“Kau siapa?” pria itu tidak terima dengan gangguan yang disebabkan oleh pria yang baru saja datang. “Kau pergilah.” Rafa memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. “Pergilah sebelum aku marah dan menghajarmu.” “Hei pergilah. Kau bukan siapa-siapa jangan melawannya,” tambah Fred. “Pergilah.” “Kau siapa? Kalian bukan siapa-siapa!” Pria itu menarik pergelangan tangan Sana dan ingin menyeret wanita itu pergi. BUGGH!!Hanya dengan satu pukulan di rahang, pria itu terjatuh tersungkur di lantai. “Ingin lagi?” tanya Rafa. Ia segera menarik pergelangan tangan Sana. Menyembunyikan wanita itu di belakang tubuhnya. “Pergilah.” Rafa tersenyum miring. Hanya dengan satu kode saja—para security datang dan menyeret pria itu pergi. Kemudian beralih pada seorang wanita yang tiba-tiba menyandarkan kepala di punggungnya. “Kau begitu mabuk?” Rafa menepuk pelan pipi Sana. Fred menggeleng kemudian memilih pergi daripada mengganggu moment mereka berdua. “Hati-hati menyetirnya, jangan sampai kau berbelok
“Aku lapar,” keluh Sana yang berada di punggung Rafa. Sampai di ruang Penthouse, Rafa menurunkan tubuh Sana di atas sofa. “Aku akan membuatkanmu sup. Tunggu di sini.” Rafa pergi ke dapur. Hanya membutuhkan waktu sebentar ia selesai dengan masakannya. Hanya sebuah sup dan pasta. Meskipun dibuat menggunakan bahan-bahan instan tapi ia yakin rasanya cukup enak. “Makanlah.” Rafa berada di samping Sana. Sana menghirup aroma menyegarkan dari masakan Rafa. “Kau pintar masak,” pujinya. Kemudian memakan makanan yang dibuat Rafa sampai habis. “Bagus. Kau makan dengan baik.” Rafa mengusap puncak kepala Sana pelan. “Setelah ini tidurlah.” Sana menggeleng. Ia memilih bersandar di sofa dengan tangan yang memeluk perutnya. “Selesai makan tidak boleh langsung tidur.” Rafa tersenyum. Kalimat itu yang selalu ia katakan pada Sana sejak dulu. Ia melarang Sana langsung tidur setelah makan malam. Ia tahu kebiasaan Sana yang suka sekali tidur saat masih petang, kemudian akan terbangun di tengah malam.
Ketika mulai membuka mata, seorang wanita tengah mengernyit. Sinar matahari mulai masuk ke dalam sebuah kamar yang ia huni. Ia mengedarkan pandangannya. Begitu asing. Ini bukan kamarnya. Lantas—ia merasa ada sebuah benda berat yang berada di perutnya. Disusul dengan hembusan nafas dari tengkuknya. Perlahan Sana membalikkan badannya. Alangkah terkejutnya melihat wajah seorang pria tepat di hadapannya. Hampir saja ia berteriak, namun ia menutup mulutnya rapat-rapat. ‘Apa yang aku lakukan? Kenapa bisa sampai di sini?’ batinnya menjerit. Ia mengintip sedikit di balik selimut. Untungnya tidak terjadi apapun diantara mereka. Pakaiannya lengkap, hanya saja syalnya entah ke mana. ‘Oh Tuhan kenapa dia seperti ini?!’ Sana tidak berhenti menjerit di dalam hati. Rafa menarik pinggangnnya. Kemudian kaki pria itu menimpa di kedua kakinya. Mengenai tadi malam—Sana sedikit mengingatnya. Ia segera menutup mata ketika merasakan pergerakan Rafa. Ia akan berpura-pura tidur dan membiarkan pria itu ban
H-7 persidangan yang membuatnya harus datang untuk memberikan kesaksian. Namun sampai saat ini, Sana tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Uangnya tinggal tidak seberapa. Ia tidak mungkin meminta lagi pada Keita, karena pria itu sudah menutup semua akses yang menyangkut dirinya. Hal tersebut dilakukan agar berita tentangnya tidak sampai tersebar di jepang. “Apa yang harus kulakukan?” Sana mondar-mandir di kamarnya. Mengenai Rafa, apakah mungkin ia meminta bantuan pria itu. Namun pria itu menginginkan dirinya. Sana menghela nafas gugup. ‘Milik.’ Di sini berarti banyak. Ia mengambil ponselnya. “Apa yang kau inginkan jika kau membantuku?” Rafa yang saat ini berada di ruangannya tengah tersenyum kemenangan. “Hanya….” Sungguh jawaban yang membuat orang menunggu tidak sabar. “Hanya?” ulang Sana karena Rafa tidak berniat akan menjawab pertanyaan dengan jujur.“Hanya menjadi milikku dan semuanya akan aku selesaikan,” balas Rafa. Terjadi keheningan di antara mereka. Rafa tidak berkata la
“Aku sangat malu waktu itu. aku mabuk dan ketika bangun aku sudah bersamamu. Aku sungguh mau….” Sana memejamkan mata sebentar. “Tapi aku sangat berterima kasih karena kau mau membawaku pergi dari klub. Jika aku terus di klub aku tidak tahu apa yang terjadi padaku.” Rafa mengangguk mendengarkan penjelasan Sana. Ia sudah tahu ketika Sana sedang kalut, wanita itu tidak akan langsung berbicara dengannya. Melainkan membutuhkan waktu, barulah akan berbicara dan menjelaskan semuanya. Maka dari itu—ia membiarkan Sana pergi. “Lalu?” Rafa mengetukkan jemarinya ke atas meja. “Aku membutuhkan bantuanmu.” Sana menghela nafas dalam. Rafa tersenyum miring. “Jika ingin bantuanku, kau harus jadi milikku.” Sana meremas tangannya yang berada di bawah meja. “Rafa please…. Aku bukan barang.” Matanya mulai memanas. Namun ia sekuat tenaga menahannya agar air matanya tidak turun. “Maka jadilah kekasihku saja,” balas Rafa dengan enteng. “Saat orang membutuhkan bantuan, mereka bahkan bisa melakukan apapu
“Bagian mana yang paling kau suka?” Rafa berjalan di samping Sana dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku. Sana tersenyum. Jarinya menunjuk sebuah permainan jungkat-jungkit. “Kau selalu terbang karena tubuhmu waktu itu lebih kecil dariku.” Sana memperagakan bagaimana tubuh Rafa hanya sebatas dahinya. “Kau dulu segini.” Rafa berdecih pelan. “Tapi lihat sekarang. Lihat siapa yang tumbuh lebih baik,” balas Rafa. “Tubuhmu seperti Panda!” setelah itu Sana berlari ke arah permainan itu. Berbalik sebentar dan menjulurkan lidahnya. Jika mengingat lagi masa kecil mereka, Sana pasti tidak akan pernah lupa Rafa pernah mencium pipinya di sini. Jika mengingatnya membuatnya tertawa sendiri. Ia memilih duduk di ayunan. Menatap langit gelap bersih tanpa bintang. “Kenapa tidak ada bintang..” lirihnya. “Aku ingin melihat bulan atau bintang.” Rafa ikut duduk di ayunan samping Sana. “Sebentar lagi hujan.” “Kau tidak asik!” Sana berdecak pelan sambil menoleh sebentar pada Rafa. “Dulu kau sering
Rafa menoleh sekilas dan kembali menatap jendela. “Sudah lama. Pergilah tidur.” Sana mengernyit. Yang dipelajari Sana tentang Rafa adalah laki-laki itu berubah sangat banyak. Karena tidak mendapat sambutan yang baik, Sana menjauh. Perempuan itu hendak merebahkan diri di atas kasur. Tapi ia tertarik melihat lampu tidur itu sebentar. “Sepertinya memang sudah tidak layak.” Jemarinya menekan tombol off untuk mematikan lampu. Namun alangkah terkejutnya ia, saat jemarinya bersentuhan dengan tombol sengatan listrik itu begitu ia rasakan. “Akh!” jeritnya. Di susul dengan ledakan kecil pada lampu itu. lampu yang terbuat dari kaca itu akhirnya pecah dan pecahannya mengenai tangannya. “Awh!” Sana menjauh. “Jangan bertindak sesuka hatimu.” Rafa mematikan rokoknya dan berjalan ke arah Sana. Ia berlutut—melihat tangan wanita itu yang sedikit berdarah. “Apa perih?” Sana mengangguk. “Tapi tidak terlalu.” Rafa bangkit. Mencari apapun untuk membalut luka Sana. Ia membuka banyaknya laci-laci samp
Rafa berhenti. Pria itu membuka kemejanya dengan tergesa. Hingga tubuh Rafa yang memiliki pahatan sempurna terpampang di hadapan Sana. Sana melompat turun, merapikan kemejanya yang sudah amat berantakan. Baru saja ingin melangkah pergi, tubuhnya dipeluk dari belakang. Rafa mengecup lehernya lembut. “Your mine,” lirihnya. Sana memegang tangan Rafa yang memeluk pinggangnya. Kata milikku menyadarkannya tentang posisinya sekarang. Namun, dalam seumur hidup ia tidak pernah melakukannya. Jika ia berkata jujur, apakah pria ini mau berhenti atau justru semakin bersemangat?Sana tidak bisa menghentikan Rafa yang membuka kemejanya dengan mudah. Saat tubuhnya dibalikkan, tubuhnya langsung didorong ke pintu yang tertutup. “Rafa—” Sana mendongak. Kalimatnya terputus karena pria itu yang memberikan tanda kepemilikan di lehernya. “Rafa sebenarnya aku—” Rafa tidak berbicara. Ia mencari-cari di mana keberadaan resleting tali berwarna hitam itu. “Sebenarnya aku tidak pernah melakukannya,” lirih Sa
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert