Mata Dhea mengerjap. Dia begitu gugup ketika Hexa semakin memajukan wajahnya perlahan untuk menyerang bibirnya.‘Aduh. Aduh! Bagaimana ini?’ Dhea berteriak dalam hatinya. Dia terjebak oleh kata-katanya sendiri soal first kiss.“Hexa!” Dhea akhirnya menutup mulut Hexa dengan telapak tangannya.“Ja-Jangan anggap serius soal hubungan kita,” ucap Dhea dan sukses membuat Hexa memundurkan posisinya.Dia menaikkan satu alisnya menunggu perkataan Dhea selanjutnya.“Aku hanya bercanda dan hanya meminta perlindunganmu saat aku bertengkar dengan Andy,” sambung Dhea memalingkan pandangannya tidak berani menatap Hexa langsung. Jemarinya juga saling memilin, bersiap dengan jawaban kecewa dari dokter tampan itu.“Kamu mengejarku juga itu karena bercanda?” tanya Hexa masih dengan nada normal. Meski dalam hatinya tentu terkejut atas pekataan Dhea.“Ya,” jawab Dhea.Hexa terdiam menatap perempuan itu dengan seksama.Hening sesaat, sampai Dhea melihat jam di dinding.“Pergilah, aku ada jadwal visit rawa
“Katakan aku malas bicara terlalu lama.” Dhea meletakkan stetoskop yang sejak tadi menggantung di lehernya. Lalu berbalik menatap Andy dengan tangan melipat di depan dada.“Kamu bosan dengan kekasihmu, kan? Itu sebabnya kamu kabur dan membiarkan dia mencari,” ucap Andy.Satu alis Dhea terangkat. “Sok tahu.”“Tsh! Dia menunggumu di depan apartemenku. Dia pikir aku sedang bersamamu.” Andy menghela nafasnya lalu maju untuk mendekat.Namun Dhea langsung mencegah. “Diam disana.”“Apa dokter itu tau siapa kamu sebenarnya? Seorang anak buangan yang beruntung di rawat oleh keluarga Franklin. Tapi tetap saja nasibmu sangat buruk.” Andy menatap Dhea dengan sorot meremehkan.Perempuan itu menelan salivanya susah payah. Namun dia tidak ingin terlihat lemah.“Hanya aku yang akan tetap menerimamu apapun kondisi di belakangmu, Dhea. Hanya aku yang bisa melepasmu dari penjara kerajaan Franklin. Hanya aku yang bisa memberikan istana indah untuk kita tinggali.”Andy terobsesi pada Dhea. Perempuan itu b
Selama perjalanan Dhea hanya terisak tanpa bicara apapun. Hexa sesekali menoleh dengan rasa ibanya.Siapa yang melakukan? Kenapa setega ini? Apa salah Dhea sampai mendapat perlakuan keji begini? Apa keluarga? Atau penjahat?Banyak pertanyaan tapi Hexa tidak berani bertanya apapun.Pria itu memarkirkan mobilnya di basement, parkiran VIP apartemennya. Membawanya masuk ke unit yang selama ini menjadi tempat tinggal Hexa.“Kamu tinggal sendiri?” tanya Dhea dengan suara seraknya.“Iya,” jawab Hexa seraya membuka lebar pintu unitnya. Membiarkan Dhea masuk lebih dulu.“Kamu tenang saja. Aku tidak akan macam-macam,” sambung Hexa menutup kembali pintu.“Bukan. Maksudku kalau ada orang lain, aku harus ijin dengannya lebih dulu.”“Aku sendiri.”Jawaban Hexa membuat Dhea menghela nafas lega. Kalau perkara perilaku Hexa, Dhea tidak meragukan. Pria itu sangat menjaga sikap terhadap lawan jenis.“Tunggu disini.” Hexa meninggalkan Dhea di ruang tamu.Tidak lama, pria itu kembali membawa kotak obat ju
“Berangkat siang?” beo Allice ketika menerima telefon dari Hexa.‘Iya, apa kamu bisa menggantikanku pagi ini? Kamu praktek pagi, kan?’ tanya Hexa melalui sambungan telefon.Dia tidak mungkin meninggalkan Dhea sendiri di apartemen. Tapi dia juga harus memastikan kalau pemindahan jadwal prakteknya tidak berdampak pada pasien.Allice menoleh pada pria yang sedang menyetir di samping kanannya. Arsen begitu fokus, membiarkan dirinya bicara dengan Hexa.“Aku akan bicara dengan Arsen. Kalau sesuai jadwal kan aku jadwal siang bersama Dokter Dhea,” ucap Allice. Dia antara tidak enak dengan Arsen juga Hexa.Pagi-pagi, Arsen sudah mengatakan akan mengajaknya entah kemana. Kelihatannya penting.“Kamu mau menggagalkan rencana pagiku dengan pekerjaanmu itu?” Suara Arsen membuat Hexa mengerti.‘Aku akan meminta Dokter Gina saja.’“Sungguh?” Allice memastikan.‘Iya, santai saja. Tapi aku harap kamu berangkat lebih awal satu jam dari jadwal,’ ucap Hexa.“Oke, aku akan datang lebih awal.”Setelah jawab
Dhea mengucek mata berbulu lentik itu saat dia terbangun dari tidur lelapnya. Sejenak dia lebih dulu memperhatikan kanan dan kiri.“Ini dimana?” pikirnya.Sampai dia menemukan sebuah figura yang tertempel di samping pintu masuk, dia baru ingat kalau dia ada di apart Hexa. Tepatnya, kamar milik pria yang fotonya berada di dalam figura.Badannya sudah lebih baik. Dia beranjak dari posisinya. Namun niatnya turun terhenti karena di pangkuannya ada sebuah boneka berwarna kuning kotak. Lengkap dengan bibir yang tersenyum lebar serta tangan dan kaki yang kecil.“Spongebob?” Dhea tersenyum tipis sambil mengerutkan keningnya.Pikirannya sudah melayang. ‘Hexa punya boneka?’ ah, nampaknya lucu kalau pria dingin seperti Hexa tidur bersama boneka lucu.Tunggu. Dhea penasaran dengan kalung dengan liontin plastik yang menempel di dada boneka itu. Dia pun menekannya.Rupanya itu adalah sebuah rekaman suara Hexa yang dibuat seperti suara anak-anak.“Halo, aku Spongebob. Aku adalah kamu, Ardhea Moza. Y
Ada perasaan sakit ketika melihat anak buahnya mengirim foto undangan acara Wedding Anniversary Allice dan Arsen. Darren baru saja tiba di Indonesia setelah sempat bertemu dengan Elmira. Lelaki itu hanya menemani Elmira yang masuk rumah sakit karena komplikasi kehamilan. Dia menyatakan akan bertanggungjawab merawat anaknya kalau sudah lahir. Tapi Darren tidak pernah mau menjadikan Elmira istrinya. Bagi Darren, pernikahan itu hanya akan menyakiti dirinya dan Elmira. Mereka akan terjebak dalam kehidupan tanpa cinta dan tinggal bersama. Itu terlihat begitu buruk menurut Darren. “Jadi kamu benar-benar sudah bahagia, Allice?” Pikiran Darren kini tertuju pada undangan di layar ponselnya. Tentu itu bukan undangan untuknya. Melainkan anak buahnya mendapat dari seseorang. Bukan hanya laporan soal Allice. Anak buahnya juga melaporkan kalau Dhea semalam tinggal di apartemen seseorang. Ya, alasan Darren cepat-cepat kembali ke Indonesia adalah karena mendapat kabar kalau Raymond ke apartemen
“Kamu kenapa?” tanya Dhea bingung.Dhea melirik pada pria yang kini ada di sisi kanannya. Hexa, pria itu fokus menyetir dan tidak bicara apapun pada Dhea sejak tadi.Hanya sesekali menjawab seadanya. Juga dingin.Hal itu rupanya berpengaruh pada Dhea. Dia jadi salah tingkah. Ini begitu merasa bersalah tanpa tau penyebabnya.“Hexa,” panggil Dhea.“Hem?” Lelaki itu menoleh sekilas, tanpa ekspresi dan kembali lagi menyetir.“Aku ada salah?” tanya Dhea.“Tidak,” jawab Hexa singkat.Dhea menghela nafas pasrahnya. Dia masih belum bisa memahami sifat Hexa.Waktu menunjukkan pukul 9 malam. Mobil mewah milik sang direktur rumah sakit itu akhirnya memasuki area parkir gedung apartemen. Hexa masih membawa Dhea ke tempat tinggalnya.“Kalau ada salah kamu bisa mengatakan padaku. Jangan diam begini.” Dhea kembali berucap setelah mereka ada di dalam lift.Hexa diam menatap Dhea yang tinggi badannya sebatas pundah dirinya.“Jawab apa gitu, malah liatin,” gerutu Dhea menunduk kesal.Cemburu.Hexa seda
Orang yang pertama Hexa hubungi setelah dia masuk ke dalam mobilnya adalah Arsen.“Awas saja kalau dia banyak alasan.” Belum juga telefon diangkat, Hexa sudah mengancam lebih dulu.Sambil menunggu telefon yang tak kunjung tersambung, Hexa membawa mobilnya keluar dari area apartemen yang ditempati Darren.‘Ada apa? Mengganggu saja.’ Suara Arsen setelah menerima panggilan terdengar ketus. Ah, seperti biasa. Mereka berdua selalu begitu.“Temani aku memesan cincin,” ucap Hexa to the point.‘Hah? Untuk?’ “Setelah aku pikir-pikir. Aku akan segera melamar Dhea.”Disana tentu Arsen terdengar senang. ‘Wow! Begitu, dong. Gerak cepat. Sebelum jadi bujang lapuk.’Hexa menghela nafasnya. Dia berfikir cepat setelah pintu apartemen di tutup. Menurutnya Dhea butuh kepastian bukan omongan belaka.“Dhea ternyata adik angkatnya Darren,” ucap Hexa dengan nada lemah. Dia masih nampak tidak rela akan kenyataan ini.‘Aku tidak salah dengar?’ Disana Arsen juga seperti terkejut.“Akan aku ceritakan nanti. T
Drrttt ... Drrttt ... Drrttt ...Gerakan polesan brush berwarna pink di sela jari telunjuk juga jempol berkutek peach itu seketika terhenti.Atensi wanita cantik yang tengah duduk di kursi rias langsung beralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas."Siapa ya?" Tangan Nadya terulur, meraih benda pipih nan canggih tersebut.Begitu sepasang netra amber ini menyorot sebuah nama yang tertera di layar ponsel dalam genggamannya, detik itu juga Nadya membuka mulutnya lebar-lebar dengan raut terkejut."Wah serius ini Allice video call?!"Tanpa ba-bi-bu, Nadya segera menggeser icon hijau tersebut dan saat itu juga pandangannya disambut senyum juga lambaian tangan dari Allice di sebrang sana."Haii, Nad!" sapa Allice dengan wajah sumringahnya.Nadya tersenyum lebar lalu ikut melambaikan tangan. " Allice haloo!""Ih kangen banget aku sama Allice tau. Udah setahun lebih nggak ketemu kan kita?" tanyanya sambil mengingat-ingat kapan terakhir berjumpa.Tawa Allice meluncur renyah. "Iya ma
"Kamu yakin ini rumahnya?"Oscar menoleh ke kiri, menatap wanita cantik dengan blouse dusty pink yang kini sebelah tangannya menggenggam stroller bayi berwarna senada."Iya bener kok ini tempatnya. Tunggu, biar aku yang tekan belnya," sahut Nadya yang setelahnya langsung mengulurkan tangan, menekan bel di dinding berwarna silver itu. Menunggu beberapa detik, barulah pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita dengan rambut digelung indah yang muncul dengan raut terkejut."Nadya? Ini beneran kamu? Udah sehat?" pekik Allice begitu senang melihat Nadya di hadapannya setelah 2 bulan tanpa kabar.Terakhir Nadya ijin melalui pesan singkat kalau dirinya akan ke Italia untuk mengurus ini dan itu di kediaman Oscar sebelum melangsungkan pernikahan.Wanita muda berblouse dusty pink itu terkekeh geli. Dipeluknya tubuh Allice seperti seorang adik yang merindukan kakaknya."Surprise! Yes, it's me, Allice," timpal Nadya masih dengan tawa jahilnya sebab merasa berhasil membuat kejutan ini.Allice mengura
"Kamu gila ya?! Kamu pikir nikah itu seperti anak kecil merengek minta dibelikan permen?" Nadya mendelik tajam, jelas saja ia melayangkan protes.Manusia mana yang tiba-tiba dengan asal mendesaknya menikah padahal belum juga ada pembicaraan khusus ke arah sana.Ya meskipun sudah ada Isabel di antara dirinya dan Oscar, tapi tetap saja butuh waktu juga persiapan untuk menuju ke jenjang pernikahan yang sebenarnya.Oscar melirik Lexa yang menyembulkan kepala di balik pintu kamarnya. Lalu, dilemparnya kode agar adiknya itu berhenti mengintip.Seolah tahu kakaknya butuh privasi, akhirnya Lexa menurut dan mundur dari sana. Memberi ruang pada dua orang dewasa di ruang tengah itu.Dirasa waktunya sudah tepat, Oscar segera mengalihkan atensi wanita di hadapannya ini. "Kamu lapar kan? Ke dapur sebentar yuk.""Mau aku buatkan makanan apa?" tawarnya dengan nada selembut mungkin. Enggan membuat Nadya merasa tak nyaman berada di dekatnya.Sebelah alis Nadya terangkat. Sedikit merasa aneh mengetahui
"Loh, kalian sudah pulang?"Membuka pintu mansion megah tersebut, kelopak mata Imelda terbuka lebar juga mulutnya menganga saat mengetahui siapa yang datang.Bukan. Bukan karena Imelda tak suka, melainkan heran dan ekspetasinya sedikit meleset."Kenapa tidak kasih kabar dulu? Mama kan bisa jemput di bandara. Terus Nadya mana? Kok tidak bareng sama kalian?"Runtutan pertanyaan itu seketika membombardir Allice juga Arsen yang saling melempar pandang dan menahan senyum.Arsen menyahut enteng. "Anggap aja ini surprise, Ma. Lagi pula, Mama tidak senang aku dan Allice pulang lebih cepat?""Memangnya Mama tidak rindu pada Brian dan Anna?"Baru saja kedua nama bocah itu disebut, kakak beradik tersebut turun dari mobil ditemani suster mereka yang juga ikut saat terbang ke kota tempat tinggal Nadya kemarin."Omaa!" pekik Anna sambil berlari kencang ke pelukan Imelda.Untung saja, Imelda dengan sigap menangkap tubuh mungil cucunya yang selalu menggemaskan ini. "Ututuu ... Cucu Oma yang cantik."
Suara tangisan bayi di dalam box khusus itu menggema di seluruh penjuru ruang bernuansa putih ini.Nadya yang semula nyaris memejamkan mata spontan terperanjat dan refleks mengalihkan pandangan ke arah sang putri kecil yang menangis keras."Cup cup cup, Sayang. Bunda di sini, Nak," ucap Nadya sambil tangannya terulur, menggoyangkan box tersebut dengan lembut, mencoba menenangkan bayinya.Namun ternyata, gerakan itu tak cukup untuk membuat putrinya diam dan kembali terlelap. Yang ada justru tangisnya kian menjadi-jadi.Hal tersebut jelas membuat Nadya kelimpungan dan panik. Jujur saja, tubuhnya masih belum bisa diajak kompromi hanya untuk turun dari ranjang lalu sekadar menggendong tubuh mungil itu."Aduh ... Aku mesti gimana?" gusar Nadya dengan tubuh lemas juga wajah pucatnya itu.Hati ibu mana yang tega membiarkan bayinya menangis. Nadya akhirnya memaksakan diri untuk mendudukkan badan yang rasanya tak karuan ini."Eh tunggu! Tetap di sana. Biar aku aja," cegah Oscar yang tiba-tiba
Suara ketukan di balik pintu ruangan bernuansa putih pucat itu sampai ke telinga seorang wanita berambut panjang yang duduk bersandar di brankar dengan wajah datar.Nadya refleks menoleh. Atensinya beralih pada gadis berkaki jenjang yang kini mengenakan outfit casual dibalut dengan syal tipis yang melingkar di leher."Excuse me, apa aku boleh masuk?" izin gadis berbola mata biru cerah di ambang pintu tersebut.Meski sorot mata keduanya bertemu di satu titik yang sama, bibir Nadya tetap terkatup rapat. Ia tak menyahut. Membiarkan tamunya masuk dengan sendirinya.Dengan senyum ramah, gadis itu menghampiri brankar Nadya. "Maaf kalau aku menganggu waktu kamu berisitirahat, tapi izinkan aku memperkenalkan diri."Di sana sudah ada box bayi. Di mana bayi yang belum berumur 1 minggu itu tengah tertidur pulas setelah suster memacu ASI Nadya lalu bayi pun minum ASI untuk pertama kali. Pertama kali pula bayi itu kenyang dan tidur pulas di dalam box.Baiklah, jadi Lexa punya banyak waktu untuk bi
Sudah berapa jam Allice dan Arsen membiarkan Oscar di dalam menemani Nadya. Tentu Oscar tidak akan menyiakan setiap detik waktu yang ada. Dia tidak hentinya memandang wajah yang sangat dia rindukan itu.Digerakkan jemarinya untuk mengusap dahi, hingga alis Nadya yang tebal. Mengusap lembut pipi kenyal yang sedikit berisi. Lalu dia geser hingga menyentuh bibir yang sering kali bisa menenangkannya dikala banyak pikiran.“Dingin,” ujarnya saat pada bibir pucat itu.Dengan gerakann pelan, Oscar membungkukkan badannya. Dia melumat halus bibir dingin dan kering.“Bangun, Nadya,” ucapnya lirih melepas sejenak bibir itu. Kemudian dia lakukan lagi, begitu ringan gerakannya, hanya sekedar ingin menghangatkan. Tanpa nafsu sedikitpun.Tanpa Oscar ketahui, ulahnya itu mampu merangsang saraf Nadya. Jemarinya bergerak merespon tanpa ada yang melihat.CUP!Oscar berpindah mengecup dahi itu, begitu dalam hingga matanya terpejam untuk menikmati dan menghirup aroma kulit wanitanya. Baru setelahnya dia m
Oscar memandangi anaknya dari depan kaca ruang perinatologi. Hatinya resah saat melihat bayi itu terus saja menangis.“Permisi!” Oscar mencegah perawat yang hendak masuk.“Iya, Pak?” tanya perawat.“Apa saya boleh menggendong anak saya?” tanya Oscar menunjuk pada bayi di dalam box.“Saya suami Nadya, ibu dari bayi itu.” Pria itu sampai menunjukkan foto dirinya bersama Nadya yang diambil ketika mereka masih bersama dulu.“Ah, boleh. Tapi hanya sebentar. Dan semoga bayinya bisa berhenti menangis kalau di dekapan ayahnya.”Oscar mengikuti perawat masuk ke ruang perinatologi. Hatinya begitu gembira setelah melihat bayinya. Padahal sebelumnya dia belum pernah sebegitu tertarik pada seorang bayi.Seperti anjuran perawat, Oscar lebih dulu cuci tangan menggunakan sabun hingga bersih lalu mengeringkannya. Setelahnya dia berbalik dan sudah melihat perawat itu menggendong sang bayi yang masih saja menangis.Tiba-tiba rasa gugup menyelimuti, tapi hasratnya sungguh ingin menggendong bayi itu.“Tua
"Ternyata kau di sini."Arsen menghampiri Dev yang tengah berdiri menyendiri di rooftop rumah sakit sembari memandang langit yang mulai berubah warna. Senja, seharusnya indah tapi entah kenapa terasa berbeda bagi Dev kali ini."Ah, Arsen. Kamu sudah sampai? Maaf belum sempat menyapamu dan Allice," sahut Dev yang kini berbalik badan, membalas tatapan mata Arsen dengan sebuah senyum kikuk.Tangan kanan Arsen menepuk bahu kiri Dev layaknya seorang kerabat dekat. "No problem, santai saja.""Sejujurnya, aku senang saat tahu Nadya ada bersamamu. Karena aku sangat yakin, kamu akan menjaganya dengan sangat baik."Menghela napas panjang, Dev lantas menggeleng lesu. "Tapi aku gagal menjaganya dan membuat bayinya lahir di waktu yang tidak seharusnya."Arsen tersenyum tipis. Setidaknya dia mengerti ada rasa bersalah dari sorot mata Dev."Jangan memandang rendah dirimu sendiri seperti itu, Dev. Kita sudah berteman cukup lama. Aku tahu seperti apa kamu memperlakukan wanita. Apalagi, dia adalah Nady