Semua Bab Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO: Bab 71 - Bab 80

99 Bab

Bab 71. Aku ingin segera menikahi Pelangi

Sampai Akarsana tiba di rumah, lelaki itu masih terbayang-bayang oleh penjelasan Ardan mengenai Naomi yang telah bersuami. Akarsana tidak tahu menahu soal itu. Akarsana pikir Naomi belum menikah sama sekali. Apa lagi mengingat perempuan itu sempat menelpon ke nomornya dan mereka mengobrol cukup lama sebelum dia ketahuan oleh Prita. Tega sekali Naomi membohongi dirinya. Jika perempuan itu memang telah menikah dan hidup bahagia di Amerika, kenapa masih memberi harapan kepada Akarsana? Entahlah, untuk saat ini Akarsana cuma ingin mandi dan istirahat setelah itu. Akarsana terlalu lelah. Bukan hanya tenaganya saja yang diperas saat bekerja, tapi juga pikirannya. Tidak henti-hentinya Akarsana memikirkannya. Otak Akarsana seolah diperas. "Tuan Akarsana," sapa Bi Jum saat papasan dengan Akarsana di dekat tangga. "Iya, Bi." Akarsana mengangguk pelan. "Baru pulang, Tuan? Mau Bibi buatkan teh atau kopi?" tawar Bi Jum. Karena melihat anak majikannya tampak kelelahan, Bi Jum sengaja
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-02
Baca selengkapnya

Bab 72. Pesan yang terabaikan

Akarsana tidak hentinya menghela napas panjang setiap kali membahas masalah Renjana dan Diana. Bagaimana, tidak? Prita selalu membela Renjana yang jelas-jelas sudah salah. Prita seolah tidak mau mengalah dan mengakui kalau putranya memang berada di pihak yang salah. Akarsana dan Sofia setuju, Renjana memang harus menemui Diana untuk meminta maaf. Memohon ampun kalau perlu. Seperti yang dikatakan Akarsana, Prita menolak Renjana meminta maaf kepada Diana. Prita merasa Renjana tidak salah. Justru Diana yang membuat situasi memanas dan semakin rumit. "Dengar ya, Akarsana. Mama tidak akan sudi membiarkan adik kamu datang menemui perempuan itu. Renjana tidak salah, Diana saja genit!" Prita meninggikan suaranya. Berbeda dari biasanya. Kali ini Akarsana tidak sependapat dengan Ibu dan adik lelakinya. Walau Renjana itu adiknya, tapi di mata Akarsana, Renjana adalah dalang di balik semua masalah yang ada. Andai saja Renjana tidak pernah main-main perempuan—apa lagi sampai nekat mengh
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-02
Baca selengkapnya

Bab 73. Memilih jalan sendiri

Akarsana mencoba tidur, tetapi pikirannya masih berputar di sekeliling perdebatan tadi dengan ibunya. Matanya menatap langit-langit kamar dengan kosong. Dulu, ia begitu mengagumi sosok Prita. Ibunya adalah wanita tangguh yang selalu terlihat elegan dan kuat dalam menghadapi hidup. Namun, semakin dewasa, Akarsana mulai melihat sisi lain dari Prita yang membuatnya sulit bernapas. Ibunya tidak pernah salah. Itu yang ada dalam kamus Prita. Jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, ibunya selalu mencari cara untuk menyalahkan orang lain. Dan kali ini, korban terbaru dari amarahnya adalah Diana. Diana yang telah kehilangan bayi. Diana yang hancur. Diana yang tidak punya siapa-siapa selain Pelangi. Sejujurnya, Akarsana tidak memiliki kedekatan dengan Diana. Tapi ia masih manusia. Ia masih bisa merasakan sakitnya perempuan itu. Keterpurukannya. Luka yang ia rasakan bukan hanya di tubuhnya, tetapi juga di jiwanya. Bayi itu bisa saja selamat jika Renjana bukan pengecut. Renja
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-02
Baca selengkapnya

Bab 74. Rumah Pelangi

Akarsana tidak tahu bagaimana akhirnya ia berdiri di depan rumah ini lagi. Rumah Pelangi. Setelah pertengkaran sengit dengan ibunya, hanya satu tempat yang terlintas di benaknya. Ia mematikan mesin mobil dan menarik napas dalam. Malam sudah larut, tapi lampu teras masih menyala. Ia tahu Pelangi ada di dalam. Tanpa ragu, ia melangkah keluar dan mengetuk pintu. Tidak perlu menunggu lama, pintu itu terbuka, memperlihatkan Pelangi yang masih mengenakan kaus rumah dan celana pendek. Tatapan mereka bertemu.Tidak ada sapaan, tidak ada pertanyaan kenapa Akarsana tiba-tiba datang. Hanya keheningan. Pelangi menatapnya lekat, mencari sesuatu dalam sorot mata pria itu. Akarsana tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap balik dengan tatapan yang dalam dan penuh intensitas. Lalu, seolah mengerti sesuatu yang tak perlu diucapkan, Pelangi menghela napas dan berkata pelan, "Masuk!" Akarsana melangkah masuk tanpa banyak bicara. Rumah Pelangi terasa hangat, nyaman. Aroma teh melati meng
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-02
Baca selengkapnya

Bab 75. Tatapan tulus

Pukul satu dini hari. Akarsana memarkir mobilnya di garasi rumah dengan perasaan yang masih berantakan. Bibirnya masih bisa merasakan jejak kehangatan ciuman Pelangi. Dadanya masih menyimpan debaran yang tadi sempat mengguncangnya begitu hebat. Tapi begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah, semua kehangatan itu menguap begitu saja. Sebab di ruang tamu, ibunya sudah menunggunya. Prita duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada, tatapannya dingin dan penuh kecurigaan. Lampu ruangan masih menyala terang, menandakan wanita itu memang sengaja menunggu kepulangannya. "Darimana saja kamu?" Suara itu terdengar tajam. Akarsana tidak langsung menjawab. Ia menutup pintu dengan tenang, meletakkan kunci mobil di atas meja, lalu berbalik menghadap ibunya. Ekspresinya datar. "Tugas," jawabnya santai. Prita menyipitkan mata. "Tugas apa? Jangan bilang kamu—" "Aku sedang melakukan tugasku, Ma," potong Akarsana sebelum ibunya bisa menyelesaikan kalimatnya. "Membuat Pelangi semakin j
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-02
Baca selengkapnya

Bab 76. Lamaran

Akarsana tidak pernah berpikir bahwa suatu hari dia akan berlutut di hadapan seorang wanita untuk kedua kalinya. Malam ini, dia duduk berlutut di hadapan Pelangi, menatap wanita itu dengan segenap keberanian yang tersisa di dalam dirinya. Di tangannya, ada sebuah cincin berlian kecil—bukan yang paling mahal, bukan yang paling mewah, tapi cincin yang dia pilih dengan hati-hati. Yang menurutnya paling cocok untuk wanita di hadapannya. Pelangi menatapnya dengan mata membulat, tangan terangkat menutupi mulutnya, tubuhnya bergetar. Dia tidak percaya. "Pelangi..." Suara Akarsana terdengar serak. Sial. Dia tidak pernah merasa segugup ini sebelumnya. "Aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan jatuh sejauh ini. Aku tidak pernah menyangka bahwa seseorang bisa membuatku ingin berubah ingin menjadi lebih baik." Pelangi masih membeku di tempatnya. "Aku mencintaimu." Hanya tiga kata, tapi begitu berat.Tiga kata yang mengubah segalanya. Tiga kata yang membuat hati Pelangi hampir me
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-02
Baca selengkapnya

Bab 77. Permulaan kemenangan

Matahari bersinar redup sore itu, seolah ikut mengiringi perasaan di dalam dada Pelangi yang bercampur aduk. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar rawat Diana. Pelangi menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu dan masuk. Diana sedang duduk bersandar di ranjangnya, mengenakan baju pasien berwarna biru muda. Wajahnya masih pucat, tetapi matanya terlihat lebih hidup dibanding terakhir kali Pelangi mengunjunginya. "Pelangi!" Diana tersenyum samar. "Kamu datang." "Tentu saja," Pelangi mendekati tempat tidur lalu duduk di kursi samping ranjang. "Gimana keadaanmu?" Diana menghela napas. "Sedikit lebih baik. Tapi aku masih sering teringat kejadian itu." Pelangi menggenggam tangan sahabatnya. "Aku di sini, Diana. Aku selalu di sini." Diana tersenyum lemah. "Terima kasih." Pelangi ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku ada sesuatu yang ingin aku beri tahu." Diana menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Apa?" Pelangi menggigit bibirnya sebelum mengembuskan napas p
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-02
Baca selengkapnya

Bab 78. Kejutan

Pernikahan tinggal menghitung minggu. Kesibukan Pelangi semakin menjadi-jadi, tetapi ia menikmatinya. Setiap hari diisi dengan berbagai persiapan dari memilih gaun, mencicipi menu katering, hingga berdiskusi dengan perencana pernikahan. Meski melelahkan, ada kebahagiaan yang mengalir di dalam dirinya. Namun, dari semua hal yang Pelangi hadapi, yang paling ia nikmati adalah saat-saat bersama Akarsana. Sejak melamarnya, Akarsana menjadi lebih terbuka dan perhatian. Tidak ada lagi sindiran tajam atau sikap angkuh. Kini, lelaki itu dengan bangga menggandeng tangannya, membantunya dalam setiap persiapan, bahkan menemani Pelangi memilih dekorasi pernikahan yang menurutnya “terlalu berlebihan, tapi kalau kamu suka, aku juga suka.” Hari ini, Pelangi berencana menemui desainer untuk menyesuaikan gaun pernikahannya. Namun, sebelum itu, Akarsana tiba-tiba meminta Pelangi datang ke kantornya. “Aku mau menunjukkan sesuatu,” kata Akarsana lewat telepon pagi itu. “Menunjukkan apa?” Pelangi
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-02
Baca selengkapnya

Bab 79. Pernikahan

Hari pernikahan Pelangi akhirnya tiba. Bukan sebuah pesta mewah di gedung besar dengan ratusan tamu undangan, melainkan sebuah perayaan sederhana di taman belakang rumah keluarga Maheswara. Dekorasi dihiasi bunga putih dan lilin-lilin kecil yang mempercantik suasana senja. Meja dan kursi ditata dengan rapi, dikelilingi oleh orang-orang terdekat mereka. Pelangi berdiri di depan cermin di kamarnya, mengenakan gaun putih sederhana dengan potongan yang elegan. Rambutnya disanggul rendah, dihiasi bunga-bunga kecil. Matanya berkilau karena kebahagiaan dan sedikit gugup. “Nervous?” suara lembut Diana terdengar dari belakangnya. Pelangi menoleh dan tersenyum melihat adiknya yang kini masih dalam masa pemulihan. Diana mengenakan gaun biru muda yang lembut, cocok dengan rona wajahnya yang semakin sehat. “Sedikit,” aku Pelangi jujur. Diana tersenyum tipis, lalu meraih tangan Pelangi dan menggenggamnya erat. “Kau akan baik-baik saja. Kau menikahi seseorang yang kau cintai, bukan?” Pe
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-02
Baca selengkapnya

Bab 80. Hari-hari sebagai pengantin baru

Matahari pagi mengintip dari balik jendela, sinarnya yang lembut menerpa wajah Pelangi yang masih terlelap. Akarsana yang sudah bangun lebih dulu tidak bisa menahan senyum saat menatap istrinya yang tidur dengan damai di sampingnya. Ia menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh di wajah Pelangi, lalu mengecup keningnya lembut. Pelangi menggeliat kecil sebelum akhirnya membuka mata perlahan. “Pagi, Sayang,” gumam Akarsana dengan suara serak khas pagi hari. Pelangi mengerjap, lalu tersenyum manis. “Pagi!” Akarsana mengusap pipi istrinya dengan ibu jarinya. “Aku masih tidak percaya kau benar-benar sudah menjadi istriku.” Pelangi tertawa kecil, wajahnya sedikit memerah. “Aku juga merasa seperti mimpi.” Akarsana menatapnya dalam sebelum akhirnya mendekatkan wajahnya, memberikan ciuman lembut di bibir istrinya. Pelangi tersipu, tetapi ia tidak menolak. Sentuhan bibir Akarsana begitu penuh kasih sayang, membuatnya merasa dicintai sepenuhnya. Setelah beberapa saat, Akarsana m
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-02
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
5678910
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status