"Benarkah? Enak banget! Kerja di mana emangnya?""Kerja di perusahaan jadi asisten bos!" balas Bu Tut. "Wah, beruntung banget kamu Ratih! Anak saya aja, lulusan sarjana sampai sekarang susah nyari kerja di perusahaan. Ujung-ujungnya kerja di kedai minuman pinggir jalan.""Iya, dong! Tidak hanya karena anak saya ini cantik. Ini semua juga berkat do'a-do'a saya selama ini. Hasilnya anak saya bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus!" Bu Tut terus saja menyombongkan anaknya. "Iya, Bu! Iya!" sahutnya malas. "Saya permisi dulu, Bu Tut!" "Iya, Bu! Silahkan!" Mood Bu Tut sangat bagus. "Ayo, Ratih, kita masuk dulu! Sekalian Ibu mau nanya-nanya lagi.""Iya, Bu!" Ratih menurut saja saat ibunya menarik tangannya. "Gimana ceritanya sih, kamu bisa dapat kerjaan ini?""Oh, Ratih tadi lihat lowongan di facebook, Bu! Terus Ratih tanya-tanya dan si Bos ngajakin ketemuan.""Terus?""Pas ngelihat Ratih, ya udah langsung di terima.""Nah benerkah? Ini pasti karena wajah kamu juga cantik, makanya bisa
"Yang bener, Bu Tut? Ibu nggak ngeprank kami 'kan?" Salah satu dari mereka meragukan. "Kalian nggak lihat wajah saya? Apa saya sedang terlihat mau ngeprank kalian?"Mereka memperhatikan wajah Bu Tut dengan seksama. Tak kelihatan seperti bercanda, begitu pikir mereka. "Masa sih, Bu! Perusahaan apa? Bukannya Ratih hanya lulusan SMA? Kok, bisa jadi asisten bos?" "Iya? Anak kami aja yang di sini rata-rata sarjana S1, paling mentok cuma bisa jadi karyawan, itu pun kalau beruntung. Bahkan tak jarang cuma bisa jadi OB aja di perusahaan." "Iya, anak saya cuma kerja di rumah makan pinggir jalan yang gajinya cuma lima puluh ribu sehari, padahal anak saya lulusan sarjana. Ngirim lamaran ke perusahaan, ke mana-mana nggak pernah diterima.""Lulusan SMA belum tentu tidak bisa bekerja di perusahaan, Bu! Buktinya anak saya? Bahkan anak kalian yang lulusan sarjana saja tidak bisa masuk ke perusahaan." Bu Tut memandang mereka remeh. "Itulah hebatnya anak saya. Dia bisa masuk ke perusahaan dengan mu
Wanita paruh baya yang memergoki Ratih pergi naik mobil bersama seorang pria tua tadi berjalan pulang ke rumahnya melewati rumah Bu Tut. "Eh, Bu Tut lagi santai aja nih!" sapanya basa-basi. Padahal sebenarnya dia ingin bertanya tentang hal yang baru saja dilihatnya tadi. "Iya, Bu! Habis makan 'kan, enaknya santai. Saya lagi menikmati hidup.""Em... Bu Tut, saya tadi ngelihat Ratih di depan. Pergi naik mobil bersama seorang pria seumuran kita. Itu siapa ya, Bu?" tanya si ibu penasaran. Bu Tut tercengang. Dia terdiam beberapa saat. "Ratih sama pria tua naik mobil? Kok, nggak bilang-bilang saya?" batin Bu Tut."Di lihat dari mobilnya sih, mobil mahal Bu Tut. Seperti bukan orang biasa," ujar si ibu. "Apa sekarang setelah bekerja jadi asisten Ratih diharuskan naik mobil?" sambungnya lagi, kepo. "Bu...! Bu Tut?" panggil si ibu sembari menepok pundak Bu Tut. "Ah, ya?" Bu Tut asyik bergelut dengan pikirannya sendiri. "Oh, Ratih tadi bilang dia dipanggil bosnya disuruh masuk kerja jam
"Ibu ngapain di depan pintu rumah?" tanya Ratih. Dia sedikit gugup melihat ibunya tiba-tiba berada di dalam rumahnya. "Nungguin kamu 'lah!""Ngapain nungguin Ratih? Hari ini Ratih nggak bawa apa-apa seperti kemarin." Ratih mengira bahwa ibunya rela menunggu sampai di depan pintu karena menunggu sesuatu yang dibawanya. Bu Tut memicingkan matanya. Memandang curiga ke arah Ratih. Ratih sadar akan hal itu tetapi dia pura-pura tidak tau saja. "Kamu habis dari mana?""Ibu, kok, aneh nanyanya kayak gitu? Aku 'kan tadi sore sudah bilang kalau hari ini kerja. Ya, ini habis dari pulang kerja 'lah? Kok, malah nanya lagi habis dari mana?""Terus, kamu tadi pergi naik mobil sama siapa?""I-ibu kata siapa aku pergi naik mobil?" Ratih gugup, namun ia berusaha menyembunyikan kegugupan nya. "Tetangga di sini ada yang lihat kamu pergi naik mobil bagus. Mobil siapa itu? Bisa kamu jelaskan sama Ibu?" Bu Tut menunggu penjelasan. "Aduh... Gimana jelasinnya, ya? Masa iya, aku harus bilang sama Ibu kal
"A-ah, y-yang bener, Mbak? Sepertinya bukan. Saya hafal sama tangisan anaknya, Mbak!" Winda mencoba mengelak dengan suara gemetar."Di dekat sini hanya saya yang punya bayi kecil, Mbak!""Tapi malam itu bukan anaknya, Mbak yang nangis. Tapi tetangga yang lainnya. Aduhh.. Tangisannya nyaring banget. Sumpah! Sampai kedengaran ke rumah saya. Anak si Rika mungkin, ya?" Winda memutar matanya, mengalihkan pandangan ke arah lain.Wanita muda itu memandang Winda dengan pandangan yang sulit di artikan. "Ah, anak Bu Tut kerja di perusahaan, ya?" Winda mencoba mengalihkan pembicaraan. "Iya! Jadi asisten pribadi bos!""Wah, hebat ya, Bu!" puji Winda. "Iya, dong!" ucap Bu Tut angkuh. "Pantas sekarang jarang kelihatan.""Iya, sekarang dia sibuk! Tapi, lebih banyak santainya juga, kok! Kalau dia libur, dia lebih memilih untuk diam di rumah saja. Ngendon di kamar. Makanya jarang kelihatan," jelas Bu Tut. "Emm!" Winda mengangguk-nganggukkan kepalanya. Saat sedang asyik bercengkrama, tiba-tiba Ra
Sedari pagi, Rani merasakan sakit di perutnya. "Auw.. Huu.. Hu.." Rani mencoba menarik nafas dengan perlahan dan menghembuskannya. "Kenapa, Yank? Perut kamu sakit lagi?""Iya, Mas! Tapi sakitnya kok, nggak seperti biasanya. Apa aku mau lahiran, ya?" Rani menduga karena perutnya semakin sakit dan terus menerus. "Benarkah?" Wajah Irwan terlihat panik. "Apa kamu mau kita ke rumah bidan sekarang?""Nggak perlu, Mas! Nanti, kalau sudah keluar tandanya saja.""Mas bikinin air jahe, ya? Biar perut kamu enakan. Kamu istirahat saja, nggak usah mengerjakan kerjaan rumah lagi.""Iya, Mas!" Rani mengangguk sembari menahan rasa sakit di perutnya. Lima belas menit kemudian Irwan kembali membawakan air jahe buatannya. "Ini, Sayang! Minum dulu." Irwan menyodorkan gelas dan Rani meminumnya secara perlahan. Srurrp... "Alhamdulillah!" ucap Rani. "Gimana? Apa perut kamu sudah enakan?""Iya, Mas! Lumayan. Sakitnya berkurang." Rani berniat menyelesaikan pekerjaan rumahnya, tapi tak lama setelah Ran
"Rani...! Sayang! Bangun!" Irwan mulai panik saat Rani tak merespon panggilannya. "Sayang!" Air matanya mulai menetes. "Bu! Istri saya kenapa? Tiba-tiba dia terpejam." Mata Irwan memerah. Bidan yang menangani Rani pun ikut panik. Beliau memeriksa tubuh Rani. Detak jantung sampai memeriksa jalan lahirnya. Apakah Rani mengalami pendarahan hingga mengalami pingsan. "Sebentar, Pak! Kami cek dulu keadaan Ibunya."Bu Bidan tidak menemukan adanya pendarahan pada Rani. "Bapak panggil saja terus. Bangunkan Ibunya. Sementara saya akan mengurus persiapan untuk merujuk Ibu Rani ke rumah sakit. "Rani...! Sayang! Bangun! Kamu jangan tinggalin Mas dan anak-anak!" Rasa takut akan kehilangan Rani menghinggapi Irwan. Air matanya mengucur dengan deras. Cup.. Cup.. Irwan mengecup pipi istrinya. Kini dia mulai menangis. "Rani...! Rani...! Bangun, Sayang! Apa kamu tidak ingin melihat anak kita? Dia cantik, mirip sekali denganmu." Irwan terus memanggil. Namun, tetap saja Rani tidak merespon sama se
"Kapan dia lahiran, Bu?" tanya Winda. "Baru pagi tadi, Mbak! Ini mereka sudah di rumah!""Cih, sengaja ya, buat manas-manasin aku? Lahiran aja sampai heboh satu kampung! Kayak ayam aja!" cibir Winda dalam hati. "Oh..! Memang lahiran di mana dia, Bu? Kok, sudah bisa langsung pulang?""Katanya sih, di rumah bidan saja, Mbak!""Oh! Nggak ke rumah sakit?""Nggak! Mbak Rani 'kan lahiran normal. Jadi sudah bisa langsung pulang.""Hmph... Apa mereka nggak punya uang untuk ke rumah sakit? Jelaslah memilih lahiran di rumah bidan. Biaya rumah sakit 'kan mahal!" Lagi, di dalam hati, Winda terus meremehkan Rani. "Emh! Saya ingin menjenguk ke sana. Kira-kira enaknya dibawain apa ya, Bu?" Winda hanya penasaran dengan rupa anaknya Rani. Setampan apa sih anak itu? "Nggak usah bawa apa-apa juga nggak pa-pa, Mbak!""Tapi, saya nggak enak, Bu! Nggak biasa kalau nengokin orang tanpa bawa sesuatu. Apalagi, Ibu 'kan tau, Mbak Rani seperti nggak terlalu suka sama saya! Jadi, saya nengok sambil kasih ka
"Kenapa wajah kamu bisa hancur gitu?" Pertanyaan Bu Tut begitu mengintimidasi. Ratih menjadi gugup. "A-anu, Bu... Anu..." Ratih bingung memberikan jawaban. "Anu apa? Kenapa wajah kamu bisa seperti ini?" Melihat luka di wajah Ratih yang sama persis seperti foto pelakor yang ditunjukkan oleh Bu Susi, Bu Tut menjadi yakin kalau wanita itu memang benar anaknya. "A-anu, Bu! Tadi Ratih jatuh waktu di tempat kerja.""Jatuh di mana?""Jatuh dari tangga, Bu!" Ratih tersenyum kikuk. "Kamu naik tangga? Bukannya kamu kerja di perusahaan? Kok, naik tangga? Sekelas mall kecil aja pakai lift, kok, perusahaan tempat kamu bekerja malah nggak ada lift?""Liftnya lagi rusak, Bu! Jadi Ratih pakai tangga."Bu Tut mendekati Ratih dengan pandangan tajam. "Nggak usah bohong kamu! Kamu habis jalan sama om-om 'kan?" Bu Tut langsung berkata ke intinya. "Nggak, kok! Bu! Ratih kerja." Tubuh Ratih sudah mengucur keringat dingin. "Kerja, kerja! Nggak usah bohong kamu! Ibu sudah tau semuanya. Ibu sudah lihat
Bu Susi memperlihatkan video seorang wanita yang digrebek di kamar hotel dan di serang oleh istri sahnya."Sini coba saya lihat!" Bu Tut mengambil ponsel Bu Susi untuk melihat video itu dengan lebih jelas.Awalnya dia biasa saja bahkan ikut geram dan mengumpat sebelum tau bahwa wanita yang jadi pelakor di video itu adalah anaknya."Bagus! Hajar aja! Geram banget sama pelakor dan lakinya ini! Terus, Bu! Jangan kasih ampun!" ujar Bu Tut bersemangat.Bu Susi heran kenapa Bu Tut malah ikutan geram dengan video itu? Bukannya terkejut atau berteriak histeris.Bukan karena hasil videonya yang jelek, tapi Bu Tut tidak mengenali pelakor itu karena wajahnya sudah terdapat luka-luka."Terus! Hajar! Kalau perlu potong aja b*tang suaminya dan kasihin ke binat*ng! Masukin cabe juga ke dalam lub*ng buaya si pelakornya! Dasar bin*t*ng kedua orang itu!" ujarnya mengumpat dengan semangat."Loh, Bu Tut, kok nggak kaget? Malah ikutan mengumpat?" tanya Bu Susi heran."Kenapa kamu heran? Bukannya reaksi sa
"Ma-mamah!" ucap Om Heri terbata-bata. BRAKK... Wanita yang ternyata istri dari Om Heri itu menggebrak pintu. Ratih yang terkejut, menyusul keluar. "Siapa, Om?" tanya Ratih. Dia menutupi dirinya dengan selimut hotel dan berjalan keluar. Ratih tak kalah terkejutnya melihat ramainya orang berada di pintu kamarnya. Istri Om Heri memandang Ratih dari ujung kepala sampai kaki. Menatapnya dengan pandangan tajam. "Jadi ini wanita peliharaanmu?" ujarnya pedas. "Mama ngapain ke sini?""Mama? Apa wanita ini istri Om Heri? Tapi, kata Om kemarin dia seorang duda?" Ratih bertanya dalam hati. "Ngapain katamu?" teriak wanita itu. Teriakannya membuat orang-orang keluar dari kamar mereka dan beramai-ramai melihat. "Puas kamu, ya! Sudah main berapa kali dengan wanita ini?" tunjuk nya pada Ratih. "Dasar laki-laki buaya! Perempuan gatal! Kub*n*h kalian!" Istri Om Heri mencoba meraih Ratih, namun dihalangi oleh Om Heri. "Mah, jangan begini dong! Malu dilihat sama orang!" bisik Om Heri. "Apa?
"Tadi itu aku lihat Ratih loh, Mas!""Ratih siapa? Temen kamu?""Ih, bukan! Itu loh, Ratih anaknya Bu Tut.""Terus kenapa kalau kamu lihat dia? Kayak nggak pernah lihat aja sampai heboh begitu!" Sambil berjalan, sesekali Irwan bercanda dengan anaknya. "Tadi itu dia sama seorang laki-laki, Mas! Om-om gitu! Gandengan pula! Mesra banget.""Kamu yakin kalau itu dia? Jangan asal tuduh loh, Yank!""Iya, Mas! Aku yakin! Aku nggak bakalan lupa sama wajah wanita yang sudah mencoba menggoda suami aku.""Kemarin, Bu Tut bilang kalau Ratih itu kerja sebagai asisten bos. Apa iya, ya Mas? Kok, lebih kayak sugar baby gitu?""Sugar baby? Apa itu, Yank?""Itu loh, Mas! Simpanan om-om!""Astaghfirullah! Hush, udah! Kami nggak usah kepo! Dosa tau mencari aib orang!""Astaghfirullah! Maaf, Mas! Habisnya aku kepo!" ujar Rani sambil nyengir meski suaminya tidak melihat karena tertutup masker."Biarkan saja dia! Kamu nggak usah ikut campur. Meski ibu dan dia pernah membuat kita kesal dan pernah memfitnah k
"Ah, iya nih, Bu! Bagus nggak?""Wah, bagus Bu Tut. Kayaknya habis dapat rejeki nomplok nih sampai bisa beli cincin.""Iya, Bu! Saya habis dikasih sama Ratih. Kemarin dia habis gajian dan ngasih saya satu juta. Makanya saya bisa beli cincin sebagus ini," ujar Bu Tut."Beruntung banget ya, Bu Tut. Coba saja anak saya bisa ngasih saya uang banyak kayak gitu.""Iya, Bu! Akhirnya Ratih bisa berbakti juga sama orang tua. Semenjak dia cerai bahkan masih sama suaminya saja, kami orang tuanya yang ngasih makan.""Hah, yang bener, Bu?""Iya! Makanya, waktu si Jono terkena kasus, saya suruh cerai aja sekalian. Punya suami nggak bisa diandelin, buat apa?""Bener, Bu! Zaman sekarang makan cinta mah, nggak bakalan kenyang.""Nah, makanya itu. Laki zaman sekarang pengennya punya istri cantik. Padahal dia sendirinya cuma laki-laki kere. Nggak bisa memenuhi keperluan istrinya. Dia kira makan tampang aja kenyang?""Bener tuh, Bu Tut!""Ya, sudah! Saya pulang dulu ya, Bu-ibu!""Iya, Bu!""Enak ya, Bu T
"Ma-maksud, Om! Melayani apa? Menyediakan makan minum untuk Om, gitu?""Jangan pura-pura nggak tau, Ratih! Kita sudah sama-sama dewasa. Kamu ngerti apa yang saya maksud!" Om Heri menyesap rok*k yang terjepit di jarinya. "Tapi... Saya..." Ratih seakan ragu. Namun, tak dipungkiri dia sangat tergiur dengan uang itu. "Kalau kamu mau, uang sebesar sepuluh juta yang ada di amplop itu akan menjadi milikmu! Tetapi... Kalau kamu nggak mau, tidak apa-apa! Saya tidak keberatan tapi uang ini saya ambil kembali."Ratih menelan salivanya. Dia bingung dan juga bimbang, antara menerima atau menolak tawaran itu. "Saya tidak akan memberikan tawaran ini dia kali. Dan kalau kamu menolak uang ini, saya rasa kamu akan menjadi orang yang paling rugi." Om Heri mencoba menggoyahkan pertahanan Ratih. "Kamu tau? Sekarang susah untuk mendapatkan pekerjaan mudah dalam waktu yang singkat. Tidak mudah pula mendapatkan uang sebesar ini dalam satu hari. Apa kamu yakin mau menolak tawaran ini?" Lagi, Om Heri semak
"Awas kamu, Rani!" Bu Tut menggerutu setelah mendapatkan vonis hukuman dari Pak RT. "Sialan banget. Ini semua salah kamu, Winda!" ketus Bu Irma. "Loh, kok, Bu Irma nyalahin saya sih?" Winda tentu saja tidak terima dengan tuduhan itu. "Kan, yang ngajakin ke rumah Rani, kalian bertiga, kok, malah salah saya?""Iya! Salah kamu! Seandainya saja kamu memberikan informasi yang benar tidak akan seperti ini kejadiannya," bentak Bu Tut. "Kamu sengaja 'kan? Kamu hanya ingin memanfaatkan kami supaya bisa menuluskan niat jahatmu untuk merebut Irwan dari Rani," cetus Bu Tut. Mata Winda terbelalak karena tebakan Bu Tut memang benar. Namun, dia berusaha mengelak. "Enak saja! Memangnya selama ini saya pernah ngajakin ibu-ibu untuk membenci Rani? Bukannya kebalik? Kan, kalian yang ngajakin saya untuk membenci dia. Saya baru datang lagi kemari, malah kalian yang ngomongin dia yang jelek-jelek.""Tetap saja! Ini semua salah kamu! Kalau saja, kami tidak terhasut oleh omonganmu barusan tidak akan kam
"Aaaakkkhhh!" pekik ke empat orang itu. "Heh...! Kenapa kamu menyiram kami?" pekik Winda. "Apa lagi? Saya menyiram supaya jin dan roh jahat yang melekat di tubuh kalian semua pada kabur!" ketus Rani. "Apa kamu bilang?" Bu Tut dan Winda maju, ingin menjambak Rani, namun segera di tepis oleh Irwan. Dia mendorong Bu Tut yang berada di depan dan menumbruk tubuh Winda yang ada di belakang. "Aakkhh..." pekik Bu Tut, yang terduduk menimpa tubuh Winda. "Auwww!" Winda merintih karena ditindih oleh badan Bu Tut yang dua kali lebih besar darinya. "Hei, kurang ajar ya kamu, Irwan!" teriak Bu Tut. "Mas, kok, kamu malah mendorong kami sih?" Winda berkata manja. "Tolongin, dong!""Cih, buat apa? Kalian memang pantas menerima hal itu.""Kok, kamu jahat gini sih, Mas, sama aku?""Memangnya saya wajib gitu baik sama kamu?" sinisnya. "Pak RT, tolong usir saja mereka ini! Terutama wanita ini! Dia selalu mengganggu istri saya!" tunjuk Irwan kepada Winda. "Sudah! Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Mbak
"Kamu berani mengancam? Apa kamu takut kelakuan busukmu itu terbongkar, ha?""Yang busuk itu bukan kelakuan saya! Tapi, pikiran kalian yang busuk!" cetus Rani. "Sudahlah, Rani! Kamu tidak usah mengelak. Kamu begitu tega mempermainkan Mas Irwan. Sampai hati kamu berbuat begitu. Sudah jelas-jelas kalau kamu selingkuh, bahkan pria ini berani mendatangi rumah kamu," ujarnya seolah prihatin dengan Irwan. "Lihat? Anakmu ini sangat mirip dengan lelaki ini? Ini sudah ada buktinya 'kan?" Winda kembali menimpali. "Dia tidak mirip denganmu atau pun Mas Irwan.""Hahaha...." Rani dan Andra tertawa berbarengan. Membuat Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Winda bingung. "Kamu lihat 'kan, Mas! Dia pasti tak bisa mengelak lagi makanya tertawa. Mas Irwan bisa kok, dapetin yang lebih baik lagi dari Mbak Rani. Masih banyak wanita yang ingin menjadi istri kamu, jadi tidak perlu menutupi kelakuan buruk Mbak Rani.""Termasuk kamu gitu? Yang mau jadi istri Mas Irwan? Kamu 'lah wanita baik itu, begitu 'kan?" cibi