Bu Susi memperlihatkan video seorang wanita yang digrebek di kamar hotel dan di serang oleh istri sahnya."Sini coba saya lihat!" Bu Tut mengambil ponsel Bu Susi untuk melihat video itu dengan lebih jelas.Awalnya dia biasa saja bahkan ikut geram dan mengumpat sebelum tau bahwa wanita yang jadi pelakor di video itu adalah anaknya."Bagus! Hajar aja! Geram banget sama pelakor dan lakinya ini! Terus, Bu! Jangan kasih ampun!" ujar Bu Tut bersemangat.Bu Susi heran kenapa Bu Tut malah ikutan geram dengan video itu? Bukannya terkejut atau berteriak histeris.Bukan karena hasil videonya yang jelek, tapi Bu Tut tidak mengenali pelakor itu karena wajahnya sudah terdapat luka-luka."Terus! Hajar! Kalau perlu potong aja b*tang suaminya dan kasihin ke binat*ng! Masukin cabe juga ke dalam lub*ng buaya si pelakornya! Dasar bin*t*ng kedua orang itu!" ujarnya mengumpat dengan semangat."Loh, Bu Tut, kok nggak kaget? Malah ikutan mengumpat?" tanya Bu Susi heran."Kenapa kamu heran? Bukannya reaksi sa
"Kenapa wajah kamu bisa hancur gitu?" Pertanyaan Bu Tut begitu mengintimidasi. Ratih menjadi gugup. "A-anu, Bu... Anu..." Ratih bingung memberikan jawaban. "Anu apa? Kenapa wajah kamu bisa seperti ini?" Melihat luka di wajah Ratih yang sama persis seperti foto pelakor yang ditunjukkan oleh Bu Susi, Bu Tut menjadi yakin kalau wanita itu memang benar anaknya. "A-anu, Bu! Tadi Ratih jatuh waktu di tempat kerja.""Jatuh di mana?""Jatuh dari tangga, Bu!" Ratih tersenyum kikuk. "Kamu naik tangga? Bukannya kamu kerja di perusahaan? Kok, naik tangga? Sekelas mall kecil aja pakai lift, kok, perusahaan tempat kamu bekerja malah nggak ada lift?""Liftnya lagi rusak, Bu! Jadi Ratih pakai tangga."Bu Tut mendekati Ratih dengan pandangan tajam. "Nggak usah bohong kamu! Kamu habis jalan sama om-om 'kan?" Bu Tut langsung berkata ke intinya. "Nggak, kok! Bu! Ratih kerja." Tubuh Ratih sudah mengucur keringat dingin. "Kerja, kerja! Nggak usah bohong kamu! Ibu sudah tau semuanya. Ibu sudah lihat
"Eh, liat tu, Bu Ibu, tetangga sombong lewat," celetuk Bu Tut. Bu Tuti atau biasa dipanggil Bu Tut, memulai kebiasaannya menyindir Rani.Rani yang mendengar hanya melengos begitu saja. Ia malas kalau berhadapan dengan Bu Tuti. Tak akan ada habisnya kalau melayani sindirannya.Melihat Rani yang tidak terpancing, membuat Bu Tuti kesal. Ia kembali menyindir, "Kok, bisa ya, si Irwan betah punya istri sombong kaya gini? Kadang saya juga liat loh, Bu Ibu, suaminya mau aja disuruh melakukan pekerjaan rumah. Padahal 'kan itu tugasnya perempuan. Laki-laki itu tugasnya hanya mencari nafkah. Kasihan banget 'kan yang jadi suaminya? Sudahlah bekerja, di rumah pun harus melakukan pekerjaan rumah tangga lagi! Punya istri, kok ya, ga guna." Mulut Bu Tuti memang nggak pernah pake rem kalo ngomong.Rani terdiam mendengar ucapan Bu Tut. Tangan kanannya yang memegang sayur gemetar saking geramnya dia. Dia mulai terpancing emosi."Bu Tut, ini memang nggak bisa didiemin, ya!" ucapnya terlihat geram. Matanya
Suaminya masih loading. Dia masih tak paham siapa yang dimaksud. Pasalnya di kampung ini ada beberapa wanita janda. Dan hampir semua selalu cari perhatian dengannya. Sampai dia pun tak paham apa yang membuat para wanita janda itu selalu mendekatinya meski Irwan tak pernah menggubris mereka.Melihat respon suaminya yang tak paham, Rani semakin bete."Ih, mentang-mentang jadi rebutan janda di kampung sini, sampai nggak paham aku lagi ngomongin siapa!" ucapnya ketus.Irwan segera membujuk istrinya. "Sayang, kok ngomongnya gitu sih? Maafin, Mas! Emangnya siapa sih yang udah bikin istri Mas yang cantik ini jadi bete?"Mendengar rayuan suaminya membuat Rani tersenyum tetapi berusaha dia tahan."Itu, Mas! Si Bu Tut. Aku baru datang langsung aja jadi bahan ghibahan. Kalau saja nggak pengen masak buat sarapan, ogah banget nyamperin Kang Parto di pengkolan sana!""Padahal aku nggak pernah loh cari masalah sama mereka," tambahnya."Ya, udah lah, Yank! Nggak usah diladenin kalau ketemu. Orang tua
Tiba-tiba langkah yang tadi terdengar dari luar semakin mendekat."Hey..., Kamu apakan anak saya?" Ternyata suara langkah kaki tadi berasal dari Bu Tut.Rani yang melihat Bu Tut mendekat, segera mendorong kursi itu ke arahnya. Bugh...Ratih terjatuh ke lantai. Melihat keadaan anaknya yang babak belur membuat Bu Tut khawatir."Eh, Rani, kamu apakan anak saya? Kenapa sampai berdarah-darah seperti ini?" Suara Bu Tut histeris, Ratih menangis di pelukan ibunya."Awas ya, kamu, Rani! Akan saya tuntut kamu karena sudah menganiaya anak saya." Rani yang mendengar ancaman Bu Tut tidak terlihat takut sama sekali.Rani melempar spatula yang ada di tangannya tadi ke arah kaki mereka. "Silahkan, laporkan saja, kalau mau anakmu menanggung malu seumur hidup."Bu Tut tidak mengerti maksud Rani."Apa maksud kamu? Memangnya apa yang anak saya lakukan? Justru seharusnya kamu lah yang akan saya buat malu," ketus Bu Tut."Selain sombong ternyata kamu itu suka menganiaya orang, ya?" sindirnya lagi.Rani me
Melihat ibunya pulang dari belanja, Ratih segera masuk ke dalam rumah ibunya, seperti biasa ingin meminta bahan makanan."Ini semua gara-gara si Rani," ujarnya menggerutu.Melihat wajah ibunya yang terlihat kesal sekali, Ratih bertanya, "Ibu, kenapa?"Bu Tut memandang Ratih dengan wajah kusutnya. "Ibu lagi kesal sama si Rani, berani banget dia mempermalukan Ibu."Ratih mencebikkan bibirnya. "Ibu, habis dari tempat mangkal Kang Parto kan? Belanja apa tadi?" Tangannya membuka kantong belanjaan yang berada di atas meja."Hanya ini, Bu?" tanya Ratih sembari menenteng kantong belanjaan yang hanya berisi tahu, tempe, sayur bayam dan beberapa butir cabe.Bu Tut melihat anaknya dengan mata melotot, membuat Ratih sedikit meringis."Hehehe..," Ratih cengengesan. "Ratih, minta, ya, Bu?" Tanpa rasa bersalah dia memasukkan sebagian bahan-bahan tadi ke dalam kantong plastik kecil untuk dibawanya pulang."Kamu, ini, Ratih! Setiap kali ke sini minta terus!" tegur Bu Tut. "Ya, gimana, Bu? Ratih, lagi
Bu Tut dan Ratih tercengang saat Irwan menyirami sekeliling kiosnya dengan air di dalam botol bekas minuman kemasan, sambil mulutnya membaca sesuatu.Ibu dan anak itu saling berpandangan. Seakan paham dengan tatapan mereka satu sama lain, mereka berdua mengangguk.Ratih mengambil handphonenya kemudian merekam Irwan dari kejauhan.Antara takut dan penasaran, Ratih berusaha supaya rekaman itu nampak jelas agar warga kampung percaya dengan bukti yang dia tunjukkan.Kegiatan Irwan yang berlangsung selama enam puluh detik itu berhasil terekam oleh Ratih. Dia bernafas lega kemudian menyimpan handphonenya di saku celana."Gimana, Ratih? Videonya jelas nggak?" tanya Bu Tut."Sip, Bu! Jelas banget. Cuman suara Mas Irwan nggak kedengaran saat mulutnya komat kamit tadi," jawab Ratih."Coba sini, Ibu liat." Bu Tut mengambil hp Ratih."Ternyata bener dugaan kita, ya, Bu? Selama ini Mas Irwan memakai pesugihan," celetuk Ratih."Iya. Di zaman sekarang mana ada orang nyari duit yang bener-bener halal
Para ibu-ibu itu pergi menuju kediaman Bu RT."Assalamualaikum, Bu RT.""Wa'alaikumussalam." Dari dalam keluar pasangan suami istri. Mereka berdua heran melihat para ibu-ibu berdatangan."Ada apa ini, Bu?" tanya Pak RT."Iya! Tumben rame banget. Ada apa ini?" sambung Bu RT."Begini, Bu, kami ke sini mau mengadukan perbuatan keluarga Rani," ucap salah seorang diantara mereka."Memangnya apa yang mau kalian semua adukan?" tanya Pak RT."Kami mau mengadukan bahwa keluarga Rani memakai pesugihan," ucap salah seorang warga yang emosi."Loh...loh, berita dari mana itu? Jangan asal bicara kalau tidak ada bukti, jatuhnya fitnah." Suami istri itu mencoba menenangkan kumpulan ibu-ibu yang emosi."Tenang dulu, Ibu-ibu! Jangan gegabah. Siapa orang yang menyebarkan berita ini?" tanya Bu RT."Sudah! Kita usir saja mereka!" teriak Bu Irma memprovokasi."Ayo...! Langsung saja kita labrak rumah mereka."Nanti dulu, Ibu-ibu! Kita cari tau dulu kebenarannya.""Sudah jelas, Pak! Bahkan saya punya buktiny
"Kenapa wajah kamu bisa hancur gitu?" Pertanyaan Bu Tut begitu mengintimidasi. Ratih menjadi gugup. "A-anu, Bu... Anu..." Ratih bingung memberikan jawaban. "Anu apa? Kenapa wajah kamu bisa seperti ini?" Melihat luka di wajah Ratih yang sama persis seperti foto pelakor yang ditunjukkan oleh Bu Susi, Bu Tut menjadi yakin kalau wanita itu memang benar anaknya. "A-anu, Bu! Tadi Ratih jatuh waktu di tempat kerja.""Jatuh di mana?""Jatuh dari tangga, Bu!" Ratih tersenyum kikuk. "Kamu naik tangga? Bukannya kamu kerja di perusahaan? Kok, naik tangga? Sekelas mall kecil aja pakai lift, kok, perusahaan tempat kamu bekerja malah nggak ada lift?""Liftnya lagi rusak, Bu! Jadi Ratih pakai tangga."Bu Tut mendekati Ratih dengan pandangan tajam. "Nggak usah bohong kamu! Kamu habis jalan sama om-om 'kan?" Bu Tut langsung berkata ke intinya. "Nggak, kok! Bu! Ratih kerja." Tubuh Ratih sudah mengucur keringat dingin. "Kerja, kerja! Nggak usah bohong kamu! Ibu sudah tau semuanya. Ibu sudah lihat
Bu Susi memperlihatkan video seorang wanita yang digrebek di kamar hotel dan di serang oleh istri sahnya."Sini coba saya lihat!" Bu Tut mengambil ponsel Bu Susi untuk melihat video itu dengan lebih jelas.Awalnya dia biasa saja bahkan ikut geram dan mengumpat sebelum tau bahwa wanita yang jadi pelakor di video itu adalah anaknya."Bagus! Hajar aja! Geram banget sama pelakor dan lakinya ini! Terus, Bu! Jangan kasih ampun!" ujar Bu Tut bersemangat.Bu Susi heran kenapa Bu Tut malah ikutan geram dengan video itu? Bukannya terkejut atau berteriak histeris.Bukan karena hasil videonya yang jelek, tapi Bu Tut tidak mengenali pelakor itu karena wajahnya sudah terdapat luka-luka."Terus! Hajar! Kalau perlu potong aja b*tang suaminya dan kasihin ke binat*ng! Masukin cabe juga ke dalam lub*ng buaya si pelakornya! Dasar bin*t*ng kedua orang itu!" ujarnya mengumpat dengan semangat."Loh, Bu Tut, kok nggak kaget? Malah ikutan mengumpat?" tanya Bu Susi heran."Kenapa kamu heran? Bukannya reaksi sa
"Ma-mamah!" ucap Om Heri terbata-bata. BRAKK... Wanita yang ternyata istri dari Om Heri itu menggebrak pintu. Ratih yang terkejut, menyusul keluar. "Siapa, Om?" tanya Ratih. Dia menutupi dirinya dengan selimut hotel dan berjalan keluar. Ratih tak kalah terkejutnya melihat ramainya orang berada di pintu kamarnya. Istri Om Heri memandang Ratih dari ujung kepala sampai kaki. Menatapnya dengan pandangan tajam. "Jadi ini wanita peliharaanmu?" ujarnya pedas. "Mama ngapain ke sini?""Mama? Apa wanita ini istri Om Heri? Tapi, kata Om kemarin dia seorang duda?" Ratih bertanya dalam hati. "Ngapain katamu?" teriak wanita itu. Teriakannya membuat orang-orang keluar dari kamar mereka dan beramai-ramai melihat. "Puas kamu, ya! Sudah main berapa kali dengan wanita ini?" tunjuk nya pada Ratih. "Dasar laki-laki buaya! Perempuan gatal! Kub*n*h kalian!" Istri Om Heri mencoba meraih Ratih, namun dihalangi oleh Om Heri. "Mah, jangan begini dong! Malu dilihat sama orang!" bisik Om Heri. "Apa?
"Tadi itu aku lihat Ratih loh, Mas!""Ratih siapa? Temen kamu?""Ih, bukan! Itu loh, Ratih anaknya Bu Tut.""Terus kenapa kalau kamu lihat dia? Kayak nggak pernah lihat aja sampai heboh begitu!" Sambil berjalan, sesekali Irwan bercanda dengan anaknya. "Tadi itu dia sama seorang laki-laki, Mas! Om-om gitu! Gandengan pula! Mesra banget.""Kamu yakin kalau itu dia? Jangan asal tuduh loh, Yank!""Iya, Mas! Aku yakin! Aku nggak bakalan lupa sama wajah wanita yang sudah mencoba menggoda suami aku.""Kemarin, Bu Tut bilang kalau Ratih itu kerja sebagai asisten bos. Apa iya, ya Mas? Kok, lebih kayak sugar baby gitu?""Sugar baby? Apa itu, Yank?""Itu loh, Mas! Simpanan om-om!""Astaghfirullah! Hush, udah! Kami nggak usah kepo! Dosa tau mencari aib orang!""Astaghfirullah! Maaf, Mas! Habisnya aku kepo!" ujar Rani sambil nyengir meski suaminya tidak melihat karena tertutup masker."Biarkan saja dia! Kamu nggak usah ikut campur. Meski ibu dan dia pernah membuat kita kesal dan pernah memfitnah k
"Ah, iya nih, Bu! Bagus nggak?""Wah, bagus Bu Tut. Kayaknya habis dapat rejeki nomplok nih sampai bisa beli cincin.""Iya, Bu! Saya habis dikasih sama Ratih. Kemarin dia habis gajian dan ngasih saya satu juta. Makanya saya bisa beli cincin sebagus ini," ujar Bu Tut."Beruntung banget ya, Bu Tut. Coba saja anak saya bisa ngasih saya uang banyak kayak gitu.""Iya, Bu! Akhirnya Ratih bisa berbakti juga sama orang tua. Semenjak dia cerai bahkan masih sama suaminya saja, kami orang tuanya yang ngasih makan.""Hah, yang bener, Bu?""Iya! Makanya, waktu si Jono terkena kasus, saya suruh cerai aja sekalian. Punya suami nggak bisa diandelin, buat apa?""Bener, Bu! Zaman sekarang makan cinta mah, nggak bakalan kenyang.""Nah, makanya itu. Laki zaman sekarang pengennya punya istri cantik. Padahal dia sendirinya cuma laki-laki kere. Nggak bisa memenuhi keperluan istrinya. Dia kira makan tampang aja kenyang?""Bener tuh, Bu Tut!""Ya, sudah! Saya pulang dulu ya, Bu-ibu!""Iya, Bu!""Enak ya, Bu T
"Ma-maksud, Om! Melayani apa? Menyediakan makan minum untuk Om, gitu?""Jangan pura-pura nggak tau, Ratih! Kita sudah sama-sama dewasa. Kamu ngerti apa yang saya maksud!" Om Heri menyesap rok*k yang terjepit di jarinya. "Tapi... Saya..." Ratih seakan ragu. Namun, tak dipungkiri dia sangat tergiur dengan uang itu. "Kalau kamu mau, uang sebesar sepuluh juta yang ada di amplop itu akan menjadi milikmu! Tetapi... Kalau kamu nggak mau, tidak apa-apa! Saya tidak keberatan tapi uang ini saya ambil kembali."Ratih menelan salivanya. Dia bingung dan juga bimbang, antara menerima atau menolak tawaran itu. "Saya tidak akan memberikan tawaran ini dia kali. Dan kalau kamu menolak uang ini, saya rasa kamu akan menjadi orang yang paling rugi." Om Heri mencoba menggoyahkan pertahanan Ratih. "Kamu tau? Sekarang susah untuk mendapatkan pekerjaan mudah dalam waktu yang singkat. Tidak mudah pula mendapatkan uang sebesar ini dalam satu hari. Apa kamu yakin mau menolak tawaran ini?" Lagi, Om Heri semak
"Awas kamu, Rani!" Bu Tut menggerutu setelah mendapatkan vonis hukuman dari Pak RT. "Sialan banget. Ini semua salah kamu, Winda!" ketus Bu Irma. "Loh, kok, Bu Irma nyalahin saya sih?" Winda tentu saja tidak terima dengan tuduhan itu. "Kan, yang ngajakin ke rumah Rani, kalian bertiga, kok, malah salah saya?""Iya! Salah kamu! Seandainya saja kamu memberikan informasi yang benar tidak akan seperti ini kejadiannya," bentak Bu Tut. "Kamu sengaja 'kan? Kamu hanya ingin memanfaatkan kami supaya bisa menuluskan niat jahatmu untuk merebut Irwan dari Rani," cetus Bu Tut. Mata Winda terbelalak karena tebakan Bu Tut memang benar. Namun, dia berusaha mengelak. "Enak saja! Memangnya selama ini saya pernah ngajakin ibu-ibu untuk membenci Rani? Bukannya kebalik? Kan, kalian yang ngajakin saya untuk membenci dia. Saya baru datang lagi kemari, malah kalian yang ngomongin dia yang jelek-jelek.""Tetap saja! Ini semua salah kamu! Kalau saja, kami tidak terhasut oleh omonganmu barusan tidak akan kam
"Aaaakkkhhh!" pekik ke empat orang itu. "Heh...! Kenapa kamu menyiram kami?" pekik Winda. "Apa lagi? Saya menyiram supaya jin dan roh jahat yang melekat di tubuh kalian semua pada kabur!" ketus Rani. "Apa kamu bilang?" Bu Tut dan Winda maju, ingin menjambak Rani, namun segera di tepis oleh Irwan. Dia mendorong Bu Tut yang berada di depan dan menumbruk tubuh Winda yang ada di belakang. "Aakkhh..." pekik Bu Tut, yang terduduk menimpa tubuh Winda. "Auwww!" Winda merintih karena ditindih oleh badan Bu Tut yang dua kali lebih besar darinya. "Hei, kurang ajar ya kamu, Irwan!" teriak Bu Tut. "Mas, kok, kamu malah mendorong kami sih?" Winda berkata manja. "Tolongin, dong!""Cih, buat apa? Kalian memang pantas menerima hal itu.""Kok, kamu jahat gini sih, Mas, sama aku?""Memangnya saya wajib gitu baik sama kamu?" sinisnya. "Pak RT, tolong usir saja mereka ini! Terutama wanita ini! Dia selalu mengganggu istri saya!" tunjuk Irwan kepada Winda. "Sudah! Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Mbak
"Kamu berani mengancam? Apa kamu takut kelakuan busukmu itu terbongkar, ha?""Yang busuk itu bukan kelakuan saya! Tapi, pikiran kalian yang busuk!" cetus Rani. "Sudahlah, Rani! Kamu tidak usah mengelak. Kamu begitu tega mempermainkan Mas Irwan. Sampai hati kamu berbuat begitu. Sudah jelas-jelas kalau kamu selingkuh, bahkan pria ini berani mendatangi rumah kamu," ujarnya seolah prihatin dengan Irwan. "Lihat? Anakmu ini sangat mirip dengan lelaki ini? Ini sudah ada buktinya 'kan?" Winda kembali menimpali. "Dia tidak mirip denganmu atau pun Mas Irwan.""Hahaha...." Rani dan Andra tertawa berbarengan. Membuat Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Winda bingung. "Kamu lihat 'kan, Mas! Dia pasti tak bisa mengelak lagi makanya tertawa. Mas Irwan bisa kok, dapetin yang lebih baik lagi dari Mbak Rani. Masih banyak wanita yang ingin menjadi istri kamu, jadi tidak perlu menutupi kelakuan buruk Mbak Rani.""Termasuk kamu gitu? Yang mau jadi istri Mas Irwan? Kamu 'lah wanita baik itu, begitu 'kan?" cibi