Tubuh Arsen terhempas ke kanan setelah mobilnya ditabrak oleh taksi dari samping. Lebih tepatnya, sebuah kecelakaan kecil akibat supir Arsen berhenti menghalangi jalan si taksi itu.“Tuan? Anda tidak apa-apa?”Pertanyaan supirnya itu tidak Arsen hiraukan. Dia menahan lengannya yang sedikit berdenyut dan bergegas keluar dari mobil.“Ada apa ini? Kenapa Anda tiba-tiba mengejar dan menghentikan saya?” Supir Taksi keluar dengan rasa bingung. Apa dia akan dijambret atau justru sebaliknya.“Mana istriku?”Arsen buru-buru membuka pintu penumpang. Tapi dia tak menemukan siapapun. Bahkan Arsen sampai terdiak sekian detik memperhatikan kursi depan ataupun belakang.Barang-barang milik Allice pun tidak ada.“Mana istriku?” Arsen kembali mendekati supir taksi sambil menunjuk ke arah bagian dalam taksi.Sang supir mengerutkan keningnya. Lalu dia jadi ingat. “Oooh, mba-mba cantik yang bawa koper?”“Iya, dimana dia?” tanya Arsen mengejar.“Tadi, setelah keluar dari kawasan elite, mba itu minta saya
Seorang wanita cantik dengan setelan kaos crop navy yang dibalut coat jaket berwarna broken white baru saja keluar dari pintu utama Bandara Internasional Wellington, New Zealand.Sambil menggeret sebuah koper sky blue-nya, Allice tersenyum begitu mendapati lambaian tangan dari seorang pria yang sudah menunggu di ujung sana. Yeah, tadi Darren mendahului karena harus menerima telefon katanya. Sedangkan Allice mampir ke toilet lebih dulu.Allice menghampiri dan segera menyapanya, "Maaf ya aku kelamaan. Tadi koperku hampir saja tertukar dengan orang lain di depan toilet."Lengkungan sabit di wajah pria berbaju denim itu muncul. Ya, siapa lagi kalau bukan Darren, pria hangat dengan sikap lembutnya itu."Hei, santai saja, Allice. Masih untung kamu tidak dibawa oleh duda kaya," canda Darren yang segera mengambil alih koper Allice dan memasukkan ke bagasi mobil.Setelahnya, tangan Darren membukakan pintu untuk Allice. "Ayo masuk. Kamu pasti lelah karena flight yang panjang ini.""Bukan hanya
"Darren? Kamu sudah pulang, Sayang?" sapa Geraldine begitu melihat pria berkemeja formal yang masuk memegang jas putih kebesarannya dari arah klinik. Darren, pria itu sama sekali tak menggubris. Langkahnya lurus dan raut wajahnya setia datar. Terlalu malas basa-basi. "Apa kau tidak punya telinga? Ibumu sedang bertanya, Darren!" Sebuah suara dengan nada meninggi itu refleks menghentikan ayunan kaki Darren. Arah pandangnya pun tertuju pada sosok pria paruh baya yang selalu memasang wajah arogan itu. "Ibu? Apa aku tidak salah dengar? Sejak kapan aku punya ibu seperti dia?" Darren tersenyum sinis. Mendengar jawaban Darren yang seolah meyelepekan posisi sang istri, Raymond seketika berang. Dia bangkit dan menatap bengis putranya itu. "Kau?! Berani-beraninya berkata seperti itu?? Di mana sopan santunmu?!" sentak Raymond sambil mengacungkan telunjuk ke arah Darren. Sebelah alis Darren terangkat, seakan menantang sang ayah yang menurutnya telah salah mendewakan wanita. "Kenapa? Aku han
Arsen menatap ponselnya yang berdering sejak tadi. Jemarinya nampak ragu untuk mengangkat. Namun, kalau tidak dijawab pasti akan menimbulkan masalah baru lagi. Pria itu menarik nafasnya dan akhirnya menekan tombol hijau. Perasaan Arsen sudah tak enak. Apalagi ketika panggilan suara akhirnya terhubung dan sapaan dari dua bocah yang tak lain Brian dan Anna mengalun penuh semangat. "Papaa!" Arsen yang awalnya sudah kusut seperti karpet terinjak-injak mau tak mau melukis senyum paksa. Untung ini bukan video call. "Hai, anak Papa yang cantik dan ganteng. Kalian berdua happy kan di sana?" Suara cempreng Anna menyahut kilat, "Very happy, Pa! Di sini banyak mainan sama bisa berenang di pantai loh. Anna suka sekali!" "Brian juga senang, Pa. Oma dan Opa ajak kita jalan-jalan terus," timpal Brian mendukung jawaban Anna tadi. Mendengar kekompakan Anna juga Brian, Arsen kali ini menghela napas lega. "Syukurlah kalau kalian menikmati liburannya." "Arsen," panggil Imelda yang tiba-tiba menga
"Shit!" umpat Arsen sambil memukul pinggiran sofa.Tangan kanan Hexa menepuk pundak Arsen. "Tenang. Jangan emosi dulu.""Coba aku telepon Bobby sekarang," lanjutnya yang langsung diangguki setuju oleh Arsen.Hexa mulai mengotak-atik ponselnya. Mencari kontak Bobby dan tanpa ba-bi-bu menghubungi nomor itu."Halo, Bob? Sibuk tidak? Aku bisa ke sana sekarang?" Hexa langsung mencecar pada intinya.Terdengar suara ketikan keyboard dari sebrang sana. Lalu, Bobby menyahut, "Sorry, Hex. Aku lagi ngoding program. Lembur ini. Pulang besok pagi."Jawaban dari Bobby membuat Hexa melempar pandangan ke arah Arsen yang tampak menghela napas pasrah. Sepertinya, memang tidak bisa selesai malam ini juga. Nyatanya ini sudah tengah malam. Tidak pantas juga bertamu saat ini."Oh gitu. Ya sudah. Aku main ke rumah besok ya. Bisa kan?" tanya Hexa.Bobby menjawab cepat. "Santai. Kalau besok bisa diatur."Begitu Hexa selesai mengucap terima kasih, panggilan kini berakhir. Dan atensi Hexa tertuju pada Arsen yan
Allice menaikkan satu alisnya sambil mengulurkan tangannya pada Darren.“Darren? Kamu kenapa jadi tegang begitu?” tanya Allice.“Aku bukan tegang.”“Lalu?”“Permisi?”Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu.***"Holy shit! Bagaimana aku bisa sebodoh ini!" umpat Darren sambil menutup kasar pintu ruangannya.Bagaimana dia tidak emosi?Sesuatu yang sangat ia rahasiakan bertahun-tahun dari siapapun nyaris saja terbongkar kalau semesta tidak segera bertindak tadi.Ya, map yang kini ia genggam berhasil lolos dari kecurigaan Allice berkat kedatangan Nyonya Shammar.Kalau saja pasiennya itu tidak buru-buru pulang karena sudah dijemput oleh anaknya, Allice mungkin akan terus menagih penjelasan padanya.
Tepat pukul setengah satu siang, Allice baru saja selesai menata alat medis yang kebetulan Darren datangkan dari Auckland. Kata Darren, ini semua demi kelengkapan peralatan juga teknologi yang berguna untuk para pasien di klinik. Allice mengibaskan telapak tangannya dengan seulas senyum tipis. "Oke, sudah beres semua." "Aku jaga depan aja kali ya? Darren pasti lagi sibuk di dalam," pikirnya yang langsung mengarahkan langkah ke lobby klinik. Begitu mendaratkan tubuh di kursi, fokus Allice kini tertuju pada laptop yang setia menyala. Memantau bila ada pasien yang 'booking' melalui web online. Ya walaupun belum banyak yang tahu tentang klinik Darren ini sebab lokasinya sedikit jauh dari tengah kota, tapi bisa dibilang tidak terlalu sepi. Buktinya, dari riwayat pasien yang berobat ke sini menunjukkan grafik yang lumayan tinggi. Jemari Allice mulai menari-nari di atas keyboard. Dia membantu Darren menyelesaikan satu tugas yang sepertinya belum sempat laki-laki itu selesaikan. Ketika
Saat udara terasa begitu dingin di siang hari. Terdengar suara tangisan di sebuah taman yang sepi."Hei, ada apa, Cantik? Kenapa kamu menangis hm?"Allice berjongkok, menyamakan tingginya dengan seorang gadis kecil berkuncir kepang yang kini terduduk di pojok bangku taman klinik sambil menangis sesenggukan."Cup cup cup, jangan sedih ya, Sayang. Aunty di sini, kamu bisa cerita apa saja kok," ucap Allice sambil mengelus puncak kepala bocah mungil itu dengan penuh kasih.Walau masih dengan napas yang tersendat-sendat karena sesegukkan, bibir mungil itu akhirnya bersuara, "A-aku ingin p-pulang.""T-tapi aku t-tidak tahu bagaimana caranya.""Aunty boleh tahu siapa namamu?" tanya Allice dengan suara lembutnya.Anak kecil manapun pasti akan mudah dekat dan tidak bisa jauh dari pesona keibuan seorang Allice. Bahkan, lihatlah, bocah yang tadinya menangis pilu sekarang tampak lebih tenang."Isabelle," jawab bocah itu dengan raut lugu bak anak kecil pada umumnya.Tangan kanan Allice mengelus pi
Drrttt ... Drrttt ... Drrttt ...Gerakan polesan brush berwarna pink di sela jari telunjuk juga jempol berkutek peach itu seketika terhenti.Atensi wanita cantik yang tengah duduk di kursi rias langsung beralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas."Siapa ya?" Tangan Nadya terulur, meraih benda pipih nan canggih tersebut.Begitu sepasang netra amber ini menyorot sebuah nama yang tertera di layar ponsel dalam genggamannya, detik itu juga Nadya membuka mulutnya lebar-lebar dengan raut terkejut."Wah serius ini Allice video call?!"Tanpa ba-bi-bu, Nadya segera menggeser icon hijau tersebut dan saat itu juga pandangannya disambut senyum juga lambaian tangan dari Allice di sebrang sana."Haii, Nad!" sapa Allice dengan wajah sumringahnya.Nadya tersenyum lebar lalu ikut melambaikan tangan. " Allice haloo!""Ih kangen banget aku sama Allice tau. Udah setahun lebih nggak ketemu kan kita?" tanyanya sambil mengingat-ingat kapan terakhir berjumpa.Tawa Allice meluncur renyah. "Iya ma
"Kamu yakin ini rumahnya?"Oscar menoleh ke kiri, menatap wanita cantik dengan blouse dusty pink yang kini sebelah tangannya menggenggam stroller bayi berwarna senada."Iya bener kok ini tempatnya. Tunggu, biar aku yang tekan belnya," sahut Nadya yang setelahnya langsung mengulurkan tangan, menekan bel di dinding berwarna silver itu. Menunggu beberapa detik, barulah pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita dengan rambut digelung indah yang muncul dengan raut terkejut."Nadya? Ini beneran kamu? Udah sehat?" pekik Allice begitu senang melihat Nadya di hadapannya setelah 2 bulan tanpa kabar.Terakhir Nadya ijin melalui pesan singkat kalau dirinya akan ke Italia untuk mengurus ini dan itu di kediaman Oscar sebelum melangsungkan pernikahan.Wanita muda berblouse dusty pink itu terkekeh geli. Dipeluknya tubuh Allice seperti seorang adik yang merindukan kakaknya."Surprise! Yes, it's me, Allice," timpal Nadya masih dengan tawa jahilnya sebab merasa berhasil membuat kejutan ini.Allice mengura
"Kamu gila ya?! Kamu pikir nikah itu seperti anak kecil merengek minta dibelikan permen?" Nadya mendelik tajam, jelas saja ia melayangkan protes.Manusia mana yang tiba-tiba dengan asal mendesaknya menikah padahal belum juga ada pembicaraan khusus ke arah sana.Ya meskipun sudah ada Isabel di antara dirinya dan Oscar, tapi tetap saja butuh waktu juga persiapan untuk menuju ke jenjang pernikahan yang sebenarnya.Oscar melirik Lexa yang menyembulkan kepala di balik pintu kamarnya. Lalu, dilemparnya kode agar adiknya itu berhenti mengintip.Seolah tahu kakaknya butuh privasi, akhirnya Lexa menurut dan mundur dari sana. Memberi ruang pada dua orang dewasa di ruang tengah itu.Dirasa waktunya sudah tepat, Oscar segera mengalihkan atensi wanita di hadapannya ini. "Kamu lapar kan? Ke dapur sebentar yuk.""Mau aku buatkan makanan apa?" tawarnya dengan nada selembut mungkin. Enggan membuat Nadya merasa tak nyaman berada di dekatnya.Sebelah alis Nadya terangkat. Sedikit merasa aneh mengetahui
"Loh, kalian sudah pulang?"Membuka pintu mansion megah tersebut, kelopak mata Imelda terbuka lebar juga mulutnya menganga saat mengetahui siapa yang datang.Bukan. Bukan karena Imelda tak suka, melainkan heran dan ekspetasinya sedikit meleset."Kenapa tidak kasih kabar dulu? Mama kan bisa jemput di bandara. Terus Nadya mana? Kok tidak bareng sama kalian?"Runtutan pertanyaan itu seketika membombardir Allice juga Arsen yang saling melempar pandang dan menahan senyum.Arsen menyahut enteng. "Anggap aja ini surprise, Ma. Lagi pula, Mama tidak senang aku dan Allice pulang lebih cepat?""Memangnya Mama tidak rindu pada Brian dan Anna?"Baru saja kedua nama bocah itu disebut, kakak beradik tersebut turun dari mobil ditemani suster mereka yang juga ikut saat terbang ke kota tempat tinggal Nadya kemarin."Omaa!" pekik Anna sambil berlari kencang ke pelukan Imelda.Untung saja, Imelda dengan sigap menangkap tubuh mungil cucunya yang selalu menggemaskan ini. "Ututuu ... Cucu Oma yang cantik."
Suara tangisan bayi di dalam box khusus itu menggema di seluruh penjuru ruang bernuansa putih ini.Nadya yang semula nyaris memejamkan mata spontan terperanjat dan refleks mengalihkan pandangan ke arah sang putri kecil yang menangis keras."Cup cup cup, Sayang. Bunda di sini, Nak," ucap Nadya sambil tangannya terulur, menggoyangkan box tersebut dengan lembut, mencoba menenangkan bayinya.Namun ternyata, gerakan itu tak cukup untuk membuat putrinya diam dan kembali terlelap. Yang ada justru tangisnya kian menjadi-jadi.Hal tersebut jelas membuat Nadya kelimpungan dan panik. Jujur saja, tubuhnya masih belum bisa diajak kompromi hanya untuk turun dari ranjang lalu sekadar menggendong tubuh mungil itu."Aduh ... Aku mesti gimana?" gusar Nadya dengan tubuh lemas juga wajah pucatnya itu.Hati ibu mana yang tega membiarkan bayinya menangis. Nadya akhirnya memaksakan diri untuk mendudukkan badan yang rasanya tak karuan ini."Eh tunggu! Tetap di sana. Biar aku aja," cegah Oscar yang tiba-tiba
Suara ketukan di balik pintu ruangan bernuansa putih pucat itu sampai ke telinga seorang wanita berambut panjang yang duduk bersandar di brankar dengan wajah datar.Nadya refleks menoleh. Atensinya beralih pada gadis berkaki jenjang yang kini mengenakan outfit casual dibalut dengan syal tipis yang melingkar di leher."Excuse me, apa aku boleh masuk?" izin gadis berbola mata biru cerah di ambang pintu tersebut.Meski sorot mata keduanya bertemu di satu titik yang sama, bibir Nadya tetap terkatup rapat. Ia tak menyahut. Membiarkan tamunya masuk dengan sendirinya.Dengan senyum ramah, gadis itu menghampiri brankar Nadya. "Maaf kalau aku menganggu waktu kamu berisitirahat, tapi izinkan aku memperkenalkan diri."Di sana sudah ada box bayi. Di mana bayi yang belum berumur 1 minggu itu tengah tertidur pulas setelah suster memacu ASI Nadya lalu bayi pun minum ASI untuk pertama kali. Pertama kali pula bayi itu kenyang dan tidur pulas di dalam box.Baiklah, jadi Lexa punya banyak waktu untuk bi
Sudah berapa jam Allice dan Arsen membiarkan Oscar di dalam menemani Nadya. Tentu Oscar tidak akan menyiakan setiap detik waktu yang ada. Dia tidak hentinya memandang wajah yang sangat dia rindukan itu.Digerakkan jemarinya untuk mengusap dahi, hingga alis Nadya yang tebal. Mengusap lembut pipi kenyal yang sedikit berisi. Lalu dia geser hingga menyentuh bibir yang sering kali bisa menenangkannya dikala banyak pikiran.“Dingin,” ujarnya saat pada bibir pucat itu.Dengan gerakann pelan, Oscar membungkukkan badannya. Dia melumat halus bibir dingin dan kering.“Bangun, Nadya,” ucapnya lirih melepas sejenak bibir itu. Kemudian dia lakukan lagi, begitu ringan gerakannya, hanya sekedar ingin menghangatkan. Tanpa nafsu sedikitpun.Tanpa Oscar ketahui, ulahnya itu mampu merangsang saraf Nadya. Jemarinya bergerak merespon tanpa ada yang melihat.CUP!Oscar berpindah mengecup dahi itu, begitu dalam hingga matanya terpejam untuk menikmati dan menghirup aroma kulit wanitanya. Baru setelahnya dia m
Oscar memandangi anaknya dari depan kaca ruang perinatologi. Hatinya resah saat melihat bayi itu terus saja menangis.“Permisi!” Oscar mencegah perawat yang hendak masuk.“Iya, Pak?” tanya perawat.“Apa saya boleh menggendong anak saya?” tanya Oscar menunjuk pada bayi di dalam box.“Saya suami Nadya, ibu dari bayi itu.” Pria itu sampai menunjukkan foto dirinya bersama Nadya yang diambil ketika mereka masih bersama dulu.“Ah, boleh. Tapi hanya sebentar. Dan semoga bayinya bisa berhenti menangis kalau di dekapan ayahnya.”Oscar mengikuti perawat masuk ke ruang perinatologi. Hatinya begitu gembira setelah melihat bayinya. Padahal sebelumnya dia belum pernah sebegitu tertarik pada seorang bayi.Seperti anjuran perawat, Oscar lebih dulu cuci tangan menggunakan sabun hingga bersih lalu mengeringkannya. Setelahnya dia berbalik dan sudah melihat perawat itu menggendong sang bayi yang masih saja menangis.Tiba-tiba rasa gugup menyelimuti, tapi hasratnya sungguh ingin menggendong bayi itu.“Tua
"Ternyata kau di sini."Arsen menghampiri Dev yang tengah berdiri menyendiri di rooftop rumah sakit sembari memandang langit yang mulai berubah warna. Senja, seharusnya indah tapi entah kenapa terasa berbeda bagi Dev kali ini."Ah, Arsen. Kamu sudah sampai? Maaf belum sempat menyapamu dan Allice," sahut Dev yang kini berbalik badan, membalas tatapan mata Arsen dengan sebuah senyum kikuk.Tangan kanan Arsen menepuk bahu kiri Dev layaknya seorang kerabat dekat. "No problem, santai saja.""Sejujurnya, aku senang saat tahu Nadya ada bersamamu. Karena aku sangat yakin, kamu akan menjaganya dengan sangat baik."Menghela napas panjang, Dev lantas menggeleng lesu. "Tapi aku gagal menjaganya dan membuat bayinya lahir di waktu yang tidak seharusnya."Arsen tersenyum tipis. Setidaknya dia mengerti ada rasa bersalah dari sorot mata Dev."Jangan memandang rendah dirimu sendiri seperti itu, Dev. Kita sudah berteman cukup lama. Aku tahu seperti apa kamu memperlakukan wanita. Apalagi, dia adalah Nady