“Han, kamu bisa datang ke sini secepatnya? Ini masalah besar.”Kata-kata Doni masih terngiang di kepala Hanan ketika panggilan telepon itu berakhir. Dia memandang layar ponselnya yang redup, lalu menghela napas panjang. Rasanya seperti dilemparkan ke tengah badai, dengan ombak yang datang dari segala arah.Namun, Hanan tahu dia tidak bisa pergi begitu saja. Rumi masih menjalani kemoterapi di ruangan sebelah, dan Aida sedang berjuang memulihkan diri di rumah. Hanan tidak punya pilihan selain menunda semuanya.“Don, aku nggak bisa datang sekarang. Kamu urus dulu masalah ini sementara waktu. Istriku lagi sakit, dan aku harus jagain dia. Aku minta waktu satu minggu ini.” Itulah yang Hanan katakan pada Doni.“Apa nggak bisa diatur?” tanya Doni, suaranya terdengar putus asa. “Tafsiranku, nilainya mencapai ratusan juta, Han. Kalau nggak segera ditangani, kita bisa kena masalah hukum.”Hanan mengusap wajahnya, mencoba tetap tenang. “Aku ngerti. Tapi prioritasku sekarang adalah keluargaku. Tol
Hanan terbangun mendadak, tubuhnya basah oleh keringat meski berada di dalam ruangan ber-AC. Kepalanya terasa pusing, denyutnya seperti genderang perang yang menghantam kesadaran. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memahami di mana dia berada. Satu-satunya benda yang dia cari kala itu adalah ponselnya.Dia mengangkat perangkat itu dari meja di samping tempat tidur, menyalakannya, dan terkejut melihat jam. Waktu salat Asar sudah hampir lewat. Ternyata dia telah tertidur cukup lama tanpa sadar.“Kenapa Aida nggak bangunin aku?” gumamnya.Tak menemukan Aida di kamar, Hanan pun langsung bangkit dari tempat tidur. Masih ada waktu untuk mendirikan salat, dan dia bergegas turun ke musala untuk menunaikan kewajibannya itu.Setelah berwudu dengan tergesa, Hanan menunaikan salat Asar yang sudah hampir lewat. Doanya panjang, memohon kekuatan untuk mengatasi semua masalah yang menimpanya. Dia tahu, waktu terus berjalan, tetapi dirinya seolah tidak pernah cukup cepat untuk mengejar tangg
Matahari baru saja mulai muncul dari ufuk timur, tetapi Hanan sudah melangkah cepat menuju kamar hotel tempat Rumi menginap. Kegelisahan yang sejak semalam menyelimuti pikiran membuat langkahnya berat tetapi pasti. Meninggalkan Rumi dalam kondisi sakit di luar rumah adalah keputusan berat yang kini dia sesali.Ketika sampai di depan pintu kamar, Hanan mengetuk pelan. Tidak ada jawaban. Dia mencoba lagi, kali ini dengan ketukan yang lebih tegas, tetapi tetap sunyi. Kekhawatirannya semakin bertambah. Dengan kunci cadangan yang diberikan pihak hotel, dia membuka pintu perlahan.Di dalam, Rumi masih terbaring di tempat tidur. Wajahnya tampak pucat, seolah semua warna telah hilang dari kulitnya. Napas Hanan tercekat melihat kondisi itu. Dia berjalan mendekat, duduk di tepi tempat tidur, lalu membangunkan Rumi dengan lembut.“Rum, aku sudah datang. Kamu masih tidur?” bisiknya.Rumi mengerjap pelan, matanya yang sembab terbuka. “Mas Hanan?” suaranya lemah, hampir tak terdengar.Hanan meraih
Hanan tertidur di kursi samping tempat tidur Rumi, kepalanya terkulai di atas tepian ranjang. Wajahnya lelah, lingkaran gelap di bawah matanya menceritakan malam-malam panjang tanpa istirahat yang layak. Lelah secara fisik dan jiwa, membuat lelaki itu terlihat berantakan.Ruangan itu sunyi, hanya suara monitor medis yang memecah kesunyian, memantau detak jantung Rumi yang lemah. Aroma desinfektan menyeruak, usai petugas membersihkan lantai ruangan.Ponsel di saku Hanan bergetar, menyentak kesadarannya dari tidur yang tidak nyenyak. Dia mendongak dengan mata yang masih setengah terbuka. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari di mana dia berada.“Rum ...,” gumam Hanan, tetapi Rumi masih belum sadarkan diri, wajahnya pucat di bawah cahaya lampu ruangan yang redup. Kondisinya sempat memburuk beberapa waktu lalu, namun kini sudah stabil, meski kesadarannya belum kembali.Hanan merogoh saku untuk mengambil ponsel. Nama Aida tertera di layar. Dengan langkah hati-hati, dia menjauh dari
Hanan menyandarkan kepalanya pada dinding rumahs akit yang dingin. Matanya memejam, merasakan sesak yang perlahan menghujam semakin dalam. Suara langkah perawat yang mondar-mandir terdengar seperti dentingan jam, mengingatkan bahwa waktu terus berjalan. Di sebelahnya, Kenan berdiri dengan ekspresi datar, tangan dimasukkan ke saku celana.“Gue beneran nggak habis pikir, Han,” ujar Kenan akhirnya, memecah keheningan. “Lo terus-terusan mikir bisa ngelakuin semuanya sendiri, tapi lo lupa kalau lo manusia. Ada batasnya.”Sekali lagi Hanan memejamkan matanya rapat, merasakan ketegangan yang membelenggu dadanya semakin erat. “Gue tahu gue nggak sempurna, Ken. Tapi gue nggak bisa ninggalin salah satu dari mereka. Kalau gue milih, gue pasti nyakitin yang lain.”Kenan menghela napas panjang. “Lo tahu itu nggak bakal bertahan lama, kan? Lo hanya akan menutupi satu kebohongan dengan kebohongan lainnya. Cepat atau lambat, semuanya bakal meledak. Dan saat itu teradi, lo bakal menyesal.”Hanan menol
“Aku ... mau Mas Hanan ceraikan aku.”Kata-kata itu menggantung di udara, seolah-olah waktu berhenti sejenak. Hanan menatap Rumi dengan ekspresi tidak percaya. Tubuhnya terasa kaku, pikirannya berputar tanpa arah.“Apa yang kamu bilang barusan?” Hanan bertanya, suaranya serak.Rumi menundukkan kepala, tidak sanggup menatap mata Hanan. “Aku nggak mau menyusahkan Mas Hanan lebih lama. Kalau aku pergi, Mas Hanan akan punya lebih banyak waktu untuk Mbak Aida. Mas Hanan nggak perlu lagi berbohong dan nyuri-nyuri waktu buat jagain aku.” Gadis itu tersenyum meski air mata mengalir dari kedua matanya. “Aku ikhlas, Mas. Aku nggak apa-apa Mas ceraikan, kalau itu bisa membuat Mas Hanan dan Mbak Aida bahagia.”Hanan menggeleng keras, berdiri dari kursinya. “Apa kamu pikir aku menikahi kamu cuma karena aku punya waktu luang? Apa kamu pikir aku nggak peduli sama kamu?” Lelaki itu berpaling sejenak lalu kembali fokus pada Rumi dan berkata dengan tegas, “Aku nggak akan bosan bilang ini. Aku suami kam
Seperti hembusan angin lembut di penghujung musim semi, senyuman Rumi menghiasi ruang kecil di rumah sakit itu. Matanya yang dulu suram kini memancarkan secercah harapan, meski tubuhnya masih lemah setelah sesi pertama kemoterapi. Rumi mencoba mengangkat tangannya untuk menyeka keringat di pelipis, tetapi jari-jari itu bergetar terlalu lemah.“Pelan-pelan, Rum,” ujar Hanan, seraya membantu memindahkan tangannya ke atas selimut. Wajahnya tetap menunjukkan perhatian mendalam, meskipun guratan lelah tampak jelas di sudut matanya.“Aku bisa, kok. Mas Hanan nggak perlu repot seperti ini terus,” jawab Rumi dengan suara serak, namun senyum di bibirnya tidak pudar.“Repot apanya? Ini tugasku sebagai suami,” Hanan membalas sambil menyelipkan helai rambut Rumi yang menjuntai ke wajahnya. Tetapi di balik sikap lembutnya, pikiran Hanan jauh melayang, membelah rimba masalah yang terus menghimpit.Masih ada masalah di Bandung yang mengganjal pikiran Hanan. Sejak awal masalah ini muncul, Hanan memer
Ponsel Hanan masih terus bergetar, menampilkan nama Salma di layar. Nama yang membuat Hanan merasa seperti berdiri di tepi jurang. Jantung berdegup kencang, dan suasana mendadak terasa tegang.Aida menatap Hanan dengan alis sedikit terangkat. “Kok nggak diangkat, Han?” tanyanya, nada suara pelan tapi mengandung rasa ingin tahu.Hanan menghela napas panjang sebelum menggeser ikon hijau di layar. “Halo, assalamualaikum,” sapanya. Namun, di seberang sana hanya terdengar hening. Tidak ada suara, tidak ada napas.“Bu Salma? Halo? Ibu dengar saya?” Hanan mencoba lagi, kali ini dengan nada yang lebih keras.Tetap tidak ada jawaban. Hanan menatap layar, memastikan panggilan masih terhubung. Setelah beberapa detik tanpa respons, dia memutuskan panggilan itu.“Mungkin nggak sengaja kepencet,” gumamnya, mencoba menjelaskan pada dirinya sendiri, meski rasa penasaran terus mengganjal.Aida mengerutkan dahi. “Coba ditelepon balik. Siapa tahu penting,” saran Aida.“Biarin aja lah. Kalau penting, nan
Gema tawa kecil itu menyambut Hanan begitu dia melangkah melewati gerbang. Di teras rumah, seorang gadis kecil berlari, dengan pipi merah yang tampak bersinar di bawah sinar hangat sore.“Maira!” seru Hanan, wajahnya penuh senyum.Maira menoleh, matanya membulat saat melihat sosok pria yang sudah tidak asing baginya. “Papa!” serunya dengan suara kecil yang riang. Dia berlari ke arah Hanan dengan langkah-langkah mungilnya yang tergesa-gesa.Hanan berjongkok, membuka tangannya lebar-lebar. Ketika tubuh mungil itu sampai di pelukannya, Hanan mengangkat Maira tinggi-tinggi, memutarnya perlahan di udara. “Anak Papa sudah gede sekarang.”Maira tertawa riang, lalu Hanan menurunkannya.“Selamat ulang tahun, sayang,” katanya sambil mencium pipi Maira yang tembam.Gadis kecil itu tertawa lagi, menggeliat senang dalam pelukan Hanan. “Papa mau kado?” tanyanya polos tapi penuh antusias.Hanan tertawa kecil. “Tentu saja! Papa nggak akan lupa bawa kado untuk Maira.”Maira menggerak-gerakkan kepalany
“Ma, aku masuk dulu,” bisik Hanan pada Rifkah.Sang ibu mengangguk, dan membiarkan putranya pergi. Prosesi pemakaman hari itu berjalan dengan khidmat. Para pelayat silih berganti mengucapkan bela sungkawa. Hanan sudah lelah. Dia ingin sejenak menyendiri, jauh dari suasana duka para pelayat yang datang.Langkah lelah Hanan membawa lelaki itu ke halaman samping. Bunga-bunga bermekaran di taman kecil, seolah tidak menyadari duka yang menyelimuti tempat itu. Warnanya cerah, menciptakan kontras yang tajam dengan suasana hati semua orang yang hadir. Di tempat tersebut, Hanan duduk diam di bangku kayu kecil, memandang bunga-bunga itu dengan tatapan kosong.Bunga-bunga itu adalah karya terakhir Rumi sebelum penyakitnya menggerogoti. Dia menanamnya dengan penuh cinta, seakan tahu bahwa keindahan itu akan menjadi kenangan bagi orang-orang yang ditinggalkannya.Aida berdiri di dekat pintu, memperhatikan Hanan dari kejauhan. Hati kecilnya memanggil untuk mendekat, tetapi dia ragu. Tangannya gemet
Langkah Aida berat. Bukan karena tubuhnya yang lelah, tetapi hatinya yang terasa seperti diselimuti oleh beban tak terlihat. Dia berjalan di belakang Kenan, mencoba menenangkan degup jantungnya yang terasa begitu kencang hingga seolah akan melompat keluar.Di ujung lorong rumah sakit, sosok Rifkah terlihat berdiri di samping Hanan yang terpuruk. Hanan membungkuk, wajahnya tenggelam dalam kedua tangan. Bahunya terguncang oleh isak tangis yang tak dapat dia tahan. Rifkah memeluk putranya erat-erat, seperti mencoba memberikan kekuatan yang dia sendiri tidak yakin masih dimilikinya.Langkah Aida melambat. Air matanya mengalir tanpa henti. Dia ingin mendekat, tetapi tubuhnya seperti tak punya tenaga. Semua perasaan bercampur menjadi satu: takut, marah, kecewa, dan rasa bersalah yang entah datang dari mana.Dokter keluar dari ruang ICU, wajahnya penuh kelelahan dan kesedihan. Semua orang di lorong itu menahan napas, berharap ada kabar baik. Tetapi, dalam hati, mereka tahu harapan itu terlal
Kenan terbangun dengan ponsel yang bergetar di meja samping tempat tidurnya. Dia meraihnya dengan mata masih setengah terbuka, memeriksa siapa yang menelepon. Nama Hanan tertera di layar. Ketika dia menilik waktu, ternyata masih sangat pagi.“Ngapain dia telepon pagi buta begini?” gumamnya sambil menekan tombol hijau.“Ken,” suara Hanan terdengar berat, nyaris tenggelam oleh emosi.“Kenapa lo?” tanya Kenan. Dari suara yang terdengar, dia yakin ada sesuatu yang terjadi.“Rumi … dia kritis,” jawab Hanan.Kenan langsung terduduk. “Apa?”Rasanya masih terlalu pagi untuk mendengar berita buruk ini. Mata Kenan langsung terbuka lebar, dan seketika rasa kantuk hilang.“Semalam dia muntah darah. Sekarang dia ada di ICU, dan dokter bilang kondisinya sangat buruk,” papar Hanan sambil menahan sesak di dalam dada. “Gue nggak tahu harus gimana. Gue ….” Dia begitu berat untuk melanjutkan kata-katanya.Jantung Kenan berdegup lebih cepat. “Lo tenang dulu. Gue akan segera ke sana,” katanya tegas.Hanan
Sepulangnya dari rumah Laila, Hanan tidak langsung kembali ke rumah sakit. Dia bahkan meminta Salma untuk menjaga Rumi selama dia pergi. Hanan butuh waktu untuk menenangkan diri. Lelaki itu pulang ke rumah, mengurung diri di dalam kamar sambil mengenang semua kenangan indah bersama Aida.“Aku nggak nyangka, Da. Kita akan berakhir secepat ini,” gumam Hanan sambil membelai foto pernikahannya dengan Aida di sebuah pigura kecil.Lelaki itu menarik napas dalam. Rasanya sangat sakit, tetapi dia harus terbiasa dengan ini. Aida bukan istrinya lagi.Ketika perasaannya sudah lebih baik, Hanan baru kembali ke rumah sakit. Kala itu masih pagi. Udara terasa dingin, sedingin hatinya yang dipenuhi rasa kehilangan. Begitu tiba di kamar Rumi, dia melihat Salma sedang menyuapi sang istri.“Assalamualaikum,” sapa Hanan, berusaha menampilkan senyum terbaiknya, meski hati merana.“Waalaikumussalam,” balas Salma dan Rumi bersamaan.Salma beranjak dari kursi lalu berkata, “Rumi baru saja selesai sarapan.”“
Tatapan Aida menajam, rahangnya mengeras.“Kenapa Mama biarin dia masuk?” Aida menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dijelaskan—marah, kecewa, dan terluka bercampur menjadi satu. Suaranya bergetar, tidak hanya karena lelah fisik, tetapi juga tekanan batin yang dia rasakan.Laila menghela napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. “Dia suamimu, Aida. Kalian perlu duduk berdua, bicara dengan kepala dingin. Biar kesempatan Hanan untuk memberi penjelasan.”Aida tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh kegetiran. “Suami? Mama pikir seorang suami akan melakukan apa yang dia lakukan? Yang meninggalkan istrinya sendirian di saat hampir mati? Yang memilih untuk membohongiku daripada jujur sejak awal?”“Aida ….”“Ma,” potong wanita itu. “Aku sudah lelah dengan semua kebohongannya. Aku nggak mau lagi mendengar penjelasan apa pun darinya.”Hanan, yang sejak tadi diam, mencoba melangkah mendekat. Tetapi gerakannya terhenti ketika Aida mengangkat tangan, memberi isyarat untuk berhenti.“Ja
Rumi perlahan membuka mata. Pandangannya masih buram, tetapi dia bisa merasakan kehangatan yang menyelimuti dirinya. Ruangan tempat dia berada kini lebih tenang dibandingkan saat di ICU. Dia tahu dirinya telah dipindahkan ke ruang perawatan, tetapi tubuhnya masih terasa sangat lemah. Alat bantu pernapasan masih menempel di hidungnya. Bibir kering itu bergerak samar, ketika mendengar suara yang begitu menenangkan.Perhatian Rumi tertuju pada suara yang mengalun di dekatnya. Pelan, merdu, dan penuh ketulusan. Rumi mencoba memfokuskan pendengarannya. Itu suara Hanan yang sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.Rumi terdiam, membiarkan setiap kata masuk ke dalam hatinya. Perasaan tenang yang sudah lama hilang tiba-tiba kembali. Air matanya mengalir tanpa dia sadari. Ada banyak beban yang membuat dadanya terasa begitu sesak, dan suara Hanan seakan perlahan meruntuhkannya.Hanan menutup mushaf yang dia baca, menyelesaikan ayat terakhirnya. Ketika dia menoleh, dia terkejut melihat Rumi
Hanan menyesap kopi sambil menatap Kenan yang duduk di depannya dengan sikap santai. Restoran kecil itu hampir kosong, memberikan mereka ruang untuk berbicara tanpa gangguan. Hanan sudah memulai pembicaraan dengan ucapan terima kasih, tetapi kini dia menggenggam cangkir kopinya lebih erat.“Gue benar-benar berterima kasih sama lo, Ken,” kata Hanan dengan suara pelan, tetapi tegas. “Lo sudah banyak bantu gue selama Aida dirawat.”Kenan mengangkat bahu, senyum tipis terlukis di wajahnya. “Nggak perlu dibahas. Gue Cuma nggak tega bini lo ngadepin masa sulit begini sendiri. Sementara lo sibuk sama bini muda lo.”“Rumi kolaps, Ken,” sahut Hanan.“Iya, gue tahu.” Kenan membalas dengan santai, lalu menyesap kopinya.Hanan menghela napas berat. “Gue nggak tahu gimana jadinya kalau lo nggak ada. Rumi kolaps, Aida lahiran prematur. Gue kayak lagi jalan di jembatan siratal mustaqim.” Dia terlihat menyesal.Kenan mengangkat pandangan, melihat Hanan yang terlihat kacau. Dia kasihan, tapi juga kesa
Kenan melangkah masuk ke sebuah ruangan dengan senyum lembut yang berbeda dari biasanya. Tatapan matanya segera tertuju pada bayi mungil yang baru saja selesai disusui oleh Aida.“Boleh aku gendong dia?” tanya lelaki itu sambil mengangkat sedikit tangannya.Aida menatap Kenan sebentar, ragu sebab bayinya membutuhkan perlakuan khusus, tak seperti bayi pada umumnya. Mata Aida melirik perawat, dan perawat itu memberikan senyum sebagai respons, lalu dia mengangguk pelan pada Kenan.“Sebentar saja, ya,” kata perawat.Kenan tak mampu menyembunyikan senyumnya. Dia mengangguk dengan antusias. Perawat yang berada di ruangan itu membantu memindahkan bayi perempuan Aida ke tangan Kenan dengan hati-hati.Kenan memandang bayi itu dengan kekaguman yang sulit disembunyikan. Tubuh mungil itu bergerak sedikit di pelukannya, membuat Kenan tersenyum lebih lebar. “Lucu banget, sih,” gumamnya sambil mengusap pelan pipi bayi itu dengan jari telunjuknya.Aida memperhatikan dari tempat tidur. Pemandangan itu