Home / Lain / Nasib Dikelilingi Tetangga Julid / Chapter 91 - Chapter 100

All Chapters of Nasib Dikelilingi Tetangga Julid: Chapter 91 - Chapter 100

113 Chapters

Bab 91- Dua Kubu

"Eh, kalian tau nggak kemarin Bu Tut marah-marah di depan rumahnya Bu Patmi?""Eh, beneran? Kenapa?""Nggak tau! Saya cuma denger, Bu Tut ngatain mereka aib kampung!""Apa, karena gosip Rika hamil duluan itu?""Kayaknya, sih! Mungkin Bu Tut nggak suka. Kalian 'kan tau, Bu Tut nggak akan membiarkan orang-orang seperti itu." Si ibu mengangkat kedua jarinya seolah membentuk tanda kutip. "Iya, tau lah sama tabiatnya, Bu Tut.""Bu Tut itu orang paling rese di kampung ini. Semua orang maunya sesuai keinginan dia.""Hush! Kamu jangan ngomong gitu, nanti dilabrak sama Bu Tut," canda yang lain. "Emang bener 'kan? Semua orang pengennya seperti bayangan dia. Dia pikir dirinya itu hebat. Dia nggak sadar kelakuan dia itu yang membuat orang nggak nyaman. Jujur aja, sebenarnya kalian juga nggak suka 'kan, sama sifatnya itu?""Kalau kami ya, gitu lah!""Nggak suka 'kan? Dia mengklaim dirinya pembersih maksiat. Tanpa dia sadar kalau dirinya itu tak lebih dari sekedar tukang gosip. Yang suka mencari
Read more

Bab 92 - Ratih Diterima Kerja

"Maaf ya, Pak! Sudah membuat Bapak lama menunggu!" Ratih bertemu seorang pria berumur lima puluhan di sebuah cafe. "Ah, nggak masalah. Saya rela menunggu lama demi orang secantik kamu!" pujinya."Terimakasih," balas Ratih mengulas senyum. "Maaf, Pak! Kalau boleh tau, pekerjaan apa yang akan Bapak tawarkan sama saya?" Ratih sedikit ragu apa ia akan diterima bekerja oleh pria tua itu. Pasalnya, pria itu terlihat sangat berkelas. "Jangan panggil Bapak! Panggil saya, om saja!" Pria itu tersenyum genit. "I-iya, Pak! Eh- maksud saya, Om!" Ratih terlihat kikuk dengan permintaan pria itu. Namun dia menurut saja supaya bisa mendapatkan pekerjaan ini. "Pertama saya ini bertanya sama kamu. Apa kamu sudah menikah?""Iya, Pak! Saya sudah pernah menikah tapi tak lama cerai.""Oh, benarkah? Berarti kamu janda muda, ya?""Iya, Pak, eh maksud saya, Om!""Wah, pas sekali kalau begitu. Kriteria wanita seperti kamu lah yang saya cari.""Benarkah, Om?" Ratih sumringah. Ia merasa ada harapan untuk bis
Read more

Bab 93 - Ratih Bekerja

"Benarkah? Enak banget! Kerja di mana emangnya?""Kerja di perusahaan jadi asisten bos!" balas Bu Tut. "Wah, beruntung banget kamu Ratih! Anak saya aja, lulusan sarjana sampai sekarang susah nyari kerja di perusahaan. Ujung-ujungnya kerja di kedai minuman pinggir jalan.""Iya, dong! Tidak hanya karena anak saya ini cantik. Ini semua juga berkat do'a-do'a saya selama ini. Hasilnya anak saya bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus!" Bu Tut terus saja menyombongkan anaknya. "Iya, Bu! Iya!" sahutnya malas. "Saya permisi dulu, Bu Tut!" "Iya, Bu! Silahkan!" Mood Bu Tut sangat bagus. "Ayo, Ratih, kita masuk dulu! Sekalian Ibu mau nanya-nanya lagi.""Iya, Bu!" Ratih menurut saja saat ibunya menarik tangannya. "Gimana ceritanya sih, kamu bisa dapat kerjaan ini?""Oh, Ratih tadi lihat lowongan di facebook, Bu! Terus Ratih tanya-tanya dan si Bos ngajakin ketemuan.""Terus?""Pas ngelihat Ratih, ya udah langsung di terima.""Nah benerkah? Ini pasti karena wajah kamu juga cantik, makanya bisa
Read more

Bab 94 - Ratih Jadi Sekertaris

"Yang bener, Bu Tut? Ibu nggak ngeprank kami 'kan?" Salah satu dari mereka meragukan. "Kalian nggak lihat wajah saya? Apa saya sedang terlihat mau ngeprank kalian?"Mereka memperhatikan wajah Bu Tut dengan seksama. Tak kelihatan seperti bercanda, begitu pikir mereka. "Masa sih, Bu! Perusahaan apa? Bukannya Ratih hanya lulusan SMA? Kok, bisa jadi asisten bos?" "Iya? Anak kami aja yang di sini rata-rata sarjana S1, paling mentok cuma bisa jadi karyawan, itu pun kalau beruntung. Bahkan tak jarang cuma bisa jadi OB aja di perusahaan." "Iya, anak saya cuma kerja di rumah makan pinggir jalan yang gajinya cuma lima puluh ribu sehari, padahal anak saya lulusan sarjana. Ngirim lamaran ke perusahaan, ke mana-mana nggak pernah diterima.""Lulusan SMA belum tentu tidak bisa bekerja di perusahaan, Bu! Buktinya anak saya? Bahkan anak kalian yang lulusan sarjana saja tidak bisa masuk ke perusahaan." Bu Tut memandang mereka remeh. "Itulah hebatnya anak saya. Dia bisa masuk ke perusahaan dengan mu
Read more

Bab 95 - Ratih Dicecar Bu Tut

Wanita paruh baya yang memergoki Ratih pergi naik mobil bersama seorang pria tua tadi berjalan pulang ke rumahnya melewati rumah Bu Tut. "Eh, Bu Tut lagi santai aja nih!" sapanya basa-basi. Padahal sebenarnya dia ingin bertanya tentang hal yang baru saja dilihatnya tadi. "Iya, Bu! Habis makan 'kan, enaknya santai. Saya lagi menikmati hidup.""Em... Bu Tut, saya tadi ngelihat Ratih di depan. Pergi naik mobil bersama seorang pria seumuran kita. Itu siapa ya, Bu?" tanya si ibu penasaran. Bu Tut tercengang. Dia terdiam beberapa saat. "Ratih sama pria tua naik mobil? Kok, nggak bilang-bilang saya?" batin Bu Tut."Di lihat dari mobilnya sih, mobil mahal Bu Tut. Seperti bukan orang biasa," ujar si ibu. "Apa sekarang setelah bekerja jadi asisten Ratih diharuskan naik mobil?" sambungnya lagi, kepo. "Bu...! Bu Tut?" panggil si ibu sembari menepok pundak Bu Tut. "Ah, ya?" Bu Tut asyik bergelut dengan pikirannya sendiri. "Oh, Ratih tadi bilang dia dipanggil bosnya disuruh masuk kerja jam
Read more

Bab 96 - Introgasi

"Ibu ngapain di depan pintu rumah?" tanya Ratih. Dia sedikit gugup melihat ibunya tiba-tiba berada di dalam rumahnya. "Nungguin kamu 'lah!""Ngapain nungguin Ratih? Hari ini Ratih nggak bawa apa-apa seperti kemarin." Ratih mengira bahwa ibunya rela menunggu sampai di depan pintu karena menunggu sesuatu yang dibawanya. Bu Tut memicingkan matanya. Memandang curiga ke arah Ratih. Ratih sadar akan hal itu tetapi dia pura-pura tidak tau saja. "Kamu habis dari mana?""Ibu, kok, aneh nanyanya kayak gitu? Aku 'kan tadi sore sudah bilang kalau hari ini kerja. Ya, ini habis dari pulang kerja 'lah? Kok, malah nanya lagi habis dari mana?""Terus, kamu tadi pergi naik mobil sama siapa?""I-ibu kata siapa aku pergi naik mobil?" Ratih gugup, namun ia berusaha menyembunyikan kegugupan nya. "Tetangga di sini ada yang lihat kamu pergi naik mobil bagus. Mobil siapa itu? Bisa kamu jelaskan sama Ibu?" Bu Tut menunggu penjelasan. "Aduh... Gimana jelasinnya, ya? Masa iya, aku harus bilang sama Ibu kal
Read more

Bab 97 - Terbiasa Menggosip

"A-ah, y-yang bener, Mbak? Sepertinya bukan. Saya hafal sama tangisan anaknya, Mbak!" Winda mencoba mengelak dengan suara gemetar."Di dekat sini hanya saya yang punya bayi kecil, Mbak!""Tapi malam itu bukan anaknya, Mbak yang nangis. Tapi tetangga yang lainnya. Aduhh.. Tangisannya nyaring banget. Sumpah! Sampai kedengaran ke rumah saya. Anak si Rika mungkin, ya?" Winda memutar matanya, mengalihkan pandangan ke arah lain.Wanita muda itu memandang Winda dengan pandangan yang sulit di artikan. "Ah, anak Bu Tut kerja di perusahaan, ya?" Winda mencoba mengalihkan pembicaraan. "Iya! Jadi asisten pribadi bos!""Wah, hebat ya, Bu!" puji Winda. "Iya, dong!" ucap Bu Tut angkuh. "Pantas sekarang jarang kelihatan.""Iya, sekarang dia sibuk! Tapi, lebih banyak santainya juga, kok! Kalau dia libur, dia lebih memilih untuk diam di rumah saja. Ngendon di kamar. Makanya jarang kelihatan," jelas Bu Tut. "Emm!" Winda mengangguk-nganggukkan kepalanya. Saat sedang asyik bercengkrama, tiba-tiba Ra
Read more

Bab 98 - Rani Kontraksi

Sedari pagi, Rani merasakan sakit di perutnya. "Auw.. Huu.. Hu.." Rani mencoba menarik nafas dengan perlahan dan menghembuskannya. "Kenapa, Yank? Perut kamu sakit lagi?""Iya, Mas! Tapi sakitnya kok, nggak seperti biasanya. Apa aku mau lahiran, ya?" Rani menduga karena perutnya semakin sakit dan terus menerus. "Benarkah?" Wajah Irwan terlihat panik. "Apa kamu mau kita ke rumah bidan sekarang?""Nggak perlu, Mas! Nanti, kalau sudah keluar tandanya saja.""Mas bikinin air jahe, ya? Biar perut kamu enakan. Kamu istirahat saja, nggak usah mengerjakan kerjaan rumah lagi.""Iya, Mas!" Rani mengangguk sembari menahan rasa sakit di perutnya. Lima belas menit kemudian Irwan kembali membawakan air jahe buatannya. "Ini, Sayang! Minum dulu." Irwan menyodorkan gelas dan Rani meminumnya secara perlahan. Srurrp... "Alhamdulillah!" ucap Rani. "Gimana? Apa perut kamu sudah enakan?""Iya, Mas! Lumayan. Sakitnya berkurang." Rani berniat menyelesaikan pekerjaan rumahnya, tapi tak lama setelah Ran
Read more

Bab 99 - Rani Tak Sadar

"Rani...! Sayang! Bangun!" Irwan mulai panik saat Rani tak merespon panggilannya. "Sayang!" Air matanya mulai menetes. "Bu! Istri saya kenapa? Tiba-tiba dia terpejam." Mata Irwan memerah. Bidan yang menangani Rani pun ikut panik. Beliau memeriksa tubuh Rani. Detak jantung sampai memeriksa jalan lahirnya. Apakah Rani mengalami pendarahan hingga mengalami pingsan. "Sebentar, Pak! Kami cek dulu keadaan Ibunya."Bu Bidan tidak menemukan adanya pendarahan pada Rani. "Bapak panggil saja terus. Bangunkan Ibunya. Sementara saya akan mengurus persiapan untuk merujuk Ibu Rani ke rumah sakit. "Rani...! Sayang! Bangun! Kamu jangan tinggalin Mas dan anak-anak!" Rasa takut akan kehilangan Rani menghinggapi Irwan. Air matanya mengucur dengan deras. Cup.. Cup.. Irwan mengecup pipi istrinya. Kini dia mulai menangis. "Rani...! Rani...! Bangun, Sayang! Apa kamu tidak ingin melihat anak kita? Dia cantik, mirip sekali denganmu." Irwan terus memanggil. Namun, tetap saja Rani tidak merespon sama se
Read more

Bab 100 - Winda Menjenguk

"Kapan dia lahiran, Bu?" tanya Winda. "Baru pagi tadi, Mbak! Ini mereka sudah di rumah!""Cih, sengaja ya, buat manas-manasin aku? Lahiran aja sampai heboh satu kampung! Kayak ayam aja!" cibir Winda dalam hati. "Oh..! Memang lahiran di mana dia, Bu? Kok, sudah bisa langsung pulang?""Katanya sih, di rumah bidan saja, Mbak!""Oh! Nggak ke rumah sakit?""Nggak! Mbak Rani 'kan lahiran normal. Jadi sudah bisa langsung pulang.""Hmph... Apa mereka nggak punya uang untuk ke rumah sakit? Jelaslah memilih lahiran di rumah bidan. Biaya rumah sakit 'kan mahal!" Lagi, di dalam hati, Winda terus meremehkan Rani. "Emh! Saya ingin menjenguk ke sana. Kira-kira enaknya dibawain apa ya, Bu?" Winda hanya penasaran dengan rupa anaknya Rani. Setampan apa sih anak itu? "Nggak usah bawa apa-apa juga nggak pa-pa, Mbak!""Tapi, saya nggak enak, Bu! Nggak biasa kalau nengokin orang tanpa bawa sesuatu. Apalagi, Ibu 'kan tau, Mbak Rani seperti nggak terlalu suka sama saya! Jadi, saya nengok sambil kasih ka
Read more
PREV
1
...
789101112
DMCA.com Protection Status