Semua Bab Bukan Surga Terindah: Bab 41 - Bab 50

83 Bab

Bab 41. Luruh

Aida berjalan perlahan di sepanjang jalan kecil menuju taman yang tak jauh dari rumah. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena kehamilannya, melainkan beban pikiran yang terus menghantui. Beberapa waktu yang lalu, Hanan bilang padanya akan membawa Rumi ke rumah sakit karena madunya itu sedang sakit. Aida tak memiliki pilihan selain membiarkan mereka pergi. Dan begitu mobil Hanan meninggalkan halaman, Aida memutuskan untuk keluar. Dia butuh udara segar untuk melupakan segala pikiran buruk yang coba menguasainya.Sesampainya di taman, Aida duduk di bangku kayu yang menghadap lapangan. Di kejauhan, tawa anak-anak yang bermain layang-layang terdengar riang. Angin sepoi-sepoi menyentuh pipinya, membawa aroma rumput yang basah. Dia menarik napas dalam, mencoba mencari ketenangan di tengah kekacauan pikiran.“Kenapa aku harus merasa seperti ini?” pikirnya, menggenggam erat kedua tangannya. “Bukankah ini semua adalah pilihanku?”Namun, logik
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-08
Baca selengkapnya

Bab 42. Pasang Badan

"Aida!" Suara itu mengalihkan atensi Aida dan Kenan.Aida menengok ke arah sumber suara, terkejut melihat Hanan berdiri beberapa meter darinya. Wajah Hanan memerah, tatapannya tajam, tetapi sulit dibaca—marah, cemas, atau mungkin keduanya."Kamu ngapain di sini, Da? Kenapa nggak bilang kalau mau pergi? Tahu nggak, aku nyariin kamu ke mana-mana," lanjut Hanan, langkahnya semakin mendekat.Sebelum Aida bisa menjawab, Kenan sudah berdiri, pasang badan untuk sang mantan. Dia tersenyum santai, lalu berkata dengan nada yang dibuat-buat tenang, “Hei, santai, Han. Nggak usah marah-marah. Kan nggak lucu kalau lo lebih cepet tua daripada gue” Kenan terkekeh sebentar. “Gue yang ngajak Aida ke sini.”Hanan mengalihkan atensi pada Kenan. Dia terlalu khawatir pada Aida, sehingga tidak memperhatikan jika Kenan ada di sana. Lelaki itu mengusap wajah lalu menghela napas lelah.“Lo?” Suara Hanan sedikit rendah.“Tadi gue ke rumah. Gue lihat bini lo bete gitu. Makanya gue inisiatif ajak dia keluar.” Ken
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-09
Baca selengkapnya

Bab 43. Pilu

Aida berdiri di balik dinding ruang tamu, tubuhnya setengah tersembunyi. Dia memegang perutnya yang mulai membesar dengan tangan gemetar. Di depan sana, Hanan dan Rumi duduk di sofa. Wajah Hanan penuh perhatian, menatap Rumi seolah gadis itu sangat rapuh dan mudah hancur.“Mas, nanti aku pergi sendiri saja, ya, ke pantinya,” suara Rumi terdengar lemah, tetapi ada nada manja di dalamnya.Awal pekan depan, Rumi akan mulai menjalani kemoterapi, setelah dibujuk berkali-kali. Hanan berjanji akan mengupayakan pengobatan yang maksimal untuk Rumi.“Nggak boleh.” Hanan melarang dengan tegas. “Aku akan antar kamu.”“Tapi, Mas—”“Kenapa? Aida?” potong Hanan, mendelik pada Rumi. “Kamu nggak perlu mencemaskan Aida. Dia akan baik-baik saja di rumah. Lagipula, aku pergi juga enggak lama.”Rumi tampak hendak berbicara lagi, tetapi Hanan langsung menempelkan telunjuknya di bibir Rumi.“Aku suami kamu. Aku harus memastikan semua berjalan dengan baik.” Hanan meraih jemari Rumi dan meremasnya dengan lemb
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-11
Baca selengkapnya

Bab 44. Ironi

Aida duduk di sebuah kursi di sudut kamar, matanya yang sembab menatap kosong ke arah jendela. Pagi itu seharusnya menjadi akhir pekan yang cerah, tetapi bagi Aida, semuanya terasa kelabu. Pertengkaran dengan Hanan masih membekas di hatinya, meninggalkan luka yang sulit disembuhkan. Dia hanya ingin menghabiskan waktu bersama Hanan, tetapi kenyataan memaksanya untuk menahan keinginan itu lagi dan lagi. Pedih, sebab alasannya adalah madu pilihannya sendiri.Aida memejamkan mata, berusaha menenangkan pikiran. Namun, bayangan Hanan yang begitu perhatian kepada Rumi kembali menghantamnya seperti gelombang pasang. Aida mengusap perut dengan lembut, berusaha mengingat bahwa ada kehidupan kecil yang membutuhkan ketenangannya. Ada makhluk kecil di dalam rahimnya yang harus dia jaga.Terdengar suara pintu dibuka pelan. Suara Hanan menyusul dari luar. “Aida?”Aida tidak menjawab. Dia hanya menatap pintu dengan mata yang masih basah. Mulutnya seakan-akan terkunci, tak berminat untuk bicara.Hanan
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-13
Baca selengkapnya

Bab 45. Tumbang

Tirai berwarna hijau itu dibuka. Seorang dokter jaga keluar dari sana sambil membuka maskernya. Lalu, seorang lelaki menghampiri dokter itu dengan tergesa-gesa. “Gimana keadaannya, Dok?” tanyanya.Dokter itu menunjukkan wajah serius, terlihat seperti seseorang yang menekan emosi.“Beruntung pasien segera mendapat pertolongan. Penderita PCOS memerlukan perhatian dan perlakuan khusus selama masa kehamilan. Jika terlambat sedikit saja bisa berbahaya.” Dokter itu berbicara dengan tegas.Kenan, berdiri kaku di depan dokter itu, membuka mulut ingin mengatakan sesuatu tetapi tak ada sepatah kata pun yang terucap. Ingin rasanya dia mengaku sebagai suami pasien tersebut, tetapi tidak mungkin dilakukannya.“Pastikan hal semacam ini tidak terjadi lagi. Kita tunggu 1x24 jam. Jika kondisi pasien stabil, maka boleh pulang,” pesan dokter sebelum meninggalkan Kenan.Kenan menghela napas keras, membasahi bibir, lalu memijit pangkal alis. Beberapa waktu yang lalu, dia berkunjung ke rumah Hanan untuk me
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-13
Baca selengkapnya

Bab 46. Harus Pulang

"Balik atau lo mau kehilangan bini dan calon bayi lo!"Ucapan Kenan bergema di kepala Hanan. Gagang telepon di tangannya terasa dingin, seolah beban berat baru saja dijatuhkan kepadanya. Dia menelan ludah, mencoba memahami maksud dari kalimat bernada ancaman itu.“Maksud lo apa, Ken?” tanya Hanan dengan suara yang ditekan.“Gue nggak akan ngomong banyak di telepon. Kalau lo masih peduli sama Aida dan bayi kalian, balik sekarang juga,” tegas Kenan sebelum memutus sambungan.Hanan terduduk di kursi ruang tamu panti, kedua tangannya mencengkeram ujung meja. Dadanya berdegup kencang, dan pikirannya berkecamuk. Apa yang terjadi dengan Aida? Apakah Kenan hanya mencoba memanipulasinya?Tapi, itu tidak mungkin. Kenan tidak akan pernah melakukan hal semacam itu jika bukan karena sesuatu yang penting.Hanan melirik Rumi yang sedang bercengkerama dengan anak-anak panti di teras. Gadis itu terlihat ceria, meski tubuhnya tampak lemah. Sebelum Hanan memutuskan apa pun, dia tahu harus berbicara deng
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-13
Baca selengkapnya

Bab 47. Definisi Ucapan adalah Doa

Hanan memasuki kamar Aida di rumah sakit dengan langkah pelan, tubuhnya dibebani rasa bersalah yang luar biasa. Cahaya lampu redup menyinari wajah Aida yang terbaring lemah di tempat tidur, kulitnya yang pucat membuat Hanan merasa seperti ditusuk-tusuk. Wanita yang begitu dia cintai tampak rapuh, jauh dari sosok ceria yang dulu selalu menjadi penguat hatinya.“Aida ….” Hanan memanggil pelan, suaranya serak.Aida membuka mata perlahan, menatap Hanan dengan pandangan datar. Tidak ada senyum, tidak ada tatapan hangat. Hanya kesunyian dingin yang terasa menusuk hati.“Ngapain kamu di sini?” Aida berkata ketus.“Maafkan aku,” ujar Hanan, melangkah mendekat. Dia duduk di kursi samping tempat tidur, mencoba menggenggam tangan Aida, tapi langsung dihindari. “Aku salah. Aku sudah bikin kamu kecewa.”Hanan sudah menjelaskan semuanya melalui pesan singkat—seperti yang Kenan sarankan. Aida memang tidak membalas, tetapi pesan itu sudah dibaca.Aida tidak merespons, hanya memalingkan wajahnya ke ar
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-14
Baca selengkapnya

Bab 48. Boneka tanpa Jiwa

“Han, kamu bisa datang ke sini secepatnya? Ini masalah besar.”Kata-kata Doni masih terngiang di kepala Hanan ketika panggilan telepon itu berakhir. Dia memandang layar ponselnya yang redup, lalu menghela napas panjang. Rasanya seperti dilemparkan ke tengah badai, dengan ombak yang datang dari segala arah.Namun, Hanan tahu dia tidak bisa pergi begitu saja. Rumi masih menjalani kemoterapi di ruangan sebelah, dan Aida sedang berjuang memulihkan diri di rumah. Hanan tidak punya pilihan selain menunda semuanya.“Don, aku nggak bisa datang sekarang. Kamu urus dulu masalah ini sementara waktu. Istriku lagi sakit, dan aku harus jagain dia. Aku minta waktu satu minggu ini.” Itulah yang Hanan katakan pada Doni.“Apa nggak bisa diatur?” tanya Doni, suaranya terdengar putus asa. “Tafsiranku, nilainya mencapai ratusan juta, Han. Kalau nggak segera ditangani, kita bisa kena masalah hukum.”Hanan mengusap wajahnya, mencoba tetap tenang. “Aku ngerti. Tapi prioritasku sekarang adalah keluargaku. Tol
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-14
Baca selengkapnya

Bab 49. Pilihan Sulit

Hanan terbangun mendadak, tubuhnya basah oleh keringat meski berada di dalam ruangan ber-AC. Kepalanya terasa pusing, denyutnya seperti genderang perang yang menghantam kesadaran. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memahami di mana dia berada. Satu-satunya benda yang dia cari kala itu adalah ponselnya.Dia mengangkat perangkat itu dari meja di samping tempat tidur, menyalakannya, dan terkejut melihat jam. Waktu salat Asar sudah hampir lewat. Ternyata dia telah tertidur cukup lama tanpa sadar.“Kenapa Aida nggak bangunin aku?” gumamnya.Tak menemukan Aida di kamar, Hanan pun langsung bangkit dari tempat tidur. Masih ada waktu untuk mendirikan salat, dan dia bergegas turun ke musala untuk menunaikan kewajibannya itu.Setelah berwudu dengan tergesa, Hanan menunaikan salat Asar yang sudah hampir lewat. Doanya panjang, memohon kekuatan untuk mengatasi semua masalah yang menimpanya. Dia tahu, waktu terus berjalan, tetapi dirinya seolah tidak pernah cukup cepat untuk mengejar tangg
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-14
Baca selengkapnya

Bab 50. Rumah untuk Rumi

Matahari baru saja mulai muncul dari ufuk timur, tetapi Hanan sudah melangkah cepat menuju kamar hotel tempat Rumi menginap. Kegelisahan yang sejak semalam menyelimuti pikiran membuat langkahnya berat tetapi pasti. Meninggalkan Rumi dalam kondisi sakit di luar rumah adalah keputusan berat yang kini dia sesali.Ketika sampai di depan pintu kamar, Hanan mengetuk pelan. Tidak ada jawaban. Dia mencoba lagi, kali ini dengan ketukan yang lebih tegas, tetapi tetap sunyi. Kekhawatirannya semakin bertambah. Dengan kunci cadangan yang diberikan pihak hotel, dia membuka pintu perlahan.Di dalam, Rumi masih terbaring di tempat tidur. Wajahnya tampak pucat, seolah semua warna telah hilang dari kulitnya. Napas Hanan tercekat melihat kondisi itu. Dia berjalan mendekat, duduk di tepi tempat tidur, lalu membangunkan Rumi dengan lembut.“Rum, aku sudah datang. Kamu masih tidur?” bisiknya.Rumi mengerjap pelan, matanya yang sembab terbuka. “Mas Hanan?” suaranya lemah, hampir tak terdengar.Hanan meraih
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-15
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
9
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status