Matahari bersinar redup sore itu, seolah ikut mengiringi perasaan di dalam dada Pelangi yang bercampur aduk. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar rawat Diana. Pelangi menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu dan masuk. Diana sedang duduk bersandar di ranjangnya, mengenakan baju pasien berwarna biru muda. Wajahnya masih pucat, tetapi matanya terlihat lebih hidup dibanding terakhir kali Pelangi mengunjunginya. "Pelangi!" Diana tersenyum samar. "Kamu datang." "Tentu saja," Pelangi mendekati tempat tidur lalu duduk di kursi samping ranjang. "Gimana keadaanmu?" Diana menghela napas. "Sedikit lebih baik. Tapi aku masih sering teringat kejadian itu." Pelangi menggenggam tangan sahabatnya. "Aku di sini, Diana. Aku selalu di sini." Diana tersenyum lemah. "Terima kasih." Pelangi ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku ada sesuatu yang ingin aku beri tahu." Diana menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Apa?" Pelangi menggigit bibirnya sebelum mengembuskan napas p
Pernikahan tinggal menghitung minggu. Kesibukan Pelangi semakin menjadi-jadi, tetapi ia menikmatinya. Setiap hari diisi dengan berbagai persiapan dari memilih gaun, mencicipi menu katering, hingga berdiskusi dengan perencana pernikahan. Meski melelahkan, ada kebahagiaan yang mengalir di dalam dirinya. Namun, dari semua hal yang Pelangi hadapi, yang paling ia nikmati adalah saat-saat bersama Akarsana. Sejak melamarnya, Akarsana menjadi lebih terbuka dan perhatian. Tidak ada lagi sindiran tajam atau sikap angkuh. Kini, lelaki itu dengan bangga menggandeng tangannya, membantunya dalam setiap persiapan, bahkan menemani Pelangi memilih dekorasi pernikahan yang menurutnya “terlalu berlebihan, tapi kalau kamu suka, aku juga suka.” Hari ini, Pelangi berencana menemui desainer untuk menyesuaikan gaun pernikahannya. Namun, sebelum itu, Akarsana tiba-tiba meminta Pelangi datang ke kantornya. “Aku mau menunjukkan sesuatu,” kata Akarsana lewat telepon pagi itu. “Menunjukkan apa?” Pelangi
Hari pernikahan Pelangi akhirnya tiba. Bukan sebuah pesta mewah di gedung besar dengan ratusan tamu undangan, melainkan sebuah perayaan sederhana di taman belakang rumah keluarga Maheswara. Dekorasi dihiasi bunga putih dan lilin-lilin kecil yang mempercantik suasana senja. Meja dan kursi ditata dengan rapi, dikelilingi oleh orang-orang terdekat mereka. Pelangi berdiri di depan cermin di kamarnya, mengenakan gaun putih sederhana dengan potongan yang elegan. Rambutnya disanggul rendah, dihiasi bunga-bunga kecil. Matanya berkilau karena kebahagiaan dan sedikit gugup. “Nervous?” suara lembut Diana terdengar dari belakangnya. Pelangi menoleh dan tersenyum melihat adiknya yang kini masih dalam masa pemulihan. Diana mengenakan gaun biru muda yang lembut, cocok dengan rona wajahnya yang semakin sehat. “Sedikit,” aku Pelangi jujur. Diana tersenyum tipis, lalu meraih tangan Pelangi dan menggenggamnya erat. “Kau akan baik-baik saja. Kau menikahi seseorang yang kau cintai, bukan?” Pe
Matahari pagi mengintip dari balik jendela, sinarnya yang lembut menerpa wajah Pelangi yang masih terlelap. Akarsana yang sudah bangun lebih dulu tidak bisa menahan senyum saat menatap istrinya yang tidur dengan damai di sampingnya. Ia menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh di wajah Pelangi, lalu mengecup keningnya lembut. Pelangi menggeliat kecil sebelum akhirnya membuka mata perlahan. “Pagi, Sayang,” gumam Akarsana dengan suara serak khas pagi hari. Pelangi mengerjap, lalu tersenyum manis. “Pagi!” Akarsana mengusap pipi istrinya dengan ibu jarinya. “Aku masih tidak percaya kau benar-benar sudah menjadi istriku.” Pelangi tertawa kecil, wajahnya sedikit memerah. “Aku juga merasa seperti mimpi.” Akarsana menatapnya dalam sebelum akhirnya mendekatkan wajahnya, memberikan ciuman lembut di bibir istrinya. Pelangi tersipu, tetapi ia tidak menolak. Sentuhan bibir Akarsana begitu penuh kasih sayang, membuatnya merasa dicintai sepenuhnya. Setelah beberapa saat, Akarsana m
Di dalam ruangan yang remang, Renjana duduk gelisah di sofa. Tangan kanannya menggenggam gelas anggur yang sudah hampir kosong, sementara jemari kirinya mengetuk-ngetuk meja dengan tidak sabar. Ia sudah memperhatikan gerak-gerik Akarsana sejak pernikahan itu terjadi, dan semakin hari, kecurigaannya semakin kuat. Dulu, ia tidak terlalu peduli. Baginya, pernikahan Akarsana dan Pelangi hanyalah bagian dari rencana besar mereka—mengamankan harta warisan Kayla sebelum akhirnya menyingkirkan Pelangi begitu semuanya berhasil mereka dapatkan. Tapi sekarang semuanya terasa berbeda. Akarsana terlalu perhatian. Terlalu lembut. Terlalu nyata dalam memainkan peran suami yang sempurna. Renjana menggeram pelan. Ia meneguk sisa anggurnya sebelum bangkit, berjalan mondar-mandir seperti seseorang yang dihantui oleh ketakutan besar. *** Prita baru saja pulang dari arisan ketika Renjana menyambutnya dengan wajah tegang. Wanita itu mengangkat alis, melepaskan mantel bulunya dengan gerakan anggun
Hujan turun rintik-rintik ketika Naomi berdiri di depan rumah megah itu. Tangannya gemetar saat menekan bel, dan jantungnya berdetak kencang. Sudah lama sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di tempat ini, tempat yang dulu ia yakini akan menjadi rumahnya. Ia datang dengan harapan, dengan sisa keberanian yang ia kumpulkan setelah bertahun-tahun meninggalkan seseorang yang dulu ia cintai—Akarsana. Pintu terbuka dan di baliknya berdiri seorang wanita muda dengan wajah teduh dan mata yang jernih. Naomi terdiam. Ia tidak mengenal wanita ini. "Selamat siang!" wanita itu menyapa lembut. Naomi mengerutkan kening, ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, "Aku... Aku ingin bertemu dengan Akarsana." Wanita itu tersenyum kecil. "Maaf, suamiku sedang tidak ada di rumah." Naomi merasa seolah bumi berhenti berputar. Suamiku? Kata itu bergema di kepalanya seperti tamparan yang tidak terduga. Pandangannya menajam, berusaha mencari tanda-tanda kesalahpahaman. "Suami?" suaranya bergetar. "Maksu
Pelangi duduk di tepi ranjangnya, menatap kosong ke arah jendela yang masih basah oleh sisa hujan. Kepalanya dipenuhi dengan kata-kata Prita yang terus bergema dalam pikirannya. "Naomi itu dulu segalanya bagi Akarsana." "Cinta pertama sulit dilupakan." "Kalau bukan karena keadaan, mungkin mereka masih bersama sekarang." Pelangi menggigit bibirnya, berusaha menahan perasaan sesak yang menekan dadanya. Seharusnya ia tidak merasa seperti ini. Seharusnya ia percaya pada Akarsana. Tapi, bayangan Naomi yang berdiri di depan pintu tadi dengan ekspresi terluka dan penuh kehilangan, membuatnya ragu. Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak. "Pelangi?" Pelangi menghela napas dan berusaha menyembunyikan perasaannya sebelum menjawab, "Masuk saja!" Prita membuka pintu dan menyandarkan tubuhnya di ambang pintu dengan ekspresi santai, seolah tidak menyadari badai yang tengah berkecamuk di hati Pelangi. "Naomi sudah setuju untuk tinggal di sini sementara waktu," kata Prita tanpa bas
"Apa?" katanya dengan suara lebih tinggi dari sebelumnya. "Ibuku mengizinkan dia tinggal di sini?" Pelangi mengangguk perlahan, melihat bagaimana rahang Akarsana mengatup kuat. Akarsana menghela napas tajam, lalu melangkah ke ruang tengah dengan langkah cepat. Ia tidak bisa percaya ini. Setelah semua yang Naomi lakukan padanya, bagaimana mungkin ibunya membiarkan wanita itu kembali ke dalam kehidupannya? Ketika ia sampai di ruang tengah, ia menemukan Prita duduk santai di sofa dengan secangkir teh di tangannya. "Ibu," suaranya terdengar dalam dan penuh amarah, "apa yang kau pikirkan?" Prita hanya melirik sekilas ke arah putranya dan meletakkan cangkir tehnya di atas meja. "Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar." Akarsana menatap ibunya dengan tajam. "Membiarkan wanita yang telah mengkhianatiku tinggal di rumah ini? Itu yang ibu pikir benar?" Prita tetap tenang. "Naomi baru kembali ke kota ini dan tidak punya tempat tinggal. Aku tidak akan membiarkan seorang wanita
Malam itu, suasana rumah masih dipenuhi ketegangan setelah pengakuan Sofia. Pelangi duduk di sofa dengan ekspresi kosong, sementara Akarsana mondar-mandir, pikirannya kacau."Aku masih tidak percaya " gumam Akarsana, suaranya nyaris berbisik.Sofia menunduk, matanya memerah menahan air mata. "Aku juga tidak ingin mempercayainya. Aku menyesal karena tidak melakukan sesuatu sejak dulu, jika aku berani melawan, mungkin Tante Kayla masih hidup."Pelangi menarik napas dalam-dalam. "Kebenaran akhirnya terungkap. Tapi, lalu apa? Apa kita akan membiarkan ini berlalu begitu saja?"Akarsana menatap adiknya dengan mata berkilat. "Tidak, kita tidak bisa membiarkannya. Apa pun yang terjadi, Ibu harus bertanggung jawab."Sofia menggigit bibirnya, lalu menggeleng. "Tapi Akarsana, Ibu kita... dia bahkan sudah tidak waras sekarang. Dia sudah hidup dalam ketakutan selama enam bulan terakhir. Apa yang bisa kita lakukan selain menyerahkannya pada perawatan?"Akarsana mengepalkan tangannya. Ia marah, kece
Ruangan itu menjadi sunyi. Hanya suara detak jam yang terdengar, seakan menegaskan bahwa ketakutan Prita masih ada, masih mengintai, dan belum benar-benar pergi.Prita masih tersungkur di lantai dengan tubuh gemetar. Air matanya mengalir deras, napasnya tersengal, sementara kedua tangannya mencengkeram kepalanya seolah berusaha menepis suara-suara yang hanya bisa ia dengar."Maafkan aku,Kayla! Maafkan aku!" gumamnya berulang kali, suaranya penuh ketakutan.Akarsana, Sofia, dan Pelangi masih berusaha menenangkannya, tetapi tiba-tiba, suara Prita berubah menjadi jeritan histeris."Aku tidak bermaksud membunuhmu!"Hening.Ketiga orang di ruangan itu membeku, tatapan mereka terpaku pada Prita yang masih terisak. Kata-kata itu menggema di kepala mereka, memenuhi ruangan dengan ketegangan yang mencekam.Akarsana menelan ludah, dadanya berdegup kencang. "Ibu,apa maksudmu?" tanyanya pelan, tetapi suaranya tegas.Prita tidak menjawab. Ia terus meracau, tubuhnya masih bergetar hebat. Seolah kat
Pelangi berdiri di sana, berdampingan dengan seorang pria yang Sofia kenal baik—Akarsana. Namun, perhatiannya langsung terfokus pada Pelangi. Sofia nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pelangi, yang dulu selalu tampak sederhana dan jauh dari kesan feminin, kini berubah. Gaun lembut membalut tubuhnya dengan anggun, rambut panjangnya tergerai dengan rapi, dan ada kehangatan baru dalam sorot matanya. Ia tampak begitu cantik, begitu berbeda. Namun, bukan hanya perubahan penampilan Pelangi yang mengejutkan Sofia. Tangannya yang digenggam erat oleh Akarsana seolah menegaskan sesuatu. Sofia mengangkat pandangannya, melihat ekspresi kakaknya—wajah itu, yang selama ini redup dan penuh beban, kini berseri. Akarsana terlihat seperti dirinya yang dulu, sebelum semua kekacauan terjadi. Sofia menelan ludah, masih belum bisa mencerna semuanya. "K-Kak Pelangi?" suaranya bergetar. Pelangi tersenyum lembut. "Hai, Sofia!"" Sofia mengalihkan tatapannya ke Akarsana, mencari jawaban.
Diana masih berdiri di tempatnya, dadanya naik-turun seiring napasnya yang tidak beraturan. Tatapan Damar yang begitu dalam tadi masih terbayang di benaknya, mengusik perasaannya yang bahkan belum ia sadari sepenuhnya. Ia menggeleng pelan, mencoba mengabaikan semuanya, lalu menghembuskan napas panjang. Saat itu juga, suara musik dan tawa dari para tamu pesta kembali menyadarkannya akan kenyataan. Malam ini adalah malam pertunangan Pelangi dan Akarsana. Diana melangkah masuk ke dalam ruangan, tepat saat Ardiyanto menaiki podium kecil di tengah aula, mengambil mikrofon dan mengetuknya pelan. Semua tamu segera menghentikan obrolan mereka dan mengalihkan perhatian ke pria tua itu. "Ladies and gentlemen," Ardiyanto memulai dengan suara penuh wibawa. "Terima kasih telah menghadiri acara malam ini. Malam ini adalah malam yang istimewa bagi keluarga kami, karena cucu saya, Pelangi, akan bertunangan dengan pria yang telah mendapatkan hatinya kembali, Akarsana." Tepuk tangan menggema di
Pelangi mencoba kembali menenangkan pikirannya setelah pertemuannya dengan Akarsana. Hatinya masih berdebar tidak menentu, tapi kali ini bukan karena keraguan, melainkan karena keputusan besar yang sudah ia buat.Suara langkah kaki tergesa-gesa mendekat, disusul suara yang penuh amarah."Pelangi!" suara Diana menggema di ruangan, membuat Pelangi dan Ardiyanto menoleh.Diana berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh kemarahan dan di belakangnya, Danurdara—ayahnya—menyusul dengan tatapan yang lebih tenang tapi tak kalah tegas."Kau serius, Pelangi?!" Diana mendekat dengan cepat. "Kau lebih memilih pria yang sudah menghancurkanmu, yang sudah membuatmu menangis selama ini, daripada Damar yang jelas-jelas pria baik?"Pelangi menghela napas. Ia sudah menduga ini akan terjadi."Diana, dengarkan aku—""Tidak!" Diana memotong dengan suara penuh emosi. "Aku tidak bisa diam saja melihatmu kembali ke dalam lingkaran yang sama! Apa kau tidak takut akan terluka lagi? Apa kau tidak ingat bagaima
"Kalian berdua," suara Damar terdengar datar, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Pelangi merasa bersalah. Akarsana tidak mundur. Ia justru menatap Damar dengan pandangan penuh keyakinan. "Aku tidak akan menyerah," kata Akarsana tegas. "Aku mencintai Pelangi, dan aku yakin dia masih mencintaiku." Pelangi mengerjapkan mata, dadanya berdebar kencang. Damar menatap Pelangi. "Apa yang dikatakannya benar?" Pelangi tercekat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Pelangi menatapnya, perasaan bersalah semakin menyesakkan dadanya. "Damar, aku...." Damar mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Pelangi. "Kau tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku hanya ingin kau jujur pada dirimu sendiri." Pelangi menatap Damar dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, pria ini benar-benar baik. Damar tersenyum lembut. "Jangan memaksakan diri, Pelangi. Aku ingin kau bahagia, dengan atau tanpa aku." Pelangi terisak pelan. Damar menghela napas panjang lalu menatap Akarsana. "Aku harap kau tidak
"Dan kau gagal." Akarsana menatapnya dalam, suaranya tenang tapi penuh keyakinan. "Aku tahu kau masih mencintaiku, Pelangi. Aku bisa melihatnya di matamu." Pelangi menggeleng dengan cepat, air matanya mulai jatuh tanpa bisa ia tahan. "Tidak," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Akarsana. Akarsana mengulurkan tangannya, ingin menghapus air mata itu, tapi Pelangi mundur selangkah, membuat jarak di antara mereka. "Aku akan bertunangan dengan Damar," katanya dengan suara yang lebih tegas, seakan ia mengatakannya bukan hanya untuk Akarsana, tapi juga untuk dirinya sendiri. Akarsana terdiam, dadanya terasa sesak. "Lalu kenapa kau menangis?" tanyanya dengan suara lirih. Pelangi menggigit bibirnya. Ia ingin berteriak bahwa ia tidak ingin bertunangan dengan Damar, bahwa hatinya masih terikat pada Akarsana, tapi ia tidak bisa. Ia tidak boleh. Tanpa menjawab, ia berbalik dan membuka pintu, meninggalkan Akarsana yang masih berdiri di sana dengan ekspresi hancur.
Dengan tatapan yang tidak bisa ia artikan. Pelangi membeku di tempat. Hatinya berdebar begitu kencang saat matanya bertemu dengan mata Akarsana. Pria itu berdiri di antara kerumunan, mengenakan jas hitam yang tampak sedikit longgar di tubuhnya seperti seseorang yang kehilangan berat badan. Wajahnya lebih tirus dari yang terakhir kali Pelangi lihat. Namun, sorot matanya tetap sama. Penuh luka. Akarsana tidak bergerak, hanya menatapnya dalam diam. Pelangi mengeraskan hatinya dan segera mengalihkan pandangan. Ini tidak seharusnya terjadi. Akarsana tidak seharusnya ada di sini. Tapi pertanyaannya adalah siapa yang mengundangnya? Di tengah kebingungan, Diana tiba-tiba muncul di sampingnya dan berbisik pelan, "Aku tidak mengundangnya, Pelangi. Aku juga terkejut dia datang." Pelangi menelan ludah. Ia tidak ingin menunjukkan kegugupannya. "Aku akan pura-pura tidak melihatnya," katanya lirih. Diana menatapnya ragu, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Namun, masalahnya adalah
Malam itu, Akarsana tidak bisa tidur. Kata-kata Sofia terus terngiang di kepalanya."Jika kau masih mencintainya, pergilah cari dia!"Akarsana tidak bisa menahan keinginan untuk mencari tahu. Ia bangkit dari tempat tidurnya, mengambil ponselnya, dan membuka kontak lama yang tak pernah ia hapus.Pelangi.Jari-jarinya gemetar saat hendak menekan tombol panggil.Namun, ia ragu."Bagaimana jika dia tidak mau bicara denganku?""Bagaimana jika dia sudah bersama pria lain?"Pikiran itu membuat dadanya terasa sesak.Akhirnya, ia hanya menatap nama itu di layar ponselnya, sebelum akhirnya menghela napas dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku.Mungkin, Sofia benar. Ia harus menemui Pelangi. Bukan hanya untuk memohon kesempatan kedua, tetapi untuk mengatakan hal yang selama ini tidak sempat ia katakan, bahwa ia mencintainya.Bahwa ia menyesali semuanya. Dan bahwa ia ingin memperbaikinya.Keesokan paginya, Akarsana mendatangi rumah sakit dimana Ardian bekerja. Ardian adalah satu-satunya o