Home / Pernikahan / Pembalasan Istri Sang CEO / Chapter 121 - Chapter 130

All Chapters of Pembalasan Istri Sang CEO: Chapter 121 - Chapter 130

195 Chapters

Rencana pertunangan Alex dan Calista

"Jadi bagaimana rencana untuk hubungan kalian selanjutnya? Apa kalian sudah mengambil keputusan bersama?" tanya Mama Calista. Alex hanya diam, ia terlihat lesu dan tak bersemangat untuk membahas hal tersebut. Sebaliknya, Calista justru tersenyum manis, dalam benaknya sudah terbayang mengenai indahnya jalinan cinta di antara mereka berdua. "Ma, kami mau bertunangan dulu, agar semua orang mengetahui bahwa hubungan kami ini serius. Kami mau melaksanakan pertunangan secepatnya dan gak akan membuang waktu lagi," jawab Calista. "Apa itu benar, Alex?" tanya Mama Calista. "Terserah kalian saja," jawab Alex. Jawaban Alex yang menyiratkan rasa terpaksa itu membuat wanita paruh baya yang duduk di hadapannya menggelengkan kepala. Jika bukan karena putri manjanya yang sangat mencintai Alex, mungkin ia tidak akan bersikeras memaksa Alex seperti itu.Sejatinya Mama Calista menyadari bahwa ikatan cinta tidak akan bisa dipaksakan. Namun tidak ada pilihan lain, kebahagiaan Calista hanya tergantung
Read more

Meminta bantuan Intan

Tommy menatap lembaran kertas di tangannya dengan gelisah. Sudah setengah jam ia terpaku melihat angka-angka yang tertera di kertas itu. Tidak pernah perusahaan yang ia kelola mengalami kerugian sebesar ini. Tommy beralih menatap karyawan yang duduk di hadapannya. Adly, seorang pria berusia empat puluh tahunan itu hanya tertunduk. Kepala bagian keuangan di perusahaan itu bisa membaca ekspresi wajah Tommy yang menyiratkan dengan jelas rasa kecewa dan amarahnya. "Bagaimana ini bisa terjadi? Kita sudah berusaha mengantisipasi kerugian ini terus terjadi," kata Tommy. "Iya, Pak. Kita sudah berusaha menerapkan berbagai strategi, tetapi kondisi ini sepertinya di luar kendali kita," jawab Adly. "Lalu apa saranmu agar kita bisa bertahan dan melalui krisis ini?" tanya Tommy. "Mungkin dengan pengurangan karyawan dan memangkas biaya lainnya?" Adly balik bertanya. "Gak bisa seperti itu. Kalau kita mengurangi karyawan, berita buruk mengenai kondisi perusahaan ini akan beredar dengan cepat,"
Read more

Kejutan

Intan tersenyum melihat punggung Tommy kian menjauh dan pintu ruangannya tertutup. "Akhirnya kamu datang karena membutuhkan bantuanku, Mas," gumamnya. Ia merasa sangat puas melihat wajah Tommy yang lesu dan mengiba padanya. Dahulu di hadapannya Tommy selalu angkuh dan berkuasa. Ucapannya adalah titah yang menakutkan untuk Intan. Mungkin baru kali ini Intan berani menunjukkan taringnya di hadapan Tommy. "Wanita lemah yang dahulu diinjak dan disiksa olehnya, kini menjadi satu-satunya orang yang bisa menolongnya. Aku suka melihat kejatuhanmu, Mas Tommy. Aku sudah menunggu kesombonganmu berakhir," kata Intan. Rudy yang baru saja kembali dari pertemuan dengan koleganya masuk ke ruangan Intan. Ia melihat wajah sang kakak tersenyum ceria. Suatu hal yang jarang terjadi dahulu dan akhir-akhir ini. "Wah, ada apa ini, Mbak? Kenapa wajah Mbak sangat ceria? Apa Mbak baru mendapat keuntungan besar?" tanya Rudy. "Lebih dari itu, Rud," jawab Intan. Rudy duduk di kursi yang berada tempat di dep
Read more

Sebuah Perjanjian

Semua orang yang ada di ruangan itu diam dan menatap Tommy. Tommy duduk di sofa dan memegang kepalanya. Ia merasa sangat bodoh dan terjebak dalam situasi yang sama sekali tidak menyenangkan baginya. Andai saja bisa, ia ingin segera meninggalkan ruangan itu demi menyelamatkan harga dirinya. Tommy sadar sepenuhnya, kini dia hanya bisa mengandalkan Intan. Ia mengangkat wajahnya dan melihat Intan yang duduk dan menyilangkan kaki dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Intan, tolonglah aku! Aku akan melakukan apapun agar kamu bersedia meminjamkan uang yang aku butuhkan," kata Tommy. "Aku akan memberikan uang itu dengan satu syarat," jawab Intan. "Apa itu?" "Bersujud di depanku dan minta maaflah! Seingatku kamu belum pernah meminta maaf padaku dengan tulus sebelumnya. Lakukan itu dengan tulus, Tomny Nugraha yang terhormat! Aku harap kamu belum melupakan apa yang kamu lakukan dahulu kepadaku. Aku dan anak dalam kandunganku sangat menderita, dianiaya secara fisik dan mental olehmu. K
Read more

Warisan untuk Darren

Setelah menandatangani surat itu, Tommy melemparkan pena itu ke meja dengan kasar. Intan mengambil kertas bermaterai itu dan membacanya. "Bagus, Mas! Rudy akan mengirimkan uangnya saat ini juga. Aku senang bisa bekerja sama denganmu," kata Intan. "Oke. Aku akan pergi sekarang juga dari tempat ini. Kalian sudah puas melihat kondisiku saat ini, bukan?" tanya Tommy pada semua orang yang ada di ruangan itu. "Tunggu, Nak Tommy! Ada satu hal yang mau saya sampaikan pada semua yang hadir di sini. Silakan duduk kembali!" kata asisten pribadi Kakek Nugraha. Dengan langkah gontai, Tommy kembali ke tempat duduknya. Ia menunggu apa yang akan disampaikan oleh pria paruh baya itu. Asisten pribadi kakek membuka tasnya, lalu mengeluarkan sebuah dokumen. Ia menatap sekelilingnya sebelum memulai pembicaraan yang serius. "Baiklah, saya hadir di sini atas perintah dari Bapak Nugraha yang saat ini masih ada di Singapura. Beliau menyatakan beberapa hal untuk disampaikan pada Nak Carlo, Nak Tommy, dan
Read more

Sikap dingin Alex

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Alex ketika melihat Calista dan seorang temannya berdiri di muka pintu ruang kerjanya. Calista tersenyum, memberi isyarat pada teman wanitanya untuk masuk ke ruangan itu. Calista memakai gaun selutut berwarna putih dan duduk di kursi rodanya. Ia melihat sekelilingnya, ruang kerja Alex yang rapi dan cukup luas. "Sayang, aku kan kekasihmu. Apa salahnya aku datang kemari?" tanya Calista. "Kamu harus memberi tahu padaku, Calista. Aku sedang sibuk bekerja saat ini," jawab Alex. "Aku mengerti, Alex. Aku datang untuk memberi kejutan padamu. Sepertinya wajar kalau ada seseorang yang datang untuk memberi semangat dan perhatian pada kekasihnya. Ini makan siang untukmu." Calista meletakkan satu plastik berisi makanan untuk Alex di atas meja. Ia tersenyum dan menatap Alex dengan penuh cinta. "Terimakasih, aku belum lapar." Alex kembali fokus menatap layar laptopnya. "Alex, aku hanya mengantar Calista kemari. Nanti kamu yang antar dia ke rumahnya, ya! A
Read more

Calista dan mamanya menemui Alex

"Maaf, Ibu mau bertemu dengan siapa?" tanya seorang karyawan wanita yang duduk di belakang meja resepsionis. Calista dan sang mama yang masih terlihat cantik dan berkelas baru saja tiba di kantor Intan. Mama Intan cukup tercengang melihat kondisi kantor yang terbilang baru tersebut. Bukan pertama kali ia mendengar tentang Intan dan perusahaannya yang berkembang dengan pesat, namun baru kali ini ia melihatnya secara langsung. "Kami mau bertemu dengan Intan," jawab Mama Calista. Calista yang duduk di kursi rodanya hanya diam, ia menatap sekelilingnya. Wajahnya sedikit pucat dan mata yang bengkak karena banyak menangis. Ia sudah menyerahkan semua persoalannya pada sang mama. "Apa Ibu sudah membuat janji sebelumnya?" tanya karyawan wanita itu dengan sopan. "Belum.""Maaf, Bu. Tadi Bu Intan berpesan pada saya, bahwa beliau sedang sibuk dan tidak dapat ditemui, kecuali sudah membuat janji sebelumnya.""Apa?! Sombong sekali dia berkata seperti itu. Katakan padanya bahwa saya dan putri s
Read more

Amarah dan Hinaan

Amarah Intan seketika memuncak mendengar ucapan Mama Calista. Ia berdiri dan menatap kedua wanita itu dengan tajam. Intan tidak gentar sedikit pun menghadapi Mama Calista yang usianya jauh lebih tua darinya. "Kalian sangat keterlaluan! Bagaimana bisa kalian datang kemari tanpa diundang, memaksa masuk dan berbicara seenaknya seperti itu? Ini kantor saya, ada aturan dan sopan santun di sini. Calista, Bu, saya pikir kalian adalah orang yang berpendidikan tinggi dan mengerti sopan santun, tapi ternyata saya salah. Cara bicara kalian sama seperti orang yang tak berpendidikan," kata Intan dengan berani. "Kurang ajar kamu!" Mama Calista maju dan mengangkat tangannya untuk menampar wajah Intan. Namun Intan tidak mengijinkan hal itu terjadi, dengan cepat ia mengangkat tangannya dan menahan tangan wanita paruh baya itu dan menepisnya. Kini keduanya berhadapan dalam jarak kurang dari satu meter dan saling menatap tajam. "Intan, justru kamu wanita udik yang tidak punya sopan santun. Walaupun s
Read more

Rasa itu masih ada

"Calista, dengarkan mama! Mama gak mau kamu kehilangan harga diri dan mengemis cinta pada Alex. Tegarkan dirimu, Nak! Kamu itu putri Mama satu-satunya yang cantik dan sempurna. Di luar sana banyak pria yang menginginkan cintamu. Sekarang juga kita harus meninggalkan tempat ini!" Mama Calista tetap memaksa putrinya meninggalkan ruangan itu. Calista menangis dan berteriak memanggil nama Alex berulang kali. Akan tetapi Alex hanya diam di tempatnya dan menatap kepergian Calista dan sang mama dalam keheningan. Setelah Calista dan mamanya menjauh, Alex beralih menatap Intan yang duduk di kursinya. "Intan, maafkan aku kalau mereka datang dan mengganggu kamu," katanya. "Iya, lupakan saja. Anggap saja kejadian ini gak pernah terjadi," jawab Intan datar. Alex terdiam mendengar jawaban singkat Intan. Wanita itu kini bersikap lebih dingin padanya. Alex sadar diri, ia tidak perlu bertanya, mengapa Intan menjauh dan tidak membalas pesan darinya. Semua itu karena dirinya yang tidak berdaya mengh
Read more

Alex diusir dari rumah

Dua orang pria menyeret Alex masuk ke dalam rumahnya dan mendorongnya hingga terduduk di lantai. Mama Alex berteriak histeris melihat kondisi Alex yang memprihatinkan. Wajahnya penuh luka lebam dan darah yang mengucur. "Alex, apa yang terjadi?" tanya sang mama yang menghambur dan memeluk putranya. Sebelum sempat menjawab, Papa Alex keluar dari kamar dengan penuh wibawa. Bukan layaknya seorang papa yang menemui putranya, kini ia berdiri di depan Alex seperti seorang hakim. Mama Alex mengerti, ini adalah perbuatan suaminya. Tanpa sepengetahuan dirinya, Papa Alex menitahkan pada anak buahnya untuk menyeret Alex pulang dan memukulinya agar ia jera. "Pa, ada apa ini? Siapa yang memukuli Alex hingga seperti ini? Apa kamu yang menyuruh anak buahmu melakukannya?" Tatapan Mama Alex tajam, menuntut jawaban dari sang suami. "Ini akibat perbuatannya sendiri," jawab Papa Alex. Mama Alex kembali berlutut, ia menangkup wajah Alex dan mengusap darah yang mengalir dari sudut bibir itu dengan ibu
Read more
PREV
1
...
1112131415
...
20
DMCA.com Protection Status