Beranda / Pernikahan / Merindu Suamimu / Bab 11 - Bab 20

Semua Bab Merindu Suamimu: Bab 11 - Bab 20

39 Bab

11. Masalah Hati

"Kopi atau rotinya nggak cocok sama selera kamu?" tanya Mas Hanif ketika kami berdua duduk bersebelahan di dalam mobilnya.Sore ini aku mengiyakan tawaran Mas Hanif yang berniat mengantarku pulang karena kedua sahabatku yang lain, Anin dan Nathan melanjutkan kencannya dengan pasangan masing-masing. Daripada aku menjadi nyamuk di antara mereka lebih baik aku pulang saja kan? Berteman dengan bantal dan kasur sepanjang malam minggu sepertinya bukan ide buruk untuk dicoba."Eh gimana maksudnya, Mas?"Tak langsung menjawab, Mas Hanif malah tersenyum tipis saat sekilas menoleh padaku. "Kamu jadi lebih pendiam sejak balik dari coffee shop. Saya kira karena rasanya kurang cocok sama selera kamu.""Oh..." aku paham maksudnya. "Bukan karena itu kok, rotinya super duper enak. Kopinya juga," imbuhku sambil mengangkat paper bag berisi roti dan beberapa kue lain yang dibawakan oleh Mas Hanif untukku. Tak hanya untukku sebenarnya, Anin dan Nathan juga mendapat bingkisan serupa. Kata Mas Hanif untuk
Baca selengkapnya

12. Sempitnya Dunia

“Untungnya hatiku baik-baik saja sejauh ini,” jawabku mencari aman. Padahal kalau mau jujur, aku bisa saja mengatakan hatiku sedang hancur terkoyak karena kenyataan kini Bang Fino sudah menjadi suami dari atasanku di kantor. “Kalau baik-baik saja, kenapa harus berbohong?” “Bohong?” ulangku mengerutkan kening. Bang Fino tertunduk sambil tersenyum miring. “Bohong tentang suami pecemburu kamu. Kamu bohong kan waktu itu? karena yang aku dengar … kamu sendiri saat ini?” Aku memejam sejenak, menggali ingatan saat makan siang beberapa waktu lalu. Ketika teman-temanku tanpa sengaja membahas tentang kesendirianku setelah berpisah dengan Bayu, lalu … terkuaklah semuanya. Nathan sialan! Sambil mengulur waktu aku meraih gelas tinggi yang berisi leci mojito dan menyesapnya pelan. “Ya begitulah,” balasku pelan lantas merebahkan punggung pada sandaran kursi. Bang Fino menatapku tanpa putus. Namun ia juga bungkam seribu bahasa seolah sedang membaca gerak tubuhku dalam pikirannya. “Sejak kapan?”
Baca selengkapnya

13. Orang Yang Sama

"Astaga, Bu Boss, butek banget sih, itu muka atau air kobokan basi sih?" goda Nathan begitu aku melewati meja kerjanya."Sialan! gue kepret juga lo ya...""Heh, jangan judes-judes, ntar jodohnya jauh baru tau rasa ya!" sambung Nathan masih punya nyali.Aku mendelik sambil berkacak pinggang di sebelah mejanya. "Kadang gue heran deh sama Windy, kenapa dia bisa ketipu sama cowok mulut ember kayak lo, Nath?"Bukannya tersinggung, Nathan justru tergelak kencang sampai beberapa staff lain menoleh ke arah kami. Aku sontak melempar satu buah stabilo dan tepat mengenai keningnya."Elo serem kalau lagi banyak deadline, Mel. Kacau ya meeting tadi, sampe bikin lo sensitif gini?" Nathan bergidik saat mengambil stabilo yang kulemparkan tadi."Bukan karena deadline atau meeting tadi sih," gumamku lantas menarik kursi di depan meja sahabatku ini."Terus karena apa?" Kali ini wajah Nathan berubah menjadi mimik yang lebih serius.'Karena mantan pacar yang kini jadi suami atasan muncul lagi!' teriak bat
Baca selengkapnya

14. Skakmat

Ternyata benar, bercerita bisa membuat beban pikiran kita berkurang secara drastis. Terbukti dengan entengnya pikiran dan hatiku setelah berkeluh kesah panjang kali lebar dengan Nathan kemarin sore. Meski akhirnya sahabatku itu malah kalap setelah mendengar semua ceritaku, terutama tentang pertemuan-pertemuan kebetulanku dengan Bang Fino. Entah itu saat di area parkir kantor, di coffee shop Mas Hanif atau di apartemen yang kutinggali. Kata Nathan aku harus super duper hati-hati dengan pria beristri yang punya gelagat seperti Bang Fino. "Kalau sampai seorang pria beristri mendadak deketin mantannya lagi, kemungkinan besar perselingkuhan akan terjadi di antara mereka. Hati-hati, Meli." Begitu pesan Nathan sesaat sebelum kami berpisah karena dia melanjutkan sesi makan dan jalan-jalan dengan Windy. Sedangkan aku langsung beranjak pulang karena merasa kekenyangan. Aku hanya tergelak saat mendengar Nathan mewanti-wanti. Ya kali, aku mau dijadikan selingkuhan dari suami boss sendiri, diih .
Baca selengkapnya

15. Perhatian Kecil

"Jangan terlalu pede deh, yang ada tuh kantor mendadak damai sejahtera saat lo kemaren cuti, Nin." Terdengar suara Nathan yang kembali menginspeksi kubikel Anin. Dua orang ini kalau sering-sering bertemu bisa hancur dunia. Berisiknya luar biasa."Jadi, gue ketinggalan berita apa?" Aku mendekati meja Anin dan menarik kursi yang biasa aku duduki sebelum masuk ruanganku sendiri. Menghabiskan aku cup kopi di meja orang lain rasanya lebih seru."Nathan tuh, Mel. Kayaknya gak dikasih jatah deh sama Windy, pagi-pagi udah ngedumel aja sama gue," jawab Anin tersungut-sungut saat menutup tutup bekalnya. Gadis ini memang dikenal paling 'rumahan' di antara kami, karena seringnya membawa bekal dari rumah. Entah untuk sarapan atau makan siang."Bilang aja lo sirik karena Dion berani lamar gue kan!?" sambung Anin mengerucutkan bibir sebal ke arah Nathan. Hal yang justru dibalas gelak tawa oleh pria kurus itu."Diiih, ngapain sirik? Windy belum siap aja kali.""Salah sendiri pacaran sama ABG alay," s
Baca selengkapnya

16. Percakapan Penuh Emosi

Aku sudah memprediksi akan banyak mendapat pertanyaan dari Anin atau Nathan terkait nekatnya Bang Fino pagi ini. Bukan hanya mengirimkan kopi dan makanan ringan untuk seluruh staff, tapi dia juga terang-terangan masuk ke ruanganku pagi tadi. Meski hanya beberapa menit, tetap saja berpotensi akan menimbulkan tanya, terutama bagi kedua sahabatku itu. Namun satu hal yang tak pernah aku prediksi sebelumnya, reaksi Bu Nadia. Sepanjang meeting aku memang tak terlalu fokus sampai-sampai Anin harus menyikut lenganku beberapa kali untuk mengingatkan. Akan tetapi sepertinya bukan karena itu aku dipanggil ke ruangannya siang ini. Ini pasti ada kaitannya dengan ulah suaminya tadi pagi. "Bu Nadia panggil saya?" tanyaku begitu masuk ruang kerja Bu Nadia. Pintunya hanya sedikit tertutup, jadi aku langsung setelah mengetuk pintu. "Duduk dulu, Mel," seru Bu Nadia dengan nada tak biasa. Nada suaranya kali ini terdengar sangat ... tidak ramah. Wajar kalau aku merasa waswas kan? Baru dua bulan lebih a
Baca selengkapnya

17~ Kenyataan Sebenarnya

Aku sengaja mengambil lembur beberapa jam. Menuntaskan tumpukan pekerjaan menjadi satu-satunya pelarian dari beban pikiran seharian ini. Atau bisa juga pekerjaanku yang sudah tuntas ini melancarkan rencana resignku dari Gayatri. Pengalamanku bertahun-tahun bergelung dengan naskah berbahasa Indonesia maupun terjemahan pasti membuatku cepat mencari pekerjaan pengganti. Apalagi ini ibukota, di mana persaingan bisnis bisa saja menguntungkan bagi pencari kerja berpengalaman sepertiku.Tepat pukul tujuh malam, aku memutuskan merapikan barang-barangku dan bersiap pulang. Hingga beberapa menit setelahnya aku sudah ada di parkiran basement, Anin menitipkan mobilnya padaku karena sore tadi mendadak saja ia dijemput Dion. Daripada harus repot memesan taksi online di jam sibuk, aku menyetujui tawaran Anin untuk membawa pulang kendaraannya ke apartment.Akan tetapi, hal yang tak pernah aku duga adalah Bang Fino ternyata sudah ada di parkiran gedung saat aku keluar dari lift. Aku tak mau besar kepa
Baca selengkapnya

18~ Keputusan Bulat

Kami memilih keluar dari restoran saat memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan. Topiknya terlalu berat jika harus dilanjutkan di bawah tatapan orang asing yang jadi pengunjung restoran. Dan aku kurang nyaman menjadi pusat perhatian. Separuh cerita dari Bang Fino saja sudah berhasil membuatku sesak, apalagi kalau ia menyelesaikan seluruh kisahnya, bisa-bisa aku pingsan di tempat kan? Bang Fino menawarkan apartmen miliknya untuk kami bicara, tapi aku menolak tegas. Berduaan dengan pria yang masih belum bisa aku lupakan di ruangan tertutup bisa membuatku luluh bahkan khilaf, pokoknya jangan sampai itu terjadi. Jadi Bang Fino akhirnya melanjutkan ceritanya di tepian jalan ketika mengantarku pulang. "Kenapa Abang baru cerita?" tanyaku dengan jantung masih berdentam kencang. “Karena kita baru bertemu, Lisa. Sejak kamu datang ke resepsi waktu itu, kamu sengaja menghilangkan jejak kan?" Iya benar! "Kamu sengaja ganti nomor bahkan mengnonaktifkan semua sosial media kamu kan?" Kali ini Ban
Baca selengkapnya

19~ Terjebak Situasi

Aku sadar bahwa di dunia ini ada hal-hal yang tidak bisa kita hindari. Dalam kasusku, bertemu dengan Bang Fino setelah sekian lama tak bersua menjadi masalahnya. Namun aku yakin, situasi rumit seperti ini masih bisa aku hindari sesekali. Jadi, sore ini kuputuskan menggunakan bakatku untuk melarikan diri saat terjebak situasi tak mengenakkan dengan Bang Fino.Semua orang di Gayatri mengenal Bang Fino sebagai Pak Hesta, suami tercintanya Bu Nadia. Meskipun pria itu mengaku sudah berpisah baik-baik dengan Bu Nadia, tak demikian dengan semua staff di sini kan? mereka akan lebih percaya jika aku, si pengemban status janda ini ditempatkan sebagai orang ketiga di dalam rumah tangga atasan mereka.Aku menjanjikan akan membuka blokir nomor Bang Fino sebelum tadi melesat cepat dari ruang kerja dan turun menuju lobby kantor. Aku sudah memesan taksi online, bukan untuk pulang ke apartemen, tapi aku akan ke menuju ke hotel tempat Kak Elvin menginap. Penulis yang bertahun-tahun naskahnya aku tangan
Baca selengkapnya

20~ Cemburu

"Aku bawain masuk." Aku tahu itu bukanlah kalimat tanya. Apalagi begitu Bang Fino berbalik setelah mengambil alih dua plastik besar dari tanganku, pria itu berjalan pelan dan berhenti di depan pintu apartemenku. Dalam hati aku sudah merapal banyak doa agar tak sampai khilaf jika hanya berduaan saja dengan orang ini. "Buruan buka pintu, aku capek banget loh udah nungguin kamu sejak tadi." Aku mendengkus sambil manyun. Melihat wajahnya yang memang terlihat lelah malah bikin aku malas membuka pintu. Karena aku takut sisi lain dalam diriku justru luluh dan memberi perhatian lebih padanya. "Lagian siapa suruh nungguin aku sih? kurang kerjaan banget!" omelku hanya mendapat desahan pelan dari pria jangkung itu. "Kamu tadi ngluyur main hilang aja pas di Gayatri, padahal belum buka blokiran nomorku," rengek Bang Fino seperti remaja labil. Padahal aku benar-benar lupa perihal nomornya yang kublokir itu. "Makanya aku ke sini, ternyata nggak sesulit itu nemuin kamu tinggal di lantai berapa,"
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status