Pukul satu dini hari. Akarsana memarkir mobilnya di garasi rumah dengan perasaan yang masih berantakan. Bibirnya masih bisa merasakan jejak kehangatan ciuman Pelangi. Dadanya masih menyimpan debaran yang tadi sempat mengguncangnya begitu hebat. Tapi begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah, semua kehangatan itu menguap begitu saja. Sebab di ruang tamu, ibunya sudah menunggunya. Prita duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada, tatapannya dingin dan penuh kecurigaan. Lampu ruangan masih menyala terang, menandakan wanita itu memang sengaja menunggu kepulangannya. "Darimana saja kamu?" Suara itu terdengar tajam. Akarsana tidak langsung menjawab. Ia menutup pintu dengan tenang, meletakkan kunci mobil di atas meja, lalu berbalik menghadap ibunya. Ekspresinya datar. "Tugas," jawabnya santai. Prita menyipitkan mata. "Tugas apa? Jangan bilang kamu—" "Aku sedang melakukan tugasku, Ma," potong Akarsana sebelum ibunya bisa menyelesaikan kalimatnya. "Membuat Pelangi semakin j
Akarsana tidak pernah berpikir bahwa suatu hari dia akan berlutut di hadapan seorang wanita untuk kedua kalinya. Malam ini, dia duduk berlutut di hadapan Pelangi, menatap wanita itu dengan segenap keberanian yang tersisa di dalam dirinya. Di tangannya, ada sebuah cincin berlian kecil—bukan yang paling mahal, bukan yang paling mewah, tapi cincin yang dia pilih dengan hati-hati. Yang menurutnya paling cocok untuk wanita di hadapannya. Pelangi menatapnya dengan mata membulat, tangan terangkat menutupi mulutnya, tubuhnya bergetar. Dia tidak percaya. "Pelangi..." Suara Akarsana terdengar serak. Sial. Dia tidak pernah merasa segugup ini sebelumnya. "Aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan jatuh sejauh ini. Aku tidak pernah menyangka bahwa seseorang bisa membuatku ingin berubah ingin menjadi lebih baik." Pelangi masih membeku di tempatnya. "Aku mencintaimu." Hanya tiga kata, tapi begitu berat.Tiga kata yang mengubah segalanya. Tiga kata yang membuat hati Pelangi hampir me
Matahari bersinar redup sore itu, seolah ikut mengiringi perasaan di dalam dada Pelangi yang bercampur aduk. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar rawat Diana. Pelangi menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu dan masuk. Diana sedang duduk bersandar di ranjangnya, mengenakan baju pasien berwarna biru muda. Wajahnya masih pucat, tetapi matanya terlihat lebih hidup dibanding terakhir kali Pelangi mengunjunginya. "Pelangi!" Diana tersenyum samar. "Kamu datang." "Tentu saja," Pelangi mendekati tempat tidur lalu duduk di kursi samping ranjang. "Gimana keadaanmu?" Diana menghela napas. "Sedikit lebih baik. Tapi aku masih sering teringat kejadian itu." Pelangi menggenggam tangan sahabatnya. "Aku di sini, Diana. Aku selalu di sini." Diana tersenyum lemah. "Terima kasih." Pelangi ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku ada sesuatu yang ingin aku beri tahu." Diana menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Apa?" Pelangi menggigit bibirnya sebelum mengembuskan napas p
Pernikahan tinggal menghitung minggu. Kesibukan Pelangi semakin menjadi-jadi, tetapi ia menikmatinya. Setiap hari diisi dengan berbagai persiapan dari memilih gaun, mencicipi menu katering, hingga berdiskusi dengan perencana pernikahan. Meski melelahkan, ada kebahagiaan yang mengalir di dalam dirinya. Namun, dari semua hal yang Pelangi hadapi, yang paling ia nikmati adalah saat-saat bersama Akarsana. Sejak melamarnya, Akarsana menjadi lebih terbuka dan perhatian. Tidak ada lagi sindiran tajam atau sikap angkuh. Kini, lelaki itu dengan bangga menggandeng tangannya, membantunya dalam setiap persiapan, bahkan menemani Pelangi memilih dekorasi pernikahan yang menurutnya “terlalu berlebihan, tapi kalau kamu suka, aku juga suka.” Hari ini, Pelangi berencana menemui desainer untuk menyesuaikan gaun pernikahannya. Namun, sebelum itu, Akarsana tiba-tiba meminta Pelangi datang ke kantornya. “Aku mau menunjukkan sesuatu,” kata Akarsana lewat telepon pagi itu. “Menunjukkan apa?” Pelangi
Hari pernikahan Pelangi akhirnya tiba. Bukan sebuah pesta mewah di gedung besar dengan ratusan tamu undangan, melainkan sebuah perayaan sederhana di taman belakang rumah keluarga Maheswara. Dekorasi dihiasi bunga putih dan lilin-lilin kecil yang mempercantik suasana senja. Meja dan kursi ditata dengan rapi, dikelilingi oleh orang-orang terdekat mereka. Pelangi berdiri di depan cermin di kamarnya, mengenakan gaun putih sederhana dengan potongan yang elegan. Rambutnya disanggul rendah, dihiasi bunga-bunga kecil. Matanya berkilau karena kebahagiaan dan sedikit gugup. “Nervous?” suara lembut Diana terdengar dari belakangnya. Pelangi menoleh dan tersenyum melihat adiknya yang kini masih dalam masa pemulihan. Diana mengenakan gaun biru muda yang lembut, cocok dengan rona wajahnya yang semakin sehat. “Sedikit,” aku Pelangi jujur. Diana tersenyum tipis, lalu meraih tangan Pelangi dan menggenggamnya erat. “Kau akan baik-baik saja. Kau menikahi seseorang yang kau cintai, bukan?” Pe
Matahari pagi mengintip dari balik jendela, sinarnya yang lembut menerpa wajah Pelangi yang masih terlelap. Akarsana yang sudah bangun lebih dulu tidak bisa menahan senyum saat menatap istrinya yang tidur dengan damai di sampingnya. Ia menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh di wajah Pelangi, lalu mengecup keningnya lembut. Pelangi menggeliat kecil sebelum akhirnya membuka mata perlahan. “Pagi, Sayang,” gumam Akarsana dengan suara serak khas pagi hari. Pelangi mengerjap, lalu tersenyum manis. “Pagi!” Akarsana mengusap pipi istrinya dengan ibu jarinya. “Aku masih tidak percaya kau benar-benar sudah menjadi istriku.” Pelangi tertawa kecil, wajahnya sedikit memerah. “Aku juga merasa seperti mimpi.” Akarsana menatapnya dalam sebelum akhirnya mendekatkan wajahnya, memberikan ciuman lembut di bibir istrinya. Pelangi tersipu, tetapi ia tidak menolak. Sentuhan bibir Akarsana begitu penuh kasih sayang, membuatnya merasa dicintai sepenuhnya. Setelah beberapa saat, Akarsana m
Di dalam ruangan yang remang, Renjana duduk gelisah di sofa. Tangan kanannya menggenggam gelas anggur yang sudah hampir kosong, sementara jemari kirinya mengetuk-ngetuk meja dengan tidak sabar. Ia sudah memperhatikan gerak-gerik Akarsana sejak pernikahan itu terjadi, dan semakin hari, kecurigaannya semakin kuat. Dulu, ia tidak terlalu peduli. Baginya, pernikahan Akarsana dan Pelangi hanyalah bagian dari rencana besar mereka—mengamankan harta warisan Kayla sebelum akhirnya menyingkirkan Pelangi begitu semuanya berhasil mereka dapatkan. Tapi sekarang semuanya terasa berbeda. Akarsana terlalu perhatian. Terlalu lembut. Terlalu nyata dalam memainkan peran suami yang sempurna. Renjana menggeram pelan. Ia meneguk sisa anggurnya sebelum bangkit, berjalan mondar-mandir seperti seseorang yang dihantui oleh ketakutan besar. *** Prita baru saja pulang dari arisan ketika Renjana menyambutnya dengan wajah tegang. Wanita itu mengangkat alis, melepaskan mantel bulunya dengan gerakan anggun
Hujan turun rintik-rintik ketika Naomi berdiri di depan rumah megah itu. Tangannya gemetar saat menekan bel, dan jantungnya berdetak kencang. Sudah lama sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di tempat ini, tempat yang dulu ia yakini akan menjadi rumahnya. Ia datang dengan harapan, dengan sisa keberanian yang ia kumpulkan setelah bertahun-tahun meninggalkan seseorang yang dulu ia cintai—Akarsana. Pintu terbuka dan di baliknya berdiri seorang wanita muda dengan wajah teduh dan mata yang jernih. Naomi terdiam. Ia tidak mengenal wanita ini. "Selamat siang!" wanita itu menyapa lembut. Naomi mengerutkan kening, ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, "Aku... Aku ingin bertemu dengan Akarsana." Wanita itu tersenyum kecil. "Maaf, suamiku sedang tidak ada di rumah." Naomi merasa seolah bumi berhenti berputar. Suamiku? Kata itu bergema di kepalanya seperti tamparan yang tidak terduga. Pandangannya menajam, berusaha mencari tanda-tanda kesalahpahaman. "Suami?" suaranya bergetar. "Maksu
Pagi itu, Pelangi duduk di ruang tamu rumah ayahnya, menatap kosong ke cangkir teh di depannya. Matanya masih sembab akibat tangisan semalam, tetapi ia berusaha untuk terlihat tegar.Ia pikir hari ini ia akan merasa lebih baik, tetapi ternyata luka di hatinya masih terasa segar.Ponselnya yang tergeletak di meja tiba-tiba bergetar. Pelangi menghela napas sebelum meraihnya, lalu alisnya langsung berkerut saat melihat nama yang tertera di layar.Naomi.Untuk sesaat, ia ragu. Tetapi akhirnya ia menjawab panggilan itu dengan suara dingin.“Ada apa?”Di seberang sana, Naomi tertawa kecil. “Kenapa kau terdengar begitu dingin, Pelangi?"Pelangi menggertakkan giginya. “Kalau kau hanya menelepon untuk menyindirku, aku akan menutup telepon ini.”“Tunggu!" Naomi buru-buru berkata. “Aku hanya ingin memberitahumu sesuatu yang penting.”Pelangi diam, menunggu.“Aku dan Akarsana akan menikah,” kata Naomi dengan nada penuh kemenangan.Dunia Pelangi terasa berhenti berputar sejenak. Jantungnya mencelo
Akarsana masih duduk di tempat tidurnya, menatap kosong ke lantai. Kata-kata Sofia menggema di kepalanya.Maka lakukan sesuatu sebelum semuanya benar-benar terlambat.Tetapi, apakah masih ada harapan? Apakah Pelangi masih mau mendengarkan penjelasannya?“Kalau kau ingin memperbaiki semuanya, mulailah dengan jujur pada dirimu sendiri,” suara Sofia memecah keheningan.Akarsana menoleh ke arah adiknya. “Jujur tentang apa?”Sofia menatapnya tajam. “Apa kau benar-benar mencintai Pelangi? Atau kau hanya merasa bersalah?”Akarsana terdiam.Ia sudah terlalu sering mendengar suara hatinya menjerit, tetapi selama ini ia menolaknya. Ia menolak untuk mengakui bahwa Pelangi adalah bagian dari dirinya yang tak tergantikan. Bahwa kehadiran wanita itu telah mengubahnya.Akarsana menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata dengan suara lirih, “Aku mencintainya.”Sofia mengangguk pelan, seolah jawaban itu sudah ia duga sejak awal.“Tapi aku sudah menyakitinya terlalu dalam,” lanjut Akarsana deng
Akarsana masih berdiri di ruang tengah, memandangi pintu yang baru saja tertutup di hadapan Pelangi dan Diana. Hatinya terasa kosong, seolah sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya baru saja pergi dan mungkin tidak akan pernah kembali.Prita, yang masih berada di tempat yang sama, menghela napas panjang dengan ekspresi tidak sabar. "Apa yang kau lakukan, Akarsana? Kenapa kau membiarkan dia pergi begitu saja?"Akarsana tidak menjawab. Ia hanya menatap lantai, pikirannya penuh dengan suara-suara yang bergema di kepalanya. Kata-kata Pelangi, tatapan terluka wanita itu."Aku pikir mungkin ada bagian kecil dari pernikahan kita yang nyata."Mengapa hatinya terasa begitu sesak sekarang?Naomi, yang sejak tadi diam, melangkah mendekatinya dan menyentuh lengannya lembut. "Akarsana, kau sudah memilihku. Kau tidak perlu merasa bersalah."Akarsana mendongak dan menatap Naomi. Wanita itu tersenyum, mencoba meyakinkannya.Tetapi, di dalam hatinya, Akarsana tahu ada sesuatu yang salah. Ia pikir,
Pelangi berdiri di depan rumah yang pernah ia tinggali bersama Akarsana, hatinya terasa berat. Rumah itu kini hanya menjadi tempat penuh kenangan pahit, dan ia tidak ingin berlama-lama di sana. Namun, masih ada beberapa barangnya yang tertinggal, dan ia tidak ingin meninggalkan apa pun yang bisa menjadi alasan baginya untuk kembali lagi ke tempat ini.Di sampingnya, Diana berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya penuh ketidaksenangan."Kak, kau yakin ingin masuk?" tanya Diana dengan nada tak setuju. "Aku bisa saja menyuruh seseorang mengambil barang-barangmu. Kau tidak perlu ke sini lagi."Pelangi tersenyum lemah. "Aku hanya ingin memastikan semuanya sudah kubawa. Setelah ini, aku tidak akan punya alasan lagi untuk kembali."Diana mendesah, tetapi akhirnya mengalah. "Baiklah, tapi kita harus cepat."Mereka masuk ke dalam rumah, suasana di dalam terasa berbeda—lebih dingin, lebih kosong. Tidak ada lagi kehangatan yang dulu pernah Pelangi coba ciptakan di rumah ini.Mereka seger
Malam semakin larut, tapi rumah Danurdara masih dipenuhi dengan ketegangan. Setelah tangisnya mulai mereda, Pelangi duduk di sofa dengan mata sembab, tangannya menggenggam secangkir teh hangat yang dibuat oleh Diana. Namun, teh itu tetap utuh, ia bahkan tidak punya tenaga untuk menyesapnya.Danurdara duduk di hadapannya, menatap putrinya dengan sorot penuh keprihatinan. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi sejak awal. Pernikahan Pelangi dan Akarsana memang bukan didasarkan pada cinta, dan sekarang terbukti bahwa hanya Pelangi yang benar-benar menyerahkan hatinya.“Jadi, kau ingin bagaimana sekarang?” tanya Danurdara dengan nada hati-hati.Pelangi menatap cangkirnya kosong, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, Ayah.”Danurdara menghela napas panjang. “Kau bisa tinggal di sini selama yang kau mau.”Diana yang duduk di samping Pelangi langsung menimpali, “Kak Pelangi tidak akan kembali ke rumah itu, kan? Setelah apa yang mereka lakukan padamu?”Pelangi terdiam sejenak, lalu akhirnya
Pelangi hampir tidak bisa merasakan kakinya saat berjalan menuju kamarnya. Seluruh dunianya terasa goyah, seolah gravitasi tidak lagi berpihak padanya. Air mata masih terus mengalir, membasahi pipinya yang pucat.Begitu pintu kamar terbuka, Diana yang sedang duduk di tepi ranjang langsung menoleh. Matanya melebar saat melihat kondisi kakaknya.“Pelangi?”Pelangi tidak menjawab. Ia berjalan masuk dengan langkah gontai, lalu duduk di pinggir tempat tidur, tangannya gemetar saat mencoba menghapus air mata yang terus jatuh.Diana buru-buru bangkit dan berlutut di hadapan Pelangi, menggenggam tangannya dengan cemas. “Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis seperti ini?”Pelangi menggeleng pelan, tapi isakannya semakin terdengar jelas. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan suara tangisnya, tetapi tetap saja gagal.Diana semakin panik. Ia tidak pernah melihat Pelangi seperti ini. Kakaknya selalu terlihat kuat, selalu berusaha tegar. Tapi sekarang, Pelangi tampak begitu rapuh, begitu hancur.
Akarsana berdiri terpaku di balkon, menatap punggung Pelangi yang semakin menjauh. Ada sesuatu dalam dirinya yang berteriak untuk mengejar, tetapi tubuhnya tetap diam.Ia menghela napas berat. Apa yang sebenarnya ia inginkan?Naomi adalah cinta pertamanya, seseorang yang dulu ingin ia nikahi dengan sepenuh hati. Tapi sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, apakah perasaan itu masih sama?Lalu ada Pelangi. Istrinya. Wanita yang selama ini selalu berada di sisinya, meskipun ia tidak pernah benar-benar memberikan hatinya. Dan sekarang, untuk pertama kalinya, Akarsana sadar bahwa ia takut kehilangannya.Tapi apakah itu cinta? Atau hanya perasaan bersalah?***Pelangi masuk ke dalam kamar dengan napas tersengal, bukan karena lelah, tetapi karena emosinya begitu membuncah. Matanya panas, tapi ia menolak menangis.Ia sudah cukup menangis selama ini.Pelangi menatap bayangannya di cermin. Seorang wanita yang lelah, terluka, tetapi juga penuh dengan kemarahan.Kenapa ia harus bertahan dalam p
Pelangi berdiri di luar ruangan dengan tubuh menegang. Napasnya tercekat saat melihat Naomi mencium suaminya. Jantungnya berdegup kencang, seolah menolak kenyataan yang terbentang di depan matanya.Darah di tubuhnya terasa dingin, tetapi ia tetap berdiri di sana, menunggu dan berharap Akarsana akan menolak.Di dalam ruangan, Akarsana akhirnya tersadar dan segera mendorong tubuh Naomi menjauh.“Apa yang kau lakukan?” suaranya terdengar marah, tetapi juga sedikit terguncang.Naomi menatapnya dengan mata penuh harapan. “Aku hanya ingin kau tahu kalau aku masih mencintaimu. Aku ingin kita kembali seperti dulu.”Akarsana mengusap wajahnya dengan frustasi. “Naomi, kau tidak bisa begitu saja kembali dan berharap semuanya sama seperti dulu.”Naomi tersenyum tipis. “Kenapa tidak? Aku masih mencintaimu, Akarsana. Bukankah kau juga begitu?”Akarsana terdiam. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat Naomi yakin bahwa pria itu masih menyimpan perasaan untuknya.Tapi sebelum Akarsana bisa menjaw
Pelangi mengusap wajahnya, mencoba menenangkan debaran cemas di dadanya. “Aku tidak tahu, Diana. Apa yang harus aku lakukan?”Diana menggenggam tangan kakaknya lebih erat. “Pertama-tama, kau harus membuka mata. Jangan membiarkan Naomi mengambil kesempatan. Dia tinggal di rumahmu, itu sudah cukup buruk. Jangan biarkan dia lebih jauh masuk ke dalam pernikahanmu.”Pelangi mendesah, menatap kosong ke meja di hadapannya. “Aku sudah mencoba menjaga jarak darinya, tapi aku selalu merasa seperti orang luar di rumahku sendiri. Akarsana dan Naomi mereka punya begitu banyak kenangan bersama. Aku hanya datang belakangan.”Diana menatap kakaknya dengan sorot tajam. “Lalu kau mau membiarkan dia merebut suamimu begitu saja?”Pelangi menggeleng pelan. “Aku tidak tahu apakah aku mampu bertahan dalam pernikahan yang seperti ini, Diana.”Diana mengembuskan napas kasar. “Kak, kalau kau menyerah, berarti kau benar-benar memberikan Akarsana pada Naomi. Aku tahu kau mencintainya, kan?”Pelangi terdiam. Ya,