Home / Rumah Tangga / Rahim Kedua CEO / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Rahim Kedua CEO: Chapter 31 - Chapter 40

111 Chapters

31. Sesuatu yang Pecah

“Bapak apa kabar?” Anne menyapa ayah mertuanya ramah.Seperti biasa, Anne dihujani kecupan setelah mendapat pelukan hangat dari Dharma Basuki. Ayah mertua yang sangat menyayanginya. Berbeda sekali dengan Ina yang kerap memberikan petuah berbentuk cibiran belaka. “Baik, Anne gimana sekarang?” balas Dharma. Kemudian menatap tubuh sang menantu yang kelihatan berbeda. “Kalau memang belum dapat rejeki, kamu bisa berusaha lagi sama Pramam.”Mendengar itu, Anne lumayan trenyuh. Perpisahan yang kembali dialaminya karena keguguran beberapa waktu lalu membuat batinnya pedih. Guna menyudahi perasaannya itu, ia menarik pundak Mara yang saat itu tak begitu jauh darinya.“Ini program yang lagi Anne jalani sama Mas Pram, Pak,” jelasnya sekilas melirik Mara dengan senyum.Dharma mengangguk paham. “Bapak tahu, dan … semua lancar?”“Janinnya sehat,” tukas Anne percaya diri. “Iya, kan Mara?”Mara pun mengiyakan melalui gerakan kepala yang naik-turun. Tak lupa gadis itu tersenyum ramah seolah sudah akra
last updateLast Updated : 2023-07-13
Read more

32. Anak Rahasia

“Kamu pikir saya nggak bisa melacak ke mana saja uang itu, hah?”Kini Pramam sudah berlutut di lantai dingin. Berhadapan dengan ayahnya yang menatapnya nyalang. Tampangnya beringas dan penuh amarah. Dan sudah beberapa barang pecah belah berhamburan di lantai.Sebagian pecahannya pula sudah mengenai kulit Pramam. Tetap tak membuat Dharma khawatir sama sekali sebagai ayah kandungnya. Dengan tangis yang lirih bersama tubuh bergerak naik-turun karena sesenggukkan pun tak membuat perubahan apa pun.“Sisanya ke mana?” sentak Dharma. “Di rumah ini?” tebaknya.“Ampun, Pak,” rengek Pramam. “Saya pasti kembalikan dana itu, saya sudah menemukan cukup investor untuk menutupnya.”“HALAH!” sambar Dharma. “Kamu itu nggak usah kebanyakan berbohong, perusahaan Herlambang bahkan nggak bisa kamu taklukkan, lalu sekarang? Mau apa kamu?”Pramam menegang di tempat. Sejauh ini, ia belum mendengar soal pengajuan bantuan ke perusahaan keluarga musuhnya. Meskipun Varen sudah memperingatkannya lebih dulu, ia ta
last updateLast Updated : 2023-07-14
Read more

33. Mau Menyerah?

“See?” Anne mengulurkan ponsel dan menunjukkan layar benda pipih itu yang menyala pada Varen. “Ibu mertuaku udah mulai ngomel karena aku belum sampai di butik.”Varen menangkap nama yang tertera di sana. Juga ekspresi Anne yang bosan, lebih ke muntab karena ulah Ina Basuki. Padahal menantunya itu baru saja meluapkan perasaan sekaligus kegelisahaannya selama ini.Detik selanjutnya, Varen bangkit dari duduk. Ia mengangsurkan telapak tangan pada Anne. “Aku antar ke butik,” tawarnya.“Nggak usah,” tolak Anne. “Aku bawa mobil sendiri, Ren.”Varen membuang napas pendek, lalu memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. “Oke, aku antar pakai mobil kamu. Mana kuncinya?”“Terus gimana sama mobil yang kamu bawa ke sini?”“Gampang, biar sekretarisku yang urus.” Tangan pria itu masih mengulur seakan menunggu Anne memberikan kunci mobilnya.Tak lama kemudian, Anne merogoh tas dan memberikan kuncinya pada Varen. “Emang nggak ngerepotin?” Ia menatap ragu.“Justru aku senang kalau direpotin sam
last updateLast Updated : 2023-07-16
Read more

34. Jangan Khawatir, Bu

“Gimana? Kamu kerasan nggak di butik ini?”Anne perlahan mengangsurkan secangkir minuman hangat yang baru dibuatkan staff butiknya pada ibu mertua. Sudah sekitar dua hari ini Anne menjalankan tugas yang diperintahkan perempuan itu. Beberapa bagian memang memusingkan, sebab banyak laporan yang tak sesuai harapan.Lantas hari ini, ia meminta ibu mertuanya untuk datang ke butik. Mulanya Anne beralasan menanyakan banyak hal yang menjadi akar pening di kepala. Namun, ada satu tujuan yang ia sembunyikan.“Masih menyesuaikan, Bu,” aku Anne jujur. “Lagi pula butik ini harus banyak diperbaiki, kayak cat dindingnya udah lama banget nggak diganti.”Anne menunjuk-nunjuk bagian yang kurang baik saat dilihat. Pun plang di depan juga hurufnya ada beberapa yang hilang, sungguh memilukan, bukan? Akan tetapi Ina tampak biasa saja, seakan membiarkan kondisi itu terus berjalan entah sampai kapan.“Ya memang, tapi itu rusak sedikit aja, kok.”Sayangnya Anne menolak setuju. “Nggak bagus kalau dilihat pelan
last updateLast Updated : 2023-07-17
Read more

35. Tak Mau Mengalah

“Sialan!”Pramam menggebrak meja ruang VIP yang dipesannya di sebuah restoran mewah. Di sekelilingnya sudah ada Baron, Jagad, dan Erkan. Ketiganya adalah teman akrab Pramam semenjak sekolah dasar.Tiap kali terjangkit masalah, mereka selalu menjadi pendengar. Kadang pula memberi masukan. Seperti sekarang, Baron mengangsurkan sebotol minuman keras di hadapan Pramam.“Nyantai dulu, nggak usah kebanyakan ngumpat,” katanya. “Kalau lo udah tenang, baru cerita. Ada masalah apaan.”Pramam lantas menurut. Ia menenggak beberapa dan mengatur napas sekaligus emosinya yang sejak tadi sudah meluap-luap. Punggungnya ditarik mundur hingga bersandar di kursi.“Pesan paket tambahan, Ron. Gue keburu pusing ini.”Yang dipanggil namanya pun mengerjap kaget. “Serius?” tanyanya ragu.Jagad menaikkan alis. “Emang simpanan lo yang jadi tempat sewa rahim itu udah nggak enak lagi, Pram?”“Bener juga,” timpal Erkan. “Gue baru ingat kalau Pramam masih punya simpanan. Terus kenapa masih mau paket tambahan? Bukann
last updateLast Updated : 2023-07-23
Read more

36. Saling Mencari Tempat

“Apa yang sudah Mbak Anne lakukan terhadap kamu, Mas?”Salah satu sudut bibir Pramam terangkat. Entah sengaja membuat senyum miring atau memang tengah menahan pedih di sebelah pipinya. Namun, gadis yang tengah mengandung anaknya itu memperpendek jarak. Menangkup wajah hingga meniup bagian kemerahan akibat tamparan Anne tadi.“Sakit banget ya?” Mara terus meniup luka kemerahan itu. “Aku kompres aja gimana?”Pramam mengangguk pelan. “Boleh.”“Kenapa Mbak Anne sebegininya sama kamu, Mas?” keluh Mara sebelum beranjak. “Apa kalian ada masalah?”Pramam semula tak menyangka jika istrinya akan melakukan hal itu. Setelah sekian lama pernikahan mereka terjalin. Dan sekarang Anne sudah mulai berani menentangnya.Tentu untuk pertanyaan kedua yang diajukan Mara tak dijawab olehnya. Ia tak mau Anne diseret dan Mara memikirkan macam-macam hingga mencari celah dalam rumah tangganya. Mengingat akhir-akhir ini banyak sekali yang terjadi, entah di kantor dan rumah sekalipun.Tak berselang lama, Mara kem
last updateLast Updated : 2023-07-25
Read more

37. Pagi Mengancam

Kendaraan Varen berhenti di deretan pedagang kaki lima. Ada bakmie, kwetiau goreng, dan jajanan lain. Namun yang menarik perhatian Anne justru kwetiau. Tatapnya terus terpaku pada satu titik dan itu diperhatian Varen sejak tadi.Anne hendak bersiap turun, tapi Varen menahan lengannya. “Di sini aja, biar aku yang belikan.”“Tapi, Ren—“Varen mengedikkan dagu. Menunjuk kaca mobil yang sudah terhias rintikan air. “Di luar gerimis, Ann,” ujarnya. “Nurut aja, payung yang aku bawa juga cuma satu. Itupun mini, kalau kita berdua jalan ke sana, yang ada basah.”Anne lantas mengatupkan bibir. Sudah kalah telak jika diajak berdebat oleh Varen yang kelihatannya tak mau mengalah. Akhirnya sosok pria itu turun dari mobil usai mengambil payung di jok penumpang belakang.Varen berjalan mengitari mobil, lalu mengetuk kaca yang ditempati Anne. Wanita itu refleks menurunkan kaca jendela, menatap Varen yang merendahkan tubuh dan mendekatkan diri.“Pesan apa aja?”“Kwetiau sama wedang ronde, boleh?” sebut
last updateLast Updated : 2023-07-28
Read more

38. Bantuan atau Ancaman?

Tangan Anne gemetaran ketika terus mendapati panggilan dari Pramam. Mungkin sudah terhitung puluhan kali pria itu menelepon sejak ia membuka mata tadi pagi. Lalu sekarang, Anne sedang berada di restoran hotel untuk sarapan pun, Pramam tidak berhenti memanggilnya.“Matikan aja hpmu, Ann.” Varen berdeham singkat. “Aku nggak mau lihat kamu ketakutan begitu hanya karena dapat chat dari Pramam.”Anne mengeratkan ponselnya di tangan. Wajahnya terangkat dan menatap Varen dengan gelisah. Ia lekas mematikan ponsel dan menyimpannya di tas jinjing. Benar menuruti saran dari Varen.“Mas Pram bilang, dia udah ada di butik sekarang. Karyawan juga ada yang kasih tahu kalau suamiku nunggu di ruang kerja.” Ia mengesah kasar, tampak frustasi. “Aku jadi bingung harus gimana.”“Hadapi aja, nggak usah merasa takut. Kamu nggak salah,” tandas Varen, mendukung penuh Anne. “Apa mau aku temani ke butik hari ini?”“Nggak!” Anne menggeleng spontan. “Masalah mungkin akan membesar kalau Mas Pramam tahu kamu nolong
last updateLast Updated : 2023-08-01
Read more

39. Ini Gara-gara Kamu!

Semenjak mengetahui janinnya meninggal dalam kandungan, Anne tak pernah lagi mengorek hal itu pada Pramam. Sikapnya seolah menunjukkan bahwa ia abai dengan mendiang calon anaknya itu. Padahal jauh dari lubuk hati terdalam, Anne begitu menyayangi buah hatinya sampai rasanya belum rela.Sekarang ia sudah duduk di pusara calon anaknya. Rupanya Pramam benar-benar memenuhi permintaannya dengan memberikan nama Abelia Basuki. Sejak turun dari mobil, Anne terus menahan diri agar tidak menangis. Namun, ketika mendekati makam air matanya tumpah begitu saja.“Abel Sayang, Mami datang, Nak.” Anne mengusap makan sang anak. “Maafkan Mami karena baru datang sekarang. Mami bukannya nggak sayang sama Abel, Mami hanya … baru siap datangnya sekarang.”Lama, Anne tak berbicara. Ia terlalu hanyut dalam kesedihan sampai air matanya terus mengalir membasahi kedua pipi. Tak lama kemudian, tangannya sibuk mengaduk isi tas jinjing untuk mengambil ponsel. Lalu menunjukkan sebuah potret pada makam anaknya.“Liha
last updateLast Updated : 2023-08-02
Read more

40. Aku Melihat Mereka

Tubuh Anne bergetar. Ia berusaha mendekati Pramam yang bersandar di dinding. “Mas, di dalam itu juga anakku,” katanya parau.“Diam kamu!”“Itu anak kita, anakku juga, Mas.” Air mata Anne sudah luruh, padahal ia sudah enggan menangis lagi hari ini. “Mana mungkin aku tega melukai anakku sendiri dengan cara konyol?”Alih-alih mendengar perkataan Anne, Pramam justru melotot. Memangkas jarak dengan sang istri. Tangannya menggapai kerah pakaian Anne dan mencengkeramnya kuat-kuat.“Aku lagi nggak mau dengar apa pun yang keluar dari mulut kamu sekarang, jadi … diam!” ancamnya telak.Anne menatap dengan pandangan mengabur. Baru kali ini ia mendapati sikap Pramam yang jauh lebih kasar dari semalam. Bahkan untuk mendengar kata-katanya saja pun pria itu enggan.Langkahnya mundur perlahan, bersama punggung yang bergetar hebat. Anne memilih duduk di bangku seberang sembari menunggu dokter selesai melakukan pemeriksaan. Kepalanya pun tertunduk, seolah berusaha menghindari tatapan Pramam yang kemungk
last updateLast Updated : 2023-08-03
Read more
PREV
123456
...
12
DMCA.com Protection Status