“Allice, tubuhmu sekarang kurusan,” ucap Darren memandang pinggang perempuan di bawahnya. Sementara Dhea sekuat tenaga mengembalikan kesadarannya. Otaknya terus memaksa diri untuk bereaksi. Sampai ketika tangan Darren menyentuh bahu Dhea, turun ke bagian kaos yang sudah dia robek sebagian. Dhea seperti tersetrum aliran listrik. Syaraf yang masih lemah seketika bisa bereaksi. Hingga Dhea bisa menggerakkan satu lututnya ke atas. “Argh!” Darren mengerang karena Dhea baru saja menendang aset berharganya. “Aku bukan Allice!” Dhea berteriak, meski belum maksimal. Tapi Darren kali ini bisa mendengarnya. Perempuan itu berusaha menarik kain yang menutupi kepala menggunakan tangan yang masih terikat. “Lepas! Kamu salah orang!” Dhea berusaha meyakinkan karena dia tak kunjung bisa menarik kain itu. Darren meneguk salivanya karena gugup. Dalam hatinya tentu berharap anak buahnya tidak salah menangkap sasaran. Dengan ragu, Darren mulai mengulurkan tangannya lalu menarik kain penutup kepala
Tangan Darren mulai meraba bahu Dhea. Menjalar ke atas dan berhenti di leher perempuan itu.“Aku bisa membunuhmu hanya dengan satu gerakan, Ardhea,” ucap Darren yang masih diliputi amarah.Tapi Dhea justru masih bergeming. Jujur, dia takut pada Darren kalau sedang marah. Sebenarnya diantara keluarga Franklin, Darren adalah sosok yang paling membuat Dhea nyaman. Dulu. Sebelum Dhea dibuang ke luar negeri dengan alasan study.“Dulu kamu adalah hero-ku. Kamu tak pernah mengatakan sayang, tapi kamu yang selalu menolongku ketika Daddy memukul tanpa ampun.” Dhea menarik nafas sesaknya.“Kalau pada akhirnya Kakak yang membunuhku, kenapa dulu kamu menolongku?” sambungnya.Netra Darren menangkap rasa sakit di manik mata adiknya itu. Dia sangat tau penderitaan apa saja yang Dhea derita. ‘Tapi aku juga menderita, bukan? Lalu apa paduliku?’ pikir Darren dalam hati.Tangan Darren masih di leher Dhea, namun dia belum menekan. Hanya bersiap mencekik.“Tapi kalau akhirnya aku mati juga tidak
Hexa menghentikan mobilnya di parkiran gedung apartemen. Baru kali ini pria itu datang ke tempat tinggal Dhea untuk mengantar barang yang ditinggal di tempat perkemahan kemarin.Meski tidak dengan alasan mengantar barang pun, Hexa akan tetap menemui Dhea. Perempuan itu sudah menjaga Jasmine dengan baik. Hexa belum sempat berterimakasih. Ditambah lagi, dia masih belum percaya kalau rekan sesama dokternya itu baik-baik saja.Ting!Bunyi lift terbuka. Hexa sudah sampai di lantai unit apartemen Dhea. Pria itu mulai melihat ke kanan dan kiri untuk mengecek nomor unitnya.“Ah, ini dia,” gumam Hexa menemukan unit milik Dhea.Kalau dipikir, unit Dhea masuk ke dalam unit termewah di gedung apartemen ini. Sempat terfikir, apa Dhea dari kalangan orang berada? Tapi kalau diingat, selama menjadi dokter di rumah sakit tempat Hexa bekerja. Dhea terlihat berpenampilan sederhana. Bahkan Dhea tidak memiliki kendaraan pribadi.Hexa menekan tombol bel unit. Dia mengabaikan pikirannya tentang siapa Dhea s
Dahi Allice berkerut melihat pria yang memakai jas putih di depannya nampak lesu.“Dok, ini data pasiennya,” ucapan seorang suster membuat Allice menoleh dan menerima berkas rekam medis yang dia minta barusan.Dia sedang ada di depan tempat administrasi rawat inap. Pasien dan keluar pasien juga nampak berlalu lalang.“Oke, terimakasih. Lalu apa aku masih ada pasien yang perlu dikunjungi siang ini?” tanya dokter cantik itu.“Sudah, Dok. Pasien di IGD juga sudah ditangani oleh Dokter Indira dan Dokter Teguh,” ujar suster dengan ramah.Allice mengangguk. Dia mengontrol pasien double selama dua hari ini. Yaitu pasien yang seharusnya menjadi tanggungjawab Dhea, harus dia handle dengan baik.“Bagaimana?”Suara Hexa membuat Allice menoleh.“Harusnya aku yang tanya. Mukanya kusut begitu. Ada apa? Kangen Dhea? Bukannya tadi sudah bertemu?” ledek Allice.Hexa menghela nafasnya, bersandar di samping Allice sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas.“Aku bukan kangen. Hanya merasa bersa
Darren bersiap. Dia mengambil jaket hitamnya lengkap dengan masker dan topi. Baginya, Allice itu zat adiktif yang membuatnya harus bisa bertemu walau sejenak.Kalau tidak, otak Darren terasa panas. Hatinya resah.Ketika dia begitu semangat ingin menemui mantannya itu, langkahnya terhenti ketika mendengar suara pecahan kaca dari kamar Dhea yang terbuka.“Ardhea?” panggil Darren berhenti menatap kamar itu.Tidak ada jawaban.Jika saja itu orang lain, sudah pasti Darren memilih tak peduli. Tapi suasana hati gadis itu sedang buruk.“Ardhea? Apa yang terjadi?” teriak Darren lagi.Masih hening.Tidak lagi menebak-nebak, Darren berjalan cepat masuk ke kamar tamu apartemennya. Matanya membola melihat Dhea duduk di lantai, bersandar pada sofa.Sedangkan pecahan kaca gelas berserakan di sekitarnya.Lebih mengerikan lagi, sesuatu yang membuat darah Darren mendidih seketika saat mengetahui Dhea baru saja melakukan percobaan bunuh diri.“Ardhea! Kamu gila!”Darren bergerak cepat meraih kain kecil
“Mau bicara apa?” tanya Dhea dengan nada yang berbeda dari biasanya. Sekarang mereka sudah duduk berhadapan di sofa ruangan sang direktur rumah sakit. Hexa yang meminta bicara ketika mereka bertemu di koridor tadi. “Bagaimana kabarmu?” Hexa menatap plester yang menempel di dahi Dhea. “Baik. Terimakasih sudah sempat datang ke apartemenku. Maaf, tapi ternyata aku tidak ada,” ujar Dhea. Kali ini terdengar lembut namun tidak pula di buat-buat. Tapi entah kenapa Hexa rindu dengan sosok Dhea yang selalu penuh antusias ketika bertemu dengannya. “Kau tau aku datang kesana?” Hexa menaikkan satu alisnya. Mata Dhea mengerjap. Tidak mungkin kalau dia jujur bahwa ada anak buah Darren di apartemennya saat itu. Sebab Dhea masih belum mau identitasnya terungkap. “Aku hanya kira-kira. Karena aku menitipkan barangku padamu. Jadi pasti kamu datang ke apartemenku. Maaf,” jawab Dhea. Hexa mengangguk tipis. Tanda menerima jawaban Dhea. “Aku yang berterimakasih padamu, Dhea. Karena kamu menjaga kepo
“Dokter Hexa!” panggil Allice ketika dia melihat Hexa melewati persimpangan koridor yang sedang dia lewati.Merasa terpanggil, pria berwajah khas asia dan tampan itu mundur dua langkah. Hingga dia bisa melihat Allice yang sedikit berlari ke arahnya sambil mendekap berkas.“Ada apa?” tanya Hexa.“Apa dokter sibuk?” Kalau di rumah sakit, mereka bisa menempatkan diri dengan cara memanggil dengan sebutan formal.Hexa menaikkan satu tangan kiri sambil melihat jam Rolex yang melingkar disana. “Selama satu jam ke depan aku tidak ada jadwal. Setelahnya ada operasi untuk pasien yang sebelumnya kamu tangani,” jawabnya kembali memandang Allice.“Aku ingin diskusi mengenai penyakit pasien yang mengidap kanker paru. Dia memiliki komplikasi,” ujar Allice menepuk berkas di dekapannya.“Oh, Ibu muda yang anaknya kemarin menangis di IGD?” tebak Hexa.Allice mengangguk sambil tersenyum.“Kita bicara dimana?”“Karena dekat dengan ruanganku. Tidak apa kalau mau.”Hexa ikut saja. Lagi pula dia sedang dala
Dahi Dhea mulai berkeringat. Tangannya juga gemetaran mempertahankan ponselnya di daun telinganya.Tadi, baru juga dia duduk tenang di kursi ruangannya. Dia mendapat telefon dari Geralgine, ibu angkatnya.Perempuan itu tidak ada bedanya dengan Raymond. Suka sekali mengancam dan memaki. Apalagi setelah Geraldine tau mengenai Safira, anaknya yang dibunuh oleh Darren.Seolah dendam Geraldine pada Darren ditujukan padanya.“Mom, maaf. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan dengan Andy,” ucap Dhea kekeuh pada pendiriannya. Meski sudah 5 menit Geraldine terus memakinya.Mengatakan dia anak buangan, anak tidak tau diuntung dan lain sebagainya.‘Aku tidak main-main, Ardhea. Setelah Darren mempermalukan keluarga dengan kabur dari pesta pernikahannya dengan Elmira. Apa kamu mau melempar kotoran lagi pada kami!’ Suara Geraldine terdengar begitu geram.“Mom –“‘Aku bukan mommy kamu! Tidak sudi aku menganggapmu anak! Kenapa kamu tidak mati saja waktu itu! Aku sungguh menyesal sudah mengadopsi anak ha