sudah marah-marah.Kuremas rambutku dengan keras, berharap semua ini hanyalah mimpi. Kehidupan rumah tangga yang semestinya sudah sangat kurindukan. Sejak masalah itu datang, hidupku sudah morat marit tak karuan.Derit pintu ruang ICU yang terdengar membuatku menoleh. Pak Hamid dan Dik Anita sudah keluar rupanya. Gegas aku berdiri untuk menghampiri sepasang pengantin baru itu."Bagaimana, Pak? Aisyah bilang apa?" ucapku saat aku sudah berada di hadapannya."Bu Aisyah meminta maaf pada Dik Nita. Beliau sangat menyesali perbuatannya. Sebaiknya Bapak tenangkan beliau, kasihan beliau terlihat sedih sekali.""Menyesal?""Iya. Beliau meminta bertemu dengan Dik Nita karena sudah menyadari kesalahannya selam
PoV RasyidBinar bahagia yang terpancar dari wajah anak laki-laki itu menjadi obat galau hatiku. Uang lima puluh ribu yang kuberikan sudah mampu menyalakan binar diwajahnya yang sendu. Kubawa gorengan yang kubeli itu menuju masjid rumah sakit yang tak jauh dari tempatku duduk. Kubagikan pada pengunjung masjid yang hendak melaksanakan salat dhuhur. Biarlah makanan itu menjadi sedekah dariku untuk mereka yang hendak melaksanakan ibadah.Dalam sujud, aku meraung memohon ampunan. Betapa diriku ini penuh sekali dengan salah dan dosa. Kuserahkan diriku pada Sang Pemilik Kehidupan ini, tak lupa juga aku serahkan istriku yang sedang kesakitan pada Allah. Aku hanya memohon petunjuk untuk melalui hari-hari yang kulalui ini agar selalu dalam lindungannya.Usai salat kulihat ada panggilan tak terjawab dari perawat. Sebelum pergi aku sengaja menitipkan Aisyah pada perawat jaga barangkali ada sesuatu bisa segera menghubungiku.Tak menghubunginya balik, aku bergegas ke ruang ICU untuk menemui istri
PoV Rasyid"Aisyah!" pekikku kencang saat melihat Aisyah jatuh tersungkur. "Mbak! Jangan main tangan!" Paklik berteriak kencang.Dengan cepat kuraih badan Aisyah yang sudah tak sadarkan diri itu dan kuletakkan di atas kursi panjang yang ditempati ibu. Kutepuk pipinya agar ia segera bangun.Sekilas kulirik ibu tampak kaget dengan apa yang dia lakukan. Ia tidak menyangka jika satu hentakan dari tangannya sudah mampu membuat tubuh Aisyah yang lemah jatuh tersungkur."Ibu tidak bermaksud membuatnya jatuh begitu," lirih ibu. Ia tampak merasa bersalah dengan sikapnya yang kurasa tidak ada kesengajaan di dalamnya. "Rasyid tahu. Sayangnya tubuhnya terlalu lemah untuk mendapatkan hentakan dari tangan kita yang sehat. Baru saja kembali dari rumah sakit, bukannya pulang tapi Aisyah ingin segera bertemu ibu untuk meminta maaf. Tapi ibu malah memberinya syarat yang menurut Rasyid terlalu berat untuk dilakukan." Aku mencoba protes pada ibu. Marah boleh saja, tapi syarat yang diberikan menurutku t
"Amiinn," jawab Aisyah mantap.Dalam perjalanan, Aisyah kembali terdiam. Jarinya sibuk menekan tombol yang ada pada tasbih digital yang melingkar di jarinya. Aku tersenyum menatapnya."Kenapa, Mas?""Ngga apa-apa. Sekarang rajin dzikir, alhamdulilah. Mas senang melihatnya.""Iya. Apalagi yang bisa kulakukan selain berzikir untuk meringankan dosa-dosaku? Semoga Allah berkenan menerima dzikirku yang terlambat ini.""Insya Allah. Pasti diterima selama kita tulus memperbaiki diri.""Semoga saja. Kita mampir di masjid ya, Mas? Sudah masuk jamnya salat ashar.""Kamu kuat?" tanyaku tak setuju. Sebab untuk jalan saja aku masih harus membantunya."Kuat, Mas. Jangan khawatir. Aku baik-baik saja."Senyum di wajah Aisyah itu membuatku tak sanggup menolak permintaannya."Baiklah. Sekalian kamu istirahat ya? Badanmu butuh bersantai."Aisyah mengangguk.Kami tiba di masjid saat adzan masih berkumandang. Segera kami bersiap untuk melaksanakan salat berjamaah. Mumpung masih banyak waktu untuk salat sun
Aku duduk termenung sambil memandangi jalanan saat mobil Mas Hamid membawa kami menuju rumah sakit tempat Aisyah dirawat.Malas sebenarnya bertemu dengan perempuan itu, tapi mau bagaimana lagi. Kondisi mental dan fisik yang masih sehat membuatku sungguh bersyukur karena telah berhasil melalui ujian ini dengan baik. Tidak demikian dengan Aisyah yang tidak sehat secara fisik, tapi juga secara batin.Bukankah jaman sekarang penyakit tidak hanya dipicu dari gaya hidup dan pola makan saja? Tetapi beban pikiran juga mempengaruhi semuanya. Sayangnya tidak banyak orang yang mampu mengelola pikirannya dengan baik."Sayang," panggil Mas Hamid lembut. Tangannya mengusap tanganku yang kuletakkan di atas pangkuanku.Panggilan itu, menciptakan debar dalam dadaku setelah sekian lama terkungkung dalam nestapa. Panggilan itu, seperti air ditengah musim kemarau yang menyegarkan. Ah sudah lama sekali rupanya aku tidak mendapatkan kasih sayang dari pasangan. Norak? Biarlah, anggaplah ini puber kedua.Aku
PoV RasyidKutatap makam yang basah dan penuh akan bunga itu dengan hati nelangsa. Wangi semerbaknya membuatku mau tak mau percaya bahwa istriku yang selama ini menahan sakit telah pergi meninggalkanku. Dia sudah bahagia di sisi Allah. Dia tidak lagi merasakan sakit dalam dirinya yang selama ini membuatnya tersiksa.Aku menunduk, merasai kehilangan yang baru kurasakan begitu dalam setelah melihat tubuhnya tertindih tanah. Bagaimana pun awalnya hubungan kami, dia tetap wanita yang diizinkan Allah untuk hidup bersamaku walaupun hanya sebentar saja.Aisyah, wanita yang sebenarnya baik tapi karena kecerobohanku membuat dirinya dianggap buruk oleh orang-orang disekitar termasuk ibu dan Anita. Pernikahan kami terjadi karena aku yang menolak meminta izin Anita, mengabaikan perintah Aisyah untuk membicarakan ini baik-baik sebelum memulai mahligai yang baru, hingga akhirnya label pelakor melekat dalam diri Aisyah.Betapa berdosanya aku pada Aisyah dan Anita. Dua wanita baik yang Allah hadirka
PoV RasyidDua hari telah berlalu, tenggang waktu yang diberikan oleh rentenir itu telah habis, tapi aku tidak kunjung dapatkan uangnya. Kepalaku rasanya mau pecah memikirkan hal ini. Kemana aku harus cari uang?Terdengar suara ketukan pintu di rumah. Baru saja aku ingin bersiap tapi sudah ada yang datang ke rumah.Urung mengganti pakaian, aku segera keluar kamar. Aku terkejut saat mendapati seseorang dibalik pintu yang baru saja kubuka. Rentenir itu datang dengan pongahnya. Senyum licik yang terkembang di bibirnya membuatku mati kutu."Pagi Mas Rasyid," sapanya dengan raut yang membuatku ingin meninjunya. Masih pagi tapi sudah ada di rumah orang."Pagi, Pak. Saya belum dapatkan uangnya." Aku menjawab dengan setengah gugup."Bukan urusan saya. Tugas saya hanya menagih bunga dari pinjaman yang sudah saya berikan.""Beri saya waktu satu hari lagi, Pak. Saya janji akan membayarnya besok. Saya mohon, Pak. Saya habis kesusahan, kondisi ekonomi saya belum pulih, saya masih tertatih untuk b
"Alhamdulillah, Pak Rasyid datang juga," ujar Mas Hamid sambil mengulurkan tangan pada Mas Rasyid. Senyum yang lebar di wajahnya menunjukkan bahwa tidak ada perasaan marah atau kesal pada mantan suamiku yang datang bersama ibunya itu."Alhamdulillah, Pak. Saya rindu anak-anak," balas Mas Rasyid. Ia mengitari pandangan ke seluruh ruangan, tidak tampak dalam matanya anak-anak yang ia cari.Benar saja. Anak-anak sedang berada di dalam ruangan keluarga. Ada banyak keponakan yang sedang berkumpul dan saling berkenalan dengan Naila. "Oh iya, anak-anak ada di ruangan sana. Silahkan." Mas Hamid menunjuk sebuah ruangan dekat dengan pelaminan, tempat Nata dan Naila berada. "Saya ke anak-anak sebentar ya, Bu?" pamit Mas Rasyid pada ibu.Setelah ibu mengangguk, Mas Rasyid pergi meninggalkan kami berdua bersama Mas Hamid."Selamat ya, Nak," ujar ibu setelah Mas Rasyid berpamitan menuju ruangan yang ditunjuk Mas Hamid. Aku memeluk ibu, yang sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Kegagalan rumah ta
"Mbak Anita balik sini lagi?" sapa Laili, tetangga sebelah rumah, saat Anita baru saja turun dari mobil yang ditumpanginya."Iya, Mbak. Bagaimanapun rumah sendiri lebih nyaman." Anita tersenyum setelah menjawab pertanyaan tetangganya. Di dalam gendongannya, Nata masih terlelap."Ah iya, Mbak bener. Apalagi diantara kalian belum ada anak."Anita hanya tersenyum untuk menjawab ucapan tetangganya itu. Ia pun lantas masuk ke dalam rumahnya setelah Pak Mahmud membantunya menurunkan koper, meninggalkan perbincangan yang tak berarti dengan tetangganya itu."Makasih ya, Pak," ucap Anita setelah menyelipkan amplop ke dalam genggaman tangan laki-laki yang telah menjemputnya."Sama-sama, Mbak."Selepas kepergian Pak Mahmud, Anita duduk bersandar di sofa ruang tengah. Matanya memejam, memikirkan langkah hidup selanjutnya. Kepergian Hamid yang tiba-tiba membuatnya harus berpikir keras, sama ketika ia baru saja menyandang status janda dulu.Kepala Anita kembali mengingat obrolannya dengan Nisa sebe
Sindy bersama Anita berangkat menuju rumah sakit tempat Hamid dirawat. Rasa cemas tak henti-hentinya singgah dalam diri Anita membayangkan bagaimana keadaan sang suami.Ditambah dengan pertengkaran pagi tadi yang membuatnya benar-benar merasa bersalah karena telah membuat sang suami pergi bekerja dengan hati yang tidak nyaman."Semoga kondisi Mas Hamid tidak mengkhawatirkan," lirih Anita tak tenang."Semoga ya, Mbak. Baru kali ini Mas Hamid kayak gini, biasanya ngga pernah. Pasti ada sesuatu yang terjadi sampai dia nyetir mobil ngga konsentrasi begini.""Mbak juga ngga tau. Mas Hamid ngga pernah cerita masalah apapun yang terjadi sama usahanya. Biasanya kalau ada apa-apa, pasti dia duduk lama di ruang kerja. Kalau sudah begitu, Mbak ngga akan berani ganggu.""Mas Hamid memang begitu. Ngga pernah terbuka soal kerjaan sama istrinya. Baginya, masalah dia soal kerjaan adalah masalah dia sendiri.""Padahal Mbak malah senang kalau diajak diskusi.""Itulah, Mbak."Perjalanan pun tiba di ruma
"Mbak belum pernah ke mall ini," ucap Anita setibanya mereka di lobby utama. Ia mengamati sekitar dengan dua bola matanya sambil membawa Nata dalam gendongan."Masak belum pernah, Mbak? Secara bapak duitnya banyak.""Bukan perkara duit, Sa. Tapi memang ngga ada waktunya kesini. Kalau sendirian juga Mbak ngga mungkin bisa pergi. Mana berani.""Mbak ngga ngajak aku sih," seloroh Nisa. Ia tertawa setelahnya."Ya mana kepikiran, Sa. Kamu di sana, Mbak disini.""Iya juga sih. Ya sudah, yuk jalan lagi." Nisa menggandeng tangan Anita menuju ke area mall. Mata Anita mengitari sekitar, betapa selama beberapa bulan ini ia hanya menghabiskan waktu di rumah saja tanpa sedikitpun berpikir untuk berjalan-jalan menikmati udara luar. Ia hanya pergi ketika akan mengunjungi Naila atau ke tempat bulik. Selebihnya, Anita hanya di rumah menunggu sang suami pulang kerja."Kemana, Sa?" tanyq Anita saat Nisa menggandengnya menuju eskalator."Cari makanan, Mbak.""Tadi di rumah ditawari makan ngga mau.""Bed
"Halo," panggil suara di ujung panggilan. Suara bariton dari lelaki yang saat ini membuat hati Anita kebat-kebit."Sayang?"Anita terdiam. Ia masih belum ingin menjawab panggilan dari sang suami."Sayang masih di situ kan?" ucap Hamid lagi. Ia melihat ponselnya yang masih menampakkan layar panggilan."Sayang aku minta maaf," kata Hamid lagi. Ia tahu pasti sang istri merasa aneh dengan sikapnya tadi pagi. Ditambah dengan penolakannya atas permintaan Anita."Emm ... I-iya, Mas." Anita menjawab dengan ragu-ragu."Aku minta maaf ya, tadi aku buru-buru berangkat soalnya ada masalah yang harus Mas selesaikan." Hamid menurunkan nada suaranya. Ia paham dengan perasaan seseorang yang kini mulai memenuhi relung hatinya."Aku yang harusnya minta maaf. Aku terlalu banyak permintaan pada Mas.""Enggak, ngga apa-apa. Oh Iya, Mas cuma mau kasih tau kalau Mas nyuruh Sindy cari pembantu buat kamu.""Pembantu? Mas aku bisa kerjain semuanya sendiri.""Ngga apa-apa. Biar dia bantu kamu beres-beres sekal
Anita terduduk melamun di ruang tengah. Ia masih belum bisa menerima penolakan Hamid terhadap permintaannya. Ada rasa kesal dan amarah yang mulai bergelut dalam dadanya. Akan tetapi, Anita sadar bahwa segalanya sudah terpenuhi di rumah ini. Ia tidak kekurangan apapun yang bisa dijadikan alasan untuk menjadi wanita mandiri.Dering telepon berbunyi dari ponsel yang ada di sampingnya. Anita pun segera meraih ponsel itu untuk menerima panggilan dari seseorang."Assalamualaikum," sapa suara di ujung sana."Waalaikum salam. Ciee manten baru," goda Anita setelah mendengar suara Nisa yang terdengar ceria. Suara Nisa itu menjadi hiburan tersendiri di saat hatinya sedang kesal."Hihihi, Mbak nih! Bikin malu aja," balas Nisa cengengesan. Wajahnya merona karena mengingat bagaimana rasanya menjadi pengantin baru."Nyesel kan, kenapa ngga dari dulu aja nikahnya.""Hahaha enggak juga. Ada sih dikit tapi lebih ke riweh nya, Mbak. Tapi alhamdulilah semua berjalan dengan lancar.""Alhamdulillah. Mbak
Hamid membawa Anita duduk di teras samping rumahnya. Jam dinding yang berputar masih menunjukkan angka lima lebih tiga puluh menit, masih ada banyak waktu untuk bisa berbicara dengan istrinya soal semalam.Laki-laki yang memakai kaos polos dengan celana pendek itu menatap sang istri yang menunduk. Ia menunggu perempuan yang rambutnya dikucir kuda itu menjawab pertanyaannya yang baru saja dilempar."Ada apa denganmu?" tanya Hamid sekali lagi. Ia masih terus menikmati wajah Anita yang membisu."Mas bukan dukun, bukan pula orang pintar yang tahu isi hatimu tanpa harus bertanya lebih dulu. Kalau ada apapun, baiknya bicarakan pada Mas, untuk kita bahas bersama. Jangan tiba-tiba diam seperti ini." Hamid berusaha menjelaskan apa yang ia mau. Memulai hubungan tanpa perkenalan yang dekat memang harus ada salah satu pihak yang menjadi mengalah untuk memulai. Jika pihak perempuan tidak demikian, maka pihak laki-laki yang harus mengalah untuk memulai membangun komitmen kedepannya.Anita diam saj
Hamid memperhatikan istrinya disela-sela konsentrasinya mengemudi. Ia merasa aneh sebab sejak kembali dari kafe istrinya lebih banyak diam.Suara musik instrumental menemani mereka dalam perjalanan, dan menjadi satu-satunya suara dalam kabin mobil tersebut. Konsentrasi Hamid terpecah, akan tetapi suara musik itu membuatnya tetap bisa mengemudi dengan baik sekalipun hatinya sedang tak biasa.Hari sudah larut. Tidak ada waktu untuk Hamid bisa bertanya perihal perubahan sikap istrinya dengan tenang. Ia harus fokus dengan jalanan yang lumayan lengang agar lekas sampai di rumah.Sekilas Hamid melirik sang istri lagi. Wajah wanitanya itu terus saja melihat ke arah jendela. Sejak mulai perjalanan sampai hampir sampai Surabaya wajah itu tak beranjak dari depan kaca dengan tatapan nanar ke sepanjang bangunan di pinggir jalan.Dalam hatinya, Hamid kepayahan menahan diri. Tapi ia tak punya banyak pilihan sebab khawatir akan terjadi pertengkaran jika grusah grusuh membahas masalah sensitif seperti
Di sebuah klinik, Rasyid sedang menunggu dokter memeriksa kondisi Ratih. Ia menjambak rambutnya untuk melampiaskan rasa kesal yang terus saja hinggap di hidupnya."Gimana bisa kamu tabrak istri saya!" omel Fajar. Ia berjalan mondar-mandir di depan Rasyid."Saya ngga nabrak. Dia sendiri yang lari pas saya berusaha pergi. Perlu kamu tahu, antara saya dan Ratih tidak ada apa-apa. Kami dulu memang berteman baik, setelah itu terpisah sekian tahun karena kami sibuk dengan kehidupan kami masing-masing.Baru beberapa hari yang lalu kami kembali bertemu dan saat itu, saya melihat ada gelagat aneh dari Ratih pada saya. Jika saja saya tau rumah tangga kalian sedang tidak baik-baik saja, maka saya tidak akan pernah mau untuk berurusan dengan dia lagi.""Jangan bohong kamu! Ratih terlihat sekali kalau dia menginginkan kamu!" ucap Fajar bersungut-sungut."Menginginkan?" Rasyid menyahut. Dahinya mengerut tak paham dengan ucapan Fajar."Iya, dia terlihat memaksa kamu untuk menerima dia!"Rasyid teetaw
Nata tidur dalam perjalanan pulang. Ia terlelap nyenyak dalam pelukan sang ibu. Sesekali jemari ibunya mengusap pipi mulus bayi yang terlelap itu.Ada rasa lega yang mejalari hati Anita. Bayi yang dulu ia khawatirkan akan kekurangan kasih sayang bapak, nyatanya kini malah mendapatkan limpahan kasih sayang dari dua bapak sekaligus.Hubungan Anita dengan Rasyid yang membaik itu merupakan diluar prediksinya. Ia bersyukur memiliki suami yang mampu menjadi penengah antara dirinya dan mantan suaminya."Kecapekan ya dia?" tanya Hamid saat melihat sang istri berulang kali memandangi wajah mungil itu.Anita menoleh ke arah sang suami. Bibirnya tersungging sedikit."Iya. Dari siang aktif terus. Tidur cuma sebentar aja." Lagi, Anita mendaratkan pandangannya pada bayi dalam dekapannya itu."Ya sudah biarkan dia tidur. Kasihan.""Iya, Mas. Mas ngga capek? Kalau capek kita nginep di rumah aja," balas Anita. Ia melihat perjalanan masih sampai di sekitar tempat tinggalnya yang lama. Tidak butuh waktu