Arsen memang pandai berkelahi. Dia juga sudah bisa menumbangkan beberapa musuh. Tapi lawannya tidak hanya tiga atau lima. Ada sekitar 10 orang yang mengeroyoknya. Satu pukulan di wajah dan punggung pun akhirny Arsen terima. Dia juga bisa melihat sekilas Allice yang sudah ketakutan di dalam mobil. Ditambah dua orang nampak berusaha memecahkan kaca mobil. Darren? Itu lah nama yang ada di otak Arsen. Siapa lagi kalau bukan ulah Darren. Pria itu sudah bertindak cukup jauh. Tidak mungkin akan melepas Allice begitu mudah. “Kalian pikir akan bisa mengambil Allice dariku? Jangan harap!” Arsen memaksimalkan tenaganya. Dia menarik tangan musuh yang hendak menusuknya dengan pisau. Kemudian dia pelintir dan pukul bagian sikunya. “Aaaargh!” teriakan musuh yang kesakitan kembali terdengar. Rupanya keadaan masih berpihak pada Arsen. Ada tiga buah mobil melaju ke arah mereka. Kemudian berhenti di belakang mobil musuh. Seolah mengerti siapa yang datang. Mereka langsung mundur sambil menunduk.
Bunyi klakson kendaraan roda empat terdengar sampai ke dalam. Penghuni rumah mewah itu tentu langsung terkesiap dan melompat dari sofa.Mereka berlarian, bersaing siapa yang lebih dulu sampai di depan pintu.“Hei! Jangan lari! Nanti jatuh!”Teriakan Imelda tidak mereka hiraukan.“Yeeeyyyy aku duluaan! Anna kalah!” seru Brian setelah dia berhasil membuka pintu rumah lebih dulu.Kedua kaki kecil itu loncat-loncat sambil mengangkat tangan mereka, menunggu pintu mobil terbuka.Kepulangan Allice dan Arsen menjadi kebahagiaan tersendiri untuk Brian dan Anna. Bagaimana tidak, mereka sudah sangat rindu karena berlibur tanpa sang ibu. Tapi ketika pulang, kedua orang tuanya justru tidak ada di rumah.Ya, hanya itu yang mereka berdua tau. Pergi berlibur supaya bisa nambah adik, katanya.Allice yang lebih pertama muncul. Dia langsung ikut heboh merentangkan tangan berlari ke arah kedua anaknya.Begitu sampai, dia berjongkok dan memeluk bersamaan.“Anak-anak, mama!” Allice mengecupi wajah Brian le
“Dokter Allice.” Panggilan itu membuat wanita yang memakai jas putih pun menoleh ke belakang. Allice, bibirnya mengulas senyum lebarnya melihat sang suami berjalan dari lorong ke arahnya. Tangan kanan Arsen menggenggam satu buket bunga mawar merah berukuran sedang. “Apa yang Anda lakukan Tuan? Menggoda pasien disini?” tanya Allice dengan senyuman meledek. “Untuk apa?” Arsen berhenti tepat di hadapan Allice. “Aku hanya ingin menggoda dokter cantik yang satu ini,” sambungnya sambil memberikan buket itu pada sang istri. Senyuman Allice makin lebar. Dia menerima buket itu lalu menghidunya. “Tidak bosan dengan bunga mawar?” Tidak hanya sekali ini saja. Tapi, sejak hubungan mereka membaik dua bulan lalu. Arsen sering mengunjungi tempat kerja Allice sambil membawakan buket bunga dengan jenis dan ukuran yang sama. Arsen sangat menyukai senyuman Allice ketika menghidu bunga mawar. Wajahnya akan terlihat segar seperti bunga itu. “Bagaimana bisa bosan. Bunga ini sangat cantik. Ayo ke ruan
Ini adalah bulan ke 3 Dhea bekerja di sebuah rumah sakit terkemuka demi bisa melanjutkan hidupnya. Meski memiliki senior galak seperti Hexa. Dia tetap semangat. Ya, Dengan langkah penuh semangat, sepatu high heels membawanya menuju halte yang terletak tidak jauh dari apartemennya.Namun ada satu pemandangan yang membuat semangatnya meredup.“Bukankah itu Andi dan Mitha?” terka Dhea saat netranya menangkap sosok sang kekasih yang tengah bergandengan tangan masuk ke dalam mobil dengan Mitha, sahabat karibnya.Meski hubungan Dhea dan Andi hanya sebatas perjodohan, tapi dia tidak terima dikhianati begini.Tidak mau berpikir panjang lagi, Dhea menghentikan taksi meminta untuk mengikuti mobil Andi dari belakang.Mata Dhea sudah memerah saat melihat Andi lagi-lagi nampak mesra turun dari mobil masuk ke dalam apartemen. Dia hanya bisa meremas tas jinjingnya dalam pangkuan, kemudian mengatur nafasnya supaya bisa menyelesaikan sandirawa itu.Buru-buru Dhea turun, dia berjalan menuju unit apart
“Siapa yang memintaku datang lebih cepat?” Suara keras Arsen di sambungan telefon membuat Hexa menjauhkan ponselnya sejenak. Dia melirik pada Dhea yang sudah duduk di sampingnya, di dalam mobil. “Aku baru saja menolong anak kucing dari kejaran anjing. Bahaya kalau aku diamkan saja. Bisa-bisa dia kena rabies.” Jawaban Hexa membuat Dhea menoleh. Wanita itu menajamkan telinganya karena merasa Hexa sedang dibicarakan. Membuat hatinya jadi menggerutu. “Apa dia bilang? Anak kucing? Apa dia menyebutku anak kucing?” Dhea hanya memicingkan matanya menatap Hexa. Tapi pria itu masih tidak menghiraukan. Justru kini setelah menutup telefon, Hexa langsung menginjak gas pergi dari area pertengkaran sepasang kekasih tadi. “Jadi sekarang kita pacaran, Dok?” tanya Dhea memiringkan kepalanya menghadap Hexa yang tengah menyetir. Pria itu melirik sekilas, masih dengan ekspresi datarnya. Okelah, kalau dia sedang berada di depan Arsen atau teman dekat lainnya. Hexa bisa bersikap konyol bahkan songong.
Anak-anak nampak senang melihat alam terbuka dan pemandangan hijau di sekitar mereka. Belum lagi tenda-tenda yang berjejer berwarna biru serta ada area untuk bermain. “Anak-Anak! Sekarang kalian bisa masuk ke tenda sesuai dengan nomor yang ada di tanda pengenal itu.” Guru yang biasa dipanggil Miss Susi menunjuk pada tanda pengenal yang menggantung di tali leher miliknya. Anak-anakpun langsung menunduk melihat tanda pengenal masing-masing. “Nah, sudah lihat kan nomornya. Sekarang, untuk nomor satu sampai 10 ada di tenda utara. Sedangkan nomor 11 sampai 20 ada di tenda selatan. Selebihnya ada di tenda barat. Ayoo, jangan berlarian. Jalan santai saja.” Jasmine menarik tanda pengenal yang mengalung di leher Brian. “Kamu ada di dekat tendaku,” ucap gadis kecil itu. “Memangnya kenapa?” Brian menarik tanda pengenalnya dari tangan Jasmine dan berlalu lebih dulu. “Huuu! Galak,” surak Jasmine. Tapi pada akhirnya dia tetap mengejar temannya itu. Mereka tentu tidak sebuk sendiri. Orang tua
Dhea berlari ke tenda yang ditunjuk Allice sambil memakai jaket milik temannya itu. Karena tidak mungkin dia memakai jas yang sudah kotor karena ketumpahan kopi. Udara juga dingin, membuat Dhea tidak bisa menolak tawaran Allice.“Maaf, saya hanya minta ibunya saja yang masih ada di tenda,” ucap Dhea mengusir semua yang berkerumun.Allice tidak ikut campur. Sudah ada tenaga medis lain juga yang membantu Dhea di dalam.Wanita itu berbalik menemukan Hexa yang berdiri di sekitaran sana.“Aku tidak sengaja,” ucap Hexa paham kalau Allice menatapnya dengan sorot menuduh.Perempuan yang rambutnya dikucir rapi itu menghela nafas pendeknya berdiri tepat di depan Hexa.“Oke, aku percaya. Tapi kamu harus tetap minta maaf ulang padanya.”“Ya,” sahut Hexa melihat ke arah tenda dimana Dhea ada di dalam sedang melakukan pertolongan pada pasien.Allice menepuk bahu Hexa lalu memilih pergi. Dia harus kembali pada anak-anak. Tapi sebelumnya dia mengambil jaket miliknya yang lain di tenda.***Acara api
Dhea memelintir tangan musuh. Dia berputar kemudian menendang punggung pria bertubuh kekar itu.Tak berhenti, Dhea kini hendak meraih Jasmine. Jangan sampai gadis kecil itu terluka.“Dokteeer! Aaaaaa! Uncleeeee!” Jasmine terus bergerak brutal di gendongan penjahat itu. Bahkan dia sempat menggigit lengan penjahat. Namun tidak mempan.“Lakukan,” ucap salah seorang dari mereka.Dengan jalan akhir, karena mereka juga diburu waktu sebelum ada yang sadar keributan ini. Dua penjahat itu mengeluarkan sapu tangan berisi cairan obat bius untuk dua target mereka.Dari arah belakang, satu dari mereka membekap mulut dan hidung Dhea. Gadis itu sempat meronta, tapi tenaganya tidak sekuat itu terlepas dari cengeraman penuh tenaga si penjahat.Sementara itu Hexa berlari cepat meninggalkan kerumunan. Membuat Arsen yang melihat jadi penasaran.“Ada apa, ya?” gumamnya beranjak kemudian mengikuti Hexa.Sesampainya Hexa di toilet, dia segera membuka satu per satu pintu toilet yang berjumlah 10 pintu.“Jasm
Drrttt ... Drrttt ... Drrttt ...Gerakan polesan brush berwarna pink di sela jari telunjuk juga jempol berkutek peach itu seketika terhenti.Atensi wanita cantik yang tengah duduk di kursi rias langsung beralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas."Siapa ya?" Tangan Nadya terulur, meraih benda pipih nan canggih tersebut.Begitu sepasang netra amber ini menyorot sebuah nama yang tertera di layar ponsel dalam genggamannya, detik itu juga Nadya membuka mulutnya lebar-lebar dengan raut terkejut."Wah serius ini Allice video call?!"Tanpa ba-bi-bu, Nadya segera menggeser icon hijau tersebut dan saat itu juga pandangannya disambut senyum juga lambaian tangan dari Allice di sebrang sana."Haii, Nad!" sapa Allice dengan wajah sumringahnya.Nadya tersenyum lebar lalu ikut melambaikan tangan. " Allice haloo!""Ih kangen banget aku sama Allice tau. Udah setahun lebih nggak ketemu kan kita?" tanyanya sambil mengingat-ingat kapan terakhir berjumpa.Tawa Allice meluncur renyah. "Iya ma
"Kamu yakin ini rumahnya?"Oscar menoleh ke kiri, menatap wanita cantik dengan blouse dusty pink yang kini sebelah tangannya menggenggam stroller bayi berwarna senada."Iya bener kok ini tempatnya. Tunggu, biar aku yang tekan belnya," sahut Nadya yang setelahnya langsung mengulurkan tangan, menekan bel di dinding berwarna silver itu. Menunggu beberapa detik, barulah pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita dengan rambut digelung indah yang muncul dengan raut terkejut."Nadya? Ini beneran kamu? Udah sehat?" pekik Allice begitu senang melihat Nadya di hadapannya setelah 2 bulan tanpa kabar.Terakhir Nadya ijin melalui pesan singkat kalau dirinya akan ke Italia untuk mengurus ini dan itu di kediaman Oscar sebelum melangsungkan pernikahan.Wanita muda berblouse dusty pink itu terkekeh geli. Dipeluknya tubuh Allice seperti seorang adik yang merindukan kakaknya."Surprise! Yes, it's me, Allice," timpal Nadya masih dengan tawa jahilnya sebab merasa berhasil membuat kejutan ini.Allice mengura
"Kamu gila ya?! Kamu pikir nikah itu seperti anak kecil merengek minta dibelikan permen?" Nadya mendelik tajam, jelas saja ia melayangkan protes.Manusia mana yang tiba-tiba dengan asal mendesaknya menikah padahal belum juga ada pembicaraan khusus ke arah sana.Ya meskipun sudah ada Isabel di antara dirinya dan Oscar, tapi tetap saja butuh waktu juga persiapan untuk menuju ke jenjang pernikahan yang sebenarnya.Oscar melirik Lexa yang menyembulkan kepala di balik pintu kamarnya. Lalu, dilemparnya kode agar adiknya itu berhenti mengintip.Seolah tahu kakaknya butuh privasi, akhirnya Lexa menurut dan mundur dari sana. Memberi ruang pada dua orang dewasa di ruang tengah itu.Dirasa waktunya sudah tepat, Oscar segera mengalihkan atensi wanita di hadapannya ini. "Kamu lapar kan? Ke dapur sebentar yuk.""Mau aku buatkan makanan apa?" tawarnya dengan nada selembut mungkin. Enggan membuat Nadya merasa tak nyaman berada di dekatnya.Sebelah alis Nadya terangkat. Sedikit merasa aneh mengetahui
"Loh, kalian sudah pulang?"Membuka pintu mansion megah tersebut, kelopak mata Imelda terbuka lebar juga mulutnya menganga saat mengetahui siapa yang datang.Bukan. Bukan karena Imelda tak suka, melainkan heran dan ekspetasinya sedikit meleset."Kenapa tidak kasih kabar dulu? Mama kan bisa jemput di bandara. Terus Nadya mana? Kok tidak bareng sama kalian?"Runtutan pertanyaan itu seketika membombardir Allice juga Arsen yang saling melempar pandang dan menahan senyum.Arsen menyahut enteng. "Anggap aja ini surprise, Ma. Lagi pula, Mama tidak senang aku dan Allice pulang lebih cepat?""Memangnya Mama tidak rindu pada Brian dan Anna?"Baru saja kedua nama bocah itu disebut, kakak beradik tersebut turun dari mobil ditemani suster mereka yang juga ikut saat terbang ke kota tempat tinggal Nadya kemarin."Omaa!" pekik Anna sambil berlari kencang ke pelukan Imelda.Untung saja, Imelda dengan sigap menangkap tubuh mungil cucunya yang selalu menggemaskan ini. "Ututuu ... Cucu Oma yang cantik."
Suara tangisan bayi di dalam box khusus itu menggema di seluruh penjuru ruang bernuansa putih ini.Nadya yang semula nyaris memejamkan mata spontan terperanjat dan refleks mengalihkan pandangan ke arah sang putri kecil yang menangis keras."Cup cup cup, Sayang. Bunda di sini, Nak," ucap Nadya sambil tangannya terulur, menggoyangkan box tersebut dengan lembut, mencoba menenangkan bayinya.Namun ternyata, gerakan itu tak cukup untuk membuat putrinya diam dan kembali terlelap. Yang ada justru tangisnya kian menjadi-jadi.Hal tersebut jelas membuat Nadya kelimpungan dan panik. Jujur saja, tubuhnya masih belum bisa diajak kompromi hanya untuk turun dari ranjang lalu sekadar menggendong tubuh mungil itu."Aduh ... Aku mesti gimana?" gusar Nadya dengan tubuh lemas juga wajah pucatnya itu.Hati ibu mana yang tega membiarkan bayinya menangis. Nadya akhirnya memaksakan diri untuk mendudukkan badan yang rasanya tak karuan ini."Eh tunggu! Tetap di sana. Biar aku aja," cegah Oscar yang tiba-tiba
Suara ketukan di balik pintu ruangan bernuansa putih pucat itu sampai ke telinga seorang wanita berambut panjang yang duduk bersandar di brankar dengan wajah datar.Nadya refleks menoleh. Atensinya beralih pada gadis berkaki jenjang yang kini mengenakan outfit casual dibalut dengan syal tipis yang melingkar di leher."Excuse me, apa aku boleh masuk?" izin gadis berbola mata biru cerah di ambang pintu tersebut.Meski sorot mata keduanya bertemu di satu titik yang sama, bibir Nadya tetap terkatup rapat. Ia tak menyahut. Membiarkan tamunya masuk dengan sendirinya.Dengan senyum ramah, gadis itu menghampiri brankar Nadya. "Maaf kalau aku menganggu waktu kamu berisitirahat, tapi izinkan aku memperkenalkan diri."Di sana sudah ada box bayi. Di mana bayi yang belum berumur 1 minggu itu tengah tertidur pulas setelah suster memacu ASI Nadya lalu bayi pun minum ASI untuk pertama kali. Pertama kali pula bayi itu kenyang dan tidur pulas di dalam box.Baiklah, jadi Lexa punya banyak waktu untuk bi
Sudah berapa jam Allice dan Arsen membiarkan Oscar di dalam menemani Nadya. Tentu Oscar tidak akan menyiakan setiap detik waktu yang ada. Dia tidak hentinya memandang wajah yang sangat dia rindukan itu.Digerakkan jemarinya untuk mengusap dahi, hingga alis Nadya yang tebal. Mengusap lembut pipi kenyal yang sedikit berisi. Lalu dia geser hingga menyentuh bibir yang sering kali bisa menenangkannya dikala banyak pikiran.“Dingin,” ujarnya saat pada bibir pucat itu.Dengan gerakann pelan, Oscar membungkukkan badannya. Dia melumat halus bibir dingin dan kering.“Bangun, Nadya,” ucapnya lirih melepas sejenak bibir itu. Kemudian dia lakukan lagi, begitu ringan gerakannya, hanya sekedar ingin menghangatkan. Tanpa nafsu sedikitpun.Tanpa Oscar ketahui, ulahnya itu mampu merangsang saraf Nadya. Jemarinya bergerak merespon tanpa ada yang melihat.CUP!Oscar berpindah mengecup dahi itu, begitu dalam hingga matanya terpejam untuk menikmati dan menghirup aroma kulit wanitanya. Baru setelahnya dia m
Oscar memandangi anaknya dari depan kaca ruang perinatologi. Hatinya resah saat melihat bayi itu terus saja menangis.“Permisi!” Oscar mencegah perawat yang hendak masuk.“Iya, Pak?” tanya perawat.“Apa saya boleh menggendong anak saya?” tanya Oscar menunjuk pada bayi di dalam box.“Saya suami Nadya, ibu dari bayi itu.” Pria itu sampai menunjukkan foto dirinya bersama Nadya yang diambil ketika mereka masih bersama dulu.“Ah, boleh. Tapi hanya sebentar. Dan semoga bayinya bisa berhenti menangis kalau di dekapan ayahnya.”Oscar mengikuti perawat masuk ke ruang perinatologi. Hatinya begitu gembira setelah melihat bayinya. Padahal sebelumnya dia belum pernah sebegitu tertarik pada seorang bayi.Seperti anjuran perawat, Oscar lebih dulu cuci tangan menggunakan sabun hingga bersih lalu mengeringkannya. Setelahnya dia berbalik dan sudah melihat perawat itu menggendong sang bayi yang masih saja menangis.Tiba-tiba rasa gugup menyelimuti, tapi hasratnya sungguh ingin menggendong bayi itu.“Tua
"Ternyata kau di sini."Arsen menghampiri Dev yang tengah berdiri menyendiri di rooftop rumah sakit sembari memandang langit yang mulai berubah warna. Senja, seharusnya indah tapi entah kenapa terasa berbeda bagi Dev kali ini."Ah, Arsen. Kamu sudah sampai? Maaf belum sempat menyapamu dan Allice," sahut Dev yang kini berbalik badan, membalas tatapan mata Arsen dengan sebuah senyum kikuk.Tangan kanan Arsen menepuk bahu kiri Dev layaknya seorang kerabat dekat. "No problem, santai saja.""Sejujurnya, aku senang saat tahu Nadya ada bersamamu. Karena aku sangat yakin, kamu akan menjaganya dengan sangat baik."Menghela napas panjang, Dev lantas menggeleng lesu. "Tapi aku gagal menjaganya dan membuat bayinya lahir di waktu yang tidak seharusnya."Arsen tersenyum tipis. Setidaknya dia mengerti ada rasa bersalah dari sorot mata Dev."Jangan memandang rendah dirimu sendiri seperti itu, Dev. Kita sudah berteman cukup lama. Aku tahu seperti apa kamu memperlakukan wanita. Apalagi, dia adalah Nady