Home / Romansa / MENIKAH DENGAN PACAR SAHABAT / Chapter 51 - Chapter 60

All Chapters of MENIKAH DENGAN PACAR SAHABAT: Chapter 51 - Chapter 60

75 Chapters

50. Mengulik Kisah Masa Lalu Abi Nailah

"Dengar-dengar, Mbak memutuskan lamaran abangku, ya? Sayang sekali, kalian udah pas banget soalnya." Azman memulai obrolan saat Azmi tertidur. Perjalanan darat, naik kapal laut, lalu darat lagi, membuat anak itu lelah."Padahal banyak loh, wanita di luar sana mengharapkannya. Selain ada yang nawarin diri, ada juga orang tuanya langsung melamar." Aku tak menampik pernyataan Azman. Lelaki dingin itu memiliki standar semua tipe pria. Rupawan, mapan, dan terutama sholeh."Aku yang kecewa loh, Mbak, kalau ada alasan lain selain demi persahabatan saja," ucap Azman lagi setelah aku masih memilih diam. Entah bagaimana mengomentarinya. Andai anak ini tahu rasaku, dia tak bakalan berkesimpulan sendiri. "Tak ada yang lain, kan, Mbak?""Maksudnya?" Aku mengerutkan alis. Mungkinkah mengorek isi hatiku yang jadi tujuan Azman mengantar? Ck! "Karena mantan, misalnya." Tak sengaja bibir menarik senyum kecil. Andai kakaknya yang dingin itu bertanya begitu, berarti rasa ini tak bertepuk sebelah tang
last updateLast Updated : 2023-08-25
Read more

51. Andai Boleh Memilih Keduanya

"Kasus penilangan mengingkari janji. Pacarnya mau adakan percobaan bunuh diri kalau Bang Gading tak segera menikahinya. Tunggu-tunggu aja! Paling besok-besok udah bagiin undangan, tu." Seperti biasa, jika membahas Mas Gading dan Mbak Amirah, Reta pasti acuh tak acuh. "Jadi Mas Gading di mana?" tanyaku prihatin sekaligus bahagia. Setidaknya lelaki baik itu ada yang mengurus. Kalau masalah cinta, yang penting Mbak Amira mau bersabar dan berusaha, perjuangan tak akan menghianati hasil. Insya Allah."Di rumah sakit, lah. Dasar cewek berpikiran sempit. Udah jelas-jelas tak diharap masih maksa. Kalau aku, mending ke laut aja sekalian." "Ngapain ke laut? Bunuh diri?" jawabku ikut menggodanya. "Amit-amit! Ya, refresing kek, mandi-mandi kek, tangkap kepiting, kerang, atau hiu sekalian," ucap gadis periang ini dengan mulut penuh. Dia memang selalu cuek terhadap lawan jenis, makanya tak pernah kudengar dia patah hati.Tok, tok.Mendengar suara ketukan di pintu aku bergegas menarik jilbab ins
last updateLast Updated : 2023-08-26
Read more

52. Pernah di Posisi Paling Mengenaskan

Sengaja hari ini pulang agak telat dari toko. Biasanya jam setengah lima sore, aku dan Azmi sampai di rumah. Reta juga telah bertolak, tinggal dua pegawainya yang melayani pelanggan. "Kok, lama sih, Mbak?" Azman muncul dari arah rumah Mbah. Dia memakai baju koko panjang sewarna dengan kopyah. Sekilas, tak jauh beda dengan kakaknya."Belum makan, ya?" kataku menebak maksud tujuannya menyapa. Dia menarik senyum sekilas lalu menarik Azmi duduk di teras."Sudah makan bakso tadi di luar," jawabnya sambil membantu Azmi menyelesaikan permainan rubiknya. Ini gara-gara Reta yang menghadiah putraku kado yang susah diselesaikan."Terus?" kataku memasukkan belanjaan ke kulkas. Reta ke rumah sakit melihat Mas Gading. Aku tak ikut, karena khawatir kedatanganku menambah masalah baru."Nggak, lagi rindu sama Azmi aja," jawabnya berusaha santai tapi tak bisa menyembunyikan gelisah. Aneh! "Ya, udah, kalau nggak mau ngasih tau," Aku hendak bergegas lagi ke dalam. "A-anu, Mbak." Azman menggaruk kepala
last updateLast Updated : 2023-08-27
Read more

53. Selamat Menghadapi Kenyataan

"Jodoh tak pernah salah, yang salah ketika menyalahkan jodoh kita. Bukankah Allah telah memasangkan sesuai dengan standar ukuran kita? Maka jangan pernah berfikir, diri lebih baik daripada jodoh kita itu." Aku menghela napas lalu melanjutkan, "Mbak Amira mencintaimu, Mas. Itu modal utama untuk membimbingnya. Banyak orang di luaran sana, bahagia sampai kakek-nenek, tanpa kenal lebih dulu, apalagi cinta. Sedangkan, Mas? Aku pikir ini hanya soal waktu saja." kalimat itu kutujukan jua untuk hatiku. Kami berada di tema yang sama, walau berbeda alur. Sama-sama menginginkan sesuatu yang tak mungkin termiliki. Mas Gading terlihat membuka matanya, lalu menatapku lurus, kemudian manggut-manggut sambil tersenyum. "Betul katamu, Lan. Kamu memang cocok jadi adikku, itu karena aku tak pernah menemukan tatap cinta dan sayang dari matamu yang seperti saat Amira menatapku." Ck! Kirain serius, ternyata lagi bercanda, tapi sukses membuatku tersentil. "E, e, siapa bilang? Aku juga mencuntai dan menyay
last updateLast Updated : 2023-08-28
Read more

54. Pengen Menghilang

Sebenarnya meladeni pelanggan adalah bagian dari pekerjaan Pak Saleh. Tapi kebetulan beliau lagi keluar dan lidahku terlanjur merangkai janji, maka atas nama profesionalisme, aku mengikuti, menjelaskan, dan menulis setiap barang yang dipilih lelaki dingin itu, beserta jumlahnya. Jangan tanya keadaanku sekarang. Jantung dan perangkat-perangkat lainnya seperti lomba pacuan kuda di sana. Efeknya bagi tubuhku bak orang habis lari berkilo-kilo.Walau lelaki yang selalu tampak tenang itu tidak benyak komentar, apalagi penawaran, tetap saja kekakuan muncul sendiri dan sama sekali tak bisa kunetralisir.Ah, kadang diri benci dengan sikapku yang terlalu berlebihan. "Setelah salat mampir lagi ke sini, Mas." Pak Saleh muncul saat toa masjid berbunyi menandakan waktu Duhur. Sudah kebiasaan toko kami, menjamu pembeli yang mengambil barang di atas jumlah maksimal. Itu bentuk terima kasih, keakraban, dan promosi agar tetap berlangganan. Trik dagang. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Men
last updateLast Updated : 2023-08-29
Read more

55. Salah Siapa?

"Maaf, Bapak-bapak saya ke sebelah dulu." Reta turun setelah pamit, mengikuti dua pekerja yang mendahului, kebetulan waktu ishoma telah selesai.Mataku tak berkedip memandang punggung sahabatku itu sampai menghilang di balik pintu. Serasa ada yang teremas di balik dada mendapati mata yang selalu ceria tak lagi berseri. Ah, sungguh diri ini lebih memilih persahabatan dari pada cinta. "Ada masalah, Nak Bulan?" tanya Pak Saleh menyadarkanku dari hampa yang tiba-tiba tercipta."T-tidak ada apa-apa, Pak," jawabku gamang sambil berusaha bersikap biasa. "Mobilnya disesuaikan dengan dana, bisa nyicil kok. Jangan khawatir, tanpa riba," jelas Pak Mahmud semangat, bibirnya tak lepas mengukir senyum."Nanti saya pikirkan, Pak. Kalau masalah dana sebenarnya sudah cukup. Cuman ..." Kalimatku terhenti untuk melanjutkan atau tidak. "Kalau buat Nak Bulan tanpa DP juga boleh," Lagi, Pak Mahmud menambahkan. Tak salah beliau sudah tahu persoalanku dengan atasannya. "Bulan rencana buka cabang di sekita
last updateLast Updated : 2023-08-30
Read more

56. Penantian Tak Terungkap

"Apa yang telah kamu lakukan, Ta?" kataku mendekat. Gadis ayu itu mengarahkan pandangan ke langit-langit kamar, seakan menghitung berapa paku yang menempel di palfon tripleks di atasnya. Dua hari dia terbaring lemah tapi tak ingin dirawat di rumah sakit. Hampir empat tahun kami bersama, paling flu, kecapean, demam, atau luka lecet, yang menghampiri. Ini? Pertama kali melihatnya sakit parah, karena down lagi. Rasanya tak percaya. Gadis tangguh, tegas, cuek, dan ceria, terbaring lemah akibat sebuah penantian. Ajaibnya, penantian yang tak pernah terungkap. Tidakkah itu termasuk kesia-siaan yang hakiki? Ya, semua orang pernah berada di fase terpuruk. Tak terkecuali aku. Hanya beda cerita saja. Cuman, ada sesal di hati, bila sahabatku itu, jatuh akibat perjuangan yang belum dimulai. Ibarat permainan catur, skakmat sebelum melangkah."Kalau memang engkau mencintai seseorang dan tak mampu melupakannya, kenapa tidak jujur, Ta? Bukankah mendengar penolakan lebih baik daripada hanya menung
last updateLast Updated : 2023-09-01
Read more

57. Nasib Persahabatan Keduaku

"Aku mau ke toko, Man. Azmi sama kamu atau aku bawa?" tanyaku saat sambungan telepon terhubung. Lelaki supel itu lebih sering bersama putraku kemana-mana. Biar dia tidak sendiri katanya dan aku bebas ngapa-ngapain, terutama soal memasak. Dasar anak tengil, mau dimasakin saja, terlalu lebay. Ck! "Azman pergi jemput Simbah dan Nailah, ponselnya ketinggalan." Deght, baru saja memantapkan hati untuk abai semua tentangnya, kini suara berat itu yang menjawab di ujung telepon. Dan ajaibnya, tetap saja membuat ketenanganku terganggu. Betul-betul ini sudah salah!"Azmi diikutkan?" tanyaku berusaha rileks. Dan mulai sekarang, aku memang harus membiasakan seperti itu. Entah jantung setuju apa tidak, entah organ utama berpacu apa tidak. Semua mesti terlihat normal. Titik!"Aku sama abi ke pondok, Ummi. Om Azman telpon Ummi tadi, tapi nggak aktif. Tidak apa-apakan Azmi ikut sama abi?" jawab Azmi panjang lebar khas anak kecil, ada nada menyesal di sana. Kekhawatiranku terhadap Reta, membuatku l
last updateLast Updated : 2023-09-02
Read more

58. Bukan Niatku Mengatur Hidupmu

Hampir setiap matahari pagi menyinsing, nampaklah kesibukan di rumah minimalis Reta, mulai kegiatan memasak, bercanda, berbenah, sampai meluncur ke toko.Hari ini terasa sangat berbeda. Kami makan dalam diam, hanya suara sendok dan piring yang terdengar sering beradu.Biasanya jika aku membakarkan ikan kesukaan gadis manis itu, maka dia akan melahapnya sampai habis sambil berkomentar banyak. Tapi kali ini dia cuma tiga kali menoelnya, lalu berkemas. Betapa hatiku terasa tercubit, sedih, nelangsa. tertekan, dan ... arght ... Tak mampu lagi membahasakannya."Apa kalian baik-baik saja?" Kepala mengangguk pelan seraya tersenyum ke arah Mas Gading yang memicingkan mata, dia telah siap dengan seragam kantornya. Aku tahu pertanyaan itu mencari kejelasan, Reta tak gampang berbagi cerita. "Bulan masak banyak tadi, Mas. Sarapanlah dulu sebelum berangkat." Aku melangkah ke rumah Simbah sambil menenteng baki kecil, ikan bakar dan sayur dalam porsi banyak akan mubazir jika tak dibagi."Ada nggak
last updateLast Updated : 2023-09-03
Read more

59. Alih-alih Membawa Obat, Malah Menciptakan Luka Baru

"Apa, Mbak, sudah yakin?" Aku mengangkat wajah melihat Azman, dia menatapku penuh selidik."Kalau mbah, mana yang terbaik saja. Oh, ya, aku ke kamar dulu, badan mbah sepertinya sakit, lagian ini juga pembicaraan anak muda," ucap Simbah, kemudian melangkah sambil memegang pinggangnya. Aku menatap punggung beliau yang mulai bongkok, serasa ada yang berdenyut, menyaksikan wajah beliau yang bermuram durja."Maaf, anggap saja saya tak pernah berkata apa-apa, saya pamit dulu," kataku hendak berdiri. Rasanya pembahasan ini terlalu sensitif tanpa Simbah, apalagi Abi Nailah tak ada niat merespon, semakin menambah dobel rasa malu dan kelancanganku saja."Kenapa kamu sampai berpikiran begitu?" Tiba-tiba suara lelaki datar itu menghentikan pergerakanku, dia melihatku dengan alis bertaut."Abaikan saja, Mas. Saya salah bicara ta-""Memulai tanpa melanjutkan, seperti seseorang yang menawar, tapi tak jadi membeli. Kira-kira bagaimana perasaan penjual yang terlanjur setuju?" potong pemilik netra kelam
last updateLast Updated : 2023-09-05
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status