Semua Bab Bukan Surga Terindah: Bab 71 - Bab 80

83 Bab

Bab 71. Tindakan Medis

Kenan melirik ke arah Aida yang terbaring lemah di kursi mobil, wajahnya pucat dan tubuhnya sesekali meringis menahan sakit. Tangan Aida mencengkeram lengan Kenan dengan lemah, seolah mencari pegangan untuk membuatnya tetap kuat. Kenan membalas genggaman itu, mencoba memberikan kekuatan meski hatinya sendiri diliputi kecemasan.“Tahan sebentar lagi, Da. Kita hampir sampai,” bisik Kenan dengan suara yang bergetar.Aida hanya mengangguk pelan. Matanya setengah tertutup, tetapi bibirnya terus menggumamkan doa-doa yang terdengar samar. Namun, tiba-tiba Aida merasakan cairan hangat mengalir di sela kakinya. Ketika dia menunduk untuk melihat, matanya langsung melebar.“Kenan!” panggil Aida dengan nada panik.Lelaki itu menoleh, membagi konsentrasinya dengan jalanan di depan.“Darah, Ken.” Aida menunjuk darah yang mengalir di kakinya sambil terisak, takut.Kenan tak kalah panik melihat wajah Aida pucat pasi dengan darah yang merembes di kaki. Sampai-sampai dia tak tahu apa yang harus dilakuk
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-01
Baca selengkapnya

Bab 72. Titik Balik

Hanan melangkah tergesa di lobi rumah sakit, Rumi terbaring di ranjang dorong yang dibawa cepat oleh dua perawat. Wajahnya pucat seperti kertas, napasnya nyaris tak terdengar. Hanan menggenggam tangan Rumi yang terasa dingin. “Bertahanlah, Rum. Kamu harus kuat,” bisiknya pelan, meski suaranya sendiri penuh dengan kegelisahan.Seorang dokter mendekat saat mereka sampai di ruang gawat darurat. “Apa yang terjadi?” tanyanya sambil memeriksa kondisi Rumi dengan cepat.“Dia pingsan di rumah. Tadi pagi dia baru menjalani kemoterapi,” jawab Hanan dengan suara gemetar.Dokter memandang Hanan dengan tatapan yang menyiratkan penegasan atas ucapan sebelumnya.Hanan lantas berkata, “Leukemia. Dia sedang menjalani sesi kemo kedua.”Dokter mengangguk, wajahnya tampak serius. “Kami akan segera melakukan pemeriksaan. Silakan tunggu di luar.”Hanan melepaskan tangan Rumi dengan enggan. Dia berdiri di depan pintu ruang pemeriksaan, tubuhnya seolah terpaku di tempat. Pikirannya berkecamuk antara rasa ber
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-01
Baca selengkapnya

Bab 73. Kejujuran yang Menyesakkan

Hanan menghela napas panjang. Dia berdiri di tengah lingkaran keluarganya, merasa semua mata tertuju padanya. Kenan duduk bersilang tangan di sudut ruang tunggu, tatapannya tajam. Rifkah, ibunya, menatapnya dengan sorot penuh pertanyaan dan kekecewaan. Laila berdiri diam, mencoba mencerna situasi yang tampak semakin rumit.“Ini semua salahku,” suara Hanan pecah oleh beban emosinya. Dia menunduk, meremas kedua tangannya. “Jika ada yang harus disalahkan, orang itu adalah aku.”Rifkah menyentuh bahu Hanan, memberikan dorongan lembut. “Bicaralah, Nak. Jika kebenaran itu sangat membebanimu, maka katakanlah. Jangan menyimpannya sendiri, karena itu tidak hanya akan menyakiti orang-orang di sekitarmu, tetapi juga akan menghancurkanmu dari dalam.”Hanan mengangkat wajah, matanya merah dan berkaca-kaca. Dia begitu lelah menanggung semua beban ini sendirian. “Rumi sakit, Ma,” kata lelaki itu pada akhirnya. “Dia kena leukemia, stadium akhir.”“Ya Tuhan ….” Laila menutup mulutnya dengan telapak ta
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-01
Baca selengkapnya

Bab 74. Sesal Mendalam

Hanan duduk di kursi tunggu dengan kepala tertunduk. Jari-jarinya bergerak tanpa sadar, memainkan ujung jaket. Frustrasi menyelimuti dirinya, membuat pikiran terasa buntu. Di dekatnya, Laila dan Rifkah saling bertukar pandang, sementara Kenan berdiri menyandarkan bahu di dinding dengan wajah ketus.“Hanan,” suara lembut Laila memecah keheningan, “Mama mengerti kamu sedang berada di situasi yang sulit, tapi kamu tidak bisa terus begini. Percayalah, Aida akan baik-baik saja.”Hanan mendongak perlahan, menatap ibu mertuanya. Mata itu penuh dengan penyesalan. “Aku nggak tahu lagi apa yang harus aku lakukan, Ma. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang nggak berkesudahan.”Laila menepuk pundak Hanan. “Mama ngerti. Pasti berat banget menjalani peran ini.” Dia menghela napas lalu bertanya. “Ini … kamu di sini, lalu siapa yang jaga Rumi?” tanyanya.“Ada Bu Salma di sana. Selama ini, Bu Salma yang sudah bantu aku untuk menjaga Rumi saat aku nggak ada,” jawab Hanan.“Syukurlah. Paling tidak, R
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-01
Baca selengkapnya

Bab 75. Cinta Masa Lalu

Kenan melangkah masuk ke sebuah ruangan dengan senyum lembut yang berbeda dari biasanya. Tatapan matanya segera tertuju pada bayi mungil yang baru saja selesai disusui oleh Aida.“Boleh aku gendong dia?” tanya lelaki itu sambil mengangkat sedikit tangannya.Aida menatap Kenan sebentar, ragu sebab bayinya membutuhkan perlakuan khusus, tak seperti bayi pada umumnya. Mata Aida melirik perawat, dan perawat itu memberikan senyum sebagai respons, lalu dia mengangguk pelan pada Kenan.“Sebentar saja, ya,” kata perawat.Kenan tak mampu menyembunyikan senyumnya. Dia mengangguk dengan antusias. Perawat yang berada di ruangan itu membantu memindahkan bayi perempuan Aida ke tangan Kenan dengan hati-hati.Kenan memandang bayi itu dengan kekaguman yang sulit disembunyikan. Tubuh mungil itu bergerak sedikit di pelukannya, membuat Kenan tersenyum lebih lebar. “Lucu banget, sih,” gumamnya sambil mengusap pelan pipi bayi itu dengan jari telunjuknya.Aida memperhatikan dari tempat tidur. Pemandangan itu
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-02
Baca selengkapnya

Bab 76. Maira

Hanan menyesap kopi sambil menatap Kenan yang duduk di depannya dengan sikap santai. Restoran kecil itu hampir kosong, memberikan mereka ruang untuk berbicara tanpa gangguan. Hanan sudah memulai pembicaraan dengan ucapan terima kasih, tetapi kini dia menggenggam cangkir kopinya lebih erat.“Gue benar-benar berterima kasih sama lo, Ken,” kata Hanan dengan suara pelan, tetapi tegas. “Lo sudah banyak bantu gue selama Aida dirawat.”Kenan mengangkat bahu, senyum tipis terlukis di wajahnya. “Nggak perlu dibahas. Gue Cuma nggak tega bini lo ngadepin masa sulit begini sendiri. Sementara lo sibuk sama bini muda lo.”“Rumi kolaps, Ken,” sahut Hanan.“Iya, gue tahu.” Kenan membalas dengan santai, lalu menyesap kopinya.Hanan menghela napas berat. “Gue nggak tahu gimana jadinya kalau lo nggak ada. Rumi kolaps, Aida lahiran prematur. Gue kayak lagi jalan di jembatan siratal mustaqim.” Dia terlihat menyesal.Kenan mengangkat pandangan, melihat Hanan yang terlihat kacau. Dia kasihan, tapi juga kesa
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-02
Baca selengkapnya

Bab 77. Suara yang Menenangkan

Rumi perlahan membuka mata. Pandangannya masih buram, tetapi dia bisa merasakan kehangatan yang menyelimuti dirinya. Ruangan tempat dia berada kini lebih tenang dibandingkan saat di ICU. Dia tahu dirinya telah dipindahkan ke ruang perawatan, tetapi tubuhnya masih terasa sangat lemah. Alat bantu pernapasan masih menempel di hidungnya. Bibir kering itu bergerak samar, ketika mendengar suara yang begitu menenangkan.Perhatian Rumi tertuju pada suara yang mengalun di dekatnya. Pelan, merdu, dan penuh ketulusan. Rumi mencoba memfokuskan pendengarannya. Itu suara Hanan yang sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.Rumi terdiam, membiarkan setiap kata masuk ke dalam hatinya. Perasaan tenang yang sudah lama hilang tiba-tiba kembali. Air matanya mengalir tanpa dia sadari. Ada banyak beban yang membuat dadanya terasa begitu sesak, dan suara Hanan seakan perlahan meruntuhkannya.Hanan menutup mushaf yang dia baca, menyelesaikan ayat terakhirnya. Ketika dia menoleh, dia terkejut melihat Rumi
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-03
Baca selengkapnya

Bab 78. Keputusan Berat

Tatapan Aida menajam, rahangnya mengeras.“Kenapa Mama biarin dia masuk?” Aida menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dijelaskan—marah, kecewa, dan terluka bercampur menjadi satu. Suaranya bergetar, tidak hanya karena lelah fisik, tetapi juga tekanan batin yang dia rasakan.Laila menghela napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. “Dia suamimu, Aida. Kalian perlu duduk berdua, bicara dengan kepala dingin. Biar kesempatan Hanan untuk memberi penjelasan.”Aida tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh kegetiran. “Suami? Mama pikir seorang suami akan melakukan apa yang dia lakukan? Yang meninggalkan istrinya sendirian di saat hampir mati? Yang memilih untuk membohongiku daripada jujur sejak awal?”“Aida ….”“Ma,” potong wanita itu. “Aku sudah lelah dengan semua kebohongannya. Aku nggak mau lagi mendengar penjelasan apa pun darinya.”Hanan, yang sejak tadi diam, mencoba melangkah mendekat. Tetapi gerakannya terhenti ketika Aida mengangkat tangan, memberi isyarat untuk berhenti.“Ja
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-03
Baca selengkapnya

Bab 79. Cahaya dalam Gelap

Sepulangnya dari rumah Laila, Hanan tidak langsung kembali ke rumah sakit. Dia bahkan meminta Salma untuk menjaga Rumi selama dia pergi. Hanan butuh waktu untuk menenangkan diri. Lelaki itu pulang ke rumah, mengurung diri di dalam kamar sambil mengenang semua kenangan indah bersama Aida.“Aku nggak nyangka, Da. Kita akan berakhir secepat ini,” gumam Hanan sambil membelai foto pernikahannya dengan Aida di sebuah pigura kecil.Lelaki itu menarik napas dalam. Rasanya sangat sakit, tetapi dia harus terbiasa dengan ini. Aida bukan istrinya lagi.Ketika perasaannya sudah lebih baik, Hanan baru kembali ke rumah sakit. Kala itu masih pagi. Udara terasa dingin, sedingin hatinya yang dipenuhi rasa kehilangan. Begitu tiba di kamar Rumi, dia melihat Salma sedang menyuapi sang istri.“Assalamualaikum,” sapa Hanan, berusaha menampilkan senyum terbaiknya, meski hati merana.“Waalaikumussalam,” balas Salma dan Rumi bersamaan.Salma beranjak dari kursi lalu berkata, “Rumi baru saja selesai sarapan.”“
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-03
Baca selengkapnya

Bab 80. Pecah

Kenan terbangun dengan ponsel yang bergetar di meja samping tempat tidurnya. Dia meraihnya dengan mata masih setengah terbuka, memeriksa siapa yang menelepon. Nama Hanan tertera di layar. Ketika dia menilik waktu, ternyata masih sangat pagi.“Ngapain dia telepon pagi buta begini?” gumamnya sambil menekan tombol hijau.“Ken,” suara Hanan terdengar berat, nyaris tenggelam oleh emosi.“Kenapa lo?” tanya Kenan. Dari suara yang terdengar, dia yakin ada sesuatu yang terjadi.“Rumi … dia kritis,” jawab Hanan.Kenan langsung terduduk. “Apa?”Rasanya masih terlalu pagi untuk mendengar berita buruk ini. Mata Kenan langsung terbuka lebar, dan seketika rasa kantuk hilang.“Semalam dia muntah darah. Sekarang dia ada di ICU, dan dokter bilang kondisinya sangat buruk,” papar Hanan sambil menahan sesak di dalam dada. “Gue nggak tahu harus gimana. Gue ….” Dia begitu berat untuk melanjutkan kata-katanya.Jantung Kenan berdegup lebih cepat. “Lo tenang dulu. Gue akan segera ke sana,” katanya tegas.Hanan
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-04
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
456789
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status