Semua Bab Baju Baru Untuk Istri Dan Anakku : Bab 11 - Bab 20

110 Bab

11. Hati yang Sesak

Hati istri mana yang tidak sesak kala melihat suaminya hanya perhatian pada keluarganya sendiri tetapi mengabaikan istri dan anaknya.Hati ibu mana yang tidak perih melihat ayah dari putrinya melimpahkan kasih sayangnya melebihi kasihnya pada darah dagingnya sendiri. Seolah keponakannya adalah anaknya sendiri. Sedangkan putri kandungnya sendiri diperlakukan oleh nya seperti anak orang lain.Keberadaan ku benar-benar tidak ada artinya dan gunanya lagi selain sebagai pembantu gratisan yang keberadaannya hanya untuk melayani mereka.Harusnya sebagai seorang suami dan juga seorang ayah. Mas Farhan lebih memperhatikan anak istrinya. Tetapi apa yang ia lakukan malah justru kebalikannya. Andai saja aku bisa mendoakan yang buruk-buruk untuk keluarga ini pasti itu sudah aku lakukan jauh hari. Hanya saja diri ini takut. Takut jika doaku yang buruk itu nantinya berbalik pada diriku sendiri. Oleh karena itu tak pernah lelah dalam tiap sujudku. Selalu meminta kepada-Nya agar segera membukakan mat
Baca selengkapnya

12. Seleksi Jabatan Baru

Perlahan namun pasti bayangan Marwah dan juga putriku sedikit teralihkan oleh hebohnya group di tempat kerjaku. Iya tepatnya hari ini adalah hari pertama bagi karyawan yang memenuhi persyaratan untuk bisa mengajukan diri mengikuti seleksi untuk bisa naik level. Dengan percaya diri aku mendatangi kantor pimpinan HRD. Setelah dipersilahkan masuk, aku langsung menghadap dan langsung mengutarakan maksud kedatanganku.Setelah sedikit berbasa-basi mengenai posisi yang akan di buka khusus untuk karyawan yang benar-benar masuk kriteria seperti aku ini.Namun setelah mendapatkan penjelasan dari kepala HRD perihal ijazah ku yang tidak sesuai kriteria. Aku pun di buat kaget. Bagaimana mungkin bisa. Aku jelas-jelas masih ingat jika ijazah yang aku ajukan adalah ijazahku yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi tempat aku pernah menimba ilmu dulu. Sedangkan data CV ku yang masuk di pabrik ini adalah hanya ijazah SMA saja. Luruh sudah harapan ku. Tubuhku terasa lemah seperti kehilangan tulang penyang
Baca selengkapnya

13. Penyesalan

Aku ingin memastikan kondisi ibuku sebelum aku mencari Marwah di rumah orang tuanya.Sabtu pagi yang cerah. Usai melaksanakan salat subuh tadi. Aku segera bersiap untuk pulang ke rumah ibuku. Hingga tiga jam kurang lebih perjalanan yang aku tempuh. Akhirnya aku telah sampai di rumah masa kecilku."Pulang kamu, Han?" sapa mbak Rina tetangga depan rumah sekaligus anak dari kakak sepupu ibuku. Aku yang baru saja memasuki halaman rumah dan memarkir roda dua ku. Dan mbak Rina sendiri juga baru keluar dari rumah ibu."Iya, Mbak. Ibu sakit. Kemarin Reihan udah nelpon dan ngabarin kabar ibu.""Gimana sama kabar Marwah dan Alina? Sudah ketemu sama mereka?"Aku menggeleng. "Belum, Mbak."Aku tahu jika wanita yang seumuran dengan mbak Nur ini sangat menyayangi putriku---Alina melebihi budenya sendiri yang merupakan kakak kandungku.Limpahan kasih sayangnya kepada Alina melebihi kasih sayangku pada putriku sendiri. Itu mungkin karena diusianya yang sampai saat ini belum juga dikaruniai seorang a
Baca selengkapnya

14. Pulang Ke Rumah Orang Tua

Sudah satu Minggu lebih ini aku berada di rumah kedua orang tuaku. Dan selama itu pula tak ada kabar atau niatan dari suamiku untuk mencari anak dan istrinya.Bukan mengharap dia akan mengemis dan memohon kepada ku agar kembali lagi ke rumahnya. Tentu tidak. Dan tak akan pernah. Kecuali mas Farhan mau berjanji dan mau memenuhi persyaratan dari ku. Tapi rasanya itu mustahil untuknya. Bukankah keluarganya itu lebih penting dari apapun.Bulan puasa ini aku lalui tanpa suami. Meski sudah terbiasa berhubungan jarak jauh. Namun tetap saja seperti ada yang hilang. Ada yang kurang.Beberapa hari yang lalu mbak Rina dan juga suaminya datang menemui ku di rumah ini. Mereka kebetulan lewat di dekat tempat tinggal ku dan sekalian mampir. Tidak hanya itu. Mbak Rani bahkan memberikan ku sebuah ponsel. Meski bukan barang baru tentunya ponsel tersebut masih bisa di gunakan. Mbak Rani juga bilang dengan adanya ponsel ia akan lebih mudah menghubungi aku terutama ketika sedang merindukan putriku---Alina
Baca selengkapnya

15. Emosi yang Meledak-Ledak

Suasana ruang tamu mendadak hening kembali.Aku menoleh ke arah bapak dan ibu juga Alina yang sedang asik dengan mainan barunya yakni boneka barbie yang baru saja dibelikan sama Mbah dok atau mbak wedok(nenek) beberapa hari yang lalu di pasar malam. Pasar yang ramai ketika memasuki bulan puasa terlebih pada sore hingga malem hari. Tidak hanya kebutuhan dapur seperti sayur mayur dan kelengkapannya. Melainkan banyak juga penjual pakaian, sepatu sendal, makanan ringan hingga berat, takjil, mainan anak-anak hingga arena bermain anak yang di sewakan pun ada. Dan di buka mulai sore hari di halaman pasar yang memang luas tempatnya. Pasar daerah di tempatku.Sikap bapak dan ibu pun sudah tidak seperti biasanya. Berubah setelah apa yang sudah semua aku ceritakan pada mereka.Ekspresi dingin yang di tunjukan oleh keduanya. Mungkin inilah salah satu penyebabnya yang membuat mas Farhan serasa mati kutu di hadapan keluargaku. Jika sebelumnya ia datang ke rumah ini karena terpaksa mengantarkan aku
Baca selengkapnya

16. Sikap Dinginnya

Akhirnya usahaku menjemput Marwah tidak sia-sia. Diwarnai dengan penuh drama dan meskipun harus menunggu dan tidak sebentar untuk itu. Akhirnya bisa luluh juga hati istriku itu.Kami tiba di rumah ketika salat tarawih telah usai. Karena kami berangkat dari rumah Marwah setelah sebelumnya melaksanakan salat magrib dan juga berbuka di rumah orang tua dari istriku.Sengaja harus menunggu Marwah menyelesaikan semua pesanan pelanggannya. Tak kusangka ternyata begitu kerja kerasnya istriku. Padahal sudah kewajiban ku sebagai seorang kepala keluarga untuk mencukupi kebutuhan istri dan anakku. Nyatanya selama ini aku sudah lalai karena dibutakan oleh jasa baik keluarga kakak kandungku sendiri. Entah bagaimana dengan reaksi ibuku ini, jika saja mengetahui kecurangan yang telah diperbuat oleh anak dan menantunya sendiri. Ingin aku bercerita pada Marwah. Namun masih ku tahan karena sikap dinginnya kepadaku."Assalamualaikum ...." Pintu rumah yang ternyata tidak terkunci. Tak ada jawaban. Aku d
Baca selengkapnya

17. Teguran Keras

Satu Minggu semenjak Marwah kembali ke rumah ini dan merawat ibu baik. Kondisi ibu semakin ke sini semakin membaik saja. Perlahan ibu sudah mulai bisa menggerakkan kaki dan tangannya. Ke kamar kecil pun sudah bisa sendiri asal ada yang mendampingi. Bicara pun sudah sedikit bisa di mengerti.Aku sengaja mengajukan cuti libur tanpa memberi tahu ibu atau Reihan seperti biasanya. Dan rencananya juga mbak Nur dan keluarganya juga akan datang berkunjung. Harusnya ketika ibu masih sakit agar dia juga merasakan rasanya merawat orang tua yang sakit bukan hanya Marwah yang seorang menantu yang selama sakitnya merawat orang tua kami satu-satunya ini.Prank!"Hei, mbak kamu bisa masak gak sih. Sayur apaan ini yang kamu masak! Sengaja kamu mau ngeracuni aku sama Riana, ya?"Motor segera aku parkir di teras dan terdengar suara lantang Reihan yang sedang menegur Marwah sepertinya.Tak ada jawaban. Tak terdengar sahutan suara Marwah.Aku segera masuk dan ternyata mereka semua ada di dapur. Nampak pan
Baca selengkapnya

18. Watak Sebenarnya

"Enak sekali ya ... yang habis jalan-jalan," sindir mbak Nur ketika aku dan Marwah baru saja masuk rumah. Aku memasukkan motor ku di ruang tamu sementara Marwah masuk ke dalam kamar dengan mengendong Alina yang tertidur pulas karena kenyang dan juga ngantuk berat.Mengambil beberapa kantong belanja kami tadi yang aku taruh di cantolan motor yang ada di bawah spidometer."Banyak banget, Han belanjanya. Pasti kamu tekor karena dipalak istri dan anak kamu yang sok-sokan kabur dari rumah karena merajuk. Jangan dibiasakan, Han malah ngelunjak," cerocos mbak Nur yang sudah mirip sama rel kereta yang gak ada ujungnya."Ini kan pakai uang aku sendiri, Mbak. Gak minta juga sama kalian. Terus masalahnya ada di mana? Uangku berarti uang istri dan anakku. Kalau uangku habis untuk menyenangkan kalian saja. Itu baru aku yang b*doh, buang-buang duit gak ada guna dan gak menjamin pahala buat aku. Beda kalau uang ku habis untuk menyenangkan istri dan anakku. Selain pahala karena menyenangkan hati ana
Baca selengkapnya

19. Perlakuan Berbeda dari Ibuku

Karena kesiangan dan selalu mengandalkan istri ku. Akhirnya mbak Nur dan keluarganya tidak ada yang makan sahur. Sudah keburu imsak dan masuk salat subuh. Tidak mau bergerak sendiri hanya perintah saja sukanya. Diktator tenyata saudariku itu dan payahnya aku baru menyadarinya sekarang setelah hasutan yang terus ia tanamkan dan hampir saja menghancurkan bahtera yang aku bangun bersama dengan Marwah.Siang ini rencananya mbak Nur sekeluarga akan balik. Dan aku sendiri memang sengaja masih di rumah, cuti dua hari sengaja aku ambil untuk hari Jumat dan Senin besok."Ayah, mau kue," rengek Alina dan terus menarik-narik tangan ku. Ia menunjuk ke arah meja kamar ibu karena posisi kami saat ini sedang berada di ruang tengah yang menghadap langsung ke kamar yang terbuka lebar daun pintunya."Mau kue apa?" tanyaku sambil menggiringnya masuk ke kamar ibu. Ibu baru saja selesai makan siang dan minum obat tentunya dengan bantuan Marwah sedangkan mbak Nur sedang sibuk berkemas karena bersiap untuk
Baca selengkapnya

20. Mencoba Memilah

Tanpa aku duga. Ternyata mas Farhan nekat juga datang menemui ku dan dengan tanpa rasa bersalah ia mengajak ku pulang hanya karena ibunya yang sakit dan tentunya mereka pasti membutuhkan orang yang bisa merawat ibunya. Malas sebenarnya, hanya karena aku masih berstatus sebagai istri dari laki-laki yang ibunya sedang sakit, maka dengan dalih jiwa kemanusiaan pada sesama aku mau mengikuti kemauannya. Dengan syarat mau menungguku hingga menyelesaikan tanggung jawab ku dan aku juga tidak mau selamanya tinggal di sana merawat ibunya hingga kondisinya bisa pulih seperti sediakala atau lebih baik paling tidak.Aku sampai di rumah mertua ketika orang-orang baru turun dari masjid usai melaksanakan salat Isak dan tarawih. Kondisi rumah gelap karena lampu belum dinyalakan sedangkan rumah di sekitarnya nampak terang dengan pencahayaan. Mas Farhan masuk terlebih dahulu usai memarkir motornya dan aku serta Alina mengekornya di belakang. Pintu tidak dikunci dan kondisi di dalam aku jauh berbeda deng
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
11
DMCA.com Protection Status