Tangan Mas Aksa meramang ke hadapanku, aku sudah pasrah dan hilang kata-kata, nampaknya ia akan mencekikku sekarang.‘Kak …, kak …, kak ….’ suara burung yang saling bersahutan seolah terdengar seperti gelak tawa setan, menertawakan kebodohanku yang akan mati sia-sia.“Ampun Mas, Hilya janji nggak akan buat Mas Aksa kesel lagi, Hilya mau jadi istri penurut saja,” ucapku terisak, memejamkan mata.Cukup lama tidak kudengar suara atau gerakkan apapun dari Mas Aksa, hanya semilir angin yang semakin dingin berhembus meremangkan bulu kuduk.“Singkirkan tanganmu dari sana,” setelah aku pasrah dengan nasib, suara Mas Aksa terdengar melembut. Saat membuka mata dia masih menatapku, dan matanya memberi kode agar aku bergeser.“Apa?” tanyaku ragu.“Kamu pindah! aku mau bersihan makan Mbak Ayu,” ujarnya.Mbak Ayu?Aku sedikit melirik, melihat tanganku yang berada di tengah-tengah sebuah makam besar. Saat kubaca namanya di papan nisan 'Ayudia Pratiwi.'Mas Aksa maju lebih depan, sedang aku bergeser
Read more