Semua Bab Istri Tuli Yang Kau Buang: Bab 21 - Bab 30

121 Bab

Bab 22 Penguntit

Bab 22 Penguntit Bening memperhatikan Ajeng yang lebih banyak melamun. “Apakah tugas yang Kakak berikan terlalu berat?” tanyanya suatu sore yang lembab. Ajeng menggeleng. “Tidak, Kak, hanya saja aku belum bisa merayu Mas Ibra?” keluhnya pelan. Menutupi kegelisahan hatinya memikirkan ibunya yang belum pulang dari semalam. Bening tersenyum tipis. “Setidaknya kamu sudah berusaha,” ucap Bening menenangkan. Dia cukup puas dengan kinerja Ajeng, dan hendak memberikan bonus untuknya. Ia lalu duduk di kursi miliknya, memeriksa email. “Oh, ya, apa ada pesan menarik yang mau kamu bagikan dari media sosial?” Semenjak Ajeng turut bergabung dengan Joli Flower, ia memiliki meja sendiri. di pojok ruang. Sehingga ia nyaman melakukan pekerjaannya. Di seberang, Ajeng tersedak, lalu terbatuk – batuk. Trik jitu agar tidak menjawab pertanyaan Bening. Beberapa hari ini, dirinya menerima pesan masuk yang isinya kata – kata tak senonoh tentang Bening dan Joli Flower, dan ia berulang kali menghapus pesan
Baca selengkapnya

Bab 23 Dia yang cemburu

Bab 23 Dia yang cemburu Perlahan Kama menjalankan mobilnya membelah jalan raya. Mata lelaki itu tegang dan waspada melihat kaca spion. Mobil itu masih mengikutinya. “Ayo kita lihat siapa yang paling lihai di sini,” gumam lelaki itu pelan, sembari terus awas mengawasi keca spion. Sebelum lampu merah, dia menancap gas, kemudian dengan lihai ia berbelok ke kiri lalu berputar melewati jalan tikus yang tembus ke jalan utama yang sepi. Tak berselang lama, ponsel Kama berdering. Pria itu mengangkatnya. “Oke, terima kasih.” Senyum lelaki itu menyeringai setelah mendapat informasi dari sekretarisnya. “Jadi kamu mau menguntitku. Silahkan saja dan tunjukkan sampai di mana keberanian kamu,” gumamnya. Kening Kama tampak berkerut, kelihatan sekali ia berpikir keras mengatur strategi. Setibanya di ujung jalan, dia sengaja berhenti, sedangkan matanya awas memperhatikan jalan. Selanjutnya setelah melihat mobil hitam itu melintas di depannya, Kama langsung tancap tas mengejar mobil itu. Setelah mo
Baca selengkapnya

Bab 21 Ketahuan

Bab 21 Ketahuan “Ma, Papa tahu, tapi kita tidak memaksa Bening menyewa pengacara untuk menyelesaikan masalah. Kamu tahu sifat anakmu bagaimana. Semakin kamu tekan, Bening akan menjauh. Buktinya dia tidak bercerita kenapa dia mengajak Ajeng bekerja bersamanya. Coba Mama sekarang tanya Atun, dia tiap hari bersama Bening.” Iswati menoleh pada Atun yang duduk di sampingnya. “Tun, coba ceritakan pada kami apa yang kamu tahu.” Atun serba salah, dan dia menceritakan sebatas yang dia tahu. Iswati yang mendengarnya tercengang. Selama ini Bening tidak pernah menceritakan masalahnya di rumah. “Masak begitu, Mba Atun? Ibra benar – benar kejam dan dia manipulative. Apa yang harus kita lakukan, Pa?” “Kita awasi saja dia Ma, tapi jangan terlalu frontal, supaya Bening tidak jengah.” Sesampainya di Mall dan mau naik elevator, mata Iswati tertumbuk pada sepasang pasangan yang sedang makan dengan riang. Mereka tampak akrab. Buru – buru dia mengambil foto lalu mengirimkannya pada Ajeng. Dengan dad
Baca selengkapnya

Bab 24 Curiga

Bab 24 Curiga “Ada apa? Kamu seperti melihat sesuatu yang mencurigakan,” tanya Kama ketika melihat kerutan di dahi Bening. Matanya cepat menyisir ke sekeliling, siapa tahu Ibra nekad membuntuti mereka. “Tidak ada apa – apa.” Sebenarnya Bening tadi melihat Herni - mertuanya bersama seorang pria muda, masuk ke tempat penjual lalapan yang mau mereka tuju. Masalahnya ia terlalu malas untuk sekedar menyapanya. Wanita itu lalu melemparkan pandangan pada deretan penjual lapak yang berderet rapi di sepanjang jalan Hang Tuah. Tempat ini seperti pusat kuliner, dan menjadi tempat murah meriah untuk nongkrong bersama keluarga, karena menjual aneka makanan dan minuman. Pembeli tinggal memilih sesuai dengan budget masing – masing. “Bagaimana kalau kita makan di situ saja.” Bening menunjuk Lalapan Pak Shodiq yang posisinya menyempil, tertutupi oleh penjual bubur ayam. “Kamu yakin?” tanya Kama. Dibandingkan dengan tempat lain Lalapan pak Shodiq sepi. “Yap! Siapa tahu, kita merupakan pelanggan p
Baca selengkapnya

Bab 25 Mulai kelihatan busuknya

Bab 25 Mulai kelihatan busuknya“Uang! Uang terus yang kamu pinta! Apa kamu tidak tahu, aku sedang capek!”Ibra mendengkus kesal dan melemparkan tubuhnya pada kursi di ruang tengah.Darah Intan mendidih, gelas minum yang dibawanya ia lemparkan ke lantai dan pecah seribu. “Bagaimana kamu tidak capek, setiap hari kamu kerjanya keluyuran, main slot dan nyabu. Cari kerja dong Mas, uang kita sudah habis.”Muka Ibra makin berkerut. Rahang kedua lelaki itu mengatup rapat. Matnya nanar menatap Intan yang semakin lama ia amati sikapnya makin menjengkelkan.“Aku keluyuran buat cari kerja. Bukan seperti kamu yang bisanya menghambur – hamburkan uang. Coba hitung, berapa banyak uang yang kukasih selama ini kepadamu. Semuanya habis tanpa sisa, bahkan uang hasil penjualan rumah Bening, sebagian besar kamu pakai. Sedangkan Ibu dan adikku tidak mendapatkan jatah sama sekali.”Intan tidak terima. “Hey! Jangan mengada – ada, mana hasil keluyuranmu itu! Terus, memangnya untuk perjalanan kita ke Eropa, te
Baca selengkapnya

Bab 26 Gosip

Bab 26 Gosip“Be, apa mertuamu menikah lagi?” tanya Iswati pada Bening yang baru menidurkan Evan.“Gak tahu, Ma, kenapa memangnya? Ngapain juga pengen tahu urusan mereka.” Bening lalu duduk di samping mamanya di ruang tengah ikut menonton televisi.Atun kemudian datang membawa sepiring pisang goreng dan seteko teh hangat. Bening mencomot satu pisang goreng, kemudian memakannya dengan nikmat.“Bukan begitu, Ajeng kan bekerja denganmu. Siapa tahu dia cerita.”“Aduh, Ma. Ajeng kan bekerja bukan bergosip. Hubungan kami professional. Lagipula Bening tidak mau tahu lagi urusan Ibra dan keluarganya, mending mikirin bagaimana membeli rumah lagi buat Evan.”“Mamamu kan begitu, suka kepo dengan urusan orang,” celetuk Gatot yang menguping pembicaraan mereka.“Ihh Papa. Mama hanya mau meluruskan informasi. Waktu kita jalan – jalan ke Mall bersama Evan, Mama tak sengaja melihat Bu Besan bersama lelaki paruh baya. Mama kira itu suaminya, gayanya mesra sekali. Tapi Mama tidak menyapa, malas.” Iswati
Baca selengkapnya

Bab 27 Membuat rencana

Bab 27 Membuat rencana Ajeng langsung berlari meninggalkan belanjaannya. Hatinya sakit mendengar kata – kata pedas Bu Luthfi. Bu Ridho yang melihat sikap Bu Luthfi protes. Ia kesal sekali pembelinya pergi. “Gara – gara mulut Ibu, saya kehilangan penglaris. Tolonglah dijaga omongannya. Kalo begini saya kan yang rugi.” “Hadeh, Bu Ridho, emang berapa sih belanjaan Ajeng. Hitung semua, biar saya beli.” Bu Ridho menghitung dan memasukkan belanjaan Ajeng yang tertinggal ke dalam plastik kresek. “Totalnya 75 ribu.” Mata Bu Luthfi mendelik. “Hah, mahal amat! Emang apa aja sih yang dia beli.” Dia membuka dompetnya. “Waduh, uang saya ketinggalan di rumah. Saya mau beli ini aja. “Dia mengambil tempe tiga dan sayur kangkung 6.” Kemudian menyerahkan uang 10 ribu kepada Bu Ridho. “Terus belanjaan ini gimana?” tanya Bu Ridho. “Biarin aja di situ, Bu Ridho bisa jual lagi.” Bu Luthfi lalu pergi tanpa sesal, sedangkan muka Bu Ridho manyun dan menggeleng – gelengkan kepalanya. “Bilang saja gak m
Baca selengkapnya

Bab 28 Hujan

Bab 28 Hujan Waktu bergulir begitu cepat. Jam dinding di Joli Flower sudah menunjukkan jam 7.30 malam. Di ruangannya, Bening masih tampak sibuk menginput nota – nota ke dalam laporan keuangan. Mata wanita mengeryit ketika mendapati laporan keuangannya tidak balance. Sekali lagi dia mengecek satu persatu nota dan menemukan sumber kesalahan kenapa laporan keuangannya tidak balance. “Tanto, apa kamu menerima pembayaran dari Bapak Andi? Katanya dia tadi mau menitipkan pada staffnya untuk diberikan kepadamu.” tanya Bening pada Tanto yang masih merapikan peralatan. Bapak Andi adalah salah satu pelanggan Joli Flower, dia bekerja di PT Nusa sebagai Manager dan meminta Bening untuk mensupply bunga – bunga potong serta tanaman hidup untuk dekorasi ruangan. Biasanya mereka mengganti bunga – bunga itu tiap dua hari sekali, dan jumlah tagihannya sekitar 5 juta. “Belum Bu.” Bening memijat keningnya. Ini sudah terlambat dua minggu, padahal biasanya mereka selalu tepat waktu membayar tagihan.
Baca selengkapnya

Bab 29 Kacau

Bab 29 Kacau “Kerja yang bagus, Dang!” kata Intan tersenyum puas melihat Dadang membawa mobil Ibra. “Apa kamu menyiksanya?” “Tidak! Aku hanya menakutinya dengan sebilah pisau,” ujar Dadang yang memiliki tubuh gempal itu. “Apa ini celanamu? Aku lihat ada celana dalam tertinggal di dalam mobil.” Dia melemparkan celana dalam model G – string ke Intan. Intan meringis, dan memasukkan celana itu ke dalam tasnya. “Kapan Zulifkar bebas?” “Katanya sih bulan depan. Aku telah mengeluarkan banyak uang untuk membebaskannya.” Nada suara Intan terdengar seperti sebuah keluhan. Dadang memperhatikan wajah Intan yang terselimuti mendung. “Cinta kamu memang luar biasa untuk Zulfikar. Kamu melakukan apa saja untuk membuatnya bahagia.” Intan menarik napas panjang. “Entahlah, mungkin aku yang bodoh. Aku tetap mempertahankan Zukfikar, padahal kamu tahu dia pemakai. Gara – gara dia aku juga hidupku sekarang sangat kacau.” “Terus siapa lelaki yang kurampok tadi, apakah dia tidak membayar jasamu?” tany
Baca selengkapnya

Bab 30 Tawaran

Bab 30 Tawaran “Kama, Makanlah dulu sebentar, Kakak ke sini bukan untuk melihatmu bekerja." Tita Maheswara membuka rantang makanan yang ia bawa. Aroma wangi makanan keluar memenuhi ruangan berpendingin itu. Hari itu Tita sengaja menyambangi kantor adiknya. Gara - gara Kama tidak mampir ke rumahnya seminggu ini. "Sebentar, Kak, tanggung. Kama masih mengurusi pembebasan lahan di Kalimantan. Ini harus diselesaikan cepat," ucap Kama tanpa melepaskan pandangannya dari layar laptop. "Kamu selalu saja begitu, menunda - nunda makan. Bagaimana kalau kamu sakit? Tidak ada yang menjagamu." Tita tampak khawatir. “Ayolah, Kak, jangan begitu khawatir, aku bukan anak kecil lagi yang tiap waktu kamu perhatikan,” keluh Kama pada Kakak semata wayangnya itu. “Ini mengenai hak orang, aku mau membeli harga tanah yang pantas untuk mereka, supaya tidak ada drama penggusuran nanti.” “Oke.” Tita menunggu, ia tahu, Kama memiliki empati tinggi pada orang lain, mewarisi sifat Ibu, sama dengan dirinya. Sit
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
13
DMCA.com Protection Status