Semua Bab Terjebak Pernikahan Penuh Derita: Bab 61 - Bab 70
164 Bab
Perseteruan Nadya dan Allice
Nadya benar-benar tidak ada niat untuk kembali ke apartemen. Apalagi dia belum sempat bertemu dengan Arsen. “Aku akan pergi kalau Arsen yang memintanya,” gumam Nadya sambil mengayunkan kaki yang sebagian masuk ke dalam air kolam. Sudah 15 menit Nadya menikmati suasana di tepian kolam sambil berandai-andai Arsen akan menghampiri lalu memeluknya. “Huh! Mba Safira. Kamu beruntung banget dicintai oleh pria macam dia. Pria paling sempurna yang pernah aku lihat.” Bibir Nadya tersenyum kecil teringat kebahagiaan yang Safira tunjukkan sejak menikah dengan Arsen. Tentu Nadya menjadikan kakak iparnya sebagai kiblat pria idamannya kelak. Namun, senyuman itu surut tatkala Nadya ingat kalau dia sering melihat Safira murung. Semakin terkejut, ketika dia mengetahui kalau Arsen akan menikah lagi dengan Allice karena kakaknya itu tidak bisa memberikan keturunan. “Penyebab utamanya memang kamu, Allice. Sungguh aku tidak akan pernah rela kamu bahagia di dunia ini.” Tangan Nadya mengepal kalau inga
Baca selengkapnya
Mulai Menata Koper
Allice menahan diri untuk tidak mengeluarkan air mata di depan umum. Apalagi rumah sakit ini akan menjadi tempat kerjanya kelak.Baru saja kakinya melangkah keluar dari pintu lobi. Sebuah mobil berhenti di depannya.Darren, pria itu keluar dari bagian kemudi. Dia berputar hanya untuk membukakan pintu untuk Allice.“Masuk,” titahnya.Allice terdiam. Dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Darren memintanya masuk. Bahkan ekspresi pria itu terlihat serius. Tidak tengil seperti biasa.“Aku mendengar semuanya tadi. Kamu tidak mungkin menangis di pinggir jalan sendiri, kan? Atau kamu menunggu suamimu itu mengejar?”Pertanyaan terakhir dari Darren membuat Allice reflek menoleh ke belakang. Ya, sebenarnya begitu. Dia ingin Arsen menemuinya saat ini juga dan meminta maaf.Tapi tidak sosok itu tidak ada di belakangnya.“Kau ingat, saat suamimu tidak datang ke resto untuk merayakan ulang tahunmu? Kalau tidak bertemu denganku, kamu pasti akan menangis sepanjang jalan. Mau melakukan itu lagi?” Darren
Baca selengkapnya
Mengejar Allice
Perasaan Allice campur aduk. Selama beberapa menit, dia sempat terduduk di lantai depan lemari. Dadanya sesak, kakinya juga lemah. Begitupun air matanya tak bisa berhenti sejak tadi.“Brian, Anna ... maafkan mama ....”Allice menangis hebat sampai harus membungkuk sambil menekan dadanya yang makin berdenyut. Apakah keputusannya pergi dari rumah ini adalah salah? Meninggalkan anak-anaknya tanpa pamit.Bahkan jika membayangkan bagaimana kesedihan Anna dan Brian setelah kembali dari Dubai. Membuat Allice tak sanggup untuk melanjutkan kenekatannya ini.Tapi tidak. Dia sudah terlalu sakit.Entah sampai kapan Arsen menuduhnya sebagai pembunuh. Padahal jelas-jelas dia memiliki buktinya.Allice menarik nafasnya dalam-dalam. Dia usap wajah basahnya.“Aku harus pergi.”Allice susah payah menekan kesedihannya. Dia kembali memasukkan barang-barang yang dibutuhkan ke dalam koper. Termasuk figura kecil dengan gambar kedua anaknya disana.Semua Allice lakukan dengan cepat sebelum Bibi Suci kembali d
Baca selengkapnya
Benar-benar Meninggalkan
Tubuh Arsen terhempas ke kanan setelah mobilnya ditabrak oleh taksi dari samping. Lebih tepatnya, sebuah kecelakaan kecil akibat supir Arsen berhenti menghalangi jalan si taksi itu.“Tuan? Anda tidak apa-apa?”Pertanyaan supirnya itu tidak Arsen hiraukan. Dia menahan lengannya yang sedikit berdenyut dan bergegas keluar dari mobil.“Ada apa ini? Kenapa Anda tiba-tiba mengejar dan menghentikan saya?” Supir Taksi keluar dengan rasa bingung. Apa dia akan dijambret atau justru sebaliknya.“Mana istriku?”Arsen buru-buru membuka pintu penumpang. Tapi dia tak menemukan siapapun. Bahkan Arsen sampai terdiak sekian detik memperhatikan kursi depan ataupun belakang.Barang-barang milik Allice pun tidak ada.“Mana istriku?” Arsen kembali mendekati supir taksi sambil menunjuk ke arah bagian dalam taksi.Sang supir mengerutkan keningnya. Lalu dia jadi ingat. “Oooh, mba-mba cantik yang bawa koper?”“Iya, dimana dia?” tanya Arsen mengejar.“Tadi, setelah keluar dari kawasan elite, mba itu minta saya
Baca selengkapnya
Sejenak Menenangkan Diri
Seorang wanita cantik dengan setelan kaos crop navy yang dibalut coat jaket berwarna broken white baru saja keluar dari pintu utama Bandara Internasional Wellington, New Zealand.Sambil menggeret sebuah koper sky blue-nya, Allice tersenyum begitu mendapati lambaian tangan dari seorang pria yang sudah menunggu di ujung sana. Yeah, tadi Darren mendahului karena harus menerima telefon katanya. Sedangkan Allice mampir ke toilet lebih dulu.Allice menghampiri dan segera menyapanya, "Maaf ya aku kelamaan. Tadi koperku hampir saja tertukar dengan orang lain di depan toilet."Lengkungan sabit di wajah pria berbaju denim itu muncul. Ya, siapa lagi kalau bukan Darren, pria hangat dengan sikap lembutnya itu."Hei, santai saja, Allice. Masih untung kamu tidak dibawa oleh duda kaya," canda Darren yang segera mengambil alih koper Allice dan memasukkan ke bagasi mobil.Setelahnya, tangan Darren membukakan pintu untuk Allice. "Ayo masuk. Kamu pasti lelah karena flight yang panjang ini.""Bukan hanya
Baca selengkapnya
Penyesalan Seorang Arsen
"Darren? Kamu sudah pulang, Sayang?" sapa Geraldine begitu melihat pria berkemeja formal yang masuk memegang jas putih kebesarannya dari arah klinik. Darren, pria itu sama sekali tak menggubris. Langkahnya lurus dan raut wajahnya setia datar. Terlalu malas basa-basi. "Apa kau tidak punya telinga? Ibumu sedang bertanya, Darren!" Sebuah suara dengan nada meninggi itu refleks menghentikan ayunan kaki Darren. Arah pandangnya pun tertuju pada sosok pria paruh baya yang selalu memasang wajah arogan itu. "Ibu? Apa aku tidak salah dengar? Sejak kapan aku punya ibu seperti dia?" Darren tersenyum sinis. Mendengar jawaban Darren yang seolah meyelepekan posisi sang istri, Raymond seketika berang. Dia bangkit dan menatap bengis putranya itu. "Kau?! Berani-beraninya berkata seperti itu?? Di mana sopan santunmu?!" sentak Raymond sambil mengacungkan telunjuk ke arah Darren. Sebelah alis Darren terangkat, seakan menantang sang ayah yang menurutnya telah salah mendewakan wanita. "Kenapa? Aku han
Baca selengkapnya
Mencoba Mengurai Masalah
Arsen menatap ponselnya yang berdering sejak tadi. Jemarinya nampak ragu untuk mengangkat. Namun, kalau tidak dijawab pasti akan menimbulkan masalah baru lagi. Pria itu menarik nafasnya dan akhirnya menekan tombol hijau. Perasaan Arsen sudah tak enak. Apalagi ketika panggilan suara akhirnya terhubung dan sapaan dari dua bocah yang tak lain Brian dan Anna mengalun penuh semangat. "Papaa!" Arsen yang awalnya sudah kusut seperti karpet terinjak-injak mau tak mau melukis senyum paksa. Untung ini bukan video call. "Hai, anak Papa yang cantik dan ganteng. Kalian berdua happy kan di sana?" Suara cempreng Anna menyahut kilat, "Very happy, Pa! Di sini banyak mainan sama bisa berenang di pantai loh. Anna suka sekali!" "Brian juga senang, Pa. Oma dan Opa ajak kita jalan-jalan terus," timpal Brian mendukung jawaban Anna tadi. Mendengar kekompakan Anna juga Brian, Arsen kali ini menghela napas lega. "Syukurlah kalau kalian menikmati liburannya." "Arsen," panggil Imelda yang tiba-tiba menga
Baca selengkapnya
Allice Menemukan Sesuatu
"Shit!" umpat Arsen sambil memukul pinggiran sofa.Tangan kanan Hexa menepuk pundak Arsen. "Tenang. Jangan emosi dulu.""Coba aku telepon Bobby sekarang," lanjutnya yang langsung diangguki setuju oleh Arsen.Hexa mulai mengotak-atik ponselnya. Mencari kontak Bobby dan tanpa ba-bi-bu menghubungi nomor itu."Halo, Bob? Sibuk tidak? Aku bisa ke sana sekarang?" Hexa langsung mencecar pada intinya.Terdengar suara ketikan keyboard dari sebrang sana. Lalu, Bobby menyahut, "Sorry, Hex. Aku lagi ngoding program. Lembur ini. Pulang besok pagi."Jawaban dari Bobby membuat Hexa melempar pandangan ke arah Arsen yang tampak menghela napas pasrah. Sepertinya, memang tidak bisa selesai malam ini juga. Nyatanya ini sudah tengah malam. Tidak pantas juga bertamu saat ini."Oh gitu. Ya sudah. Aku main ke rumah besok ya. Bisa kan?" tanya Hexa.Bobby menjawab cepat. "Santai. Kalau besok bisa diatur."Begitu Hexa selesai mengucap terima kasih, panggilan kini berakhir. Dan atensi Hexa tertuju pada Arsen yan
Baca selengkapnya
Tangisan Arsen
Allice menaikkan satu alisnya sambil mengulurkan tangannya pada Darren. “Darren? Kamu kenapa jadi tegang begitu?” tanya Allice. “Aku bukan tegang.” “Lalu?” “Permisi?” Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu. *** "Holy shit! Bagaimana aku bisa sebodoh ini!" umpat Darren sambil menutup kasar pintu ruangannya. Bagaimana dia tidak emosi? Sesuatu yang sangat ia rahasiakan bertahun-tahun dari siapapun nyaris saja terbongkar kalau semesta tidak segera bertindak tadi. Ya, map yang kini ia genggam berhasil lolos dari kecurigaan Allice berkat kedatangan Nyonya Shammar. Kalau saja pasiennya itu tidak buru-buru pulang karena sudah dijemput oleh anaknya, Allice mungkin akan terus menagih penjelasan padanya. 
Baca selengkapnya
Rayuan Panas untuk Darren
Tepat pukul setengah satu siang, Allice baru saja selesai menata alat medis yang kebetulan Darren datangkan dari Auckland. Kata Darren, ini semua demi kelengkapan peralatan juga teknologi yang berguna untuk para pasien di klinik. Allice mengibaskan telapak tangannya dengan seulas senyum tipis. "Oke, sudah beres semua." "Aku jaga depan aja kali ya? Darren pasti lagi sibuk di dalam," pikirnya yang langsung mengarahkan langkah ke lobby klinik. Begitu mendaratkan tubuh di kursi, fokus Allice kini tertuju pada laptop yang setia menyala. Memantau bila ada pasien yang 'booking' melalui web online. Ya walaupun belum banyak yang tahu tentang klinik Darren ini sebab lokasinya sedikit jauh dari tengah kota, tapi bisa dibilang tidak terlalu sepi. Buktinya, dari riwayat pasien yang berobat ke sini menunjukkan grafik yang lumayan tinggi. Jemari Allice mulai menari-nari di atas keyboard. Dia membantu Darren menyelesaikan satu tugas yang sepertinya belum sempat laki-laki itu selesaikan. Ketika
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
17
DMCA.com Protection Status