Halooo ... gimana sampai bab ini? Aduuh, aku tuh kangen sama komentar kalian. Love love ...
Ini adalah bulan ke 3 Dhea bekerja di sebuah rumah sakit terkemuka demi bisa melanjutkan hidupnya. Meski memiliki senior galak seperti Hexa. Dia tetap semangat. Ya, Dengan langkah penuh semangat, sepatu high heels membawanya menuju halte yang terletak tidak jauh dari apartemennya.Namun ada satu pemandangan yang membuat semangatnya meredup.“Bukankah itu Andi dan Mitha?” terka Dhea saat netranya menangkap sosok sang kekasih yang tengah bergandengan tangan masuk ke dalam mobil dengan Mitha, sahabat karibnya.Meski hubungan Dhea dan Andi hanya sebatas perjodohan, tapi dia tidak terima dikhianati begini.Tidak mau berpikir panjang lagi, Dhea menghentikan taksi meminta untuk mengikuti mobil Andi dari belakang.Mata Dhea sudah memerah saat melihat Andi lagi-lagi nampak mesra turun dari mobil masuk ke dalam apartemen. Dia hanya bisa meremas tas jinjingnya dalam pangkuan, kemudian mengatur nafasnya supaya bisa menyelesaikan sandirawa itu.Buru-buru Dhea turun, dia berjalan menuju unit apart
“Siapa yang memintaku datang lebih cepat?” Suara keras Arsen di sambungan telefon membuat Hexa menjauhkan ponselnya sejenak. Dia melirik pada Dhea yang sudah duduk di sampingnya, di dalam mobil. “Aku baru saja menolong anak kucing dari kejaran anjing. Bahaya kalau aku diamkan saja. Bisa-bisa dia kena rabies.” Jawaban Hexa membuat Dhea menoleh. Wanita itu menajamkan telinganya karena merasa Hexa sedang dibicarakan. Membuat hatinya jadi menggerutu. “Apa dia bilang? Anak kucing? Apa dia menyebutku anak kucing?” Dhea hanya memicingkan matanya menatap Hexa. Tapi pria itu masih tidak menghiraukan. Justru kini setelah menutup telefon, Hexa langsung menginjak gas pergi dari area pertengkaran sepasang kekasih tadi. “Jadi sekarang kita pacaran, Dok?” tanya Dhea memiringkan kepalanya menghadap Hexa yang tengah menyetir. Pria itu melirik sekilas, masih dengan ekspresi datarnya. Okelah, kalau dia sedang berada di depan Arsen atau teman dekat lainnya. Hexa bisa bersikap konyol bahkan songong.
Anak-anak nampak senang melihat alam terbuka dan pemandangan hijau di sekitar mereka. Belum lagi tenda-tenda yang berjejer berwarna biru serta ada area untuk bermain. “Anak-Anak! Sekarang kalian bisa masuk ke tenda sesuai dengan nomor yang ada di tanda pengenal itu.” Guru yang biasa dipanggil Miss Susi menunjuk pada tanda pengenal yang menggantung di tali leher miliknya. Anak-anakpun langsung menunduk melihat tanda pengenal masing-masing. “Nah, sudah lihat kan nomornya. Sekarang, untuk nomor satu sampai 10 ada di tenda utara. Sedangkan nomor 11 sampai 20 ada di tenda selatan. Selebihnya ada di tenda barat. Ayoo, jangan berlarian. Jalan santai saja.” Jasmine menarik tanda pengenal yang mengalung di leher Brian. “Kamu ada di dekat tendaku,” ucap gadis kecil itu. “Memangnya kenapa?” Brian menarik tanda pengenalnya dari tangan Jasmine dan berlalu lebih dulu. “Huuu! Galak,” surak Jasmine. Tapi pada akhirnya dia tetap mengejar temannya itu. Mereka tentu tidak sebuk sendiri. Orang tua
Dhea berlari ke tenda yang ditunjuk Allice sambil memakai jaket milik temannya itu. Karena tidak mungkin dia memakai jas yang sudah kotor karena ketumpahan kopi. Udara juga dingin, membuat Dhea tidak bisa menolak tawaran Allice.“Maaf, saya hanya minta ibunya saja yang masih ada di tenda,” ucap Dhea mengusir semua yang berkerumun.Allice tidak ikut campur. Sudah ada tenaga medis lain juga yang membantu Dhea di dalam.Wanita itu berbalik menemukan Hexa yang berdiri di sekitaran sana.“Aku tidak sengaja,” ucap Hexa paham kalau Allice menatapnya dengan sorot menuduh.Perempuan yang rambutnya dikucir rapi itu menghela nafas pendeknya berdiri tepat di depan Hexa.“Oke, aku percaya. Tapi kamu harus tetap minta maaf ulang padanya.”“Ya,” sahut Hexa melihat ke arah tenda dimana Dhea ada di dalam sedang melakukan pertolongan pada pasien.Allice menepuk bahu Hexa lalu memilih pergi. Dia harus kembali pada anak-anak. Tapi sebelumnya dia mengambil jaket miliknya yang lain di tenda.***Acara api
Dhea memelintir tangan musuh. Dia berputar kemudian menendang punggung pria bertubuh kekar itu.Tak berhenti, Dhea kini hendak meraih Jasmine. Jangan sampai gadis kecil itu terluka.“Dokteeer! Aaaaaa! Uncleeeee!” Jasmine terus bergerak brutal di gendongan penjahat itu. Bahkan dia sempat menggigit lengan penjahat. Namun tidak mempan.“Lakukan,” ucap salah seorang dari mereka.Dengan jalan akhir, karena mereka juga diburu waktu sebelum ada yang sadar keributan ini. Dua penjahat itu mengeluarkan sapu tangan berisi cairan obat bius untuk dua target mereka.Dari arah belakang, satu dari mereka membekap mulut dan hidung Dhea. Gadis itu sempat meronta, tapi tenaganya tidak sekuat itu terlepas dari cengeraman penuh tenaga si penjahat.Sementara itu Hexa berlari cepat meninggalkan kerumunan. Membuat Arsen yang melihat jadi penasaran.“Ada apa, ya?” gumamnya beranjak kemudian mengikuti Hexa.Sesampainya Hexa di toilet, dia segera membuka satu per satu pintu toilet yang berjumlah 10 pintu.“Jasm
“Allice, tubuhmu sekarang kurusan,” ucap Darren memandang pinggang perempuan di bawahnya. Sementara Dhea sekuat tenaga mengembalikan kesadarannya. Otaknya terus memaksa diri untuk bereaksi. Sampai ketika tangan Darren menyentuh bahu Dhea, turun ke bagian kaos yang sudah dia robek sebagian. Dhea seperti tersetrum aliran listrik. Syaraf yang masih lemah seketika bisa bereaksi. Hingga Dhea bisa menggerakkan satu lututnya ke atas. “Argh!” Darren mengerang karena Dhea baru saja menendang aset berharganya. “Aku bukan Allice!” Dhea berteriak, meski belum maksimal. Tapi Darren kali ini bisa mendengarnya. Perempuan itu berusaha menarik kain yang menutupi kepala menggunakan tangan yang masih terikat. “Lepas! Kamu salah orang!” Dhea berusaha meyakinkan karena dia tak kunjung bisa menarik kain itu. Darren meneguk salivanya karena gugup. Dalam hatinya tentu berharap anak buahnya tidak salah menangkap sasaran. Dengan ragu, Darren mulai mengulurkan tangannya lalu menarik kain penutup kepala
Tangan Darren mulai meraba bahu Dhea. Menjalar ke atas dan berhenti di leher perempuan itu.“Aku bisa membunuhmu hanya dengan satu gerakan, Ardhea,” ucap Darren yang masih diliputi amarah.Tapi Dhea justru masih bergeming. Jujur, dia takut pada Darren kalau sedang marah. Sebenarnya diantara keluarga Franklin, Darren adalah sosok yang paling membuat Dhea nyaman. Dulu. Sebelum Dhea dibuang ke luar negeri dengan alasan study.“Dulu kamu adalah hero-ku. Kamu tak pernah mengatakan sayang, tapi kamu yang selalu menolongku ketika Daddy memukul tanpa ampun.” Dhea menarik nafas sesaknya.“Kalau pada akhirnya Kakak yang membunuhku, kenapa dulu kamu menolongku?” sambungnya.Netra Darren menangkap rasa sakit di manik mata adiknya itu. Dia sangat tau penderitaan apa saja yang Dhea derita. ‘Tapi aku juga menderita, bukan? Lalu apa paduliku?’ pikir Darren dalam hati.Tangan Darren masih di leher Dhea, namun dia belum menekan. Hanya bersiap mencekik.“Tapi kalau akhirnya aku mati juga tidak
Hexa menghentikan mobilnya di parkiran gedung apartemen. Baru kali ini pria itu datang ke tempat tinggal Dhea untuk mengantar barang yang ditinggal di tempat perkemahan kemarin.Meski tidak dengan alasan mengantar barang pun, Hexa akan tetap menemui Dhea. Perempuan itu sudah menjaga Jasmine dengan baik. Hexa belum sempat berterimakasih. Ditambah lagi, dia masih belum percaya kalau rekan sesama dokternya itu baik-baik saja.Ting!Bunyi lift terbuka. Hexa sudah sampai di lantai unit apartemen Dhea. Pria itu mulai melihat ke kanan dan kiri untuk mengecek nomor unitnya.“Ah, ini dia,” gumam Hexa menemukan unit milik Dhea.Kalau dipikir, unit Dhea masuk ke dalam unit termewah di gedung apartemen ini. Sempat terfikir, apa Dhea dari kalangan orang berada? Tapi kalau diingat, selama menjadi dokter di rumah sakit tempat Hexa bekerja. Dhea terlihat berpenampilan sederhana. Bahkan Dhea tidak memiliki kendaraan pribadi.Hexa menekan tombol bel unit. Dia mengabaikan pikirannya tentang siapa Dhea s