Hanan menghela napas panjang. Dia berdiri di tengah lingkaran keluarganya, merasa semua mata tertuju padanya. Kenan duduk bersilang tangan di sudut ruang tunggu, tatapannya tajam. Rifkah, ibunya, menatapnya dengan sorot penuh pertanyaan dan kekecewaan. Laila berdiri diam, mencoba mencerna situasi yang tampak semakin rumit.“Ini semua salahku,” suara Hanan pecah oleh beban emosinya. Dia menunduk, meremas kedua tangannya. “Jika ada yang harus disalahkan, orang itu adalah aku.”Rifkah menyentuh bahu Hanan, memberikan dorongan lembut. “Bicaralah, Nak. Jika kebenaran itu sangat membebanimu, maka katakanlah. Jangan menyimpannya sendiri, karena itu tidak hanya akan menyakiti orang-orang di sekitarmu, tetapi juga akan menghancurkanmu dari dalam.”Hanan mengangkat wajah, matanya merah dan berkaca-kaca. Dia begitu lelah menanggung semua beban ini sendirian. “Rumi sakit, Ma,” kata lelaki itu pada akhirnya. “Dia kena leukemia, stadium akhir.”“Ya Tuhan ….” Laila menutup mulutnya dengan telapak ta
Terakhir Diperbarui : 2025-01-01 Baca selengkapnya