Satu kalimat untuk Darren? Perkasa-- eh.. hihihi ....
Saat udara terasa begitu dingin di siang hari. Terdengar suara tangisan di sebuah taman yang sepi."Hei, ada apa, Cantik? Kenapa kamu menangis hm?"Allice berjongkok, menyamakan tingginya dengan seorang gadis kecil berkuncir kepang yang kini terduduk di pojok bangku taman klinik sambil menangis sesenggukan."Cup cup cup, jangan sedih ya, Sayang. Aunty di sini, kamu bisa cerita apa saja kok," ucap Allice sambil mengelus puncak kepala bocah mungil itu dengan penuh kasih.Walau masih dengan napas yang tersendat-sendat karena sesegukkan, bibir mungil itu akhirnya bersuara, "A-aku ingin p-pulang.""T-tapi aku t-tidak tahu bagaimana caranya.""Aunty boleh tahu siapa namamu?" tanya Allice dengan suara lembutnya.Anak kecil manapun pasti akan mudah dekat dan tidak bisa jauh dari pesona keibuan seorang Allice. Bahkan, lihatlah, bocah yang tadinya menangis pilu sekarang tampak lebih tenang."Isabelle," jawab bocah itu dengan raut lugu bak anak kecil pada umumnya.Tangan kanan Allice mengelus pi
"Bisa saya bertemu Raymond Franklin sekarang?" Bersama dengan Hexa yang terpaksa ikut dengannya, Arsen kini berdiri di meja lobby rumah sakit milik keluarga Darren. Tak peduli dengan tatapan heran dari suster yang berjaga di sini, Arsen hanya ingin permintaannya dikabulkan. "Maaf? Apa sebelumnya sudah membuat janji temu dengan Tuan Raymond?" tanya suster tersebut dengan bahasa inggris yang sama fasihnya pula dengan Arsen. Tatapan Arsen berubah tajam. "Saya tidak butuh janji temu. Ini penting dan mendesak." "Saya Arsenio Mahardika dari Indonesia. Dan saya jauh-jauh datang hanya untuk bertemu langsung dengannya. Jadi bisa tidak jangan basa-basi?" "Santai, Arsen. Santai. Jangan marah-marah. Susternya kan cuma ikut prosedur aja," timpal Hexa. Karena ucapan Hexa itulah, Arsen giliran menyoroti wajah Hexa dengan tatapan membunuh. "Diam kau!" "Dan Anda, bisa tidak segera proses permintaan saya untuk bertemu dengan Raymond Franklin?" Arsen lagi-lagi menodong suster itu. Merasa jika a
"Dokter cantik tahu kenapa bintang ada banyak sedangkan bulan hanya ada satu?"Allice menyerngitkan keningnya begitu mendapat satu pertanyaan yang cukup random dari Iseul, pasien kecilnya yang kini meminta diantar jalan-jalan ke sekitar klinik."Emm ... Kenapa ya? Mungkin karena langit terlalu sempit jika bulan ada banyak seperti bintang?" Allice menyahut ragu. Dan benar saja, gadis berdarah New Zealand-Korea ini tampak tertawa dan geleng-geleng kepala mendengar jawaban Allice."Bukan seperti itu, Dokter Cantik. Dokter salah," kekehnya menertawai Allice yang masih tampak berpikir juga.Allice menghentikan dorongan di kursi roda Iseul. "Kalau begitu, apa dong jawaban yang benar?" Tatapan Iseul tertuju pada Allice yang tampak menunggu. "Dokter sungguh tidak tahu?"Kepala Allice manggut-manggut pelan. "Iya, kenapa memangnya? Iseul tahu sesuatu?"Seulas senyum terbit di bibir anak kecil itu. "Jawabannya mudah kok. Itu semua karena kuasa Tuhan.""Kata Eomma, alam semesta sudah dilukiskan
"Allice!""Allice, kamu di mana?!"Suara teriakan Darren dari arah pintu masuk sontak membuat Allice yang tengah menyiapkan menu makan malam tersentak kaget. "Astaga, ada apa Darren sampai teriak-teriak begitu? Apa sesuatu yang buruk telah terjadi?" pikir Allice yang buru-buru mematikan kompor.Lalu, langkahnya kini menghampiri Darren di ruang tamu yang tengah celingukan mencari dirinya. Tampak wajah Darren seperti orang kalut."Iya, kenapa, Darren? What happen?" tanya Allice begitu tiba di hadapan Darren.Pria berkaos casual yang sepertinya baru saja selesai praktik itu segera mendekati Allice. Dia meraih tangan Allice dengan raut panik."Kita harus pergi secepatnya. Ada pasien gawat darurat di Queenstown," ungkap Darren sambil menunjukkan sebuah pesan singkat dari rekan dokternya untuk menuju ke sana."Sekarang?" Allice memperjelas sekaligus meyakinkan.Karena setahu Allice, daerah di Queenstown terkenal dengan pegunungan salju yang akan sangat berbahaya dilalui bila malam hari tib
"Bagaimana keadaan pasiennya? Baik-baik saja kan?" tanya Allice tepat di saat Darren baru saja melangkah masuk.Laki-laki dengan jaket tebal itu tampak melepas syal yang ia kenakan. "Aku bersyukur warga di sini bisa diandalkan.""Setelah mereka kasih tahu ada pasien gawat darurat karena gagal jantung, aku langsung suruh lakukan pertolongan pertama."Tatapan Darren tertuju pada bibir Allice yang menyiratkan kecemasan. "Dan kamu tahu? Hebatnya, mereka bisa paham dan jadi penolong sebelum aku dan kamu tiba di sini."Mendengar keterangan dari Darren, pada akhirnya Allice bisa menghela napas lega. Tidak bisa dibayangkan jika tadi Darren tak berinisiatif memberikan edukasi cepat pertolongan pertama.Bisa-bisa, malam yang penuh salju tebal ini akan jadi sangat mengerikan karena telah menelan korban."Aku bangga dengan cara kerjamu, Darren. Pantas jika pasien yang datang ke klinikmu selalu memuji namamu," ungkap Allice teringat soal tadi saat menangani pasien yang terpukau dengan kehebatan Da
Bulu mata lentik itu mengerjap perlahan. Sinar mentari yang lancang menyelinap dari celah gorden membuat sang pemilik manik indah tersebut menyipitkan sudut matanya. "Enghhh." Allice menggeliat pelan sambil menutupi kilau sinar itu dengan telapak tangannya.Begitu kesadarannya telah sempurna, pun dengan nyawa yang seolah kembali melekat dalam raganya, Allice segera mengedarkan pandangan.Dinding berwarna cokelat gelap dan berbagai kerajinan sederhana menyapa penglihatan Allice. Jujur, Allice merasa sangat asing di tempat ini.Belum lagi ketika Allice merasakan suhu di kamar ini seakan menusuk hingga ke tulang-tulang. Dan detik itu juga, Allice menundukkan kepala.Bola matanya spontan melebar dua kali lipat saat menyadari tubuhnya yang polos. Terlebih saat Allice tak sengaja mendapati ada bercak keunguan di sekujur tubuhnya yang tak terhitung jumlahnya."Ya Tuhan?! Apa yang terjadi padaku?!" pekik Allice kaget bukan main.Dia ingat betul ketika Darren mengajaknya minum cokelat panas di
Allice melamun ruang tengah kamar hotel ber-tipe president suite sambil menunggu Arsen. Pikirannya sedang tertuju pada video asli kejadian pembunuhan Safira.Tadi Arsen menjelaskan semua kejahatan Darren. Termasuk status Safira yang ternyata anak dari ayah Darren. Artinya Safira dan Darren adalah saudara tiri.“Aku sungguh tidak menyangka kalau kejadian aslinya seperti itu,” gumam Allice.Dia tentu syock tadi dan hampir tak percaya. Sebab dia merasa Darren adalah pria yang sangat baik. Untunglah Arsen kini menjadi penyabar, menjelaskan semua sampai Allice yakin.“Kamu benar akan menemui Tuan Reymond?” tanya Arsen yang baru keluar dari pintu kamar.Allice menoleh, dia melihat sang suami sedang memasang jam tangannya. Penampilannya sudah kembali tampan setelah mereka berdua bergelut di atas ranjang sebagai sarapan pagi ini.“Ya, aku ingin menemui orang tua Safira. Sekaligus mengetahui apa tindakan mereka terhadap Darren,” jawab Allice masih terlihat murung.Arsen mendekat. Dia mengulurk
Arsen memang pandai berkelahi. Dia juga sudah bisa menumbangkan beberapa musuh. Tapi lawannya tidak hanya tiga atau lima. Ada sekitar 10 orang yang mengeroyoknya. Satu pukulan di wajah dan punggung pun akhirny Arsen terima. Dia juga bisa melihat sekilas Allice yang sudah ketakutan di dalam mobil. Ditambah dua orang nampak berusaha memecahkan kaca mobil. Darren? Itu lah nama yang ada di otak Arsen. Siapa lagi kalau bukan ulah Darren. Pria itu sudah bertindak cukup jauh. Tidak mungkin akan melepas Allice begitu mudah. “Kalian pikir akan bisa mengambil Allice dariku? Jangan harap!” Arsen memaksimalkan tenaganya. Dia menarik tangan musuh yang hendak menusuknya dengan pisau. Kemudian dia pelintir dan pukul bagian sikunya. “Aaaargh!” teriakan musuh yang kesakitan kembali terdengar. Rupanya keadaan masih berpihak pada Arsen. Ada tiga buah mobil melaju ke arah mereka. Kemudian berhenti di belakang mobil musuh. Seolah mengerti siapa yang datang. Mereka langsung mundur sambil menunduk.