Kami memilih keluar dari restoran saat memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan. Topiknya terlalu berat jika harus dilanjutkan di bawah tatapan orang asing yang jadi pengunjung restoran. Dan aku kurang nyaman menjadi pusat perhatian. Separuh cerita dari Bang Fino saja sudah berhasil membuatku sesak, apalagi kalau ia menyelesaikan seluruh kisahnya, bisa-bisa aku pingsan di tempat kan? Bang Fino menawarkan apartmen miliknya untuk kami bicara, tapi aku menolak tegas. Berduaan dengan pria yang masih belum bisa aku lupakan di ruangan tertutup bisa membuatku luluh bahkan khilaf, pokoknya jangan sampai itu terjadi. Jadi Bang Fino akhirnya melanjutkan ceritanya di tepian jalan ketika mengantarku pulang. "Kenapa Abang baru cerita?" tanyaku dengan jantung masih berdentam kencang. “Karena kita baru bertemu, Lisa. Sejak kamu datang ke resepsi waktu itu, kamu sengaja menghilangkan jejak kan?" Iya benar! "Kamu sengaja ganti nomor bahkan mengnonaktifkan semua sosial media kamu kan?" Kali ini Ban
Aku sadar bahwa di dunia ini ada hal-hal yang tidak bisa kita hindari. Dalam kasusku, bertemu dengan Bang Fino setelah sekian lama tak bersua menjadi masalahnya. Namun aku yakin, situasi rumit seperti ini masih bisa aku hindari sesekali. Jadi, sore ini kuputuskan menggunakan bakatku untuk melarikan diri saat terjebak situasi tak mengenakkan dengan Bang Fino.Semua orang di Gayatri mengenal Bang Fino sebagai Pak Hesta, suami tercintanya Bu Nadia. Meskipun pria itu mengaku sudah berpisah baik-baik dengan Bu Nadia, tak demikian dengan semua staff di sini kan? mereka akan lebih percaya jika aku, si pengemban status janda ini ditempatkan sebagai orang ketiga di dalam rumah tangga atasan mereka.Aku menjanjikan akan membuka blokir nomor Bang Fino sebelum tadi melesat cepat dari ruang kerja dan turun menuju lobby kantor. Aku sudah memesan taksi online, bukan untuk pulang ke apartemen, tapi aku akan ke menuju ke hotel tempat Kak Elvin menginap. Penulis yang bertahun-tahun naskahnya aku tangan
"Aku bawain masuk." Aku tahu itu bukanlah kalimat tanya. Apalagi begitu Bang Fino berbalik setelah mengambil alih dua plastik besar dari tanganku, pria itu berjalan pelan dan berhenti di depan pintu apartemenku. Dalam hati aku sudah merapal banyak doa agar tak sampai khilaf jika hanya berduaan saja dengan orang ini. "Buruan buka pintu, aku capek banget loh udah nungguin kamu sejak tadi." Aku mendengkus sambil manyun. Melihat wajahnya yang memang terlihat lelah malah bikin aku malas membuka pintu. Karena aku takut sisi lain dalam diriku justru luluh dan memberi perhatian lebih padanya. "Lagian siapa suruh nungguin aku sih? kurang kerjaan banget!" omelku hanya mendapat desahan pelan dari pria jangkung itu. "Kamu tadi ngluyur main hilang aja pas di Gayatri, padahal belum buka blokiran nomorku," rengek Bang Fino seperti remaja labil. Padahal aku benar-benar lupa perihal nomornya yang kublokir itu. "Makanya aku ke sini, ternyata nggak sesulit itu nemuin kamu tinggal di lantai berapa,"
Aku baru saja keluar dari ruangan Mbak Dela ketika berpapasan dengan Bu Nadia di dekat ruang meeting. Tanpa senyum basa-basi, pimpinan redaksi Gayatri itu memanggilku untuk menghadap ke ruangannya."Siang, Bu," sapaku saat menguak pintu ruangannya yang memang tak pernah tertutup rapat."Duduk, Mel." Tanpa menoleh, Bu Nadia mengendikkan dagu mengarah pada kursi empuk di depan meja kerjanya.Aku menurut patuh. "Iya, Bu.""Saya pikir, delapan tahun menjadi bagian Gayatri sudah mendewasakanmu, Meli. Ternyata dugaan saya salah selama ini." Bu Nadia langsung mengulurkan map berisi surat pengunduran diriku yang sudah disetujui Mbak Dela.Aku tak langsung menyahut kalimatnya, karena perempuan cantik bersurai panjang itu nampak akan melanjutkan wejangannya."Ini serius?"Aku mengangguk mantap. "Delapan tahun rasanya sudah sangat cukup bagi saya untuk menambah wawasan dan ikut berproses di Gayatri. Sudah waktunya saya istirahat dan bergulat dengan situasi baru yang lebih segar di luar sana," ja
“Abang sengaja kan?” aku melirik bergantian pada Nando dan Bang Fino yang kini duduk di sofa sebelahku.“Sengaja apanya?” Bang Fino menyesap pelan kopi dalam kaleng yang aku suguhkan padanya.Aku mengendik ke arah Nando yang sudah terlelap dengan mulut sedikit menganga di atas pangkuanku. Lucunya anak kecil. “Ngajak Nando ke sini biar bisa berlama-lama,” ketusku dengan suara pelan. Aku tak tega melihat wajah pulas Nando, jadi aku tak ingin membangunkan mimpinya juga.Bang Fino malah menyengir lebar mendengar tuduhanku. “Kalau kamu menganggap seperti itu, aku nggak keberatan sama sekali sih,” balas Bang Fino mengangkat kedua pundak.“Bang,” pekikku tertahan.“Hmmm…” Bang Fino malah tersenyum tipis ketika melirikku.“Pindahin nih,” pintaku kesal.Masa iya kurang jelas juga sih permintaanku? Ini anaknya ketiduran di pangkuanku loh, kenapa Bang Fino malah terlihat menikmati pemandangan aneh ini sih? Padahal saat ini aku tak begitu akrab dengan ibu kandung Nando, jadi tetap saja terasa ane
"Mel, sini lo sini," panggil Anin histeris lantas langsung menarik pergelangan tanganku untuk masuk ke ruangan Nathan. Nathan yang terlihat baru datang langsung meletakkan tas laptop dan ikut mendelik ke arahku."Kalian kenapa sih?""Elo yang kenapa?" sahut Nathan sembari menyilangkan tangan di depan dada saat duduk ujung meja kerjanya.Aku menautkan kedua alis. "Gue nggak kenapa-napa kok,""Kabar tentang lo berantem sama Raisa dan Nela kemaren sore itu bener?"Aku mendebas napas panjang. Ternyata karena kejadian kemarin sore. Anin memang sedang ada meeting di luar kantor, sedangkan Nathan sibuk meliput event writers expo di PIK. Jadi wajar saja kalau mereka berdua tak tahu menahu perihal kejadian sehari lalu."Oh itu?" jawabku mendesah malas."Gitu doang tanggapan lo?" kejar Anin masih penasaran."Nggak biasanya elo gampang ngamuk kayak gini, Mel?" Nathan menggeleng pelan dengan tatapan masih sangsi."Bukan gue yang mulai, Nin, Nath. Mereka berdua yang nyolot duluan, mereka ngomongin
Akhirnya aku resmi keluar dari Gayatri. Tempat pertamaku bergelut dengan kerasnya dunia kerja dan membawaku pada pengalaman luar biasa di dunia literasi. Menyesal? tidak juga, karena aku sudah mendapatkan banyak pelajaran hidup di sini. Mungkin hanya satu hal yang aku sesalkan, banyak rekan-rekan kerja yang mengira aku keluar dari Gayatri karena skandal dengan suami Bu Nadia yang mereka kenal dengan Pak Hesta. Padahal hal itu tentu saja jauh dari kenyataan yang ada. Kalaupun mau membela diri juga rasanya akan sia-sia, karena sebagian besar staff di sini tak tahu menahu perihal perceraian Bang Fino dan Bu Nadia hampir dua tahun silam. Mereka hanya mau tahu hal apa yang kiranya seru untuk diperbincangkan. Misalnya saja isu tentangku yang bertajuk 'Calon Pelakor Atasan Sendiri yang Akhirnya Mengundurkan Diri'. Sial kuadrat! Setidaknya ada Anin, Nathan juga Mbak Dela yang masih percaya denganku. Mereka bertiga beberapa menguatkanku dan selalu memberi sugesti positif agar tak mengambil ha
"Abang nggak berencana pulang?" aku menyilangkan tangan di depan dada sambil menatap Bang Fino yang malah duduk santai menikmati setoples kacang telir milikku sembari menonton tayangan Netflix. "Ini udah lewat tengah malam, Bang!" imbuhku mengingatkannya lagi. "Kamu ngusir?" "Ini udah malam banget, Abang," desahku mengacak rambut lalu duduk di ujung sofa yang sama. Sengaja mengambil jarak dengan pria yang tadi mengguncang otak dan hatiku saat kami berada di dalam lift dengan ciuman dadakan itu. "Kamu tadi juga menghabiskan malam dengan si Nathan Nathan itu!" Bang Fino terdengar mengomel tak jelas. "Astaga ... malah bahas Nathan lagi," seruku lantas memutar bola mata malas. Bebal sekali mantan suami Bu Nadia ini. "Aku tadi nggak berduaan aja sama Nathan, tapi sama Anin juga perginya." Bang Fino melirikkku sekilas seolah tak percaya. Benar-benar kekanakan sekali bapak