Ada yang bisa nebak sesuatu?
"Shit!" umpat Arsen sambil memukul pinggiran sofa.Tangan kanan Hexa menepuk pundak Arsen. "Tenang. Jangan emosi dulu.""Coba aku telepon Bobby sekarang," lanjutnya yang langsung diangguki setuju oleh Arsen.Hexa mulai mengotak-atik ponselnya. Mencari kontak Bobby dan tanpa ba-bi-bu menghubungi nomor itu."Halo, Bob? Sibuk tidak? Aku bisa ke sana sekarang?" Hexa langsung mencecar pada intinya.Terdengar suara ketikan keyboard dari sebrang sana. Lalu, Bobby menyahut, "Sorry, Hex. Aku lagi ngoding program. Lembur ini. Pulang besok pagi."Jawaban dari Bobby membuat Hexa melempar pandangan ke arah Arsen yang tampak menghela napas pasrah. Sepertinya, memang tidak bisa selesai malam ini juga. Nyatanya ini sudah tengah malam. Tidak pantas juga bertamu saat ini."Oh gitu. Ya sudah. Aku main ke rumah besok ya. Bisa kan?" tanya Hexa.Bobby menjawab cepat. "Santai. Kalau besok bisa diatur."Begitu Hexa selesai mengucap terima kasih, panggilan kini berakhir. Dan atensi Hexa tertuju pada Arsen yan
Allice menaikkan satu alisnya sambil mengulurkan tangannya pada Darren.“Darren? Kamu kenapa jadi tegang begitu?” tanya Allice.“Aku bukan tegang.”“Lalu?”“Permisi?”Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu.***"Holy shit! Bagaimana aku bisa sebodoh ini!" umpat Darren sambil menutup kasar pintu ruangannya.Bagaimana dia tidak emosi?Sesuatu yang sangat ia rahasiakan bertahun-tahun dari siapapun nyaris saja terbongkar kalau semesta tidak segera bertindak tadi.Ya, map yang kini ia genggam berhasil lolos dari kecurigaan Allice berkat kedatangan Nyonya Shammar.Kalau saja pasiennya itu tidak buru-buru pulang karena sudah dijemput oleh anaknya, Allice mungkin akan terus menagih penjelasan padanya.
Tepat pukul setengah satu siang, Allice baru saja selesai menata alat medis yang kebetulan Darren datangkan dari Auckland. Kata Darren, ini semua demi kelengkapan peralatan juga teknologi yang berguna untuk para pasien di klinik. Allice mengibaskan telapak tangannya dengan seulas senyum tipis. "Oke, sudah beres semua." "Aku jaga depan aja kali ya? Darren pasti lagi sibuk di dalam," pikirnya yang langsung mengarahkan langkah ke lobby klinik. Begitu mendaratkan tubuh di kursi, fokus Allice kini tertuju pada laptop yang setia menyala. Memantau bila ada pasien yang 'booking' melalui web online. Ya walaupun belum banyak yang tahu tentang klinik Darren ini sebab lokasinya sedikit jauh dari tengah kota, tapi bisa dibilang tidak terlalu sepi. Buktinya, dari riwayat pasien yang berobat ke sini menunjukkan grafik yang lumayan tinggi. Jemari Allice mulai menari-nari di atas keyboard. Dia membantu Darren menyelesaikan satu tugas yang sepertinya belum sempat laki-laki itu selesaikan. Ketika
Saat udara terasa begitu dingin di siang hari. Terdengar suara tangisan di sebuah taman yang sepi."Hei, ada apa, Cantik? Kenapa kamu menangis hm?"Allice berjongkok, menyamakan tingginya dengan seorang gadis kecil berkuncir kepang yang kini terduduk di pojok bangku taman klinik sambil menangis sesenggukan."Cup cup cup, jangan sedih ya, Sayang. Aunty di sini, kamu bisa cerita apa saja kok," ucap Allice sambil mengelus puncak kepala bocah mungil itu dengan penuh kasih.Walau masih dengan napas yang tersendat-sendat karena sesegukkan, bibir mungil itu akhirnya bersuara, "A-aku ingin p-pulang.""T-tapi aku t-tidak tahu bagaimana caranya.""Aunty boleh tahu siapa namamu?" tanya Allice dengan suara lembutnya.Anak kecil manapun pasti akan mudah dekat dan tidak bisa jauh dari pesona keibuan seorang Allice. Bahkan, lihatlah, bocah yang tadinya menangis pilu sekarang tampak lebih tenang."Isabelle," jawab bocah itu dengan raut lugu bak anak kecil pada umumnya.Tangan kanan Allice mengelus pi
"Bisa saya bertemu Raymond Franklin sekarang?" Bersama dengan Hexa yang terpaksa ikut dengannya, Arsen kini berdiri di meja lobby rumah sakit milik keluarga Darren. Tak peduli dengan tatapan heran dari suster yang berjaga di sini, Arsen hanya ingin permintaannya dikabulkan. "Maaf? Apa sebelumnya sudah membuat janji temu dengan Tuan Raymond?" tanya suster tersebut dengan bahasa inggris yang sama fasihnya pula dengan Arsen. Tatapan Arsen berubah tajam. "Saya tidak butuh janji temu. Ini penting dan mendesak." "Saya Arsenio Mahardika dari Indonesia. Dan saya jauh-jauh datang hanya untuk bertemu langsung dengannya. Jadi bisa tidak jangan basa-basi?" "Santai, Arsen. Santai. Jangan marah-marah. Susternya kan cuma ikut prosedur aja," timpal Hexa. Karena ucapan Hexa itulah, Arsen giliran menyoroti wajah Hexa dengan tatapan membunuh. "Diam kau!" "Dan Anda, bisa tidak segera proses permintaan saya untuk bertemu dengan Raymond Franklin?" Arsen lagi-lagi menodong suster itu. Merasa jika a
"Dokter cantik tahu kenapa bintang ada banyak sedangkan bulan hanya ada satu?"Allice menyerngitkan keningnya begitu mendapat satu pertanyaan yang cukup random dari Iseul, pasien kecilnya yang kini meminta diantar jalan-jalan ke sekitar klinik."Emm ... Kenapa ya? Mungkin karena langit terlalu sempit jika bulan ada banyak seperti bintang?" Allice menyahut ragu. Dan benar saja, gadis berdarah New Zealand-Korea ini tampak tertawa dan geleng-geleng kepala mendengar jawaban Allice."Bukan seperti itu, Dokter Cantik. Dokter salah," kekehnya menertawai Allice yang masih tampak berpikir juga.Allice menghentikan dorongan di kursi roda Iseul. "Kalau begitu, apa dong jawaban yang benar?" Tatapan Iseul tertuju pada Allice yang tampak menunggu. "Dokter sungguh tidak tahu?"Kepala Allice manggut-manggut pelan. "Iya, kenapa memangnya? Iseul tahu sesuatu?"Seulas senyum terbit di bibir anak kecil itu. "Jawabannya mudah kok. Itu semua karena kuasa Tuhan.""Kata Eomma, alam semesta sudah dilukiskan
"Allice!""Allice, kamu di mana?!"Suara teriakan Darren dari arah pintu masuk sontak membuat Allice yang tengah menyiapkan menu makan malam tersentak kaget. "Astaga, ada apa Darren sampai teriak-teriak begitu? Apa sesuatu yang buruk telah terjadi?" pikir Allice yang buru-buru mematikan kompor.Lalu, langkahnya kini menghampiri Darren di ruang tamu yang tengah celingukan mencari dirinya. Tampak wajah Darren seperti orang kalut."Iya, kenapa, Darren? What happen?" tanya Allice begitu tiba di hadapan Darren.Pria berkaos casual yang sepertinya baru saja selesai praktik itu segera mendekati Allice. Dia meraih tangan Allice dengan raut panik."Kita harus pergi secepatnya. Ada pasien gawat darurat di Queenstown," ungkap Darren sambil menunjukkan sebuah pesan singkat dari rekan dokternya untuk menuju ke sana."Sekarang?" Allice memperjelas sekaligus meyakinkan.Karena setahu Allice, daerah di Queenstown terkenal dengan pegunungan salju yang akan sangat berbahaya dilalui bila malam hari tib
"Bagaimana keadaan pasiennya? Baik-baik saja kan?" tanya Allice tepat di saat Darren baru saja melangkah masuk.Laki-laki dengan jaket tebal itu tampak melepas syal yang ia kenakan. "Aku bersyukur warga di sini bisa diandalkan.""Setelah mereka kasih tahu ada pasien gawat darurat karena gagal jantung, aku langsung suruh lakukan pertolongan pertama."Tatapan Darren tertuju pada bibir Allice yang menyiratkan kecemasan. "Dan kamu tahu? Hebatnya, mereka bisa paham dan jadi penolong sebelum aku dan kamu tiba di sini."Mendengar keterangan dari Darren, pada akhirnya Allice bisa menghela napas lega. Tidak bisa dibayangkan jika tadi Darren tak berinisiatif memberikan edukasi cepat pertolongan pertama.Bisa-bisa, malam yang penuh salju tebal ini akan jadi sangat mengerikan karena telah menelan korban."Aku bangga dengan cara kerjamu, Darren. Pantas jika pasien yang datang ke klinikmu selalu memuji namamu," ungkap Allice teringat soal tadi saat menangani pasien yang terpukau dengan kehebatan Da