“Gimana? Kamu kerasan nggak di butik ini?”Anne perlahan mengangsurkan secangkir minuman hangat yang baru dibuatkan staff butiknya pada ibu mertua. Sudah sekitar dua hari ini Anne menjalankan tugas yang diperintahkan perempuan itu. Beberapa bagian memang memusingkan, sebab banyak laporan yang tak sesuai harapan.Lantas hari ini, ia meminta ibu mertuanya untuk datang ke butik. Mulanya Anne beralasan menanyakan banyak hal yang menjadi akar pening di kepala. Namun, ada satu tujuan yang ia sembunyikan.“Masih menyesuaikan, Bu,” aku Anne jujur. “Lagi pula butik ini harus banyak diperbaiki, kayak cat dindingnya udah lama banget nggak diganti.”Anne menunjuk-nunjuk bagian yang kurang baik saat dilihat. Pun plang di depan juga hurufnya ada beberapa yang hilang, sungguh memilukan, bukan? Akan tetapi Ina tampak biasa saja, seakan membiarkan kondisi itu terus berjalan entah sampai kapan.“Ya memang, tapi itu rusak sedikit aja, kok.”Sayangnya Anne menolak setuju. “Nggak bagus kalau dilihat pelan
“Sialan!”Pramam menggebrak meja ruang VIP yang dipesannya di sebuah restoran mewah. Di sekelilingnya sudah ada Baron, Jagad, dan Erkan. Ketiganya adalah teman akrab Pramam semenjak sekolah dasar.Tiap kali terjangkit masalah, mereka selalu menjadi pendengar. Kadang pula memberi masukan. Seperti sekarang, Baron mengangsurkan sebotol minuman keras di hadapan Pramam.“Nyantai dulu, nggak usah kebanyakan ngumpat,” katanya. “Kalau lo udah tenang, baru cerita. Ada masalah apaan.”Pramam lantas menurut. Ia menenggak beberapa dan mengatur napas sekaligus emosinya yang sejak tadi sudah meluap-luap. Punggungnya ditarik mundur hingga bersandar di kursi.“Pesan paket tambahan, Ron. Gue keburu pusing ini.”Yang dipanggil namanya pun mengerjap kaget. “Serius?” tanyanya ragu.Jagad menaikkan alis. “Emang simpanan lo yang jadi tempat sewa rahim itu udah nggak enak lagi, Pram?”“Bener juga,” timpal Erkan. “Gue baru ingat kalau Pramam masih punya simpanan. Terus kenapa masih mau paket tambahan? Bukann
“Apa yang sudah Mbak Anne lakukan terhadap kamu, Mas?”Salah satu sudut bibir Pramam terangkat. Entah sengaja membuat senyum miring atau memang tengah menahan pedih di sebelah pipinya. Namun, gadis yang tengah mengandung anaknya itu memperpendek jarak. Menangkup wajah hingga meniup bagian kemerahan akibat tamparan Anne tadi.“Sakit banget ya?” Mara terus meniup luka kemerahan itu. “Aku kompres aja gimana?”Pramam mengangguk pelan. “Boleh.”“Kenapa Mbak Anne sebegininya sama kamu, Mas?” keluh Mara sebelum beranjak. “Apa kalian ada masalah?”Pramam semula tak menyangka jika istrinya akan melakukan hal itu. Setelah sekian lama pernikahan mereka terjalin. Dan sekarang Anne sudah mulai berani menentangnya.Tentu untuk pertanyaan kedua yang diajukan Mara tak dijawab olehnya. Ia tak mau Anne diseret dan Mara memikirkan macam-macam hingga mencari celah dalam rumah tangganya. Mengingat akhir-akhir ini banyak sekali yang terjadi, entah di kantor dan rumah sekalipun.Tak berselang lama, Mara kem
Kendaraan Varen berhenti di deretan pedagang kaki lima. Ada bakmie, kwetiau goreng, dan jajanan lain. Namun yang menarik perhatian Anne justru kwetiau. Tatapnya terus terpaku pada satu titik dan itu diperhatian Varen sejak tadi.Anne hendak bersiap turun, tapi Varen menahan lengannya. “Di sini aja, biar aku yang belikan.”“Tapi, Ren—“Varen mengedikkan dagu. Menunjuk kaca mobil yang sudah terhias rintikan air. “Di luar gerimis, Ann,” ujarnya. “Nurut aja, payung yang aku bawa juga cuma satu. Itupun mini, kalau kita berdua jalan ke sana, yang ada basah.”Anne lantas mengatupkan bibir. Sudah kalah telak jika diajak berdebat oleh Varen yang kelihatannya tak mau mengalah. Akhirnya sosok pria itu turun dari mobil usai mengambil payung di jok penumpang belakang.Varen berjalan mengitari mobil, lalu mengetuk kaca yang ditempati Anne. Wanita itu refleks menurunkan kaca jendela, menatap Varen yang merendahkan tubuh dan mendekatkan diri.“Pesan apa aja?”“Kwetiau sama wedang ronde, boleh?” sebut
Tangan Anne gemetaran ketika terus mendapati panggilan dari Pramam. Mungkin sudah terhitung puluhan kali pria itu menelepon sejak ia membuka mata tadi pagi. Lalu sekarang, Anne sedang berada di restoran hotel untuk sarapan pun, Pramam tidak berhenti memanggilnya.“Matikan aja hpmu, Ann.” Varen berdeham singkat. “Aku nggak mau lihat kamu ketakutan begitu hanya karena dapat chat dari Pramam.”Anne mengeratkan ponselnya di tangan. Wajahnya terangkat dan menatap Varen dengan gelisah. Ia lekas mematikan ponsel dan menyimpannya di tas jinjing. Benar menuruti saran dari Varen.“Mas Pram bilang, dia udah ada di butik sekarang. Karyawan juga ada yang kasih tahu kalau suamiku nunggu di ruang kerja.” Ia mengesah kasar, tampak frustasi. “Aku jadi bingung harus gimana.”“Hadapi aja, nggak usah merasa takut. Kamu nggak salah,” tandas Varen, mendukung penuh Anne. “Apa mau aku temani ke butik hari ini?”“Nggak!” Anne menggeleng spontan. “Masalah mungkin akan membesar kalau Mas Pramam tahu kamu nolong
Semenjak mengetahui janinnya meninggal dalam kandungan, Anne tak pernah lagi mengorek hal itu pada Pramam. Sikapnya seolah menunjukkan bahwa ia abai dengan mendiang calon anaknya itu. Padahal jauh dari lubuk hati terdalam, Anne begitu menyayangi buah hatinya sampai rasanya belum rela.Sekarang ia sudah duduk di pusara calon anaknya. Rupanya Pramam benar-benar memenuhi permintaannya dengan memberikan nama Abelia Basuki. Sejak turun dari mobil, Anne terus menahan diri agar tidak menangis. Namun, ketika mendekati makam air matanya tumpah begitu saja.“Abel Sayang, Mami datang, Nak.” Anne mengusap makan sang anak. “Maafkan Mami karena baru datang sekarang. Mami bukannya nggak sayang sama Abel, Mami hanya … baru siap datangnya sekarang.”Lama, Anne tak berbicara. Ia terlalu hanyut dalam kesedihan sampai air matanya terus mengalir membasahi kedua pipi. Tak lama kemudian, tangannya sibuk mengaduk isi tas jinjing untuk mengambil ponsel. Lalu menunjukkan sebuah potret pada makam anaknya.“Liha
Tubuh Anne bergetar. Ia berusaha mendekati Pramam yang bersandar di dinding. “Mas, di dalam itu juga anakku,” katanya parau.“Diam kamu!”“Itu anak kita, anakku juga, Mas.” Air mata Anne sudah luruh, padahal ia sudah enggan menangis lagi hari ini. “Mana mungkin aku tega melukai anakku sendiri dengan cara konyol?”Alih-alih mendengar perkataan Anne, Pramam justru melotot. Memangkas jarak dengan sang istri. Tangannya menggapai kerah pakaian Anne dan mencengkeramnya kuat-kuat.“Aku lagi nggak mau dengar apa pun yang keluar dari mulut kamu sekarang, jadi … diam!” ancamnya telak.Anne menatap dengan pandangan mengabur. Baru kali ini ia mendapati sikap Pramam yang jauh lebih kasar dari semalam. Bahkan untuk mendengar kata-katanya saja pun pria itu enggan.Langkahnya mundur perlahan, bersama punggung yang bergetar hebat. Anne memilih duduk di bangku seberang sembari menunggu dokter selesai melakukan pemeriksaan. Kepalanya pun tertunduk, seolah berusaha menghindari tatapan Pramam yang kemungk
Dari awal, Anne tidak pernah tahu maksud ucapan Varen tentang Mara. Apalagi soal peringatan yang jelas digaungkan pria itu ketika pertama kali bertemu setelah bertahun-tahun lamanya. Kini Anne sudah menyiapkan makanan yang baru dibelinya dari kantin rumah sakit.Sekalipun batinnya masih pedih karena ucapan kasar dari Pramam, itu bukanlah halangan. Anne masih perlu berusaha untuk bertahan. Setidaknya itu yang dikatakan Varen, bertahan jangan sampai hancur lebih dulu.“Hai, Mara sudah baikan?” sapa Anne begitu memasuki ruang.Dua manusia di sana kelihatan terkejut mendapati siapa yang datang. Seolah tak memedulikan ekspresi tegang yang diperlihatkan Pramam serta Mara, Anne meletakkan dua kantung plastik makanan di meja. Lalu beralih menatap Mara yang pucat pasi.“Halo, Mbak.” Mara tersenyum masam. “Aku kira Mbak Anne nggak ke sini.”“Mana mungkin aku pulang, aku takut ada sesuatu yang terjadi sama kamu dan kandungannya,” ungkap Anne sambil mengusap perut Mara. “Gimana sekarang, udah mem
“Mas, dari tadi kamu diam aja.” Mara menyeletuk pelan sembari menyorongkan piring berisi ikan asin yang baru diambil dari penggorengan. Asapnya mengepul dan memberikan aroma semerbak.“Gimana soal kantor?” tambahnya yang urung dibalas Pramam.Pramam akhirnya menoleh dan menanggapi, “Lancar, banyak proyek yang berhasil dan beberapa yang menang tender.”“Baguslah, klinikku juga mulai banyak pelanggannya.” Mara memaparkan dengan tenang, meski lidahnya kelu. Nyatanya mental yang sempat rusak itu belum sepenuhnya sembuh.Pramam mengangguk sembari meraih piring dan siap menyantapnya. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Mara cukup lama.“Ra, ayo kita menikah.”Itu bukan ajakan, melainkan keharusan. Ia tak bisa membiarkan Mara hidup bersamanya tanpa ikatan apa pun. Ditambah ini semua atas permintaan Anne. Wanita itu tampaknya ingin sekali mereka melupakan Bagaskara.“Mas—“Pramam meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Membuat bibir wanita itu bungkam seketika.“Kita nggak bisa begini terus.
“Mungkin semua anggota direksi, sudah mengetahui putra saya yang satu ini. Ares Basuki namanya, adik Pramam.” Dharma langsung memperkenalkan putra yang telah lama disembunyikannya begitu rapat dimulai. Tanpa basa-basi sekali.Pramam yang duduk di bangkunya kini mulai memanas. Melihat tampang Ares yang begitu percaya diri. Sementara di sebelahnya, Varen hanya bersikap santai. Tak terkejut sama sekali oleh pengumuman yang diberikan Dharma.“Jika rekan-rekan sekalian sudah tak bisa memercayakan perusahaan kita ini pada CEO sebelumnya, Ares bisa menggantikan. Kemampuannya juga mumpuni,” lanjut Dharma yang jelas mengesampingkan skill putra pertamanya yang jauh memiliki banyak pengalaman daripada Ares.Hingga kemudian, tangan Varen terangkat. Membuat Pramam terkejut dan beberapa anggota direksi yang lain.“Maaf menyanggah ucapan Anda, Pak Dharma. Tapi saya keberatan. Bagaimana bisa kami percaya pada Ares jika pengalamannya saja belum banyak?”Dharma mengerutkan kening. Mendadak bibirnya men
Anne tidak bisa mencegah kepergian Varen yang harus kembali ke Indonesia petang ini. Mengingat banyaknya pekerjaan si pria yang memiliki tanggungjawab besar menjadi direktur utama rumah sakit. Belum lagi bisnis Varen yang beragam.Pria itu kini sedang menilik arloji yang melingkar baik di pergelangan tangan. Kemudian menatap paspor sebelum beralih ke ponselnya yang mendadak berdering, menandakan sebuah notifikasi datang. Kemungkinan dari klien atau orangtuanya.“Kamu hati-hati di jalan. Salam buat tante sama om di rumah, ya.” Dan akhirnya ucapan itu meluncur juga dari mulutnya saat perasaannya yang campur aduk mulai mereda.Tangan Varen terangkat. Mendarat di kepala Anne dan membelainya pelan. “Siap laksanakan,” katanya yang kemudian beralih pada Rina. “Tolong dijaga ibunya ya, Rin. Sama titip buat Bagaskara.”“Baik, Pak.” Kepala Rina bergerak naik-turun. “Ini Bapak sama Ibu udah kayak pasangan suami-istri beneran, tapi sayang harus LDR-an,” tuturnya blak-blakan.Anne kontan memberika
Beberapa orang sudah mulai meninggalkan bangkunya. Namun dari pihak keluarga Pramam dan Anne masih betah di sana. Keduanya saling pandang satu sama lain, terlihat nyala api yang masih begitu membara dari mata Jayan Gumelar dan istrinya.Meski persidangan sudah usai dan putri mereka yang menang, tetap saja perasaan amarah masih bercokol di dada. Rasanya hasil ini belum sepenuhnya layak diterima. Padahal semua harta Pramam sudah diserahkan sebagian besar untuk Anne.“Pa ….” Pramam memanggil begitu mendekati ayah mertua. Tepatnya mantan ayah mertua yang tampak jelas memendam kekesalan terhadapnya. “Saya minta maaf sekali lagi atas semua ini. Semoga—““Lebih baik tutup mulutmu itu!” bentak Jayan Gumelar yang muak. “Sekalipun Anne yang menang dari kasus ini, jangan harap hidupmu bisa bahagia dengan wanita simpananmu itu, Pram.”Pramam tertegun. Ia menelan ludah kepayahan sebelum akhirnya mengangguk. “Apa yang diucapkan Papa memang benar, setelah ini saya akan berusaha lebih keras untuk men
Tepat sebulan sudah ia menetap di Saitama, Jepang. Tak seperti di negeri sendiri, Anne harus belajar mandiri. Pergi membeli keperluan hingga mengurus Bagaskara. Semula, ia diantar Arian dan ditemani sampai lima hari."Apa pun itu, kabari aku ya, Mbak. Mama dan Papa juga memaksa minta ditelepon Mbak setiap waktu." Begitulah permintaan Arian sebelum pergi. "Bang Varen juga jangan dilupain, dia juga termasuk orang penting yang wajib Mbak Anne kasih kabar!"Anne nyaris saja meneloyor kepala Arian kalau pemuda itu tak segera menghindar. Semakin ke sini, ada banyak yang menggodanya dengan melibatkan nama Varen. Sungguh, ia makin tak enak hati. Terlebih tempat yang ditinggalinya sekarang merupakan kondonium Varen. Pria itu membelinya secara cuma-cuma atas uang yang diterimanya saat ditunjuk menjadi direktur utama rumah sakit pertama kali.Lalu sekarang, pria itu tengah berkutat dengan beberapa kardus besar yang baru diantar jasa kirim. Anne yang masih menimang Bagaskara hanya memerhatikan da
Melihat bagaimana tampang kedua orangtuanya yang baru datang, Pramam bisa menyimpulkan jika sesuatu tidak sejalan dengan harapan. Mengingat kemarin, Bapak dan Ibu sudah berencana ingin menemui keluarga dari pihak Anne. Dan hasilnya besar kemungkinan buruk untuknya dan Mara.“Ibu dan Bapak udah mencoba segala cara. Kami pergi ke rumah Jayan dan bertemu Anne. Ya, istrimu itu sudah memutuskan, Pram. Dan rasanya tak bisa diganggu gugat lagi,” ungkap Ina Basuki mengawali percakapan bersama Pramam dan Mara yang diminta ikut serta.“Jadi, saya nggak bisa ketemu darah daging saya sekali ini saja, begitu?” tanggap Mara melalui layangan protesnya.“Nak Mara, saya sudah berusaha.” Kini Dharma yang mengambil alih. “Jadi, kamu harus menerima semua ini. Sebab jika kamu terus menentang dan ingin mengambil alih bayi itu, kemungkinan besar kamu akan dijebloskan ke penjara.”Kata penjara begitu menakutkan bagi mereka. Pramam pun tak pernah berpikir sampai sejauh itu efek yang diterimanya setelah menipu
Anne sudah menemukan nama yang tepat untuk bayinya. Maknanya indah dan cukup menggambarkan ketampanan si bayi. Siapa tahu jika sudah besar nanti, tak hanya penampilannya yang baik, tapi juga sifatnya. Menjadi sosok kuat dan pelindung bagi orang sekelilingnya.Itulah harapan yang terus digaungkan Anne sepanjang perjalanannya menuju kediaman Papa-Mama. Ia masih diantar supir pribadi yang dipekerjakan Papa untuknya. Di usia sedewasa ini, Anne masih dianggap sebagai putri kecil Papa yang harus mendapat pemantauan ekstra. Begitulah kira-kira alasan Papa ketika membujuknya beberapa waktu lalu.“Non, mau mampir dulu atau langsung ke rumah Bapak?”“Langsung aja ke rumah,” balasnya pada si supir.Jalanan saat itu cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Mengingat jam baru menunjukkan pukul 10 pagi. Sudah pasti jalanan tak padat merayap seperti pagi tadi atau sore ketika jam pulang kantor.Setengah jam berlalu, kendaraan yang ditumpanginya sudah tiba di pelataran rumah mewah ora
“Pram! Pramam!”Teriakan Ina yang terus memanggil satu nama itu membuat Pramam mengangkat wajah. Tubuhnya ikut bangkit bersama langkah yang diseret menuju sumber suara. Begitu berhasil membuka pintu, ia melihat ibunya sedang memapah Mara yang tampaknya lemas—entah karena apa.“Ada apa ini, Bu?” tanyanya langsung membantu menggendong Mara ke sofa. “Dia sakit?”Ina menggeleng panik. “Waktu di teras, Pak Yon udah lihat dia jalan lemas kayak gini,” terangnya. “Apa dia mabuk?”Pramam langsung memastikan keadaan Mara, tapi tak ada aroma minuman keras dari wanita itu. Hanya saja, tatapnya teralih pada pakaian Mara yang basah. Terlebih dari dadanya. Aneh, mengingat waktu itu belum memasuki musim penghujan dan keadaan di luar pun masih terang benderang.“Ra?” panggilnya pelan. “Kamu kenapa sebenarnya?”Wanita itu tak bereaksi. Tatapannya kosong dan makin membuat Pramam serta Ina bingung. Lantas Pramam mengangkat tubuh itu ke kamar agar Mara bisa istirahat lebih leluasa di sana.Setelah membar
Anne terhenyak. Batinnya bagai ditusuk tombak sewaktu menangkap presensi Mara tengah bersimpuh di hadapannya. Ia sempat melirik Sonya, asisten sekaligus sekretarisnya yang kini menunduk. Mungkin gadis itu juga tak bisa menyelesaikan masalah ini sebelum atasannya datang ke butik setelah beberapa waktu.“Sudah saya paksa, Bu, tapi dia tetap bersikeras menunggu di sini. Saya nggak bisa berbuat macam-macam, mengingat pelanggan sudah banyak yang datang.”Akhirnya Sonya membuka suara. Anne mengangguk setelah melepaskan napas panjangnya. Ia meminta anak buahnya untuk kembali ke kegiatannya masing-masing, lalu membiarkan Mara.“Apa mau kamu ke sini?”Dingin. Kesan Anne pada Mara sudah berubah drastis. Tak lagi ramah atau dipenuhi kehangatan saat bertutur kata. Setiap orang, bisa mengubah kepribadiannya setelah momen besar terjadi. Terlebih bagi Anne sendiri, ia sudah mengalami kejadian yang membuat hatinya pecah akibat pengkhianatan suami.“Mbak ….” Mara merangkak mendekati kedua kaki Anne ya