Bang Jago, eh Bang Fino … tobat, Bang. Inget sama anak istri di rumah, jangan main api sama janda kembang meskipun itu mantan kesayangan. 😭😭😭
"Jangan terlalu pede deh, yang ada tuh kantor mendadak damai sejahtera saat lo kemaren cuti, Nin." Terdengar suara Nathan yang kembali menginspeksi kubikel Anin. Dua orang ini kalau sering-sering bertemu bisa hancur dunia. Berisiknya luar biasa."Jadi, gue ketinggalan berita apa?" Aku mendekati meja Anin dan menarik kursi yang biasa aku duduki sebelum masuk ruanganku sendiri. Menghabiskan aku cup kopi di meja orang lain rasanya lebih seru."Nathan tuh, Mel. Kayaknya gak dikasih jatah deh sama Windy, pagi-pagi udah ngedumel aja sama gue," jawab Anin tersungut-sungut saat menutup tutup bekalnya. Gadis ini memang dikenal paling 'rumahan' di antara kami, karena seringnya membawa bekal dari rumah. Entah untuk sarapan atau makan siang."Bilang aja lo sirik karena Dion berani lamar gue kan!?" sambung Anin mengerucutkan bibir sebal ke arah Nathan. Hal yang justru dibalas gelak tawa oleh pria kurus itu."Diiih, ngapain sirik? Windy belum siap aja kali.""Salah sendiri pacaran sama ABG alay," s
Aku sudah memprediksi akan banyak mendapat pertanyaan dari Anin atau Nathan terkait nekatnya Bang Fino pagi ini. Bukan hanya mengirimkan kopi dan makanan ringan untuk seluruh staff, tapi dia juga terang-terangan masuk ke ruanganku pagi tadi. Meski hanya beberapa menit, tetap saja berpotensi akan menimbulkan tanya, terutama bagi kedua sahabatku itu. Namun satu hal yang tak pernah aku prediksi sebelumnya, reaksi Bu Nadia. Sepanjang meeting aku memang tak terlalu fokus sampai-sampai Anin harus menyikut lenganku beberapa kali untuk mengingatkan. Akan tetapi sepertinya bukan karena itu aku dipanggil ke ruangannya siang ini. Ini pasti ada kaitannya dengan ulah suaminya tadi pagi. "Bu Nadia panggil saya?" tanyaku begitu masuk ruang kerja Bu Nadia. Pintunya hanya sedikit tertutup, jadi aku langsung setelah mengetuk pintu. "Duduk dulu, Mel," seru Bu Nadia dengan nada tak biasa. Nada suaranya kali ini terdengar sangat ... tidak ramah. Wajar kalau aku merasa waswas kan? Baru dua bulan lebih a
Aku sengaja mengambil lembur beberapa jam. Menuntaskan tumpukan pekerjaan menjadi satu-satunya pelarian dari beban pikiran seharian ini. Atau bisa juga pekerjaanku yang sudah tuntas ini melancarkan rencana resignku dari Gayatri. Pengalamanku bertahun-tahun bergelung dengan naskah berbahasa Indonesia maupun terjemahan pasti membuatku cepat mencari pekerjaan pengganti. Apalagi ini ibukota, di mana persaingan bisnis bisa saja menguntungkan bagi pencari kerja berpengalaman sepertiku.Tepat pukul tujuh malam, aku memutuskan merapikan barang-barangku dan bersiap pulang. Hingga beberapa menit setelahnya aku sudah ada di parkiran basement, Anin menitipkan mobilnya padaku karena sore tadi mendadak saja ia dijemput Dion. Daripada harus repot memesan taksi online di jam sibuk, aku menyetujui tawaran Anin untuk membawa pulang kendaraannya ke apartment.Akan tetapi, hal yang tak pernah aku duga adalah Bang Fino ternyata sudah ada di parkiran gedung saat aku keluar dari lift. Aku tak mau besar kepa
Kami memilih keluar dari restoran saat memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan. Topiknya terlalu berat jika harus dilanjutkan di bawah tatapan orang asing yang jadi pengunjung restoran. Dan aku kurang nyaman menjadi pusat perhatian. Separuh cerita dari Bang Fino saja sudah berhasil membuatku sesak, apalagi kalau ia menyelesaikan seluruh kisahnya, bisa-bisa aku pingsan di tempat kan? Bang Fino menawarkan apartmen miliknya untuk kami bicara, tapi aku menolak tegas. Berduaan dengan pria yang masih belum bisa aku lupakan di ruangan tertutup bisa membuatku luluh bahkan khilaf, pokoknya jangan sampai itu terjadi. Jadi Bang Fino akhirnya melanjutkan ceritanya di tepian jalan ketika mengantarku pulang. "Kenapa Abang baru cerita?" tanyaku dengan jantung masih berdentam kencang. “Karena kita baru bertemu, Lisa. Sejak kamu datang ke resepsi waktu itu, kamu sengaja menghilangkan jejak kan?" Iya benar! "Kamu sengaja ganti nomor bahkan mengnonaktifkan semua sosial media kamu kan?" Kali ini Ban
Aku sadar bahwa di dunia ini ada hal-hal yang tidak bisa kita hindari. Dalam kasusku, bertemu dengan Bang Fino setelah sekian lama tak bersua menjadi masalahnya. Namun aku yakin, situasi rumit seperti ini masih bisa aku hindari sesekali. Jadi, sore ini kuputuskan menggunakan bakatku untuk melarikan diri saat terjebak situasi tak mengenakkan dengan Bang Fino.Semua orang di Gayatri mengenal Bang Fino sebagai Pak Hesta, suami tercintanya Bu Nadia. Meskipun pria itu mengaku sudah berpisah baik-baik dengan Bu Nadia, tak demikian dengan semua staff di sini kan? mereka akan lebih percaya jika aku, si pengemban status janda ini ditempatkan sebagai orang ketiga di dalam rumah tangga atasan mereka.Aku menjanjikan akan membuka blokir nomor Bang Fino sebelum tadi melesat cepat dari ruang kerja dan turun menuju lobby kantor. Aku sudah memesan taksi online, bukan untuk pulang ke apartemen, tapi aku akan ke menuju ke hotel tempat Kak Elvin menginap. Penulis yang bertahun-tahun naskahnya aku tangan
"Aku bawain masuk." Aku tahu itu bukanlah kalimat tanya. Apalagi begitu Bang Fino berbalik setelah mengambil alih dua plastik besar dari tanganku, pria itu berjalan pelan dan berhenti di depan pintu apartemenku. Dalam hati aku sudah merapal banyak doa agar tak sampai khilaf jika hanya berduaan saja dengan orang ini. "Buruan buka pintu, aku capek banget loh udah nungguin kamu sejak tadi." Aku mendengkus sambil manyun. Melihat wajahnya yang memang terlihat lelah malah bikin aku malas membuka pintu. Karena aku takut sisi lain dalam diriku justru luluh dan memberi perhatian lebih padanya. "Lagian siapa suruh nungguin aku sih? kurang kerjaan banget!" omelku hanya mendapat desahan pelan dari pria jangkung itu. "Kamu tadi ngluyur main hilang aja pas di Gayatri, padahal belum buka blokiran nomorku," rengek Bang Fino seperti remaja labil. Padahal aku benar-benar lupa perihal nomornya yang kublokir itu. "Makanya aku ke sini, ternyata nggak sesulit itu nemuin kamu tinggal di lantai berapa,"
Aku baru saja keluar dari ruangan Mbak Dela ketika berpapasan dengan Bu Nadia di dekat ruang meeting. Tanpa senyum basa-basi, pimpinan redaksi Gayatri itu memanggilku untuk menghadap ke ruangannya."Siang, Bu," sapaku saat menguak pintu ruangannya yang memang tak pernah tertutup rapat."Duduk, Mel." Tanpa menoleh, Bu Nadia mengendikkan dagu mengarah pada kursi empuk di depan meja kerjanya.Aku menurut patuh. "Iya, Bu.""Saya pikir, delapan tahun menjadi bagian Gayatri sudah mendewasakanmu, Meli. Ternyata dugaan saya salah selama ini." Bu Nadia langsung mengulurkan map berisi surat pengunduran diriku yang sudah disetujui Mbak Dela.Aku tak langsung menyahut kalimatnya, karena perempuan cantik bersurai panjang itu nampak akan melanjutkan wejangannya."Ini serius?"Aku mengangguk mantap. "Delapan tahun rasanya sudah sangat cukup bagi saya untuk menambah wawasan dan ikut berproses di Gayatri. Sudah waktunya saya istirahat dan bergulat dengan situasi baru yang lebih segar di luar sana," ja
“Abang sengaja kan?” aku melirik bergantian pada Nando dan Bang Fino yang kini duduk di sofa sebelahku.“Sengaja apanya?” Bang Fino menyesap pelan kopi dalam kaleng yang aku suguhkan padanya.Aku mengendik ke arah Nando yang sudah terlelap dengan mulut sedikit menganga di atas pangkuanku. Lucunya anak kecil. “Ngajak Nando ke sini biar bisa berlama-lama,” ketusku dengan suara pelan. Aku tak tega melihat wajah pulas Nando, jadi aku tak ingin membangunkan mimpinya juga.Bang Fino malah menyengir lebar mendengar tuduhanku. “Kalau kamu menganggap seperti itu, aku nggak keberatan sama sekali sih,” balas Bang Fino mengangkat kedua pundak.“Bang,” pekikku tertahan.“Hmmm…” Bang Fino malah tersenyum tipis ketika melirikku.“Pindahin nih,” pintaku kesal.Masa iya kurang jelas juga sih permintaanku? Ini anaknya ketiduran di pangkuanku loh, kenapa Bang Fino malah terlihat menikmati pemandangan aneh ini sih? Padahal saat ini aku tak begitu akrab dengan ibu kandung Nando, jadi tetap saja terasa ane
Sebenarnya, kita butuh berapa lama sih untuk benar-benar mengenal sifat asli seseorang? 1 tahun? 2 tahun? 5 tahun? Nggak ada jawaban yang pasti kan? dan bisa saja setiap orang punya jawaban yang berbeda-beda. Seperti aku misalnya. Dulu sekali, kali pertama mengenal Bang Fino, kami dekat dan menjalin kasih hampir satu tahun lamanya. Lalu ketika bertemu lagi setelah terpisah kami hanya dekat hitungan bulan sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Dan sekarang, setelah satu tahun biduk rumah tangga kami berjalan, aku baru mengetahui kalau seorang Arfino Hesta punya sisi kekanakan yang menjengkelkan sekali. Sangat. "Ya pokoknya ke Bromo aja lah kita, Sayang," rengeknya entah untuk ke berapa puluh kalinya pagi ini. Beruntung telingaku ini buatan Tuhan, kalau buatan tangan manusia mungkin sudah berlubang karena tak kuat menerima kerewelan Bang Fino yang semakin menjadi. "Tapi kan kita udah sepakat mau ke Bali, Bang." Aku merengut kali ini sampai berkacak pinggang. "Bali udah sering, S
“Saya terima nikah dan kawinnya, Melisa Hanum Sukoco binti Bakri Sukoco. Dengan mas kawin seperangkat perhiasan dan uang tunai 230 juta rupiah, dibayar tunai!"Alhamdulillah...Akhirnya aku menyaksikan sendiri pria yang aku cintai berikrar tegas dihadapan Papa untuk menjadi pendamping hidupku. Hanya dengan satu tarikan napas Bang Fino berhasil mengucapkan ijab kabul yang 'katanya' sudah ia hapal sejak beberapa bulan lalu. Bahkan sebelum kami sepakat kembali merajut asmara.“Bagaimana para saksi?” suara Pak Penghulu terdengar lagi.“Sah!”“Sah!”“Alhamdulillah, saaah....” Dari layar plasma yang ada di kamar, aku melihat wajah Bang Fino yang semula tegang langsung terlihat lega setelahnya.Ya Tuhan, ini bukan mimpi. Apalagi, ilusi.Aku benar-benar menikah hari ini.Setelah ijab kabul selesai aku kembali menatap pantulanku di cermin yang jauh berbeda dari aku yang biasanya. Bukan pertama kali pula aku memakai kebaya pengantin yang sangat cantik dan menjuntai seperti ini. Bukan pertama ka
"Aku masih nggak habis pikir, kenapa Bang Fino nggak cerita sama sekali kalau tadi itu Papa yang minta Abang dateng," omelku begitu membuka pintu apartment lebih lebar untuk mempersilakannya masuk. Kami sudah sampai di ibukota, karena tinggal di gedung yang sama, Bang Fino hanya ke unitnya untuk meletakkan koper lalu menyusulku ke lantai atas. Ke tempatku."Masih ngambek aja sih?" Bang Fino tergelak kecil saat membawaku dalam rangkulannya. Bahkan dengan jemarinya ia usil sekali mencubiti pipiku yang sedikit tembam karena asupan makanan sehat masakan mama selama berada di rumah Surabaya sebulan ke belakang.Kami berjalan bersisian ke sofa di ruang, persis seperti remaja kasmaran yang sedang hangat-hangatnya mengenal cinta. Sebelumnya, aku selalu geli saat membayangkan bagaimana canggungnya kami saat terlibat sentuhan fisik seperti ini. Seperti dulu. Namun nyatanya, tubuhku menyukainya. Aku suka semua perhatian dan sentuhannya yang sangat terasa tulus dan penuh kasih sayang."Bukannya n
Akhirnya aku memutuskan kembali ke ibukota setelah tinggal di Surabaya lebih dari dua bulan. Kemarin siang aku menerima kabar baik dari Nathan tentang interview langsung dengan petinggi Mediakarya, penerbit besar yang menjadi 'musuh' bebuyutan Gayatri. Bukan berniat membelot dari Gayatri lantas berakhir ke pesaing mereka, bukan. Aku hanya ingin mengasah kemampuanku di tempat yang lebih menantang lagi.Perkembangan kesehatan mama dan papa sudah sangat baik, karena itu pula aku memberanikan diri untuk mengutarakan niatku kembali bekerja pada mereka berdua. Tidak ada drama, karena mama dan papa langsung memberiku ijin kembali ke Jakarta. Bahkan mama yang paling antusias dengan keberangkatanku siang ini ke ibukota. Beliau sampai repot membuatkan sambal cumi beberapa toples untukku dan Bang Fino. Mama dengan mudahnya termakan omongan Bang Fino yang mengaku sangat menyukai sambal cumi buatannya. Padahal aku tahu benar kalau perut pria itu tak terlalu bersahabat dengan rasa pedas yang berleb
"Abang pake pelet ya?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku."Hah? gimana maksudnya?"Bang Fino yang sedang menyesap es jeruk peras langsung meletakkan gelasnya lagi demi menatapku. Kami berdua sedang menikmati rujak cingur tersohor di Surabaya. Bang Fino tadi bilang ingin merasakan kuliner khas daerah sini, jadilah pria itu kuajak ke tempat yang menjadi langgananku sejak lama."Abang nemuin Papa lagi kan dua minggu lalu?" cecarku tak bisa berbasa-basi."Ohh itu," jawab Bang Fino kemudian mengangguk pelan dengan senyum tipis tergantung di sudut bibirnya. Harus kuakui wajahnya memang tampan dan memanjakan mata, apalagi setelah kami tak bertemu selama dua pekan ke belakang. Kadar ketampanannya berlipat ganda."Iya kan?"Bang Fino mengangguk lagi. "Iya, papa kamu pasti sudah cerita semuanya ya?"Gantian aku yang mengangguk mengiyakan. "Ya pastilah! papa sudah cerita a sampai z tentang kedatangan Abang waktu itu."Sepasang netra Bang Fino langsung terbeliak cerah. "Jadi giman
Mama akhirnya diijinkan pulang ke rumah dan melakukan rawat jalan setelah menginap di rumah sakit selama satu minggu. Berbeda dengan dengan papa yang masih belum diijinkan pulang oleh dokter karena kondisinha memang lebih mengkhawatirkan. Kata dokter, mungkin papa baru bisa pulang minggu depan setelah menjalani operasi pemasangan pen di kakinya.Karena sekarang yang terlihat lebih 'pengangguran' daripada Mbak Merry yang punya segudang aktifitas juga mengurus dua buah hati. Maka akulah yang saat ini lebih sering menjaga papa di rumah sakit bergiliran dengan Mas Eko, dan juga Yusuf, sepupuku dari pihak papa yang kampusnya tak jauh daro sini.Sedangkan Mbak Merry bertugas memantau pemulihan mama di rumah. It's okay, pekerjaanku bisa dikerjakan di mana saja asal ada jaringan internet. Jadi aku sama sekali tak protes dengan jadwal baru sebagai anak berbakti yang mendadak cosplay menjadi perawat."Kata Merry kamu udah nggak di Gayatri lagi ya, Dek?" tanya Papa begitu aku selesai menyuapinya
Mataku masih basah ketika aku berjalan cepat menyusuri bandara Juanda. Aku tak peduli tatapan penuh tanya dari orang-orang yang kulewati, pikiranku hanya satu, bertemu mama dan papa secepatnya. Sebenarnya aku sudah merencanakan akan pulang ke Surabaya dua minggu lagi saat ulang tahun Bestari, anak bungsu Mbak Merry. Tapi ternyata Tuhan punya kejutan lain yang mengharuskanku pulang saat ini juga. Bahkan tanpa mengganti pakaian atau pulang dulu ke apartmen, aku memaksa Bang Fino untuk putar haluan dan segera mengantarku ke bandara sore tadi.Mbak Merry sempat menelpon lagi saat aku masih di bandara. Katanya papa baru saja masuk ruang operasi sedangkan mama baru dipindakan ke ruang perawatan dan kesadarannya sudah kembali. Berita yang sedikit melegakan, tapi tetap saja aku belum tenang karena belum melihat secara langsung kondisi kedua bidadariku itu.Aku berlari cepat ketika baru sampai di rumah sakit. Mengamati dengan seksama deretan kamar yang berjajar untuk mencari kamar inap mama ya
Anin akhirnya melepas masa lajang. Akad nikahnya berlangsung khidmat, pesta resepsinya juga bisa dibilang meriah dan sangat mewah. Aku dan Nathan pergi ke PIK sejak siang tadi menjelang prosesi ijab, tak hanya berdua, tapi juga mengajak serta Windi. Mantan kekasih Nathan yang sedang memainkan peran jinak-jinak merpati untuk kembali berbaikan dengan sahabatku itu. Awalnya aku enggan ikut dengan pasangan putus nyambung itu, tapi Windi berkeras mengajakku karena khawatir diculik di tengah jalan oleh Nathan. Alasan konyol, tapi ya sudahlah, daripada aku harus melenggang seorang diri kan? kesannya lebih mengenaskan lagi."Mbak Anin cantik banget ya," bisik Windi saat duduk di sebelahku usai menyaksikan wajah lega Anin setelah ijab kabul."Kalau kata orang jawa, wajahnya tuh manglingi, Win. Cantiknya beda, aura pengantinnya kuat dan terpancar sempurna. Cewek tuh akan terlihat cantik berkali-kali lipat kalau hatinya sedang bahagia," jelasku singkat."Nanti kalau kamu sama Nathan menikah, jan
Hujan deras tengah mengguyur ibukota menjelang malam hari. Sejuknya sampai bisa membuaiku yang tengah asik menatap layar laptop dari balik jendela besar di dalam apartmen. Udara dinginnya sedari tadi menemaniku memeriksa naskah terakhir yang rencananya naik cetak bulan depan. Naskah novel yang sarat kisah romansa tersebut bahkan sudah aku kirim ke penulisnya beberapa saat lalu. Namun aku masih betah berlama-lama menatap monitor, sambil melamun kisahku sendiri. Romansa rumit yang mengikatku dengan seseorang dari masa lalu."Seumur hidup, tante baru dengar kali ini Fino membicarakan orang lain dengan begitu antusiasnya, tapi di sisi lain ... tante juga menangkap gurat sedih dan penyesalan di wajah anak tante itu."Pikiranku mendadak tertarik pada percakapan dengan Tante Ririn empat hari yang lalu. Iya, ibu-ibu paruh baya yang sangat ramah menyambutku itu ternyata memang ibu kandung Bang Fino. Pantas saja wajahnya tak begitu asing.Dulu, dulu sekali, Bang Fino pernah menunjukkan protret