Tidak sekali dua kali Rengganis melirik arloji di tangannya. Pukul tujuh. Raut wajahnya cemas, setiap beberapa saat mengecek pintu pasien di hadapannya, harap-harap seseorang akan keluar dari sana. "Ya Allah Mbak Trisna, semoga kamu ndak kenapa-napa." Bu Tejo tak pernah lepas dari doa-doa yang ia rapalkan dari mulutnya. Wanita itu sama sepertinya, hanya bisa berharap Mbak Trisna akan baik-baik saja. Begitupun dengan dua pria di ujung koridor, mondar mandir dengan raut gelisah, tak peduli dengan tatapan orang-orang kepadanya. "Bu, saya masih ndak ngerti, kenapa bisa ada pisau lipat di kamar Mbak Trisna," tukas Rengganis. Pikiran gadis itu berkecamuk setelah kembali dibayang-bayangi oleh benda tajam tersebut. "Yang pasti itu bukan barang milik Mbak Trisna, Nis," sahut Bu Tejo penuh yakin. "Saya tahu betul seluruh isi kamar di dalam kos, dan Mbak Trisna ndak pernah nyimpen barang kayak gitu." Rengganis terdiam sesaat. "Terus punya siapa, Bu? Ndak mungkin pisau lipat itu tiba-tiba
Read more