Sana berpikir sebentar. “Hanya kecewa. Setelah itu aku mulai terbiasa dan menjalani hari-hariku seperti biasanya.” Sana tersenyum. “Sudah cukup, Rafa. Aku tidak ingin ada yang salah paham tentang hari ini.” Ia bangkit dari duduknya. Mengambil tasnya dan berjalan ke arah pintu. “Kau tidak menguncinya bukan?” Rafa tersenyum miring. “Kau berharap aku masih menguncinya?” Sana memutar bola matanya malas. Ia langsung membuka pintu yang sudah tidak terkunci. Ia berjalan pelan dari lorong ke lift. Ia berbohong. Tentang bagaimana perasaannya ketika Rafa memutus kontak begitu saja. Tentu saja ia bingung, kesal, sedih dan kecewa bercampur menjadi satu. Bahkan ia tidak bisa makan minum dan tidur dengan benar. Namun, perlahan tapi pasti Sana mulai membuka diri setelah bertahun-tahun melupakan sosok Rafa. “Dia cinta pertamaku, bagaimana bisa aku melupakannya,” lirih Sana. Kemudian menatap cincin yang melingkar di jari manisnya. “Tapi aku sudah mempunyai kekasih dan sebentar lagi akan menikah.
Baca selengkapnya