Matahari pagi mengintip dari balik jendela, sinarnya yang lembut menerpa wajah Pelangi yang masih terlelap. Akarsana yang sudah bangun lebih dulu tidak bisa menahan senyum saat menatap istrinya yang tidur dengan damai di sampingnya. Ia menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh di wajah Pelangi, lalu mengecup keningnya lembut. Pelangi menggeliat kecil sebelum akhirnya membuka mata perlahan. “Pagi, Sayang,” gumam Akarsana dengan suara serak khas pagi hari. Pelangi mengerjap, lalu tersenyum manis. “Pagi!” Akarsana mengusap pipi istrinya dengan ibu jarinya. “Aku masih tidak percaya kau benar-benar sudah menjadi istriku.” Pelangi tertawa kecil, wajahnya sedikit memerah. “Aku juga merasa seperti mimpi.” Akarsana menatapnya dalam sebelum akhirnya mendekatkan wajahnya, memberikan ciuman lembut di bibir istrinya. Pelangi tersipu, tetapi ia tidak menolak. Sentuhan bibir Akarsana begitu penuh kasih sayang, membuatnya merasa dicintai sepenuhnya. Setelah beberapa saat, Akarsana m
Di dalam ruangan yang remang, Renjana duduk gelisah di sofa. Tangan kanannya menggenggam gelas anggur yang sudah hampir kosong, sementara jemari kirinya mengetuk-ngetuk meja dengan tidak sabar. Ia sudah memperhatikan gerak-gerik Akarsana sejak pernikahan itu terjadi, dan semakin hari, kecurigaannya semakin kuat. Dulu, ia tidak terlalu peduli. Baginya, pernikahan Akarsana dan Pelangi hanyalah bagian dari rencana besar mereka—mengamankan harta warisan Kayla sebelum akhirnya menyingkirkan Pelangi begitu semuanya berhasil mereka dapatkan. Tapi sekarang semuanya terasa berbeda. Akarsana terlalu perhatian. Terlalu lembut. Terlalu nyata dalam memainkan peran suami yang sempurna. Renjana menggeram pelan. Ia meneguk sisa anggurnya sebelum bangkit, berjalan mondar-mandir seperti seseorang yang dihantui oleh ketakutan besar. *** Prita baru saja pulang dari arisan ketika Renjana menyambutnya dengan wajah tegang. Wanita itu mengangkat alis, melepaskan mantel bulunya dengan gerakan anggun
Hujan turun rintik-rintik ketika Naomi berdiri di depan rumah megah itu. Tangannya gemetar saat menekan bel, dan jantungnya berdetak kencang. Sudah lama sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di tempat ini, tempat yang dulu ia yakini akan menjadi rumahnya. Ia datang dengan harapan, dengan sisa keberanian yang ia kumpulkan setelah bertahun-tahun meninggalkan seseorang yang dulu ia cintai—Akarsana. Pintu terbuka dan di baliknya berdiri seorang wanita muda dengan wajah teduh dan mata yang jernih. Naomi terdiam. Ia tidak mengenal wanita ini. "Selamat siang!" wanita itu menyapa lembut. Naomi mengerutkan kening, ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, "Aku... Aku ingin bertemu dengan Akarsana." Wanita itu tersenyum kecil. "Maaf, suamiku sedang tidak ada di rumah." Naomi merasa seolah bumi berhenti berputar. Suamiku? Kata itu bergema di kepalanya seperti tamparan yang tidak terduga. Pandangannya menajam, berusaha mencari tanda-tanda kesalahpahaman. "Suami?" suaranya bergetar. "Maksu
Pelangi duduk di tepi ranjangnya, menatap kosong ke arah jendela yang masih basah oleh sisa hujan. Kepalanya dipenuhi dengan kata-kata Prita yang terus bergema dalam pikirannya. "Naomi itu dulu segalanya bagi Akarsana." "Cinta pertama sulit dilupakan." "Kalau bukan karena keadaan, mungkin mereka masih bersama sekarang." Pelangi menggigit bibirnya, berusaha menahan perasaan sesak yang menekan dadanya. Seharusnya ia tidak merasa seperti ini. Seharusnya ia percaya pada Akarsana. Tapi, bayangan Naomi yang berdiri di depan pintu tadi dengan ekspresi terluka dan penuh kehilangan, membuatnya ragu. Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak. "Pelangi?" Pelangi menghela napas dan berusaha menyembunyikan perasaannya sebelum menjawab, "Masuk saja!" Prita membuka pintu dan menyandarkan tubuhnya di ambang pintu dengan ekspresi santai, seolah tidak menyadari badai yang tengah berkecamuk di hati Pelangi. "Naomi sudah setuju untuk tinggal di sini sementara waktu," kata Prita tanpa bas
"Apa?" katanya dengan suara lebih tinggi dari sebelumnya. "Ibuku mengizinkan dia tinggal di sini?" Pelangi mengangguk perlahan, melihat bagaimana rahang Akarsana mengatup kuat. Akarsana menghela napas tajam, lalu melangkah ke ruang tengah dengan langkah cepat. Ia tidak bisa percaya ini. Setelah semua yang Naomi lakukan padanya, bagaimana mungkin ibunya membiarkan wanita itu kembali ke dalam kehidupannya? Ketika ia sampai di ruang tengah, ia menemukan Prita duduk santai di sofa dengan secangkir teh di tangannya. "Ibu," suaranya terdengar dalam dan penuh amarah, "apa yang kau pikirkan?" Prita hanya melirik sekilas ke arah putranya dan meletakkan cangkir tehnya di atas meja. "Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar." Akarsana menatap ibunya dengan tajam. "Membiarkan wanita yang telah mengkhianatiku tinggal di rumah ini? Itu yang ibu pikir benar?" Prita tetap tenang. "Naomi baru kembali ke kota ini dan tidak punya tempat tinggal. Aku tidak akan membiarkan seorang wanita
Sofia bergegas mendekati kakaknya. "Kak, kau tidak perlu bicara dengannya. Dia—" "Tidak apa-apa, Sofia," potong Akarsana datar. Sofia menatap kakaknya dengan ekspresi tidak setuju. "Tapi...." "Aku bilang, tidak apa-apa." Nada suara Akarsana membuat Sofia terdiam. Dengan enggan, ia melirik Naomi sekali lagi sebelum berbalik pergi, masih dengan amarah yang jelas di wajahnya. Kini, hanya ada Akarsana dan Naomi di taman. Keheningan menyelimuti mereka. Naomi menggigit bibirnya, lalu memberanikan diri berkata, "Bisakah kita bicara di dalam?" Akarsana menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Di ruang kerjaku. Lantai satu." Naomi mengikuti Akarsana masuk ke dalam rumah, hatinya berdegup kencang. *** Akarsana berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan punggung menghadap Naomi. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, menahan perasaan yang berkecamuk. Naomi duduk di sofa, merasa begitu canggung dalam ruangan yang penuh dengan kehadiran pria itu. Keheningan m
Pelangi berdiri di dapur, tangannya sibuk memotong buah. Meski begitu, pikirannya penuh dengan kejadian hari ini. Naomi. Wanita itu masih begitu cantik, masih begitu anggun, tapi yang lebih mengganggunya adalah bagaimana reaksi Akarsana. Suaminya memang marah, tapi di dalam kemarahan itu, Pelangi bisa merasakan ada emosi lain yang tersembunyi. Ia takut. Takut bahwa Naomi masih memiliki tempat di hati Akarsana. Pelangi tersentak dari lamunannya saat dua tangan melingkar di pinggangnya dari belakang. "Aku mencarimu," suara berat Akarsana terdengar di telinganya. Pelangi menegang sejenak, sebelum perlahan bersandar pada tubuh hangat suaminya. "Aku di sini," jawabnya pelan. Akarsana menariknya lebih erat ke dalam pelukan. "Aku tahu ini tidak mudah bagimu," katanya dengan suara yang lebih lembut. "Tapi aku ingin kau tahu satu hal." Pelangi menunggu dalam diam. "Aku tidak memiliki hubungan apa-apa lagi dengan Naomi," lanjut Akarsana tegas. "Aku tidak mencintainya. Aku tidak mengin
Pelangi ingin mempercayainya, tapi senyuman itu tidak sepenuhnya meyakinkannya. Dengan perasaan tak menentu, ia memilih untuk tidak mendesak. Namun, di dalam hatinya, ada bisikan kecil yang mulai mengusiknya. Apakah ini ada hubungannya dengan Naomi? Sebenarnya, sejak subuh tadi, Akarsana sudah merasa kepalanya berat. Begitu ia membuka matanya, ia menemukan pesan dari Naomi—sebuah foto lama mereka berdua. Dalam foto itu, Naomi ada di dalam pelukannya, tertawa bahagia. Itu adalah kenangan mereka dulu, saat semuanya masih terasa sempurna. Dan yang lebih mengganggunya adalah pesan yang menyertainya: "Kenangan tidak pernah benar-benar hilang, kan?" Akarsana mengembuskan napas berat. Ia tidak mengerti apa yang sedang direncanakan Naomi, tetapi ia tahu satu hal—wanita itu tidak datang ke rumah ini tanpa alasan. Dengan cepat, ia menghapus pesan itu. Ia tidak ingin Pelangi melihatnya dan salah paham. Namun, tanpa ia sadari, tindakannya justru menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar
Pagi itu, Pelangi duduk di ruang tamu rumah ayahnya, menatap kosong ke cangkir teh di depannya. Matanya masih sembab akibat tangisan semalam, tetapi ia berusaha untuk terlihat tegar.Ia pikir hari ini ia akan merasa lebih baik, tetapi ternyata luka di hatinya masih terasa segar.Ponselnya yang tergeletak di meja tiba-tiba bergetar. Pelangi menghela napas sebelum meraihnya, lalu alisnya langsung berkerut saat melihat nama yang tertera di layar.Naomi.Untuk sesaat, ia ragu. Tetapi akhirnya ia menjawab panggilan itu dengan suara dingin.“Ada apa?”Di seberang sana, Naomi tertawa kecil. “Kenapa kau terdengar begitu dingin, Pelangi?"Pelangi menggertakkan giginya. “Kalau kau hanya menelepon untuk menyindirku, aku akan menutup telepon ini.”“Tunggu!" Naomi buru-buru berkata. “Aku hanya ingin memberitahumu sesuatu yang penting.”Pelangi diam, menunggu.“Aku dan Akarsana akan menikah,” kata Naomi dengan nada penuh kemenangan.Dunia Pelangi terasa berhenti berputar sejenak. Jantungnya mencelo
Akarsana masih duduk di tempat tidurnya, menatap kosong ke lantai. Kata-kata Sofia menggema di kepalanya.Maka lakukan sesuatu sebelum semuanya benar-benar terlambat.Tetapi, apakah masih ada harapan? Apakah Pelangi masih mau mendengarkan penjelasannya?“Kalau kau ingin memperbaiki semuanya, mulailah dengan jujur pada dirimu sendiri,” suara Sofia memecah keheningan.Akarsana menoleh ke arah adiknya. “Jujur tentang apa?”Sofia menatapnya tajam. “Apa kau benar-benar mencintai Pelangi? Atau kau hanya merasa bersalah?”Akarsana terdiam.Ia sudah terlalu sering mendengar suara hatinya menjerit, tetapi selama ini ia menolaknya. Ia menolak untuk mengakui bahwa Pelangi adalah bagian dari dirinya yang tak tergantikan. Bahwa kehadiran wanita itu telah mengubahnya.Akarsana menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata dengan suara lirih, “Aku mencintainya.”Sofia mengangguk pelan, seolah jawaban itu sudah ia duga sejak awal.“Tapi aku sudah menyakitinya terlalu dalam,” lanjut Akarsana deng
Akarsana masih berdiri di ruang tengah, memandangi pintu yang baru saja tertutup di hadapan Pelangi dan Diana. Hatinya terasa kosong, seolah sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya baru saja pergi dan mungkin tidak akan pernah kembali.Prita, yang masih berada di tempat yang sama, menghela napas panjang dengan ekspresi tidak sabar. "Apa yang kau lakukan, Akarsana? Kenapa kau membiarkan dia pergi begitu saja?"Akarsana tidak menjawab. Ia hanya menatap lantai, pikirannya penuh dengan suara-suara yang bergema di kepalanya. Kata-kata Pelangi, tatapan terluka wanita itu."Aku pikir mungkin ada bagian kecil dari pernikahan kita yang nyata."Mengapa hatinya terasa begitu sesak sekarang?Naomi, yang sejak tadi diam, melangkah mendekatinya dan menyentuh lengannya lembut. "Akarsana, kau sudah memilihku. Kau tidak perlu merasa bersalah."Akarsana mendongak dan menatap Naomi. Wanita itu tersenyum, mencoba meyakinkannya.Tetapi, di dalam hatinya, Akarsana tahu ada sesuatu yang salah. Ia pikir,
Pelangi berdiri di depan rumah yang pernah ia tinggali bersama Akarsana, hatinya terasa berat. Rumah itu kini hanya menjadi tempat penuh kenangan pahit, dan ia tidak ingin berlama-lama di sana. Namun, masih ada beberapa barangnya yang tertinggal, dan ia tidak ingin meninggalkan apa pun yang bisa menjadi alasan baginya untuk kembali lagi ke tempat ini.Di sampingnya, Diana berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya penuh ketidaksenangan."Kak, kau yakin ingin masuk?" tanya Diana dengan nada tak setuju. "Aku bisa saja menyuruh seseorang mengambil barang-barangmu. Kau tidak perlu ke sini lagi."Pelangi tersenyum lemah. "Aku hanya ingin memastikan semuanya sudah kubawa. Setelah ini, aku tidak akan punya alasan lagi untuk kembali."Diana mendesah, tetapi akhirnya mengalah. "Baiklah, tapi kita harus cepat."Mereka masuk ke dalam rumah, suasana di dalam terasa berbeda—lebih dingin, lebih kosong. Tidak ada lagi kehangatan yang dulu pernah Pelangi coba ciptakan di rumah ini.Mereka seger
Malam semakin larut, tapi rumah Danurdara masih dipenuhi dengan ketegangan. Setelah tangisnya mulai mereda, Pelangi duduk di sofa dengan mata sembab, tangannya menggenggam secangkir teh hangat yang dibuat oleh Diana. Namun, teh itu tetap utuh, ia bahkan tidak punya tenaga untuk menyesapnya.Danurdara duduk di hadapannya, menatap putrinya dengan sorot penuh keprihatinan. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi sejak awal. Pernikahan Pelangi dan Akarsana memang bukan didasarkan pada cinta, dan sekarang terbukti bahwa hanya Pelangi yang benar-benar menyerahkan hatinya.“Jadi, kau ingin bagaimana sekarang?” tanya Danurdara dengan nada hati-hati.Pelangi menatap cangkirnya kosong, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, Ayah.”Danurdara menghela napas panjang. “Kau bisa tinggal di sini selama yang kau mau.”Diana yang duduk di samping Pelangi langsung menimpali, “Kak Pelangi tidak akan kembali ke rumah itu, kan? Setelah apa yang mereka lakukan padamu?”Pelangi terdiam sejenak, lalu akhirnya
Pelangi hampir tidak bisa merasakan kakinya saat berjalan menuju kamarnya. Seluruh dunianya terasa goyah, seolah gravitasi tidak lagi berpihak padanya. Air mata masih terus mengalir, membasahi pipinya yang pucat.Begitu pintu kamar terbuka, Diana yang sedang duduk di tepi ranjang langsung menoleh. Matanya melebar saat melihat kondisi kakaknya.“Pelangi?”Pelangi tidak menjawab. Ia berjalan masuk dengan langkah gontai, lalu duduk di pinggir tempat tidur, tangannya gemetar saat mencoba menghapus air mata yang terus jatuh.Diana buru-buru bangkit dan berlutut di hadapan Pelangi, menggenggam tangannya dengan cemas. “Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis seperti ini?”Pelangi menggeleng pelan, tapi isakannya semakin terdengar jelas. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan suara tangisnya, tetapi tetap saja gagal.Diana semakin panik. Ia tidak pernah melihat Pelangi seperti ini. Kakaknya selalu terlihat kuat, selalu berusaha tegar. Tapi sekarang, Pelangi tampak begitu rapuh, begitu hancur.
Akarsana berdiri terpaku di balkon, menatap punggung Pelangi yang semakin menjauh. Ada sesuatu dalam dirinya yang berteriak untuk mengejar, tetapi tubuhnya tetap diam.Ia menghela napas berat. Apa yang sebenarnya ia inginkan?Naomi adalah cinta pertamanya, seseorang yang dulu ingin ia nikahi dengan sepenuh hati. Tapi sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, apakah perasaan itu masih sama?Lalu ada Pelangi. Istrinya. Wanita yang selama ini selalu berada di sisinya, meskipun ia tidak pernah benar-benar memberikan hatinya. Dan sekarang, untuk pertama kalinya, Akarsana sadar bahwa ia takut kehilangannya.Tapi apakah itu cinta? Atau hanya perasaan bersalah?***Pelangi masuk ke dalam kamar dengan napas tersengal, bukan karena lelah, tetapi karena emosinya begitu membuncah. Matanya panas, tapi ia menolak menangis.Ia sudah cukup menangis selama ini.Pelangi menatap bayangannya di cermin. Seorang wanita yang lelah, terluka, tetapi juga penuh dengan kemarahan.Kenapa ia harus bertahan dalam p
Pelangi berdiri di luar ruangan dengan tubuh menegang. Napasnya tercekat saat melihat Naomi mencium suaminya. Jantungnya berdegup kencang, seolah menolak kenyataan yang terbentang di depan matanya.Darah di tubuhnya terasa dingin, tetapi ia tetap berdiri di sana, menunggu dan berharap Akarsana akan menolak.Di dalam ruangan, Akarsana akhirnya tersadar dan segera mendorong tubuh Naomi menjauh.“Apa yang kau lakukan?” suaranya terdengar marah, tetapi juga sedikit terguncang.Naomi menatapnya dengan mata penuh harapan. “Aku hanya ingin kau tahu kalau aku masih mencintaimu. Aku ingin kita kembali seperti dulu.”Akarsana mengusap wajahnya dengan frustasi. “Naomi, kau tidak bisa begitu saja kembali dan berharap semuanya sama seperti dulu.”Naomi tersenyum tipis. “Kenapa tidak? Aku masih mencintaimu, Akarsana. Bukankah kau juga begitu?”Akarsana terdiam. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat Naomi yakin bahwa pria itu masih menyimpan perasaan untuknya.Tapi sebelum Akarsana bisa menjaw
Pelangi mengusap wajahnya, mencoba menenangkan debaran cemas di dadanya. “Aku tidak tahu, Diana. Apa yang harus aku lakukan?”Diana menggenggam tangan kakaknya lebih erat. “Pertama-tama, kau harus membuka mata. Jangan membiarkan Naomi mengambil kesempatan. Dia tinggal di rumahmu, itu sudah cukup buruk. Jangan biarkan dia lebih jauh masuk ke dalam pernikahanmu.”Pelangi mendesah, menatap kosong ke meja di hadapannya. “Aku sudah mencoba menjaga jarak darinya, tapi aku selalu merasa seperti orang luar di rumahku sendiri. Akarsana dan Naomi mereka punya begitu banyak kenangan bersama. Aku hanya datang belakangan.”Diana menatap kakaknya dengan sorot tajam. “Lalu kau mau membiarkan dia merebut suamimu begitu saja?”Pelangi menggeleng pelan. “Aku tidak tahu apakah aku mampu bertahan dalam pernikahan yang seperti ini, Diana.”Diana mengembuskan napas kasar. “Kak, kalau kau menyerah, berarti kau benar-benar memberikan Akarsana pada Naomi. Aku tahu kau mencintainya, kan?”Pelangi terdiam. Ya,