"Alhamdulillah, Pak Rasyid datang juga," ujar Mas Hamid sambil mengulurkan tangan pada Mas Rasyid. Senyum yang lebar di wajahnya menunjukkan bahwa tidak ada perasaan marah atau kesal pada mantan suamiku yang datang bersama ibunya itu."Alhamdulillah, Pak. Saya rindu anak-anak," balas Mas Rasyid. Ia mengitari pandangan ke seluruh ruangan, tidak tampak dalam matanya anak-anak yang ia cari.Benar saja. Anak-anak sedang berada di dalam ruangan keluarga. Ada banyak keponakan yang sedang berkumpul dan saling berkenalan dengan Naila. "Oh iya, anak-anak ada di ruangan sana. Silahkan." Mas Hamid menunjuk sebuah ruangan dekat dengan pelaminan, tempat Nata dan Naila berada. "Saya ke anak-anak sebentar ya, Bu?" pamit Mas Rasyid pada ibu.Setelah ibu mengangguk, Mas Rasyid pergi meninggalkan kami berdua bersama Mas Hamid."Selamat ya, Nak," ujar ibu setelah Mas Rasyid berpamitan menuju ruangan yang ditunjuk Mas Hamid. Aku memeluk ibu, yang sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Kegagalan rumah ta
PoV Rasyid Aku melihat sebuah pemandangan yang membuat hatiku kebat-kebit. Senyum malu-malu yang keluar dari bibir Anita untuk suaminya membuatku kembali memutar kenangan masa lalu.Senyum yang sama saat kami baru saja melangsungkan resepsi pernikahan di kediamanku. Anita yang malu-malu membuatku gemas dan tak sabar untuk menyentuh sekujur tubuhnya yang menggoda.Ah sayangnya itu hanya masa lalu. Dia hanya menjadi mantan sekarang. Bukan lagi menjadi bidadari yang kuharapkan akan menemaniku hingga ujung napas. Dan semua ini terjadi karena ulahku. Ya, aku yang salah. Seharusnya aku mampu mendidik dan membahagiakannya, bukan malah menyakiti hatinya dengan sedemikian rupa."Sudah pamitan, Syid?" suara ibu membuatku berjingkat. Aku yang sejak tadi berdiri di depan pintu karena tak mau mengganggu sepasang suami istri yang sedang berbahagia itu terpaksa membuka suara."Belum, Bu." Aku menatap ibu dengan pandangan yang serba salah. Sekilas aku melirik mereka yang sedang berada di dalam ruang
PoV RasyidKuusap wajahku yang basah oleh air mata, aku tidak bisa terus meratapi penyesalan. Banyak hal yang harus diselesaikan setelah ini.Kupacu mobilku menuju rumah Pak Marto. Aku harus segera membayar bunga dari pinjaman yang kuminta. Sebaiknya kuberikan saja uang yang kupegang untuk melunasi sebagian hutang agar aku tidak terbebani dengan besarnya bunga pinjaman."Ini saya suka," ujar Pak Marto dengan senyum yang terkembang di bibirnya. Ia memegang gepokan uang yang baru saja kuletakkan di atas meja tempatnya biasa melayani pelanggan yang datang."Jangan lagi datang ke rumah untuk menagih bunga, apalagi menagih sisa uangnya. Karena saya akan datang untuk membayarnya jika sudah mendapatkan lagi uang itu." Aku berucap dengan tegas dan jelas."Baiklah, ini cukup untuk tenggang waktu enam bulan ke depan. Setelah itu jangan lagi terlambat." Seringai senyum licik mengakhirinya ucapan laki-laki yang sedang memegang uang itu. Berulang kali ia menciumi lembaran kertas yang baru saja kul
Mataku mengerjap, mencari kesadaran yang semula pergi entah kemana. Aroma obat yang menguar membuat hidungku terusik, ditambah dengan suara berisik yang membuatku terganggu. Kurasakan nyeri di punggung tanganku ketika mencoba bergerak. Aku makin membuka mata, rupanya terdapat jarum infus yang sudah duduk manis di atas tanganku itu."Bapak sudah sadar?" tanya seorang perawat yang langsung datang ketika mataku bergerak."Saya kenapa ini? Aduh ... kaki saya," keluhku saat aku hendak mengubah posisi kakiku. Ada rasa nyeri yang merambat ke sekujur tubuh ketika aku mencoba untuk bergerak."Bapak mengalami kecelakaan. Kakinya retak, jadi kami pasang gypsum." Mendengar penjelasan perawat, aku memejam sejenak. Mengulang kembali kejadian sebelum aku kehilangan kesadaran.Naila, ya, bayangan wajah Naila yang akan kubelikan oleh-oleh membuatku tak fokus akan kondisi jalan raya yang lumayan padat. Kebahagiaan yang kurasakan membuatku tak sabar untuk bisa segera kembali ke rumah. Akan tetapi bukan
Beberapa bulan berlalu. Kondisi kakiku sudah membaik. Aku sudah kembali beraktivitas seperti sedia kala. Sejak kecelakaan yang menimpaku itu, Pak Hamid mempercepat proses pindah tugasku. Sekarang aku sudah mengajar di SMA di kota yang sama dengan ibu."Mau kemana, Syid?" tanya ibu ketika melihatku berpenampilan rapi usai mengajar."Rasyid harus menyelesaikan masalah yang belum selesai, Bu."Ibu mengerutkan dahi. Ia meletakkan gelas yang hendak diisi air untuknya minum. "Masalah apa lagi?""Aditya, Bu. Pas sakit kemarin, Rasyid mencoba menghubunginya lewat telepon tapi ngga pernah direspon. Sekarang Rasyid harus menemuinya sendiri.""Tidak mudah mendekati anak seperti dia." Ibu terlihat keberatan."Tidak mudah bukan berarti tidak bisa kan, Bu? Rasyid yang memulai masalah ini dengan menikahi ibunya, Rasyid juga yang harus menyelesaikannya."Ibu terdiam. Ia tidak lagi menjawab ucapanku. Wajahnya menunduk dengan tangan saling bertaut satu sama lain. Ekspresi itu sarat dengan kecemasan."
"Mas," panggilku ragu. Aku duduk di samping Mas Hamid yang sedang asyik baca berita di media online. "Iya," jawabnya setelah meletakkan ponsel yang ia pegang. "Kenapa, Sayang?" Matanya terarah padaku. Bibirnya merekah sambil ujung jarinya mengusap wajahku."Minggu depan Nata ulang tahun, apa boleh kalau aku mengadakan acara di rumah?""Disini?" sela Mas Hamid cepat."Enggak. Di rumahku sendiri. Biar dekat dengan neneknya, aku juga bisa undang bulik dan Rosi ke rumah. Boleh ya?" rayuku.Mas Hamid terdiam sejenak. Sejak menjadi istrinya, aku diberi kebebasan untuk membeli apapun menggunakan kartu pemberiannya tapi untuk mengadakan acara ini, aku harus meminta izinnya lebih dulu."Hari libur kan itu? Kalau pas weekend, boleh saja. Kita nginap di sana." Ia menjawab setelah beberapa saat."Makasih ya?" jawabku sambil mengumbar senyum."Sama-sama. Buat acara yang meriah, agar momen itu menjadi kenang-kenangan untuk semuanya.""Meriah?" tanyaku mengulang ucapannya yang membuatku ragu."Iya.
Seminggu kemudian, acara ulang tahun Nata benar-benar digelar. Mas Hamid bersedia menjemput Naila beserta bulik dan Rosi. Kami berkumpul di rumah dan memasak bersama."Lihat suamimu, bulik ikutan senang melihat dia sayang banget sama anakmu. Kayak bukan bapak sambung," ucap bulik ketika kami sedang sibuk menyiapkan makan siang di dapur sedangkan Mas Hamid menjaga Nata di halaman belakang.Mas Hamid mengajak Nata bermain bola. Tawa riang keduanya terdengar rentah dan seru. Apalagi Nata, ia yang sudah bisa berjalan sejak satu bulan yang lalu merasa sangat senang bisa bermain bola di luar ruangan yang mana di kediaman Mas Hamid, ia hanya bermain di dalam ruangan.Aku tersenyum ke arah Mas Hamid dan Nata melalui celah pintu. Gelak tawa keduanya yang terdengar renyah membuatku turut menyunggingkan bibir. Anakku tampak senang sekali."Alhamdulillah bulik. Ngga cuma sama Nata, sama Naila juga sayang. Apalagi sama aku," jawabku senang bercampur malu."Alhamdulillah. Semua itu ada masanya. Mas
Malam yang sunyi setelah pergelaran acara ulang tahun Nata tidak membuat Anita dan Hamid tidur dengan cepat. Keduanya masih berbincang santai di atas ranjang sambil mengamati wajah Nata yang damai dalam buaian mimpi di atas ranjangnya yang berada dalam satu ruangan dengan mereka."Alhamdulillah semua berjalan lancar ya, Mas?" Anita berbisik, khawatir ada pergerakan dari badan Nata karena rasa tidak nyaman."Alhamdulillah. Mas juga bahagia. Apa yang Mas inginkan sudah terwujud. Mas senang sekali bisa mengumpulkan keluarga besar di sini." Hamid membelai pucuk kepala Anita, lalu menciumnya dengan hangat."Kamu adalah hadiah terindah dari Allah setelah kesabaran yang sudah Mas usahakan. Sungguh, Mas tidak bisa menggambarkan sebesar apa rasa bahagia ini." Hamid memandang Anita dengan tatapan dalam dan sendu. Binar di matanya menyiratkan sebuah rasa cinta yang dalam. "Mas juga obat dari dukaku," ujar Anita sambil mengerjapkan matanya yang mulai memanas. Ia tidak mau suasana yang syahdu ini