"Saya tidak keberatan mengeluarkan uang untuk biaya anak-anak, hanya saja sebagai manusia kita harus saling mengingatkan soal kewajiban." Hamid kembali bersuara karena tidak ada jawaban dari laki-laki di depannya itu."Saya benar-benar minta maaf, Pak. Saya janji setelah ini saya akan usahakan bisa memberi nafkah untuk anak-anak.""Alhamdulillah kalau Pak Rasyid berkenan menyisihkan sedikit rejekinya untuk anak-anak. Lihatlah, bagaimana ekspresi Naila tadi ketika menerima uang pemberian Pak Rasyid. Ada binar bahagia di matanya, yang jelas uang pemberian Pak Rasyid pasti spesial buat dia."Rasyid terdiam. Ia tidak pernah terpikirkan sebelumnya."Loh ada Rasyid, mau ikut juga?" ujar bulik yang baru saja keluar dari ruang tamu. Ia membawa barang-barangnya untuk dimasukkan ke dalam mobil."Ah makasih, Bulik. Saya tadi datang untuk ketemu Naila saja." Rasyid terlihat sungkan pada bulik."Alhamdulillah, pamitan yo? Jangan lupa dikasih uang saku, biar anaknya semangat," seloroh bulik tanpa t
Anita terhenyak mendengar ucapan buliknya. Rasa khawatir yang berlebihan dari Bu Mila itu membuatnya mau tak mau akhirnya menjadi kepikiran. Sayangnya, sekarang bukan saat yang tepat untuk membahas masalah itu dengan Hamid. "Bulik jangan khawatir, keluarga Mas Hamid itu baik, insya Allah tidak akan bersikap buruk pada Anita. Kalaupun ada masalah, pasti akan diselesaikan dengan baik pula.""Semoga saja. Tapi ya tetep aja, ngga ada salahnya kan kita berjaga-jaga. Inget sendiri gimana kamu waktu memutuskan untuk berpisah dan pontang-panting cari kerjaan? Mau hal kayak gitu terulang kembali? Mumpung suasana masih baik dan tidak ada masalah apapun, bahas ini dengan suamimu. Minta dibuatkan usaha atau pinjam modal untuk kamu bikin usaha sendiri. Lagian sekarang banyak kok perempuan yang kerja di rumah sambil mengurus urusan rumah tangga. Kayak si Siti anaknya Lastri itu, dia di rumah jualan baju pakai HP, tiap hari yang datang ambil baju aja ada!"Anita kembali terdiam. Bayangan saat ia
"Bukan ngga suka, cuma Mas ngga pernah makan di tempat seperti ini." Hamid mencoba mengurai rasa cemas dalam diri istrinya."Ngga pernah?" sela Anita mengulang ucapan suaminya."Lebih tepatnya memang ngga pernah punya waktu untuk menikmati makan apalagi bersantai ditengah keadaan Ezra yang sakit seperti kemarin. Mas ngga bisa telan makanan di tempat keramaian sementara istri Mas terbaring di rumah." Wajah Hamid berubah sendu. Ada setitik luka di dalam bola matanya.Prasangka Anita salah. Ia lega mengetahui penyebab suaminya tidak pernah makan di tempat seperti ini bukan karena tidak suka, tapi memang tidak punya waktu untuk itu.Anita mengamati perubahan pada wajah suaminya itu. Ia pun merasakan atmosfer yang berbeda di dalam kabin mobil setelah Hamid menjawab pertanyaannya. "Kalau begitu, sekarang mari menikmati makanan ini. Mas pasti suka. Selain baksonya enak, legendaris pula, tempatnya nyaman dan bersih. Selain itu kita juga dimanjakan dengan pemandangan taman yang hijau." Anita
"Dari mana, Syid?" tanya Bu Risma, ibunya. Ia melihat ada yang berbeda dengan wajah anaknya kali ini. "Kusut gitu mukanya." Tidak menjawab ibunya, Rasyid malah berjalan ke depan dispenser air. Ia mengambil gelas dari atas rak lalu mengisinya dengan air putih. Laki-laki yang baru datang itu segera meneguk seluruh isi gelas tersebut hingga tandas.Bu Risma tidak lagi bertanya. Ia mengamati tingkah putranya yang tidak biasa. Tatapannya tak berpindah dari sang putra, tapi bibirnya enggan bertanya. Wanita paruh baya itu menunggu anak laki-lakinya menceritakan sendiri apa yang sedang dirasakannya."Pak Hamid baru saja negur Rasyid, Bu." Rasyid mulai bercerita setelah dirasa hatinya tenang."Kamu habis melakukan kesalahan?""Iya, kesalahan yang sangat besar.""Dipecat?"Rasyid menoleh dengan cepat ke arah wajah ibunya, lalu buru-buru meralat ucapannya. "Bukan soal kerjaan.""Lalu?""Soal nafkah untuk anak-anak.""Kenapa sama nafkah anak-anak?""Dia minta Rasyid untuk kasih nafkah rutin tia
"Ini Ratih kan?" tanya Rasyid masih tak percaya dengan apa yang ada di depannya."Iya, ini Ratih. Kamu Rasyid, kan?" balas perempuan itu dengan raut kaget."Iya, aku Rasyid. Masya Allah kita ketemu lagi setelah sekian tahun," ungkap Rasyid salah tingkah.Tak hanya Rasyid, Ratih pun demikian. Sekian tahun berlalu tak disangka hari ini mereka ketemu karena sebuah ketidaksengajaan."Mari masuk," ucap Ratih sambil membuka daun pintu rumah kos-nya lebar-lebar. Ada sebuah ruang tamu di sebelah deretan kamar saling berhadapan yang semua pintunya tertutup rapat. Di ujung kamar itu terdapat ruangan kecil yang bersebelahan dengan dua ruang kamar mandi. Tempat itu cukup bersih dan nyaman.Aditya menyapu sekitar dengan kedua ekor matanya. Sebuah rumah yang jauh berbeda dengan rumah yang selama ini ia tempati. Akan tetapi, ia sudah mantap untuk berubah dan memulai hidup baru.Rasyid duduk bersebelahan dengan Aditya di ujung sofa sedangkan Ratih duduk di ujung sofa yang lainnya."Emm ... kamu apa
Rasyid dan Aditya menoleh secara bersamaan ke arah Ratih. Keduanya menatap wajah pemilik kosan itu dengan tatapan penuh tanda tanya."Emm anu, kan, itu, apaa ... Kan lebih enak kalau Mas Rasyid yang anterin soalnya sudah kenal," ujar Ratih terbata. Ia keceplosan. Hatinya yang kebat-kebit membuat lidahnya susah dikendalikan."Tapi maaf, saya ngga bisa. Nanti sore ada keperluan sampai malam."Jawaban Rasyid itu seketika meredupkan binar di mata Ratih."Enggak, Om. Biar Adit datang sendiri aja."Rasyid mengangguk cepat. Keduanya lantas pamit dari hadapan pemilik kos tersebut."Ya sudah, kita pamit ya?" ujar Rasyid mengakhiri pertemuan mereka. Ia berdiri lebih dulu untuk bersalaman dengan Ratih."Mas," panggil Ratih lirih saat ia sudah mulai melangkah keluar dari ruang tamu rumah kosnya."Iya?" Rasyid pun menghentikan langkahnya. Ia membiarkan Aditya berjalan lebih dulu dan menunggu di dekat motornya terparkir."Aku boleh minta nomor Mas?" ucap Ratih malu-malu. Ia tidak memiliki kesempata
Sebuah undangan sudah berada dalam genggaman Anita. Ia membacanya dengan rasa haru yang meletup di dalam dada. Teman rasa saudara selama bekerja di konveksi milik suaminya ketika menjanda kini sedang berbahagia. "Assalamualaikum, Nisaaa," ucap Anita senang setelah panggilannya terhubung. Ia tak sanggup menahan rasa bahagianya sendiri. Rasa itu harus diungkapkan pada sang pemilik."Waalaikum salam, Bu Boss. Apa kabar? Sudah bahagia sekarang." Nisa menjawab dengan semangat. Ia juga senang karena rekannya kini sudah tidak lagi menyandang status janda."Alhamdulillah baik dan bahagia. Kamu juga sedang berbahagia, kenapa baru kasih kabar sekarang? Katanya dulu mau ajak aku belanja buat seserahan, tapi aku ngga dikabari sampai sekarang. Tau-tau udah ada undangannya aja." Anita berujar sambil mengawasi Nata yang sedang bermain dengan deretan mobil-mobilan di atas playmat."Iya, rencana kemarin emang gitu. Tapi ibu bos kan sudah sibuk sama pak bos, jadi ya mana berani ganggu.""Ish biasa aja
Suasana rumah mendadak hening. Tak ada tanya Anita atau celoteh Nata dalam rumah itu. Anita menghindari suaminya sejak kejadian di meja makan sore tadi. Ia membawa Nata ke dalam kamarnya hingga Nata terlelap."Nata sudah tidur?" tanya Hamid setelah ia masuk ke dalam kamarnya. Pekerjaannya telah selesai, ia kembali mendekati istrinya untuk melepas rindu setelah kesibukannya seharian tadi."Sudah." Anita menjawab sekenanya tanpa menoleh. Ponsel yang menyala di depannya itu tak juga disingkirkan meskipun ada sang suami di depannya. Ia terkesan menghindar."Ngga pengen duduk dekat Mas sini?" tanya Hamid yang sudah duduk di atas ranjang sambil mengamati tubuh bagian belakang istrinya.Anita tidak menjawab. Ia masih enggan meletakkan benda pintar itu untuk melayani sang suami."Masih marah?" Hamid kembali mencecar Anita dengan pertanyaan. Ia pun berdiri dari duduknya lalu menghampiri Anita. Meja rias itu menjadi tujuan Hamid untuk meletakkan bobot tubuhnya. Ia bersandar di meja rias itu sa