Sebuah undangan sudah berada dalam genggaman Anita. Ia membacanya dengan rasa haru yang meletup di dalam dada. Teman rasa saudara selama bekerja di konveksi milik suaminya ketika menjanda kini sedang berbahagia. "Assalamualaikum, Nisaaa," ucap Anita senang setelah panggilannya terhubung. Ia tak sanggup menahan rasa bahagianya sendiri. Rasa itu harus diungkapkan pada sang pemilik."Waalaikum salam, Bu Boss. Apa kabar? Sudah bahagia sekarang." Nisa menjawab dengan semangat. Ia juga senang karena rekannya kini sudah tidak lagi menyandang status janda."Alhamdulillah baik dan bahagia. Kamu juga sedang berbahagia, kenapa baru kasih kabar sekarang? Katanya dulu mau ajak aku belanja buat seserahan, tapi aku ngga dikabari sampai sekarang. Tau-tau udah ada undangannya aja." Anita berujar sambil mengawasi Nata yang sedang bermain dengan deretan mobil-mobilan di atas playmat."Iya, rencana kemarin emang gitu. Tapi ibu bos kan sudah sibuk sama pak bos, jadi ya mana berani ganggu.""Ish biasa aja
Suasana rumah mendadak hening. Tak ada tanya Anita atau celoteh Nata dalam rumah itu. Anita menghindari suaminya sejak kejadian di meja makan sore tadi. Ia membawa Nata ke dalam kamarnya hingga Nata terlelap."Nata sudah tidur?" tanya Hamid setelah ia masuk ke dalam kamarnya. Pekerjaannya telah selesai, ia kembali mendekati istrinya untuk melepas rindu setelah kesibukannya seharian tadi."Sudah." Anita menjawab sekenanya tanpa menoleh. Ponsel yang menyala di depannya itu tak juga disingkirkan meskipun ada sang suami di depannya. Ia terkesan menghindar."Ngga pengen duduk dekat Mas sini?" tanya Hamid yang sudah duduk di atas ranjang sambil mengamati tubuh bagian belakang istrinya.Anita tidak menjawab. Ia masih enggan meletakkan benda pintar itu untuk melayani sang suami."Masih marah?" Hamid kembali mencecar Anita dengan pertanyaan. Ia pun berdiri dari duduknya lalu menghampiri Anita. Meja rias itu menjadi tujuan Hamid untuk meletakkan bobot tubuhnya. Ia bersandar di meja rias itu sa
Anita mondar-mandir di ruang tengah rumahnya, mengabaikan Nata yang sedang asik bermain di lantai bersama beberapa macam mobil kesayangannya. Di genggamannya terdapat ponsel yang sedang ia tunggu getarannya."Mas Hamid lama ngga kasih kabar," gumam Anita sedikit kesal. Ia hanya bisa menunggu tanpa berani bertanya, apalagi meminta untuk cepat-cepat pulang.Anita duduk di sofa panjang yang ada di dekat Nata. Ia memandang layar ponsel sambil sesekali memperhatikan Nata.Sebuah notifikasi pesan masuk ke dalam ponsel Anita. Ia segera membukanya.[Kamu siap-siap ya, habis ini saya pulang. Kita ke tempat Nisa]Wajah cemas Anita seketika sirna. Seulas senyuman terbit menjadi pengganti bibir yang sejak tadi tak henti berdesis. Ia segera mengajak Nata bersiap agar ketika sang suami tiba bisa segera berangkat.Sebuah gamis berwarna maroon dengan aksen mutiara di sekitar dada dan lengan menjadi pakaian yang dikenakan Anita sore ini. Gamis itu dipadukan dengan kerudung warna soft pink menjadikan w
"Ratih," lirih Rasyid hampir tak terdengar suaranya. Ia tercengang dengan tangan yang masih memegang Nata di atas pangkuannya. Bayi berumur setahun itu sibuk mengunyah kue gabus keju sambil sesekali tertawa karena godaan rekan ayahnya yang ada di sekeliling.Ratih berjalan mendekati Rasyid yang sedang duduk di barisan kursi tamu. Langkah kaki perempuan bergamis navy itu terhenti tepat di belakang kursi yang ditempati ayahnya Nata."Mas Rasyid kenal sama Nisa? Atau temennya Riswan?" Ratih kembali bersuara. Ia penasaran dengan apa yang dilihatnya."Mbak Ratih kenal sama Pak Rasyid juga? Beliau ini satu kerjaan sama aku." Nisa yang ada di dekat Rasyid bersama teman-temannya yang lain turut menimpali."Oh temen kerja?""Silahkan duduk, Mbak," ujar Aditya yang tengah duduk di samping Rasyid. Ia memberikan tempat untuk Ratih bisa bergabung bersama dengan teman-teman Nisa, Rasyid khususnya."Iya. Mbak Ratih kok kenal sama Pak Rasyid?" Dahi Nisa berkerut. Pikiran negatif mulai bermunculan dal
"Single atau tidak itu bukan ukuran untuk seseorang menerima ajakan orang lain.""Aku bukan orang lain, Mas. Aku Ratih, wanita yang kamu harapkan dulu!" ucap Ratih sedikit memaksa. Ia meraih pergelangan tangan Rasyid untuk dipegang agar laki-laki di depannya itu tak lagi mengalihkan pandangannya.Namun Rasyid menepis tangan Ratih itu."Mantan, Tih! Mantan! Itu pun dulu, sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi diantara kita jadi kamu jangan memaksaku menuruti permintaanmu. Kamu sudah bersuami kan?" Ada sedikit penekan dalam ucapan Rasyid, berharap Ratih sadar dan membiarkannya pergi."Pernikahanku sudah tidak sehat, Mas. Kalau Mas mau, kita bisa bicarakan ini untuk mewujudkan apa yang Mas inginkan dulu." Ratih menunduk, merasai keinginan hati yang seharusnya tidak diungkapkan saat ini."Oh, jadi ini laki-laki yang membuatmu ingin berpisah?" ucap seseorang yang baru saja datang. Mata seseorang itu menatap Ratih dan Rasyid bergantian dengan letupan emosi yang mulai menyala.Ratih mendongak,
Rasyid terdiam melihat Ratih begitu terisak. Air matanya tak kunjung berhenti sejak kepergian beberapa orang terdekatnya. Ia bahkan tak memperdulikan Rasyid yang sejak tadi masih belum beranjak dari tempatnya dan sibuk membingkai kuka luka dengan air matanya.Tangan Rasyid terangkat, hendak mengusap lengan Ratih. Namun, tangan itu terhenti di udara. Rasyid urung melakukannya. Ada rasa was-was ketika tangan itu hendak mengusap badan milik wanita yang sejak tadi mengharapkannya.Lagi, Rasyid diam sambil menikmati wanita yang sedang menunduk itu.Kepala Rasyid menoleh sekeliling, matanya menyapu sekitar. Beberapa tamu datang silih berganti. Tak jarang mereka melihat apa yang sedang terjadi itu dengan tatapan tak enak. Perlahan rasa tak nyaman akan situasi ini pun mulai menyelinap dalam diri Rasyid. Bagaimana pun ia tak bisa membiarkan keadaan ini terus seperti ini. Terlebih suara tangis Ratih terdengar pilu.Rasyid tak bisa membiarkan anggapan buruk orang-orang yang melihat ini semua hi
Nata tidur dalam perjalanan pulang. Ia terlelap nyenyak dalam pelukan sang ibu. Sesekali jemari ibunya mengusap pipi mulus bayi yang terlelap itu.Ada rasa lega yang mejalari hati Anita. Bayi yang dulu ia khawatirkan akan kekurangan kasih sayang bapak, nyatanya kini malah mendapatkan limpahan kasih sayang dari dua bapak sekaligus.Hubungan Anita dengan Rasyid yang membaik itu merupakan diluar prediksinya. Ia bersyukur memiliki suami yang mampu menjadi penengah antara dirinya dan mantan suaminya."Kecapekan ya dia?" tanya Hamid saat melihat sang istri berulang kali memandangi wajah mungil itu.Anita menoleh ke arah sang suami. Bibirnya tersungging sedikit."Iya. Dari siang aktif terus. Tidur cuma sebentar aja." Lagi, Anita mendaratkan pandangannya pada bayi dalam dekapannya itu."Ya sudah biarkan dia tidur. Kasihan.""Iya, Mas. Mas ngga capek? Kalau capek kita nginep di rumah aja," balas Anita. Ia melihat perjalanan masih sampai di sekitar tempat tinggalnya yang lama. Tidak butuh waktu
Di sebuah klinik, Rasyid sedang menunggu dokter memeriksa kondisi Ratih. Ia menjambak rambutnya untuk melampiaskan rasa kesal yang terus saja hinggap di hidupnya."Gimana bisa kamu tabrak istri saya!" omel Fajar. Ia berjalan mondar-mandir di depan Rasyid."Saya ngga nabrak. Dia sendiri yang lari pas saya berusaha pergi. Perlu kamu tahu, antara saya dan Ratih tidak ada apa-apa. Kami dulu memang berteman baik, setelah itu terpisah sekian tahun karena kami sibuk dengan kehidupan kami masing-masing.Baru beberapa hari yang lalu kami kembali bertemu dan saat itu, saya melihat ada gelagat aneh dari Ratih pada saya. Jika saja saya tau rumah tangga kalian sedang tidak baik-baik saja, maka saya tidak akan pernah mau untuk berurusan dengan dia lagi.""Jangan bohong kamu! Ratih terlihat sekali kalau dia menginginkan kamu!" ucap Fajar bersungut-sungut."Menginginkan?" Rasyid menyahut. Dahinya mengerut tak paham dengan ucapan Fajar."Iya, dia terlihat memaksa kamu untuk menerima dia!"Rasyid teetaw