"Aisyah," gumamku dengan pandangan menerawang."Entahlah, Mbak, siapa namanya. Saya tidak paham, wong dia sakit parah dan ngga pernah keluar rumah," balas laki-laki itu."Baiklah, Pak. Makasih ya?" ucap Mas Hamid kemudian. Ia lantas kembali menginjak pedal gas untuk melanjutkan perjalanan yang hampir sampai."Kita muter lewat rumah Pak Rasyid ya?" tawar Mas Hamid saat mobil mulai melaju."Buat apa?" sergahku cepat."Entahlah, saya ingin lewat saja."Aku diam saja. Menolak juga pastinya dia akan tetap mempertahankan keinginannya. Biarlah mau lewat manapun, sesukanya.Mobil pun berjalan melewati gang yang lainnya, menuju rumah Mas Rasyid yang juga berada satu jalur dengan rumahku.Namun, saat kami tiba di dekat rumah ibu, kulihat ibu sedang berjalan dengan bahu yang bergerak sambil membawa sebuah tas besar. Ia berjalan menuju arah jalan raya utama."Itu ibunya Pak Rasyid kan?" tanya Mas Hamid sambil menunjuk ke arah ibu. Ia segera menghentikan mobilnya. "Turun deh, Dik. Coba tanya itu ke
PoV Rasyid"Dadaku sakit, Mas," rintih Aisyah. Ia sedang terbaring di atas tempat tidur sambil memegang dadanya. "Mas ambilkan obat ya?" tawarku sambil menatapnya tak tega. Wanita yang membuatku kelimpungan ini tampak kehilangan semangat hidupnya. Berbeda dengan beberapa waktu lalu ketika Anita dan Pak Hamid datang menjenguknya. "Ngga usah, Mas. Aku ngga mau minum obat. Percuma juga, sakitnya hanya hilang sebentar tapi nanti timbul lagi. Aku ngga kuat, Mas. Bawa ke mana saja asal sakit ini lekas hilang," racaunya lagi sambil memejam menahan sakit."Dibawa kemana lagi? Mas ini sudah tidak punya apapun. SK milik Mas sudah Mas gadaikan bersama dengan punyamu beberapa waktu lalu untuk biaya kemo. Sekarang kamu minta dibawa kemana lagi? Uang apa? Mas hanya pegang untuk kita bertahan hidup saja.""Carilah, Mas! Pinjam siapa gitu. Atau sertifikat rumah ini kan ada! Jangan diam saja, aku sudah ngga kuat.""Sabar lah, Sayang. Mas juga sudah berusaha merawat dan menjagamu dengan sepenuh hati
PoV RasyidSebuah ambulan tiba dan lekas membawa Aisyah ke rumah sakit. Aku hanya duduk sambil menangis melihat istriku yang tak henti mendapatkan musibah."Sampai kapan semua ini ya Allah?" rintihku sambil terus berjalan mondar mandir di depan ruangan IGD. Banyak lalu lalang pengunjung atau kerabat pasien yang baru datang dan mereka memperhatikanku tapi aku tak peduli. Siapa yang tidak panik jika mendapatkan musibah begini."Bagaimana kondisinya, Pak?" tanya pengemudi mobil yang menabrak Aisyah. Ia baru saja datang setelah perdebatan di pinggir jalan tadi."Bagaimana bisa baik kalau Bapak tahu sendiri bagaimana dia terjatuh! Darah mengalir dari tubuhnya, sudahlah dia sedang sakit malah mendapatkan musibah begini.""Sungguh, Pak. Saya tidak sengaja menabraknya. Saya tidak sanggup jika bapak meminta saya untuk menanggung semua biaya berobatnya tapi saya bisa sedikit membantu meringankan beban bapak.""Meringankan buat apa! Tabrakan itu membuat beban saya makin berat!""Saya minta maaf,
PoV Rasyid "Alhamdulillah," balasku sedikit terlambat. Bibirku mendadak kelu untuk mengucapkan keperluanku pada Anita, terlebih ada adegan didepanku yang masih berlangsung itu. Senyum yang terkembang di bibir mereka berdua membuat hatiku makin rontok.Iri? Jelas. Apalagi dengan melihat keadaanku sekarang ini. Tapi aku bisa apa?"Ada yang bisa kami bantu Pak Rasyid? Katakan. Kalau bisa pasti akan kami usahakan. Oh iya, bagaimana kondisi Bu Aisyah? Katanya habis kecelakaan?" Pak Hamid kembali bersuara.Pertanyaan Pak Hamid pas sekali dengan kebutuhanku. Tanpa basa basi, aku bisa mengatakannya sekarang."Iya, kondisinya mengkhawatirkan. Ada cedera di kepala yang membuatnya tidak sadarkan diri sejak kejadian kemarin. Tadi dia sadar dan memanggil-manggil nama Dik Nita. Sepertinya ada yang mau dia sampaikan. Barangkali berkenan, saya minta tolong kesediaan hati Dik Nita untuk datang menjenguknya.""Untuk apa mencari saya? Apalagi yang dimau dari saya? Maaf. Saya tidak bisa." Anita menjawab
PoV RasyidAku memutus panggilan dari paklik. Sudahlah kepalaku pusing karena musibah ini, ditambah dengan ocehannya yang tidak karuan. Bukannya dalam hidup ini pasti ada masalah? Siapapun pasti punya masalah. Begitu juga denganku. Bukannya bantu atau kasih solusi, tapi baru dengar suara sudah marah-marah.Kuremas rambutku dengan keras, berharap semua ini hanyalah mimpi. Kehidupan rumah tangga yang semestinya sudah sangat kurindukan. Sejak masalah itu datang, hidupku sudah morat marit tak karuan.Derit pintu ruang ICU yang terdengar membuatku menoleh. Pak Hamid dan Dik Anita sudah keluar rupanya. Gegas aku berdiri untuk menghampiri sepasang pengantin baru itu."Bagaimana, Pak? Aisyah bilang apa?" ucapku saat aku sudah berada di hadapannya."Bu Aisyah meminta maaf pada Dik Nita. Beliau sangat menyesali perbuatannya. Sebaiknya Bapak tenangkan beliau, kasihan beliau terlihat sedih sekali.""Menyesal?""Iya. Beliau meminta bertemu dengan Dik Nita karena sudah menyadari kesalahannya selam
PoV RasyidBinar bahagia yang terpancar dari wajah anak laki-laki itu menjadi obat galau hatiku. Uang lima puluh ribu yang kuberikan sudah mampu menyalakan binar diwajahnya yang sendu. Kubawa gorengan yang kubeli itu menuju masjid rumah sakit yang tak jauh dari tempatku duduk. Kubagikan pada pengunjung masjid yang hendak melaksanakan salat dhuhur. Biarlah makanan itu menjadi sedekah dariku untuk mereka yang hendak melaksanakan ibadah.Dalam sujud, aku meraung memohon ampunan. Betapa diriku ini penuh sekali dengan salah dan dosa. Kuserahkan diriku pada Sang Pemilik Kehidupan ini, tak lupa juga aku serahkan istriku yang sedang kesakitan pada Allah. Aku hanya memohon petunjuk untuk melalui hari-hari yang kulalui ini agar selalu dalam lindungannya.Usai salat kulihat ada panggilan tak terjawab dari perawat. Sebelum pergi aku sengaja menitipkan Aisyah pada perawat jaga barangkali ada sesuatu bisa segera menghubungiku.Tak menghubunginya balik, aku bergegas ke ruang ICU untuk menemui istri
PoV Rasyid"Aisyah!" pekikku kencang saat melihat Aisyah jatuh tersungkur. "Mbak! Jangan main tangan!" Paklik berteriak kencang.Dengan cepat kuraih badan Aisyah yang sudah tak sadarkan diri itu dan kuletakkan di atas kursi panjang yang ditempati ibu. Kutepuk pipinya agar ia segera bangun.Sekilas kulirik ibu tampak kaget dengan apa yang dia lakukan. Ia tidak menyangka jika satu hentakan dari tangannya sudah mampu membuat tubuh Aisyah yang lemah jatuh tersungkur."Ibu tidak bermaksud membuatnya jatuh begitu," lirih ibu. Ia tampak merasa bersalah dengan sikapnya yang kurasa tidak ada kesengajaan di dalamnya. "Rasyid tahu. Sayangnya tubuhnya terlalu lemah untuk mendapatkan hentakan dari tangan kita yang sehat. Baru saja kembali dari rumah sakit, bukannya pulang tapi Aisyah ingin segera bertemu ibu untuk meminta maaf. Tapi ibu malah memberinya syarat yang menurut Rasyid terlalu berat untuk dilakukan." Aku mencoba protes pada ibu. Marah boleh saja, tapi syarat yang diberikan menurutku t
"Amiinn," jawab Aisyah mantap.Dalam perjalanan, Aisyah kembali terdiam. Jarinya sibuk menekan tombol yang ada pada tasbih digital yang melingkar di jarinya. Aku tersenyum menatapnya."Kenapa, Mas?""Ngga apa-apa. Sekarang rajin dzikir, alhamdulilah. Mas senang melihatnya.""Iya. Apalagi yang bisa kulakukan selain berzikir untuk meringankan dosa-dosaku? Semoga Allah berkenan menerima dzikirku yang terlambat ini.""Insya Allah. Pasti diterima selama kita tulus memperbaiki diri.""Semoga saja. Kita mampir di masjid ya, Mas? Sudah masuk jamnya salat ashar.""Kamu kuat?" tanyaku tak setuju. Sebab untuk jalan saja aku masih harus membantunya."Kuat, Mas. Jangan khawatir. Aku baik-baik saja."Senyum di wajah Aisyah itu membuatku tak sanggup menolak permintaannya."Baiklah. Sekalian kamu istirahat ya? Badanmu butuh bersantai."Aisyah mengangguk.Kami tiba di masjid saat adzan masih berkumandang. Segera kami bersiap untuk melaksanakan salat berjamaah. Mumpung masih banyak waktu untuk salat sun