Mataku mengerjap, mencari kesadaran yang semula pergi entah kemana. Aroma obat yang menguar membuat hidungku terusik, ditambah dengan suara berisik yang membuatku terganggu. Kurasakan nyeri di punggung tanganku ketika mencoba bergerak. Aku makin membuka mata, rupanya terdapat jarum infus yang sudah duduk manis di atas tanganku itu."Bapak sudah sadar?" tanya seorang perawat yang langsung datang ketika mataku bergerak."Saya kenapa ini? Aduh ... kaki saya," keluhku saat aku hendak mengubah posisi kakiku. Ada rasa nyeri yang merambat ke sekujur tubuh ketika aku mencoba untuk bergerak."Bapak mengalami kecelakaan. Kakinya retak, jadi kami pasang gypsum." Mendengar penjelasan perawat, aku memejam sejenak. Mengulang kembali kejadian sebelum aku kehilangan kesadaran.Naila, ya, bayangan wajah Naila yang akan kubelikan oleh-oleh membuatku tak fokus akan kondisi jalan raya yang lumayan padat. Kebahagiaan yang kurasakan membuatku tak sabar untuk bisa segera kembali ke rumah. Akan tetapi bukan
Beberapa bulan berlalu. Kondisi kakiku sudah membaik. Aku sudah kembali beraktivitas seperti sedia kala. Sejak kecelakaan yang menimpaku itu, Pak Hamid mempercepat proses pindah tugasku. Sekarang aku sudah mengajar di SMA di kota yang sama dengan ibu."Mau kemana, Syid?" tanya ibu ketika melihatku berpenampilan rapi usai mengajar."Rasyid harus menyelesaikan masalah yang belum selesai, Bu."Ibu mengerutkan dahi. Ia meletakkan gelas yang hendak diisi air untuknya minum. "Masalah apa lagi?""Aditya, Bu. Pas sakit kemarin, Rasyid mencoba menghubunginya lewat telepon tapi ngga pernah direspon. Sekarang Rasyid harus menemuinya sendiri.""Tidak mudah mendekati anak seperti dia." Ibu terlihat keberatan."Tidak mudah bukan berarti tidak bisa kan, Bu? Rasyid yang memulai masalah ini dengan menikahi ibunya, Rasyid juga yang harus menyelesaikannya."Ibu terdiam. Ia tidak lagi menjawab ucapanku. Wajahnya menunduk dengan tangan saling bertaut satu sama lain. Ekspresi itu sarat dengan kecemasan."
"Mas," panggilku ragu. Aku duduk di samping Mas Hamid yang sedang asyik baca berita di media online. "Iya," jawabnya setelah meletakkan ponsel yang ia pegang. "Kenapa, Sayang?" Matanya terarah padaku. Bibirnya merekah sambil ujung jarinya mengusap wajahku."Minggu depan Nata ulang tahun, apa boleh kalau aku mengadakan acara di rumah?""Disini?" sela Mas Hamid cepat."Enggak. Di rumahku sendiri. Biar dekat dengan neneknya, aku juga bisa undang bulik dan Rosi ke rumah. Boleh ya?" rayuku.Mas Hamid terdiam sejenak. Sejak menjadi istrinya, aku diberi kebebasan untuk membeli apapun menggunakan kartu pemberiannya tapi untuk mengadakan acara ini, aku harus meminta izinnya lebih dulu."Hari libur kan itu? Kalau pas weekend, boleh saja. Kita nginap di sana." Ia menjawab setelah beberapa saat."Makasih ya?" jawabku sambil mengumbar senyum."Sama-sama. Buat acara yang meriah, agar momen itu menjadi kenang-kenangan untuk semuanya.""Meriah?" tanyaku mengulang ucapannya yang membuatku ragu."Iya.
Seminggu kemudian, acara ulang tahun Nata benar-benar digelar. Mas Hamid bersedia menjemput Naila beserta bulik dan Rosi. Kami berkumpul di rumah dan memasak bersama."Lihat suamimu, bulik ikutan senang melihat dia sayang banget sama anakmu. Kayak bukan bapak sambung," ucap bulik ketika kami sedang sibuk menyiapkan makan siang di dapur sedangkan Mas Hamid menjaga Nata di halaman belakang.Mas Hamid mengajak Nata bermain bola. Tawa riang keduanya terdengar rentah dan seru. Apalagi Nata, ia yang sudah bisa berjalan sejak satu bulan yang lalu merasa sangat senang bisa bermain bola di luar ruangan yang mana di kediaman Mas Hamid, ia hanya bermain di dalam ruangan.Aku tersenyum ke arah Mas Hamid dan Nata melalui celah pintu. Gelak tawa keduanya yang terdengar renyah membuatku turut menyunggingkan bibir. Anakku tampak senang sekali."Alhamdulillah bulik. Ngga cuma sama Nata, sama Naila juga sayang. Apalagi sama aku," jawabku senang bercampur malu."Alhamdulillah. Semua itu ada masanya. Mas
Malam yang sunyi setelah pergelaran acara ulang tahun Nata tidak membuat Anita dan Hamid tidur dengan cepat. Keduanya masih berbincang santai di atas ranjang sambil mengamati wajah Nata yang damai dalam buaian mimpi di atas ranjangnya yang berada dalam satu ruangan dengan mereka."Alhamdulillah semua berjalan lancar ya, Mas?" Anita berbisik, khawatir ada pergerakan dari badan Nata karena rasa tidak nyaman."Alhamdulillah. Mas juga bahagia. Apa yang Mas inginkan sudah terwujud. Mas senang sekali bisa mengumpulkan keluarga besar di sini." Hamid membelai pucuk kepala Anita, lalu menciumnya dengan hangat."Kamu adalah hadiah terindah dari Allah setelah kesabaran yang sudah Mas usahakan. Sungguh, Mas tidak bisa menggambarkan sebesar apa rasa bahagia ini." Hamid memandang Anita dengan tatapan dalam dan sendu. Binar di matanya menyiratkan sebuah rasa cinta yang dalam. "Mas juga obat dari dukaku," ujar Anita sambil mengerjapkan matanya yang mulai memanas. Ia tidak mau suasana yang syahdu ini
"Saya tidak keberatan mengeluarkan uang untuk biaya anak-anak, hanya saja sebagai manusia kita harus saling mengingatkan soal kewajiban." Hamid kembali bersuara karena tidak ada jawaban dari laki-laki di depannya itu."Saya benar-benar minta maaf, Pak. Saya janji setelah ini saya akan usahakan bisa memberi nafkah untuk anak-anak.""Alhamdulillah kalau Pak Rasyid berkenan menyisihkan sedikit rejekinya untuk anak-anak. Lihatlah, bagaimana ekspresi Naila tadi ketika menerima uang pemberian Pak Rasyid. Ada binar bahagia di matanya, yang jelas uang pemberian Pak Rasyid pasti spesial buat dia."Rasyid terdiam. Ia tidak pernah terpikirkan sebelumnya."Loh ada Rasyid, mau ikut juga?" ujar bulik yang baru saja keluar dari ruang tamu. Ia membawa barang-barangnya untuk dimasukkan ke dalam mobil."Ah makasih, Bulik. Saya tadi datang untuk ketemu Naila saja." Rasyid terlihat sungkan pada bulik."Alhamdulillah, pamitan yo? Jangan lupa dikasih uang saku, biar anaknya semangat," seloroh bulik tanpa t
Anita terhenyak mendengar ucapan buliknya. Rasa khawatir yang berlebihan dari Bu Mila itu membuatnya mau tak mau akhirnya menjadi kepikiran. Sayangnya, sekarang bukan saat yang tepat untuk membahas masalah itu dengan Hamid. "Bulik jangan khawatir, keluarga Mas Hamid itu baik, insya Allah tidak akan bersikap buruk pada Anita. Kalaupun ada masalah, pasti akan diselesaikan dengan baik pula.""Semoga saja. Tapi ya tetep aja, ngga ada salahnya kan kita berjaga-jaga. Inget sendiri gimana kamu waktu memutuskan untuk berpisah dan pontang-panting cari kerjaan? Mau hal kayak gitu terulang kembali? Mumpung suasana masih baik dan tidak ada masalah apapun, bahas ini dengan suamimu. Minta dibuatkan usaha atau pinjam modal untuk kamu bikin usaha sendiri. Lagian sekarang banyak kok perempuan yang kerja di rumah sambil mengurus urusan rumah tangga. Kayak si Siti anaknya Lastri itu, dia di rumah jualan baju pakai HP, tiap hari yang datang ambil baju aja ada!"Anita kembali terdiam. Bayangan saat ia
"Bukan ngga suka, cuma Mas ngga pernah makan di tempat seperti ini." Hamid mencoba mengurai rasa cemas dalam diri istrinya."Ngga pernah?" sela Anita mengulang ucapan suaminya."Lebih tepatnya memang ngga pernah punya waktu untuk menikmati makan apalagi bersantai ditengah keadaan Ezra yang sakit seperti kemarin. Mas ngga bisa telan makanan di tempat keramaian sementara istri Mas terbaring di rumah." Wajah Hamid berubah sendu. Ada setitik luka di dalam bola matanya.Prasangka Anita salah. Ia lega mengetahui penyebab suaminya tidak pernah makan di tempat seperti ini bukan karena tidak suka, tapi memang tidak punya waktu untuk itu.Anita mengamati perubahan pada wajah suaminya itu. Ia pun merasakan atmosfer yang berbeda di dalam kabin mobil setelah Hamid menjawab pertanyaannya. "Kalau begitu, sekarang mari menikmati makanan ini. Mas pasti suka. Selain baksonya enak, legendaris pula, tempatnya nyaman dan bersih. Selain itu kita juga dimanjakan dengan pemandangan taman yang hijau." Anita