Home / Pernikahan / Kaya sih, tapi Pelit! / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Kaya sih, tapi Pelit!: Chapter 11 - Chapter 20

35 Chapters

Sebelas

Kutatap lekat wajah itu, apa yang salah dengannya? selama setahun pernikahan kami sekali pun tidak pernah Mas Aksa bercerita tentang kehidupannya. Dia sibuk di toko pakaiannya dan aku sibuk dengan rebahan serta kepoin urusan orang.Selama setahun ini kehidupan kami baik-baik saja meski Mas Aksa sangat perhitungan, ia jarang marah kalau aku tidak membuat masalah, dan kalau diingat-ingat semua penderitaan ini aku juga yang buat dan memulai sendiri.Jemari Mas Aksa bergerak pelan, aku segera memejamkan mata, belum siap untuk berbicara dengannya. Entah kenapa hati tetap berkata kalau semua ini karena ulahnya, aku tidak akan senekad itu kalau dia tidak terlalu perhitungan. Aku tidak akan semenderita ini dan diasingkan dari keluarga kalau Mas Aksa bisa sedikit lebih loyal, dan kenapa dia memperlakukanku seperti musuh? padahal seberapa besar pun kesalahanku, aku masih istrinya.Terasa gerakan tubuhnya sedang bergeser, tangannya meraba kening dan leher, mungkin ia sedang mengecek suhu tubuhku
Read more

Dua Belas

Aksa~“Assalamualaikum,” salamku ketika membuka pintu. Sebenarnya sedikit khawatir saat aku menguncinya dari luar. Tapi, dari pada dia kabur lagi, sebaiknya aku memang tega.Tidak ada jawaban yang kudengar dari Hilya, di mana perempuan itu, mana mungkin tidak ada di rumah, tidak ada celah untuk keluar dari rumah ini.Kulihat pecahan kaca yang berserakan di lantai sudah tidak ada. Baguslah! sepertinya dia sudah lebih baik.“Hilya,” panggilku lagi. Namun, masih tidak ada sahutan darinya, kemana perempuan itu? selalu membuatku kesal. Mungkinkah dia bersembunyi karena masih marah? ah, sudahlah! biarkan saja!Aku memasukkan tas kecil dalam brankas, tepat di belakang lemari pakaian, Hilya tidak pernah tahu kalau aku punya tempat penyimpanan di belakang sini. Kulihat gawai Hilya terus menyala, aku meraihnya dan membawanya keluar, lalu menutup brankas dan kembali menguncinya.Ratusan chat dari group keluarga, apa yang sedang mereka bahas sehingga chat begitu penuh? Perlahan aku membaca satu p
Read more

Tiga Belas

'Lihat, tubuh meringkuk itu!’ geram sekali aku melihatnya, wajahku memasang mode siap mencabik. Bukankah sekarang dia sedang sakit? akan mudah untuk menerkam dan mengunyah otak batunya.Aku berjalan perlahan tapi penuh penekanan, bunyi dentungan langkah kaki yang menyentuh lantai seakan suara genderang di hati korban, aku sudah seperti pembunuh yang sedang mengintai korbannya.“Hah!” teriakku di atas kepalanya dengan mulut menganga, siap menelan otak beku Mas Aksa.“Hilya,” ucapnya lembut, sama sekali tidak terganggu dengan suara kerasku.Ada apa dengan dia sekarang? kenapa Mas Aksa berubah menjadi lembut.“Kemarilah,” ucapnya lagi, sembari meraih tangan dan menarik tubuhku, memeluknya erat.'Ya ampun, pelukannya begitu hangat.'Mas Aksa sudah berhenti meracau, ia nampak tidur dengan tenang, tangannya masih menelukup di atas dadaku. Aku mengelusik, tangannya masih memeluk dan sulit dilepaskan. Netraku melihat ketenangan dan aura yang baru dari wajahnya saat ini, mungkinkah sekarang ak
Read more

Empat Belas

Mas Aksa menarik pintu kamar dan menutupnya, aku bersembunyi di balik dinding, ia berjalan menuju pintu keluar. Aku menengoknya sebentar, tangannya berhenti saat ia hendak menekan gagang pintu. Seketika aku langsung menarik kembali kepalaku untuk berdiri tegak di balik dinding. Mungkinkah dia tahu kalau aku mengintipnya? kalau benar, aku bisa dikurungnya lagi. Berharap-harap cemas, aku terus membaca mantra supaya tidak terlihat. “Hilya, Mas berangkat,” ucapnya.Hah, syukurlah! ternyata dia hanya mengatakan itu. Aku diam dan tidak menjawab, tentu saja, kalau bersuara sudah pasti ketahuan. Hati sudah tidak sabar ingin melihat apa yang ada di belakang lemari pakaian itu. Aku berjalan perlahan ke pintu, memastikan mobil Mas Aksa sudah tidak ada di garasi. ‘Saatanya beraksi!’ pekikku girang.Meski masih kesusahan melangkah tapi sudah bisa ditapakkan, bengkaknya pun sudah mengempis, jadi aku bisa berjalan lebih cepat, tidak semenderita kemarin yang mirip suster ngesot, mengeret kaki keman
Read more

Lima Belas

Tangan Mas Aksa meramang ke hadapanku, aku sudah pasrah dan hilang kata-kata, nampaknya ia akan mencekikku sekarang.‘Kak …, kak …, kak ….’ suara burung yang saling bersahutan seolah terdengar seperti gelak tawa setan, menertawakan kebodohanku yang akan mati sia-sia.“Ampun Mas, Hilya janji nggak akan buat Mas Aksa kesel lagi, Hilya mau jadi istri penurut saja,” ucapku terisak, memejamkan mata.Cukup lama tidak kudengar suara atau gerakkan apapun dari Mas Aksa, hanya semilir angin yang semakin dingin berhembus meremangkan bulu kuduk.“Singkirkan tanganmu dari sana,” setelah aku pasrah dengan nasib, suara Mas Aksa terdengar melembut. Saat membuka mata dia masih menatapku, dan matanya memberi kode agar aku bergeser.“Apa?” tanyaku ragu.“Kamu pindah! aku mau bersihan makan Mbak Ayu,” ujarnya.Mbak Ayu?Aku sedikit melirik, melihat tanganku yang berada di tengah-tengah sebuah makam besar. Saat kubaca namanya di papan nisan 'Ayudia Pratiwi.'Mas Aksa maju lebih depan, sedang aku bergeser
Read more

Enam Belas

Sebenarnya ini belum terlalu malam, baru saja pukul sembilan, tapi mataku sudah ngantuk dan terasa berat. Mas Aksa masih di dalam kamar Ibu sedangkan Ulfa juga belum pulang.Kelopak mata terus saja berayun, meski kutahan sekuat tenaga tetap saja tak bisa. Aku sudah tidak bisa menahannya lagi, kusandarkan kepala ke dinding kursi dan perlahan kelopak mata menutup dengan sendirinya.“Mas!” suara itu terdengar jelas namun seperti mimpi.“Ada apa Ulfa?” suara Mas Aksa terdengar samar, aku menngerjapkan mata, kulihat dua orang di depanku terlihat berbayang.Ulfa terlihat ngos-ngosan, mengatur napas untuk mulai berbicara.“Kayanya ada yang ngikutin aku Mas,” ucapnya terbata. Aku segera membuang kantuk, menggeleng kepala berkali-kali, melihat Mas Aksa yang berlari cepat ke lawang pintu untuk mencari tahu apakah ada orang di luar.“Ada apa Ulfa?” tanyaku khawatir.“Awalnya aku merasa ada yang manggil nama mbak Ayu, tapi kulihat tidak ada siapa-siapa. Aku mempercepat sepeda motor tapi rasanya a
Read more

Tujuh Belas

Makan semangkuk bubur membuat tubuhku kembali bertenaga meski masih sedikit bergetar saat digerakkan, aku sudah kuat melakukan shalat Subuh. Dari lawang pintu kulihat Ibu sudah berdiri hendak ke kamar mandi di bantu Ulfa.Aku segera menghampiri dan menyalaminya.“Terimakasih sudah datang, Nak,” ucap Ibu dengan senyum sayu.Aku mengangguk dan mencoba memapahnya. Namun, Ibu berhenti saat melihat kaki yang kugusur pelan, “Biar Ulfa saja, sepertinya kamu pun sedang sakit,” tolaknya.Aku menurut dan melepaskan genggaman tangan. Mas Aksa tidak terlihat, mungkin ia sedang keluar rumah. Sembari menunggu Mas Aksa, aku mengambil sapu dan membersihkannya, sudah hampir seminggu tidak memegang alat ini, rasanya rindu menjadi seorang istri.Hampir setengah jalan menyapu, Mas Aksa datang dengan barang belanjaan, ia berhenti dan menatapku sejenak.“Aku tidak perlu membayarmu kan?” tanyanya polos.Ya ampun, sebegitu jelekkah reputasiku sekarang? atau jangan-jangan dia sedang mengingatkanku tentang bub
Read more

Delapan Belas

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, mata Mas Aksa masih fokus pada jalanan, sedikit pun ia tidak bersuara apalagi menoleh padaku. Sungguh takut dengan kemarahannya yang seperti ini, aku lebih memilih dicerewetinya sepanjang hari.Mas Aksa membanting pintu mobil saat ia turun, berjalan cepat membuka kunci rumah. Sedang aku masih berdiam di dalamnya, berpikir ulang untuk ikut turun, menunggu sampai emosinya mereda.Tanpa kusadari Mas Aksa ternyata sudah ada di balik pintu mobil, menggedornya dengan keras karena aku menguncinya dari dalam.“Turun!” teriaknya.Penuh rasa takut, aku membuka pintu mobil perlahan, Mas Aksa cepat membukanya lebar, lalu tanpa basa-basi membopong tubuhku masuk ke dalam rumah.Ia menjatuhkannya di atas kasur, aku ketakutan dan meringkuk di dekatan sandaran ranjang. Melihatku yang ketakutakan Mas Aksa meremas rambutnya dan meraung-raung kencang. Aku hanya bisa menelan ludah menyaksikan itu.“Bagaimana kamu bahkan tidak bisa membela dirimu sendiri Hilya!” bentak
Read more

Sembilan Belas

Situasi semakin canggung, aku merasa begitu tidak nyaman berada di tengah-tengan mereka semua, banyak hal yang menjadi kekhawatiran. Namun, berbeda dengan Mas Aksa, ia nampak masih menikmati suasana canggung ini. Tangannya perlahan mengambil makanan yang sudah terhidang, menikmatinya sembari melemparkan senyuman, menanggapi beberapa pembicaraan.“Nak Aziel sekarang kerja di mana?” tanya Ibu dengan mata berbinar, ia menyapa dengan suara yang paling lembut yang pernah kudengar. Begitulah Ibu, nada suaranya saja bisa dibeli dengan uang.“Saya bekerja di perusahaan kecil yang bergerak dalam bidang pemotretan,” jawab Aziel sembari melirik ke arahku.“Wah, benarkan?” saat ini suara Mbak Ratna terdengar antusias, dunia itu pasti sangat menyenangkan untuknya. Kami memang saudara dengan spesies berbeda, jangankan dari sifat, dari penampilan pun kami jauh berbeda, seperti air dan minyak yang tidak bisa disatukan. Mbak Ratna dengan rambut terurai dan dress selutut yang terlihat feminim, sedangk
Read more

Dua Puluh

Hari ini serasa mimpi buruk yang masih berlansung, belum cukup dengan kekagetanku melihat Mas Ilham keluar dari villa itu, sesaat setelahnya keluar seorang perempuan dewasa yang dibalut dengan pakaian mewah dan tas branded di tangan, nampaknya ia sedang melakukan panggilan dengan seseorang. Tubuhnya berhenti tidak jauh dari tempat kami terduduk.[Sayang, aku sudah kirim uangnya ya.][Jangan lama-lama liburannnya, aku akan merindukanmu.][Thank’s untuk hari ini.]Dadaku terus bergemuruh mendengar setiap kata yang diucapkannya, mungkinkah Mas Ilham menjual dirinya pada perempuan itu? untuk apa? usahanya selama ini bagus, kalau hanya untuk menghidupi dua orang saja harusnya cukup, karena Mbak Ratna pun masih belum diberi keturunan meski sudah memasuki usia pernikahannya yang ke tiga tahun.“Hilya,” ucap Mas Aksa mengelusik, membuyarkan lamunanku.“Iya Mas, udah baikan?” tanyaku sembari mendongakkan wajah.Mas Aksa menatapku lekat, lalu tersenyum.‘Hah’ hatiku langsung mencelos, senyum it
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status