Hampir setiap matahari pagi menyinsing, nampaklah kesibukan di rumah minimalis Reta, mulai kegiatan memasak, bercanda, berbenah, sampai meluncur ke toko.Hari ini terasa sangat berbeda. Kami makan dalam diam, hanya suara sendok dan piring yang terdengar sering beradu.Biasanya jika aku membakarkan ikan kesukaan gadis manis itu, maka dia akan melahapnya sampai habis sambil berkomentar banyak. Tapi kali ini dia cuma tiga kali menoelnya, lalu berkemas. Betapa hatiku terasa tercubit, sedih, nelangsa. tertekan, dan ... arght ... Tak mampu lagi membahasakannya."Apa kalian baik-baik saja?" Kepala mengangguk pelan seraya tersenyum ke arah Mas Gading yang memicingkan mata, dia telah siap dengan seragam kantornya. Aku tahu pertanyaan itu mencari kejelasan, Reta tak gampang berbagi cerita. "Bulan masak banyak tadi, Mas. Sarapanlah dulu sebelum berangkat." Aku melangkah ke rumah Simbah sambil menenteng baki kecil, ikan bakar dan sayur dalam porsi banyak akan mubazir jika tak dibagi."Ada nggak
"Apa, Mbak, sudah yakin?" Aku mengangkat wajah melihat Azman, dia menatapku penuh selidik."Kalau mbah, mana yang terbaik saja. Oh, ya, aku ke kamar dulu, badan mbah sepertinya sakit, lagian ini juga pembicaraan anak muda," ucap Simbah, kemudian melangkah sambil memegang pinggangnya. Aku menatap punggung beliau yang mulai bongkok, serasa ada yang berdenyut, menyaksikan wajah beliau yang bermuram durja."Maaf, anggap saja saya tak pernah berkata apa-apa, saya pamit dulu," kataku hendak berdiri. Rasanya pembahasan ini terlalu sensitif tanpa Simbah, apalagi Abi Nailah tak ada niat merespon, semakin menambah dobel rasa malu dan kelancanganku saja."Kenapa kamu sampai berpikiran begitu?" Tiba-tiba suara lelaki datar itu menghentikan pergerakanku, dia melihatku dengan alis bertaut."Abaikan saja, Mas. Saya salah bicara ta-""Memulai tanpa melanjutkan, seperti seseorang yang menawar, tapi tak jadi membeli. Kira-kira bagaimana perasaan penjual yang terlanjur setuju?" potong pemilik netra kelam
"Terima kasih atas pengertiannya, Sayang." Walau pernyataan Nailah tidak langsung menyelesaikan masalah, setidak membuka sedikit celah ruang hati untuk bernafas, pun otak berfikir jernih."Apa Om Azman yang menjelaskan ke Nailah? Atau Simbah?" tanyaku setelah merasa agak tenang kemudian membersihkan sisa air mata di pipi Nailah."iya, semuanya, abi juga yang ngantar, tapi sudah pulang." Serasa ada aliran hangat di hati mendengar jawaban Nailah. Sungguh keluarga yang sangat berjiwa besar. Meski ada luka mereka masih mau membantu memperbaiki kekacaun yang telah kuciptakan, bahkan masih mengamanahkan putrinya padaku.Ya, aku harus jujur sama Reta, tak boleh membiarkan sahabatku itu berprasangka buruk tentangku.Sampai jam sembilan aku menunggu sangat gelisah, tidak biasanya Reta ke toko siangan. Apa karena masih marah? Mencoba menghubungi ponselnya, tak diangkat. Anak ini memang tipe wanita keras, lama memendam, jika sedang tak menyukai sesuatu, tapi dasarnya sangat baik.Aku benci situ
"Mobil yang diinginkan Pak Saleh, masih ada nggak?" Azman yang bemain bersama Nailah dan Azmi di teras masjid setelah salat Duhur segera memperbaiki duduk saat melihat kedatanganku, sementara Simbah dan Lelaki dingin masih dalam posisi semula sambil berzikir. Mereka memang keluarga agamis."Masih ada, lah, Mbak. Kapan mau lihat langsung?""Tak perlu lihat, Aku percaya sama kamu pull, mana juga aku ngerti begituan.""Deal, nih, ceritanya?""Hari ini juga boleh kalau bisa.""Okey, ahsyiap. J-jangan hari ini juga kali, besok, deh, aku langsung jemput barangnya.""Thanks banget dah. Emang pantes kamu dipercaya.""Ya, iyalah, siapa dulu? Betewe, Mbak nggak jadi bunuh diri, kan?" Ck! Anak ini, kepo banget urusan orang."Aku mau gantung diri di pohon tomat saja. Pengen banget lihat aku mati, ya?" Azman terkekeh sampai kelihatan giginya yang putih. "Azmi di sini sama Mbak Nailah, ya!?" Aku melangkah setelah mendapat anggukan dua anak tanpa dosa itu. Jika membawa Azmi, maka Nailah akan ikut,
Meski berat aku meninggalkan Nailah yang setia terpaku, masih dari kaca spion aku melihat anak itu berkali-kali mengusut bening di pipi gembulnya. 'Maafkan umi, Nak, inilah satu-satunya cara menghukum diri umi yang sedari awal salah dan jahat," lirihku dalam hati menguatkan diri. Ya, setuju apa tidak, memang akulah sumber segalanya, karena terlalu ramah memberi ruang tanpa berfikir efek selanjutnya. Sesampai di pertigaan jalan umum, yang kukhawatirkan terjadi. Avanza veloz putih familiar itu muncul entah darimana sambil membunyikan klakson beberapa kali, aku pura-pura tak mendengarnya sambil berusaha tetap fokus di jalanan. Rencanaku sudah matang, tak ada tempat lagi di sini, mau menginap semalam saja rasanya sangat berbeda.Terdengar decitan ban beradu dengan aspal saat aku merem mendadak, avanza veloz putih menghentikan laju pas di depanku. Namun naas, banper mobilnya tetap dapat, mengakibatkan retakan sedikit. Tak ayal, pengendara lain ikut berhenti, pun orang-orang sekitar yang
Di balik jendela, aku berdiri menatap punggung Abi Nailah memasuki roda empatnya, lalu melaju keluar jalan umum. Entah apa dalam pikirannya yang mulai aneh sejak kemarin itu hingga tidak menurunkan tas, ponsel, bahkan Azmi dari mobilnya, mengakibatkan aku benar-benar sendiri semalaman.Betul-betul hidupku dikelilingi makhluk aneh dan egois. Aku berpikir ke toko setelah avanza veloz tak terlihat lagi, walau masih terlalu pagi tak apa memanfaatkan waktu sebelum pulang, selain ingin mengabarkan keberangkatanku ke Pak Saleh, juga ada harap besar bertemu Reta. Biar bagaimanapun dia menyimpan marah kepadaku, diri tak mungkin melakukan sama. Betapa tak adil perjuangan kami dari nol, saat puncak hubungan ini berujung tak bahagia, apakah layak itu disebut sukses?"Kata abi, jam sepuluh nanti baru berangkat antar Umi dan Azmi, horee ... Nailah dibolehin ikut." Nailah dan Azmi muncul bergandengan sambil bersorak, di tangan mereka ada ponsel dan kunci motorku."Terus abimu ke mana?" tanyaku men
Sedetik kemudian aku menekan tombol blokir ke nomor Mas Ria. Siapapun yang melakukan pemblokiran kemarin, aku harus berterimah kasih ke dia. Orang yang hobinya suka memaksa, layak diberi tombol ini, Ck."Angkat dan terima permintaan Mas Rio kalau kamu ingin memperbaiki persahabatan kita." Aku memegang dada saat mendongak ke arah sumber suara, Reta menyedekapkan kedua tangan di depan dada, tatapnya tak berubah, masih penuh intimidasi, dan permusuhan. Kupastikan anak ini sejak tadi mendengar percakapanku dengan Rina, pun Mas Rio Kepala menggeleng pelan memahami maksud Reta. Tak mungkinlah aku terpelosok ke lubang sama sementara otak sadar situasi. Berarti kerbau lebih pintar dariku, andai itu kulakukan."Aku dan Abi Nailah tak ada hubungan apa-apa, Ta. Jangan membawa Mas Rio ke masalah kita, pliss." Aku menangkupkan tangan tanda memohon, berharap Reta jangan mengambil syarat tentang Mas Rio, terlalu ribet, rumit, dan, ... arght susah menjelaskannya."Kalau begitu, lupakan kita pernah
Jam sepuluh kami bertolak sesuai rencana, kali ini tidak lewat laut, tapi memutar melewati perbatasan daratan Sulawesi Tengah, hingga seorang lelaki seumur Azman diikutkan sebagai sopir bantu, dengar-dengar dari kalangan kerabat Simbah.Aku memandang lekat rumah minimalis Reta sebelum hilang di belokan, mungkin ini terakhir kali manyimpan memori tempat yang empat tahunan, merajut asa dan mimpi, membebat luka dan sedih. Ah, semua akan tinggal kenangan. Kenapa selalu saja sesak mengiring mengingat cerita persahabatan ini berujung duka.Siapa yang bisa melawan takdir? Alangkah rugi diri jika tidak rido' dengan ketentuan Sang Maha Kuasa. Aku terus menghibur diri, seraya menikmati perjalanan. "Terima kasih ya, Bulan, akhirnya aku punya kesempatan juga." Aku menjauhkan ponsel dari telinga, saat tahu persis suara di seberang. Ck! Mas Rio memakai nomor baru. Untung diri berhalangan, jadi tidak merasa terganggu dari Abi Nailah dan sopirnya yang sementara singgah salat di mesjid.Tunggu! Apa