"Ibu ngapain di depan pintu rumah?" tanya Ratih. Dia sedikit gugup melihat ibunya tiba-tiba berada di dalam rumahnya. "Nungguin kamu 'lah!""Ngapain nungguin Ratih? Hari ini Ratih nggak bawa apa-apa seperti kemarin." Ratih mengira bahwa ibunya rela menunggu sampai di depan pintu karena menunggu sesuatu yang dibawanya. Bu Tut memicingkan matanya. Memandang curiga ke arah Ratih. Ratih sadar akan hal itu tetapi dia pura-pura tidak tau saja. "Kamu habis dari mana?""Ibu, kok, aneh nanyanya kayak gitu? Aku 'kan tadi sore sudah bilang kalau hari ini kerja. Ya, ini habis dari pulang kerja 'lah? Kok, malah nanya lagi habis dari mana?""Terus, kamu tadi pergi naik mobil sama siapa?""I-ibu kata siapa aku pergi naik mobil?" Ratih gugup, namun ia berusaha menyembunyikan kegugupan nya. "Tetangga di sini ada yang lihat kamu pergi naik mobil bagus. Mobil siapa itu? Bisa kamu jelaskan sama Ibu?" Bu Tut menunggu penjelasan. "Aduh... Gimana jelasinnya, ya? Masa iya, aku harus bilang sama Ibu kal
"A-ah, y-yang bener, Mbak? Sepertinya bukan. Saya hafal sama tangisan anaknya, Mbak!" Winda mencoba mengelak dengan suara gemetar."Di dekat sini hanya saya yang punya bayi kecil, Mbak!""Tapi malam itu bukan anaknya, Mbak yang nangis. Tapi tetangga yang lainnya. Aduhh.. Tangisannya nyaring banget. Sumpah! Sampai kedengaran ke rumah saya. Anak si Rika mungkin, ya?" Winda memutar matanya, mengalihkan pandangan ke arah lain.Wanita muda itu memandang Winda dengan pandangan yang sulit di artikan. "Ah, anak Bu Tut kerja di perusahaan, ya?" Winda mencoba mengalihkan pembicaraan. "Iya! Jadi asisten pribadi bos!""Wah, hebat ya, Bu!" puji Winda. "Iya, dong!" ucap Bu Tut angkuh. "Pantas sekarang jarang kelihatan.""Iya, sekarang dia sibuk! Tapi, lebih banyak santainya juga, kok! Kalau dia libur, dia lebih memilih untuk diam di rumah saja. Ngendon di kamar. Makanya jarang kelihatan," jelas Bu Tut. "Emm!" Winda mengangguk-nganggukkan kepalanya. Saat sedang asyik bercengkrama, tiba-tiba Ra
Sedari pagi, Rani merasakan sakit di perutnya. "Auw.. Huu.. Hu.." Rani mencoba menarik nafas dengan perlahan dan menghembuskannya. "Kenapa, Yank? Perut kamu sakit lagi?""Iya, Mas! Tapi sakitnya kok, nggak seperti biasanya. Apa aku mau lahiran, ya?" Rani menduga karena perutnya semakin sakit dan terus menerus. "Benarkah?" Wajah Irwan terlihat panik. "Apa kamu mau kita ke rumah bidan sekarang?""Nggak perlu, Mas! Nanti, kalau sudah keluar tandanya saja.""Mas bikinin air jahe, ya? Biar perut kamu enakan. Kamu istirahat saja, nggak usah mengerjakan kerjaan rumah lagi.""Iya, Mas!" Rani mengangguk sembari menahan rasa sakit di perutnya. Lima belas menit kemudian Irwan kembali membawakan air jahe buatannya. "Ini, Sayang! Minum dulu." Irwan menyodorkan gelas dan Rani meminumnya secara perlahan. Srurrp... "Alhamdulillah!" ucap Rani. "Gimana? Apa perut kamu sudah enakan?""Iya, Mas! Lumayan. Sakitnya berkurang." Rani berniat menyelesaikan pekerjaan rumahnya, tapi tak lama setelah Ran
"Rani...! Sayang! Bangun!" Irwan mulai panik saat Rani tak merespon panggilannya. "Sayang!" Air matanya mulai menetes. "Bu! Istri saya kenapa? Tiba-tiba dia terpejam." Mata Irwan memerah. Bidan yang menangani Rani pun ikut panik. Beliau memeriksa tubuh Rani. Detak jantung sampai memeriksa jalan lahirnya. Apakah Rani mengalami pendarahan hingga mengalami pingsan. "Sebentar, Pak! Kami cek dulu keadaan Ibunya."Bu Bidan tidak menemukan adanya pendarahan pada Rani. "Bapak panggil saja terus. Bangunkan Ibunya. Sementara saya akan mengurus persiapan untuk merujuk Ibu Rani ke rumah sakit. "Rani...! Sayang! Bangun! Kamu jangan tinggalin Mas dan anak-anak!" Rasa takut akan kehilangan Rani menghinggapi Irwan. Air matanya mengucur dengan deras. Cup.. Cup.. Irwan mengecup pipi istrinya. Kini dia mulai menangis. "Rani...! Rani...! Bangun, Sayang! Apa kamu tidak ingin melihat anak kita? Dia cantik, mirip sekali denganmu." Irwan terus memanggil. Namun, tetap saja Rani tidak merespon sama se
"Kapan dia lahiran, Bu?" tanya Winda. "Baru pagi tadi, Mbak! Ini mereka sudah di rumah!""Cih, sengaja ya, buat manas-manasin aku? Lahiran aja sampai heboh satu kampung! Kayak ayam aja!" cibir Winda dalam hati. "Oh..! Memang lahiran di mana dia, Bu? Kok, sudah bisa langsung pulang?""Katanya sih, di rumah bidan saja, Mbak!""Oh! Nggak ke rumah sakit?""Nggak! Mbak Rani 'kan lahiran normal. Jadi sudah bisa langsung pulang.""Hmph... Apa mereka nggak punya uang untuk ke rumah sakit? Jelaslah memilih lahiran di rumah bidan. Biaya rumah sakit 'kan mahal!" Lagi, di dalam hati, Winda terus meremehkan Rani. "Emh! Saya ingin menjenguk ke sana. Kira-kira enaknya dibawain apa ya, Bu?" Winda hanya penasaran dengan rupa anaknya Rani. Setampan apa sih anak itu? "Nggak usah bawa apa-apa juga nggak pa-pa, Mbak!""Tapi, saya nggak enak, Bu! Nggak biasa kalau nengokin orang tanpa bawa sesuatu. Apalagi, Ibu 'kan tau, Mbak Rani seperti nggak terlalu suka sama saya! Jadi, saya nengok sambil kasih ka
"Mbak nggak usah sok akrab sama saya, deh!" ketus Winda."Ngomong-ngomong... Mas Irwan kemana? Kok, ngga kelihatan dari tadi padahal saya datang, loh!" Dengan pedenya dia bertanya. "Ih, dasar tidak tau malu!" gumam Rani. Yanti menahan tawanya mendengar kepedean Winda yang tinggi. Teringat akan dirinya di masa lalu."Memang apa istimewanya kamu sampai Mas Irwan harus keluar kalau kamu datang? Ingat! Kamu itu hanya mantan yang bahkan tidak di ingat sama sekali oleh Mas Irwan." Keluar sudah uneg-uneg Rani. Dia sengaja tidak mengusirnya supaya bisa leluasa untuk 'menyadarkannya'. "Eh, Mbak! Nggak malu apa nanyain gitu sama istrinya?" tanya Yanti. Melihat perilaku Winda seperti itu membuat Yanti semakin malu kala teringat masa lalunya. "Malu? Kenapa harus malu? Apa saya salah bertanya di mana keberadaan 'MANTAN PACAR SAYA'?" Winda menekan kata mantan pacar. Seakan merasa spesial telah menjadi mantan kekasih Irwan. "Ya, harus malu 'lah! Yang Mbak tanyain 'kan sudah menjadi suami orang!
"Mas Irwan mau menemui kamu kecuali kamu berubah jadi nenek-nenek atau ibu-ibu dulu," cetus Rani. "Prftt..." Yanti menahan tawa melihat wajah masam Winda. "Ish, dasar! Tuan rumah yang nggak ada sopan-sopannya sama tamu. Pantes, warga di sini banyak yang benci kamu!" ketus Winda. "Nggak pa-pa nggak ada yang suka sama saya. Itu lebih menguntungkan. Dari pada banyak yang suka malah dipinjemin duit melulu.""Siapa juga yang mau minjem sama kamu yang miskin itu! Cuma ngendelin pendapat suami doang! Gayaan suka minjemin orang," cibir Winda. "Sudahlah! Karena nggak ada Mas Irwan saya nggak jadi ngasih ini!" Hadiah pemberian Winda yang ia letakkan di samping tempat tidur bayinya, di ambil kembali oleh Winda. "Saya akan ngasih kalau Mas Irwannya ada dan dia melihat kalau saya yang memberikan ini!" ujarnya beranjak dari duduknya sembari mengangkat kembali hadiah yang tadi sudah diterima oleh Rani. "Loh, kok, bisa gitu?" sahut Yanti. "Kenapa? Nggak suka? Terserah saya dong, ini 'kan hadia
"Katanya anak Rani nggak ada mirip-miripnya sama Rani dan Mas Irwan. Bener nggak sih?""Nggak mirip? Maksudnya itu bukan anaknya Mas Irwan, gitu? Jadi, Rani berselingkuh?" tanya Bu Irma. "Hah? Yang bener kamu, Sus?""Saya dengar-dengar gosip di sini sih, begitu! Yang menjenguk kemarin yang ngasih tau saya!" ujar Bu Susi. "Kata mereka, wajah anaknya nggak ada mirip Mas Irwan atau pun Rani-nya. Padahal kalau anak 'kan, biasanya wajahnya ada mirip-mirip sama orang tuanya. Entah itu ayahnya atau ibunya, nah anaknya Rani mah, nggak ada miripnya sama mereka berdua. Meskipun ganteng juga," ungkap Bu Susi. "Wah...! Kira-kira sama siapa Rani bermain serong? Dan kapan kejadiannya? Kok, bisa kita sampai kecolongan?" ucap Bu Tut. Dia meradang namun berusaha menahan emosinya. "Harus kita pantau ini, Bu Tut!" Bu Irma mengompori. "Kita harus selidiki tapi dengan cara yang cantik, agar Rani tidak curiga." Lagak mereka bertiga bagaikan detektif. "Cara yang cantik gimana maksud kamu?" tanya Bu Tu
"Kenapa wajah kamu bisa hancur gitu?" Pertanyaan Bu Tut begitu mengintimidasi. Ratih menjadi gugup. "A-anu, Bu... Anu..." Ratih bingung memberikan jawaban. "Anu apa? Kenapa wajah kamu bisa seperti ini?" Melihat luka di wajah Ratih yang sama persis seperti foto pelakor yang ditunjukkan oleh Bu Susi, Bu Tut menjadi yakin kalau wanita itu memang benar anaknya. "A-anu, Bu! Tadi Ratih jatuh waktu di tempat kerja.""Jatuh di mana?""Jatuh dari tangga, Bu!" Ratih tersenyum kikuk. "Kamu naik tangga? Bukannya kamu kerja di perusahaan? Kok, naik tangga? Sekelas mall kecil aja pakai lift, kok, perusahaan tempat kamu bekerja malah nggak ada lift?""Liftnya lagi rusak, Bu! Jadi Ratih pakai tangga."Bu Tut mendekati Ratih dengan pandangan tajam. "Nggak usah bohong kamu! Kamu habis jalan sama om-om 'kan?" Bu Tut langsung berkata ke intinya. "Nggak, kok! Bu! Ratih kerja." Tubuh Ratih sudah mengucur keringat dingin. "Kerja, kerja! Nggak usah bohong kamu! Ibu sudah tau semuanya. Ibu sudah lihat
Bu Susi memperlihatkan video seorang wanita yang digrebek di kamar hotel dan di serang oleh istri sahnya."Sini coba saya lihat!" Bu Tut mengambil ponsel Bu Susi untuk melihat video itu dengan lebih jelas.Awalnya dia biasa saja bahkan ikut geram dan mengumpat sebelum tau bahwa wanita yang jadi pelakor di video itu adalah anaknya."Bagus! Hajar aja! Geram banget sama pelakor dan lakinya ini! Terus, Bu! Jangan kasih ampun!" ujar Bu Tut bersemangat.Bu Susi heran kenapa Bu Tut malah ikutan geram dengan video itu? Bukannya terkejut atau berteriak histeris.Bukan karena hasil videonya yang jelek, tapi Bu Tut tidak mengenali pelakor itu karena wajahnya sudah terdapat luka-luka."Terus! Hajar! Kalau perlu potong aja b*tang suaminya dan kasihin ke binat*ng! Masukin cabe juga ke dalam lub*ng buaya si pelakornya! Dasar bin*t*ng kedua orang itu!" ujarnya mengumpat dengan semangat."Loh, Bu Tut, kok nggak kaget? Malah ikutan mengumpat?" tanya Bu Susi heran."Kenapa kamu heran? Bukannya reaksi sa
"Ma-mamah!" ucap Om Heri terbata-bata. BRAKK... Wanita yang ternyata istri dari Om Heri itu menggebrak pintu. Ratih yang terkejut, menyusul keluar. "Siapa, Om?" tanya Ratih. Dia menutupi dirinya dengan selimut hotel dan berjalan keluar. Ratih tak kalah terkejutnya melihat ramainya orang berada di pintu kamarnya. Istri Om Heri memandang Ratih dari ujung kepala sampai kaki. Menatapnya dengan pandangan tajam. "Jadi ini wanita peliharaanmu?" ujarnya pedas. "Mama ngapain ke sini?""Mama? Apa wanita ini istri Om Heri? Tapi, kata Om kemarin dia seorang duda?" Ratih bertanya dalam hati. "Ngapain katamu?" teriak wanita itu. Teriakannya membuat orang-orang keluar dari kamar mereka dan beramai-ramai melihat. "Puas kamu, ya! Sudah main berapa kali dengan wanita ini?" tunjuk nya pada Ratih. "Dasar laki-laki buaya! Perempuan gatal! Kub*n*h kalian!" Istri Om Heri mencoba meraih Ratih, namun dihalangi oleh Om Heri. "Mah, jangan begini dong! Malu dilihat sama orang!" bisik Om Heri. "Apa?
"Tadi itu aku lihat Ratih loh, Mas!""Ratih siapa? Temen kamu?""Ih, bukan! Itu loh, Ratih anaknya Bu Tut.""Terus kenapa kalau kamu lihat dia? Kayak nggak pernah lihat aja sampai heboh begitu!" Sambil berjalan, sesekali Irwan bercanda dengan anaknya. "Tadi itu dia sama seorang laki-laki, Mas! Om-om gitu! Gandengan pula! Mesra banget.""Kamu yakin kalau itu dia? Jangan asal tuduh loh, Yank!""Iya, Mas! Aku yakin! Aku nggak bakalan lupa sama wajah wanita yang sudah mencoba menggoda suami aku.""Kemarin, Bu Tut bilang kalau Ratih itu kerja sebagai asisten bos. Apa iya, ya Mas? Kok, lebih kayak sugar baby gitu?""Sugar baby? Apa itu, Yank?""Itu loh, Mas! Simpanan om-om!""Astaghfirullah! Hush, udah! Kami nggak usah kepo! Dosa tau mencari aib orang!""Astaghfirullah! Maaf, Mas! Habisnya aku kepo!" ujar Rani sambil nyengir meski suaminya tidak melihat karena tertutup masker."Biarkan saja dia! Kamu nggak usah ikut campur. Meski ibu dan dia pernah membuat kita kesal dan pernah memfitnah k
"Ah, iya nih, Bu! Bagus nggak?""Wah, bagus Bu Tut. Kayaknya habis dapat rejeki nomplok nih sampai bisa beli cincin.""Iya, Bu! Saya habis dikasih sama Ratih. Kemarin dia habis gajian dan ngasih saya satu juta. Makanya saya bisa beli cincin sebagus ini," ujar Bu Tut."Beruntung banget ya, Bu Tut. Coba saja anak saya bisa ngasih saya uang banyak kayak gitu.""Iya, Bu! Akhirnya Ratih bisa berbakti juga sama orang tua. Semenjak dia cerai bahkan masih sama suaminya saja, kami orang tuanya yang ngasih makan.""Hah, yang bener, Bu?""Iya! Makanya, waktu si Jono terkena kasus, saya suruh cerai aja sekalian. Punya suami nggak bisa diandelin, buat apa?""Bener, Bu! Zaman sekarang makan cinta mah, nggak bakalan kenyang.""Nah, makanya itu. Laki zaman sekarang pengennya punya istri cantik. Padahal dia sendirinya cuma laki-laki kere. Nggak bisa memenuhi keperluan istrinya. Dia kira makan tampang aja kenyang?""Bener tuh, Bu Tut!""Ya, sudah! Saya pulang dulu ya, Bu-ibu!""Iya, Bu!""Enak ya, Bu T
"Ma-maksud, Om! Melayani apa? Menyediakan makan minum untuk Om, gitu?""Jangan pura-pura nggak tau, Ratih! Kita sudah sama-sama dewasa. Kamu ngerti apa yang saya maksud!" Om Heri menyesap rok*k yang terjepit di jarinya. "Tapi... Saya..." Ratih seakan ragu. Namun, tak dipungkiri dia sangat tergiur dengan uang itu. "Kalau kamu mau, uang sebesar sepuluh juta yang ada di amplop itu akan menjadi milikmu! Tetapi... Kalau kamu nggak mau, tidak apa-apa! Saya tidak keberatan tapi uang ini saya ambil kembali."Ratih menelan salivanya. Dia bingung dan juga bimbang, antara menerima atau menolak tawaran itu. "Saya tidak akan memberikan tawaran ini dia kali. Dan kalau kamu menolak uang ini, saya rasa kamu akan menjadi orang yang paling rugi." Om Heri mencoba menggoyahkan pertahanan Ratih. "Kamu tau? Sekarang susah untuk mendapatkan pekerjaan mudah dalam waktu yang singkat. Tidak mudah pula mendapatkan uang sebesar ini dalam satu hari. Apa kamu yakin mau menolak tawaran ini?" Lagi, Om Heri semak
"Awas kamu, Rani!" Bu Tut menggerutu setelah mendapatkan vonis hukuman dari Pak RT. "Sialan banget. Ini semua salah kamu, Winda!" ketus Bu Irma. "Loh, kok, Bu Irma nyalahin saya sih?" Winda tentu saja tidak terima dengan tuduhan itu. "Kan, yang ngajakin ke rumah Rani, kalian bertiga, kok, malah salah saya?""Iya! Salah kamu! Seandainya saja kamu memberikan informasi yang benar tidak akan seperti ini kejadiannya," bentak Bu Tut. "Kamu sengaja 'kan? Kamu hanya ingin memanfaatkan kami supaya bisa menuluskan niat jahatmu untuk merebut Irwan dari Rani," cetus Bu Tut. Mata Winda terbelalak karena tebakan Bu Tut memang benar. Namun, dia berusaha mengelak. "Enak saja! Memangnya selama ini saya pernah ngajakin ibu-ibu untuk membenci Rani? Bukannya kebalik? Kan, kalian yang ngajakin saya untuk membenci dia. Saya baru datang lagi kemari, malah kalian yang ngomongin dia yang jelek-jelek.""Tetap saja! Ini semua salah kamu! Kalau saja, kami tidak terhasut oleh omonganmu barusan tidak akan kam
"Aaaakkkhhh!" pekik ke empat orang itu. "Heh...! Kenapa kamu menyiram kami?" pekik Winda. "Apa lagi? Saya menyiram supaya jin dan roh jahat yang melekat di tubuh kalian semua pada kabur!" ketus Rani. "Apa kamu bilang?" Bu Tut dan Winda maju, ingin menjambak Rani, namun segera di tepis oleh Irwan. Dia mendorong Bu Tut yang berada di depan dan menumbruk tubuh Winda yang ada di belakang. "Aakkhh..." pekik Bu Tut, yang terduduk menimpa tubuh Winda. "Auwww!" Winda merintih karena ditindih oleh badan Bu Tut yang dua kali lebih besar darinya. "Hei, kurang ajar ya kamu, Irwan!" teriak Bu Tut. "Mas, kok, kamu malah mendorong kami sih?" Winda berkata manja. "Tolongin, dong!""Cih, buat apa? Kalian memang pantas menerima hal itu.""Kok, kamu jahat gini sih, Mas, sama aku?""Memangnya saya wajib gitu baik sama kamu?" sinisnya. "Pak RT, tolong usir saja mereka ini! Terutama wanita ini! Dia selalu mengganggu istri saya!" tunjuk Irwan kepada Winda. "Sudah! Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Mbak
"Kamu berani mengancam? Apa kamu takut kelakuan busukmu itu terbongkar, ha?""Yang busuk itu bukan kelakuan saya! Tapi, pikiran kalian yang busuk!" cetus Rani. "Sudahlah, Rani! Kamu tidak usah mengelak. Kamu begitu tega mempermainkan Mas Irwan. Sampai hati kamu berbuat begitu. Sudah jelas-jelas kalau kamu selingkuh, bahkan pria ini berani mendatangi rumah kamu," ujarnya seolah prihatin dengan Irwan. "Lihat? Anakmu ini sangat mirip dengan lelaki ini? Ini sudah ada buktinya 'kan?" Winda kembali menimpali. "Dia tidak mirip denganmu atau pun Mas Irwan.""Hahaha...." Rani dan Andra tertawa berbarengan. Membuat Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Winda bingung. "Kamu lihat 'kan, Mas! Dia pasti tak bisa mengelak lagi makanya tertawa. Mas Irwan bisa kok, dapetin yang lebih baik lagi dari Mbak Rani. Masih banyak wanita yang ingin menjadi istri kamu, jadi tidak perlu menutupi kelakuan buruk Mbak Rani.""Termasuk kamu gitu? Yang mau jadi istri Mas Irwan? Kamu 'lah wanita baik itu, begitu 'kan?" cibi