Seorang wanita cantik dengan setelan kaos crop navy yang dibalut coat jaket berwarna broken white baru saja keluar dari pintu utama Bandara Internasional Wellington, New Zealand.Sambil menggeret sebuah koper sky blue-nya, Allice tersenyum begitu mendapati lambaian tangan dari seorang pria yang sudah menunggu di ujung sana. Yeah, tadi Darren mendahului karena harus menerima telefon katanya. Sedangkan Allice mampir ke toilet lebih dulu.Allice menghampiri dan segera menyapanya, "Maaf ya aku kelamaan. Tadi koperku hampir saja tertukar dengan orang lain di depan toilet."Lengkungan sabit di wajah pria berbaju denim itu muncul. Ya, siapa lagi kalau bukan Darren, pria hangat dengan sikap lembutnya itu."Hei, santai saja, Allice. Masih untung kamu tidak dibawa oleh duda kaya," canda Darren yang segera mengambil alih koper Allice dan memasukkan ke bagasi mobil.Setelahnya, tangan Darren membukakan pintu untuk Allice. "Ayo masuk. Kamu pasti lelah karena flight yang panjang ini.""Bukan hanya
"Darren? Kamu sudah pulang, Sayang?" sapa Geraldine begitu melihat pria berkemeja formal yang masuk memegang jas putih kebesarannya dari arah klinik. Darren, pria itu sama sekali tak menggubris. Langkahnya lurus dan raut wajahnya setia datar. Terlalu malas basa-basi. "Apa kau tidak punya telinga? Ibumu sedang bertanya, Darren!" Sebuah suara dengan nada meninggi itu refleks menghentikan ayunan kaki Darren. Arah pandangnya pun tertuju pada sosok pria paruh baya yang selalu memasang wajah arogan itu. "Ibu? Apa aku tidak salah dengar? Sejak kapan aku punya ibu seperti dia?" Darren tersenyum sinis. Mendengar jawaban Darren yang seolah meyelepekan posisi sang istri, Raymond seketika berang. Dia bangkit dan menatap bengis putranya itu. "Kau?! Berani-beraninya berkata seperti itu?? Di mana sopan santunmu?!" sentak Raymond sambil mengacungkan telunjuk ke arah Darren. Sebelah alis Darren terangkat, seakan menantang sang ayah yang menurutnya telah salah mendewakan wanita. "Kenapa? Aku han
Arsen menatap ponselnya yang berdering sejak tadi. Jemarinya nampak ragu untuk mengangkat. Namun, kalau tidak dijawab pasti akan menimbulkan masalah baru lagi. Pria itu menarik nafasnya dan akhirnya menekan tombol hijau. Perasaan Arsen sudah tak enak. Apalagi ketika panggilan suara akhirnya terhubung dan sapaan dari dua bocah yang tak lain Brian dan Anna mengalun penuh semangat. "Papaa!" Arsen yang awalnya sudah kusut seperti karpet terinjak-injak mau tak mau melukis senyum paksa. Untung ini bukan video call. "Hai, anak Papa yang cantik dan ganteng. Kalian berdua happy kan di sana?" Suara cempreng Anna menyahut kilat, "Very happy, Pa! Di sini banyak mainan sama bisa berenang di pantai loh. Anna suka sekali!" "Brian juga senang, Pa. Oma dan Opa ajak kita jalan-jalan terus," timpal Brian mendukung jawaban Anna tadi. Mendengar kekompakan Anna juga Brian, Arsen kali ini menghela napas lega. "Syukurlah kalau kalian menikmati liburannya." "Arsen," panggil Imelda yang tiba-tiba menga
"Shit!" umpat Arsen sambil memukul pinggiran sofa.Tangan kanan Hexa menepuk pundak Arsen. "Tenang. Jangan emosi dulu.""Coba aku telepon Bobby sekarang," lanjutnya yang langsung diangguki setuju oleh Arsen.Hexa mulai mengotak-atik ponselnya. Mencari kontak Bobby dan tanpa ba-bi-bu menghubungi nomor itu."Halo, Bob? Sibuk tidak? Aku bisa ke sana sekarang?" Hexa langsung mencecar pada intinya.Terdengar suara ketikan keyboard dari sebrang sana. Lalu, Bobby menyahut, "Sorry, Hex. Aku lagi ngoding program. Lembur ini. Pulang besok pagi."Jawaban dari Bobby membuat Hexa melempar pandangan ke arah Arsen yang tampak menghela napas pasrah. Sepertinya, memang tidak bisa selesai malam ini juga. Nyatanya ini sudah tengah malam. Tidak pantas juga bertamu saat ini."Oh gitu. Ya sudah. Aku main ke rumah besok ya. Bisa kan?" tanya Hexa.Bobby menjawab cepat. "Santai. Kalau besok bisa diatur."Begitu Hexa selesai mengucap terima kasih, panggilan kini berakhir. Dan atensi Hexa tertuju pada Arsen yan
Allice menaikkan satu alisnya sambil mengulurkan tangannya pada Darren.“Darren? Kamu kenapa jadi tegang begitu?” tanya Allice.“Aku bukan tegang.”“Lalu?”“Permisi?”Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu.***"Holy shit! Bagaimana aku bisa sebodoh ini!" umpat Darren sambil menutup kasar pintu ruangannya.Bagaimana dia tidak emosi?Sesuatu yang sangat ia rahasiakan bertahun-tahun dari siapapun nyaris saja terbongkar kalau semesta tidak segera bertindak tadi.Ya, map yang kini ia genggam berhasil lolos dari kecurigaan Allice berkat kedatangan Nyonya Shammar.Kalau saja pasiennya itu tidak buru-buru pulang karena sudah dijemput oleh anaknya, Allice mungkin akan terus menagih penjelasan padanya.
Tepat pukul setengah satu siang, Allice baru saja selesai menata alat medis yang kebetulan Darren datangkan dari Auckland. Kata Darren, ini semua demi kelengkapan peralatan juga teknologi yang berguna untuk para pasien di klinik. Allice mengibaskan telapak tangannya dengan seulas senyum tipis. "Oke, sudah beres semua." "Aku jaga depan aja kali ya? Darren pasti lagi sibuk di dalam," pikirnya yang langsung mengarahkan langkah ke lobby klinik. Begitu mendaratkan tubuh di kursi, fokus Allice kini tertuju pada laptop yang setia menyala. Memantau bila ada pasien yang 'booking' melalui web online. Ya walaupun belum banyak yang tahu tentang klinik Darren ini sebab lokasinya sedikit jauh dari tengah kota, tapi bisa dibilang tidak terlalu sepi. Buktinya, dari riwayat pasien yang berobat ke sini menunjukkan grafik yang lumayan tinggi. Jemari Allice mulai menari-nari di atas keyboard. Dia membantu Darren menyelesaikan satu tugas yang sepertinya belum sempat laki-laki itu selesaikan. Ketika
Saat udara terasa begitu dingin di siang hari. Terdengar suara tangisan di sebuah taman yang sepi."Hei, ada apa, Cantik? Kenapa kamu menangis hm?"Allice berjongkok, menyamakan tingginya dengan seorang gadis kecil berkuncir kepang yang kini terduduk di pojok bangku taman klinik sambil menangis sesenggukan."Cup cup cup, jangan sedih ya, Sayang. Aunty di sini, kamu bisa cerita apa saja kok," ucap Allice sambil mengelus puncak kepala bocah mungil itu dengan penuh kasih.Walau masih dengan napas yang tersendat-sendat karena sesegukkan, bibir mungil itu akhirnya bersuara, "A-aku ingin p-pulang.""T-tapi aku t-tidak tahu bagaimana caranya.""Aunty boleh tahu siapa namamu?" tanya Allice dengan suara lembutnya.Anak kecil manapun pasti akan mudah dekat dan tidak bisa jauh dari pesona keibuan seorang Allice. Bahkan, lihatlah, bocah yang tadinya menangis pilu sekarang tampak lebih tenang."Isabelle," jawab bocah itu dengan raut lugu bak anak kecil pada umumnya.Tangan kanan Allice mengelus pi
"Bisa saya bertemu Raymond Franklin sekarang?" Bersama dengan Hexa yang terpaksa ikut dengannya, Arsen kini berdiri di meja lobby rumah sakit milik keluarga Darren. Tak peduli dengan tatapan heran dari suster yang berjaga di sini, Arsen hanya ingin permintaannya dikabulkan. "Maaf? Apa sebelumnya sudah membuat janji temu dengan Tuan Raymond?" tanya suster tersebut dengan bahasa inggris yang sama fasihnya pula dengan Arsen. Tatapan Arsen berubah tajam. "Saya tidak butuh janji temu. Ini penting dan mendesak." "Saya Arsenio Mahardika dari Indonesia. Dan saya jauh-jauh datang hanya untuk bertemu langsung dengannya. Jadi bisa tidak jangan basa-basi?" "Santai, Arsen. Santai. Jangan marah-marah. Susternya kan cuma ikut prosedur aja," timpal Hexa. Karena ucapan Hexa itulah, Arsen giliran menyoroti wajah Hexa dengan tatapan membunuh. "Diam kau!" "Dan Anda, bisa tidak segera proses permintaan saya untuk bertemu dengan Raymond Franklin?" Arsen lagi-lagi menodong suster itu. Merasa jika a