Aku duduk termenung sambil memandangi jalanan saat mobil Mas Hamid membawa kami menuju rumah sakit tempat Aisyah dirawat.Malas sebenarnya bertemu dengan perempuan itu, tapi mau bagaimana lagi. Kondisi mental dan fisik yang masih sehat membuatku sungguh bersyukur karena telah berhasil melalui ujian ini dengan baik. Tidak demikian dengan Aisyah yang tidak sehat secara fisik, tapi juga secara batin.Bukankah jaman sekarang penyakit tidak hanya dipicu dari gaya hidup dan pola makan saja? Tetapi beban pikiran juga mempengaruhi semuanya. Sayangnya tidak banyak orang yang mampu mengelola pikirannya dengan baik."Sayang," panggil Mas Hamid lembut. Tangannya mengusap tanganku yang kuletakkan di atas pangkuanku.Panggilan itu, menciptakan debar dalam dadaku setelah sekian lama terkungkung dalam nestapa. Panggilan itu, seperti air ditengah musim kemarau yang menyegarkan. Ah sudah lama sekali rupanya aku tidak mendapatkan kasih sayang dari pasangan. Norak? Biarlah, anggaplah ini puber kedua.Aku
PoV RasyidKutatap makam yang basah dan penuh akan bunga itu dengan hati nelangsa. Wangi semerbaknya membuatku mau tak mau percaya bahwa istriku yang selama ini menahan sakit telah pergi meninggalkanku. Dia sudah bahagia di sisi Allah. Dia tidak lagi merasakan sakit dalam dirinya yang selama ini membuatnya tersiksa.Aku menunduk, merasai kehilangan yang baru kurasakan begitu dalam setelah melihat tubuhnya tertindih tanah. Bagaimana pun awalnya hubungan kami, dia tetap wanita yang diizinkan Allah untuk hidup bersamaku walaupun hanya sebentar saja.Aisyah, wanita yang sebenarnya baik tapi karena kecerobohanku membuat dirinya dianggap buruk oleh orang-orang disekitar termasuk ibu dan Anita. Pernikahan kami terjadi karena aku yang menolak meminta izin Anita, mengabaikan perintah Aisyah untuk membicarakan ini baik-baik sebelum memulai mahligai yang baru, hingga akhirnya label pelakor melekat dalam diri Aisyah.Betapa berdosanya aku pada Aisyah dan Anita. Dua wanita baik yang Allah hadirka
PoV RasyidDua hari telah berlalu, tenggang waktu yang diberikan oleh rentenir itu telah habis, tapi aku tidak kunjung dapatkan uangnya. Kepalaku rasanya mau pecah memikirkan hal ini. Kemana aku harus cari uang?Terdengar suara ketukan pintu di rumah. Baru saja aku ingin bersiap tapi sudah ada yang datang ke rumah.Urung mengganti pakaian, aku segera keluar kamar. Aku terkejut saat mendapati seseorang dibalik pintu yang baru saja kubuka. Rentenir itu datang dengan pongahnya. Senyum licik yang terkembang di bibirnya membuatku mati kutu."Pagi Mas Rasyid," sapanya dengan raut yang membuatku ingin meninjunya. Masih pagi tapi sudah ada di rumah orang."Pagi, Pak. Saya belum dapatkan uangnya." Aku menjawab dengan setengah gugup."Bukan urusan saya. Tugas saya hanya menagih bunga dari pinjaman yang sudah saya berikan.""Beri saya waktu satu hari lagi, Pak. Saya janji akan membayarnya besok. Saya mohon, Pak. Saya habis kesusahan, kondisi ekonomi saya belum pulih, saya masih tertatih untuk b
"Alhamdulillah, Pak Rasyid datang juga," ujar Mas Hamid sambil mengulurkan tangan pada Mas Rasyid. Senyum yang lebar di wajahnya menunjukkan bahwa tidak ada perasaan marah atau kesal pada mantan suamiku yang datang bersama ibunya itu."Alhamdulillah, Pak. Saya rindu anak-anak," balas Mas Rasyid. Ia mengitari pandangan ke seluruh ruangan, tidak tampak dalam matanya anak-anak yang ia cari.Benar saja. Anak-anak sedang berada di dalam ruangan keluarga. Ada banyak keponakan yang sedang berkumpul dan saling berkenalan dengan Naila. "Oh iya, anak-anak ada di ruangan sana. Silahkan." Mas Hamid menunjuk sebuah ruangan dekat dengan pelaminan, tempat Nata dan Naila berada. "Saya ke anak-anak sebentar ya, Bu?" pamit Mas Rasyid pada ibu.Setelah ibu mengangguk, Mas Rasyid pergi meninggalkan kami berdua bersama Mas Hamid."Selamat ya, Nak," ujar ibu setelah Mas Rasyid berpamitan menuju ruangan yang ditunjuk Mas Hamid. Aku memeluk ibu, yang sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Kegagalan rumah ta
PoV Rasyid Aku melihat sebuah pemandangan yang membuat hatiku kebat-kebit. Senyum malu-malu yang keluar dari bibir Anita untuk suaminya membuatku kembali memutar kenangan masa lalu.Senyum yang sama saat kami baru saja melangsungkan resepsi pernikahan di kediamanku. Anita yang malu-malu membuatku gemas dan tak sabar untuk menyentuh sekujur tubuhnya yang menggoda.Ah sayangnya itu hanya masa lalu. Dia hanya menjadi mantan sekarang. Bukan lagi menjadi bidadari yang kuharapkan akan menemaniku hingga ujung napas. Dan semua ini terjadi karena ulahku. Ya, aku yang salah. Seharusnya aku mampu mendidik dan membahagiakannya, bukan malah menyakiti hatinya dengan sedemikian rupa."Sudah pamitan, Syid?" suara ibu membuatku berjingkat. Aku yang sejak tadi berdiri di depan pintu karena tak mau mengganggu sepasang suami istri yang sedang berbahagia itu terpaksa membuka suara."Belum, Bu." Aku menatap ibu dengan pandangan yang serba salah. Sekilas aku melirik mereka yang sedang berada di dalam ruang
PoV RasyidKuusap wajahku yang basah oleh air mata, aku tidak bisa terus meratapi penyesalan. Banyak hal yang harus diselesaikan setelah ini.Kupacu mobilku menuju rumah Pak Marto. Aku harus segera membayar bunga dari pinjaman yang kuminta. Sebaiknya kuberikan saja uang yang kupegang untuk melunasi sebagian hutang agar aku tidak terbebani dengan besarnya bunga pinjaman."Ini saya suka," ujar Pak Marto dengan senyum yang terkembang di bibirnya. Ia memegang gepokan uang yang baru saja kuletakkan di atas meja tempatnya biasa melayani pelanggan yang datang."Jangan lagi datang ke rumah untuk menagih bunga, apalagi menagih sisa uangnya. Karena saya akan datang untuk membayarnya jika sudah mendapatkan lagi uang itu." Aku berucap dengan tegas dan jelas."Baiklah, ini cukup untuk tenggang waktu enam bulan ke depan. Setelah itu jangan lagi terlambat." Seringai senyum licik mengakhirinya ucapan laki-laki yang sedang memegang uang itu. Berulang kali ia menciumi lembaran kertas yang baru saja kul
Mataku mengerjap, mencari kesadaran yang semula pergi entah kemana. Aroma obat yang menguar membuat hidungku terusik, ditambah dengan suara berisik yang membuatku terganggu. Kurasakan nyeri di punggung tanganku ketika mencoba bergerak. Aku makin membuka mata, rupanya terdapat jarum infus yang sudah duduk manis di atas tanganku itu."Bapak sudah sadar?" tanya seorang perawat yang langsung datang ketika mataku bergerak."Saya kenapa ini? Aduh ... kaki saya," keluhku saat aku hendak mengubah posisi kakiku. Ada rasa nyeri yang merambat ke sekujur tubuh ketika aku mencoba untuk bergerak."Bapak mengalami kecelakaan. Kakinya retak, jadi kami pasang gypsum." Mendengar penjelasan perawat, aku memejam sejenak. Mengulang kembali kejadian sebelum aku kehilangan kesadaran.Naila, ya, bayangan wajah Naila yang akan kubelikan oleh-oleh membuatku tak fokus akan kondisi jalan raya yang lumayan padat. Kebahagiaan yang kurasakan membuatku tak sabar untuk bisa segera kembali ke rumah. Akan tetapi bukan
Beberapa bulan berlalu. Kondisi kakiku sudah membaik. Aku sudah kembali beraktivitas seperti sedia kala. Sejak kecelakaan yang menimpaku itu, Pak Hamid mempercepat proses pindah tugasku. Sekarang aku sudah mengajar di SMA di kota yang sama dengan ibu."Mau kemana, Syid?" tanya ibu ketika melihatku berpenampilan rapi usai mengajar."Rasyid harus menyelesaikan masalah yang belum selesai, Bu."Ibu mengerutkan dahi. Ia meletakkan gelas yang hendak diisi air untuknya minum. "Masalah apa lagi?""Aditya, Bu. Pas sakit kemarin, Rasyid mencoba menghubunginya lewat telepon tapi ngga pernah direspon. Sekarang Rasyid harus menemuinya sendiri.""Tidak mudah mendekati anak seperti dia." Ibu terlihat keberatan."Tidak mudah bukan berarti tidak bisa kan, Bu? Rasyid yang memulai masalah ini dengan menikahi ibunya, Rasyid juga yang harus menyelesaikannya."Ibu terdiam. Ia tidak lagi menjawab ucapanku. Wajahnya menunduk dengan tangan saling bertaut satu sama lain. Ekspresi itu sarat dengan kecemasan."