Home / Pernikahan / Kaya sih, tapi Pelit! / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Kaya sih, tapi Pelit!: Chapter 21 - Chapter 30

35 Chapters

Dua Puluh Satu

Sepanjang perjalanan, senyum hangat Mas Aksa seakan menguap entah kemana. Sekarang ia sudah kembali seperti gunung batu es di tengah-tengah gurun, tak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya, atau hanya sekedar menegur, menawari makan, minum atau yang lainnya. Kami sudah melakukan perjalanan hampir dua jam, langit sudah nampak gelap memasuki waktu Magrib. Perutku yang hanya diisi mie cup siang tadi sudah keroncongan kembali, entah aku yang begitu mudah lapar, atau ia pun merasakannya. Tapi, jika dilihat betapa santainya ia dalam perjalanan ini, aku ragu kalau Mas Aksa merasakan kegundahan yang sama.Mas Aksa berhenti di sebuah Masjid yang cukup besar dan bergegas turun agar bisa melakukan shalat Magrib berjamaah. Sedangkan aku yang kebetulan sedang datang bulan, hanya menunggunya di dalam mobil.Ponsel yang berada di dalam tas sejak di Villa tadi, terus berbunyi nyaring. Kulihat ada panggilan dari Ibu. Merasa ia hanya akan melampiaskan kemarahannya karena kejadian tadi sore, aku
Read more

Dua Puluh Dua

Angin malam menusuk sangat dingin, jarang sekali aku berada di luar tengah malam seperti ini, tidak ada tanda-tanda Mas Aksa sudah membaca pesanku, di panggil pun tidak diangkatnya. Siapa yang sangat dikhawatirkannya hingga ia lupa pada istrinya sendiri?Aku menarik kaki untuk lebih dekat dengan dada, menelukupkan tubuh menutupinya, berharap jika saling dekat seperti ini mengurangi rasa dingin. Kendaraan sudah semakin jarang yang lewat, pedar cahaya lampu jalan dari kejauhan yang masih bisa membantu melihat sekitar, aku terduduk menyedihkan di dinding tembok pembatas, sudah mirip orang jalanan atau mungkin orang gila.Aku masih menatap ponsel, berharap ada orang lain yang bisa kuhubungi, tapi siapa? selain Mas Aksa, tidak ada lagi orang yang bisa kumintai tolong. Bukankah aku sudah seperti hidup sebatang kara sekarang?Bibir dan tubuhku terus bergetar, mata semakin berat untuk terbuka, sepi yang kurasa malam ini membuat rasa mengantuk begitu kuat menjalar. Namun, meski rasa itu begit
Read more

Dua Puluh Tiga

Aksa~“Hilya! kamu di mana?” teriakku memekikan pagi. Aku sudah memutari seluruh rumah tapi ia tidak ada. Apa mungkin Hilya tidak pulang semalaman? kemana? mungkinkah dia pergi dan meninggalkanku?“Hilya! bagaimana mungkin kamu bisa pergi dari rumah? apa yang akan kamu lakukan di luar sana? itu akan sangat bahaya untukmu yang lugu, polos, dan sedikit b*d*h!” gumamku khawatir, seraya mengeluarkan ponsel dari dalam tas.Mataku terbelalak saat menyadari pesan dari Hilya, ini sudah pagi dan aku baru membacanya, berkali-kali panggilannya pun tidak terjawab, aku terbiasa memakai mode silent karena tidak ingin terganggu, tapi membaca ini membuatku menyesal.Bergegas aku kembali mengunci pintu dan melajukan kemudi ke tempat di mana semalam menurunkan Hilya. Aku yang b*d*h karena berpikir dia bisa melakukannya, ternyata Hilya seperti anak kecil yang tidak tahu jalan pulang.Trotoar masih lenggang, tidak satu pun orang yang terlihat berkeliaran, aku mengemudi perlahan, mungkin saja ia ada di se
Read more

Dua Puluh Empat

Wajah Mas Aksa semakin dekat, matanya yang melebar kini berubah membulat, sudah mirip telur mata sapi. Aih perut jadi laper!“Tunggu sebentar di sini ya Mas!” ucapku melengos, malas meladeninya. Emosi Mas Aksa masih saja meletup-letup kaya anak gadis yang baru datang bulan.Aku segera keluar dan melihat sekeliling.“Hilya!” teriak Mas Aksa yang kesal dengan tingkahku yang mengacuhkannya. Lama-lama aku mulai terbiasa dengan teriakan dan sikapnya yang menjengkelkan itu.“Samping TPS?” gumamku pelan, mendekat ke gerbang tempat pembuangan sampah. Di sampingnya memang terlihat beberapa rumah kumuh yang terbuat dari kayu seadanya dengan tembok yang nampak rusak. Tangisan bayi tiba-tiba terdengar nyaring, seolah ingin menyambut kedatanganku.Mataku celingukan mengintipnya dari jendela yang retak, terlihat seorang Ibu separuh baya mencoba menenangkan anak bayinya dalam gendongan. Aku yakin, ini rumahnya.Aku mengetuk pintu pelan. Cepat, terdengar suara langkah kaki mendekat.“Putri, kamu dari
Read more

Dua Puluh Lima

Lelaki yang terbaring di ruangan itu menarik perhatianku, seseorang dengan sedikit empati seperti Mas Aksa tidak mungkin sangat peduli pada orang lain, kecuali ia adalah keluarga dan orang terdekatnya.Aku mulai penasaran dan meneliti setiap lekuk wajahnya dari kejauhan, bulu yang tumbuh tidak teratur membuatnya sulit untuk dikenali, tapi kalau dlihat dari bentuk alis dan matanya, mirip seperi seperti milik Mas Aksa.‘Apa mungkin dia ayah Mas Aksa? Ah! mana mungkin! Ibu bilang ayah sudah pergi jauh.’‘Sudah pergi jauh bukan berarti meninggal kan?’ hatiku terus saja berbicara sendiri, menerka-nerka sebenarnya siapa lelaki yang ada di hadapanku saat ini hingga Mas Aksa begitu peduli. 'Aku harus coba tanyakan pada Ulfa?' gumamku dalam hati. Segera merogoh kantong celana, eh! bukannya ponselku tidak ada. Aku nepuk jidat. Lalu, kembali duduk di bangku, menghadap langsung pada ruangan tersebut. Tidak pernah sekali pun aku dalam keadaan beruntung, selalu berakhir mati kutu dan tidak bisa
Read more

Dua Puluh Enam

Pintu kamar mandi kukunci dari dalam, menjatuhkan tubuh di atas toilet duduk, membekam tangisan dengan tangan. ‘Kapan aku bahagia Tuhan?’ erangku di sela-sela tangis yang membuncah.'Aku ingin bahagia!' erangku lagi. Tubuhku semakin terkulai di atas toilet. Lemas, tak ada tenaga.‘Tok …, tok ….’“Hilya,” suara Mas Aksa terdengar lemah.Aku belum bisa menjawab dan masih membungkam mulut yang belum berhenti menangis, mengais-ngais dinding untuk menghilangkan rasa sedih.“Mau pulang untuk istirahat di rumah?” suaranya kembali terdengar.“Aku masih mau di sini Mas,” jawabku terbata.“Jangan lama-lama ya, nanti kamu kedinginan. Mas benar-benar menyesal Hilya! Mas tunggu di luar.” Kemudian, suara itu hilang, sepertinya ia sudah pergi.Aku menangisi diriku sendiri yang tak berdaya, sungguh rapuh dan lemah. Di satu sisi aku memang muak dengan sikap Mas Aksa, tapi di sisi lain aku tidak bisa meninggalkannya, meski tahu ia sedang dalam keadaan sakit mental.Hampir satu jam aku berada di dalam
Read more

Dua Puluh Tujuh

Sikap Mas Aksa masih belum berubah meski kami sudah sampai di rumah, tak ada sedikit pun senyum, kata, atau amarah yang tergambar di wajahnya. Dia seperti orang yang kehilangan kesadaran pada dirinya sendiri. Aku tidak mengerti, kenapa efek dari terapi hipnosis itu masih belum hilang?Mas Aksa terduduk di sisi ranjang. Wajahnya pucat dan sayu, tatapan mata hampa, memandang ke ruang kosong. Melihatnya seperti ini membuatku begitu khawatir, ‘Apa mungkin saat ini Mas Aksa terjebak dalam masa lalunya karena pengaruh hipnosis, dan ia tidak bisa kembali?’ Mataku langsung melotot mengingat hal itu, bagaimana kalau ternyata ia benar-benar tidak bisa kembali dan terjebak dalam ingatan itu?Apa aku harus menghubungi Mas Rian lagi? tapi rasanya sungguh tidak nyaman, tatapan mata dan gelagatnya sedikit aneh hari ini. Aku akan menunggu perubahan Mas Aksa sebentar lagi.“Mas,” tanyaku sembari duduk di sampingnya, menepuk pundaknya pelan.Ia menoleh sesaat, lalu kembali memandang ruang kosong di had
Read more

Dua Puluh Delapan

“Selain itu Bapak …,” ucapan Ibu terjeda. Genangan air mata berjatuhan, “Ia berselingkuh.”Mataku melotot mendengar kalimat terakhir Ibu. Mungkinkah ada rahasia yang masih belum terungkap?“Ayah selingkuh?” bibirku bersuara pelan.Ibu menatap kosong, membiarkan air matanya berjatuhan."Iya, sesekali Ibu membaca chat mesra mereka."“Mungkin Aksa tidak tahu hal ini,” lanjutnya.Rasanya aku tidak percaya mendengar perkataan Ibu. Otakku yang minimalis mencoba menyatukan potongan masalah di masa lalu mereka.‘Ayah di tangkap karena korupsi, menurut Mas Aksa ia melakukan itu untuk memenuhi sifat foya-foya Ibu dan anak-anaknya, sekarang Ayah selingkuh? apa mungkin ia menjual harga dirinya demi uang seperti Mas Ilham?’ apa karena itu Mas Aksa sampai meriang melihat pemandangan di Villa? berarti Mas Aksa tahu kalau ayahnya selingkuh, sehingga ia begitu trauma saat melihat kejadian yang sama?' Aku bermolog dalam hati.'Ya memang seperti itu adanya, sekarang perlahan aku bisa paham dengan posisi
Read more

Dua Puluh Sembilan

Perempuan di depanku saat ini masih menenggelamkan wajahnya diantara telapak tangan, isak tangis terdengar bergitu menyayat.“Benarkah Anda sangat menyesal telah berselingkuh?” tanyaku. Mungkin semua bisa berakhir lebih baik kalau mereka ingin memperbaiki kesalahan.Perempuan itu menengadah, menyeka air mata dan menatapku. Lalu, menggeleng.“Bukan itu,” jawabnya tercekat.Dahiku mengernyit, kalau bukan hal itu, lalu apa yang menjadi penyesalannya?“Maksud Anda?”“Aku tidak pernah menyesal mencintainya, dia adalah lelaki terbaik yang pernah menyayangiku.” Tangannya kembali menyeka sisa air mata terakhir yang terjatuh.“Seseorang yang berselingkuh dari pasangannya bukan orang baik, bagaimana mungkin Anda menilainya sebagai orang baik?” “Mh!” Mulutnya sedikit mencibir.“Dia adalah seorang suami yang rela mengorbarkan hati dan raga demi memenuhi keserakahan keluarganya yang haus akan kesenangan. Dia tidak sedikit pun melakukan dosa, karena kami menikah. Aku yang memintanya.”Mataku terbe
Read more

Tiga Puluh

Kami sampai di sebuah bangunan dua lantai dengan bentuk luar nampak seperti sebuah Klinik, dari alamat yang kutemukan inilah tempat salah satu Psikiater yang mendapat nilai baik di aplikasi, tempatnya pun tidak terlalu jauh dari rumah.“Mas turun, Yuk,” ajakku padanya. Ia hanya menatap sendu, polos layaknya anak kecil.Aku menuntunnya memasuki meja resepsionis, mengisi data dan menunggu jadwal berkonsultasi.Mas Aksa meringkuk, memegangi perutnya di atas bangku.“Kenapa Mas?” Matanya mengiba mendengar pertanyaanku.“Mas lapar ya?” Ia hanya mengangguk lemah.“Sebentar ya, Hilya beli dulu. Mas jangan kemana-mana," pesanku sebelum pergi.Bergegas aku mencari kantin di sekitar sini, membeli roti, beberapa cemilan dan air minum. Saat kembali ke dalam, bangku sudah kosong, Mas Aksa tidak terlihat ada di sekitar sana.“Kemana dia?” aku mulai panik, berlari mencari ke semua ruangan yang kemungkinan dimasuki.“Mbak lihat seorang pria berkaos putih tidak?" tanyaku pada seseorang yang tidak jauh
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status