Home / Pernikahan / Setelah Tiga Tahun Pernikahan / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Setelah Tiga Tahun Pernikahan: Chapter 21 - Chapter 30

50 Chapters

Frustasi

Begitu tiba di pintu depan, tiba-tiba aku bertemu dengan seseorang yang langsung membuatku terpana."Astaga, Mbak Rena?" Aku berkata pelan, menyebut sosok yang kini tengah berada di depanku, dan saat ini jarak kami hanya tersekat pintu kaca yang tebal.Memalukan sekali bertemu dalam keadaan begini. Belum mandi plus masih paket baju tidur. Tapi, apa dia mengenaliku?Sementara Mbak Rena terlihat begitu cantik, dan elegan. Kemeja putih yang dipasangakan vest berwarna marun dan celana panjang hitam polos. Sementara rambutnya ia biarkan tergerai. Aku pun langsung bergerak ke samping, memberi jalan untuk Mbak Rena masuk terlebih dulu."Kamu bukannya yang waktu itu?" tanya Mbak Rena begitu masuk, dan melihatku berdiri di samping pintu. Rasanya ingin sekali aku mengakui kalau kami tidak saling kenal, sangking malunya. Tapi, rasanya aku seperti orang yang tak tahu balas budi jika sampai melakukan itu."Eum ... I--ya Mbak. Mbak apa kabar?" Aku bertanya dengan kaku.Ia tersenyum, menyambut deng
Read more

Kemarahan Elang

"Ingat ya, Mas jangan sampai hanya kamu kasian karena dia janda. Lalu, kamu menjandakan istrimu!" tekanku.Mas Elang menghembuskan napas kasar, wajahnya langsung memerah, rahangnya mengeras, dan matanya membulat begitu mendengar perkataanku."Ngomong apasih kamu ini? Sudahlah kalau kamu memang tidak percaya!" Mas Elang menjawab dengan nada tegas. Detik berikutnya laki-laki itu keluar kamar dengan wajah gusar. Tak lama setelahnya terdengar suara mobil pergi menjauh. Entah mau kemana dia?Selama pernikahan aku tak pernah melihat Mas Elang semarah ini, demi membela perempuan itu. Rasa kecewa seketika merajai hati, juga marah kesal menjadi satu.***Malam kian larut. Aku terbangun, dan menatap jam yang menggantung di dinding. Waktu menunjukan pada angka 11 lebih 30 malam. Tapi, belum ada tanda-tanda Mas Elang akan pulang, sebenarnya sedikit menyesal. Tapi, mau bagaimana lagi? Karena, rumah tangga kami tengah terancam, dengan kehadiran seseorang, dan aku tentunya tidak bisa diam begitu saj
Read more

Bagai Tersayat Sembilu

Dari jarak yang lumayan jauh, aku menatap awas ke arah Mas Elang berdiri. Memperhatikan setiap gerak-geriknya, apa kiranya yang membuat lelaki itu ada di sini. Sekedar healingkah atau ada urusan lain?Bukankah setelah menikah, ia selalu beralasan tak begitu menyukai tempat ramai seperti ini, jika aku mengajaknya untuk pergi. Lalu, apa yang menjadi alasannya saat ini, seseorangkah atau selama ini ia memang tak ingin jalan denganku karena, merasa bosan atau memang ada alasan lain?Ah, entahlah! Pertanyaan dan pradugaku tak akan pernah terjawab sebelum aku melihat dengan mata kepala sendiri, sedang apa dan bersama siapa Mas Elang ada di sini.Perlahan aku melangkah ke arah Mas Elang. Kemudian langkahku terhenti begitu melihat sosok anak kecil berlari ke arah Mas Elang, dan memeluk lututnya sambil mengadah ke atas sambil tersenyum."Ayo, Om kita main!" ajak anak perempuan yang belum kuketahui namanya itu dengan mata berbinar. Dari sini aku bisa melihat keakraban yang terjalin diantara ked
Read more

playing victim

"Sudahlah, Mas sebaiknya Mas pulang saja! Urus saja istrimu yang tidak tahu malu itu. Aku gak mau gara-gara dia orang-orang disini menganggap aku perempuan gak bener, karena makan sama suami orang!" ucap Sava kemudian. Lalu, beranjak dari tempat duduknya.Mendengar ucapan Sava membuatku cukup terkejut, dan meringis. Pintar sekali dia berpura-pura, seolah-olah akulah yang bersalah. Playing victim sekali."Apa yang dibilang, Sava benar Mas. Sebaiknya Mas pulang bersamaku. Memang tidak baik perempuan dan laki-laki yang bukan muhrim duduk berdua, dan saling berpegangan tangan. Apalagi ada anak istri Mas disini. Apa kata orang?" balasku dengan nada menyindir. Lalu, tersenyum.Wajah Sava yang tadi terlihat begitu angkuh, seketika berubah memerah. Entah menahan malu atau marah. Aku menduga keduanya."Kamu ...?" ucap Sava, sembari menatap geram ke arahku. "Kenapa? Apa yang kubilang benar, 'kan?" tanyaku. Sava semakin terlihat kesal. Kemudian langsung pergi begitu saja.Sementara Mas Elang t
Read more

Setali Tiga Uang

Sejenak suasana nampak hening. Mas Elang beberapa kali kulihat mengusap wajahnya dengan kasar. Sementara Mama menatapku dengan wajah kesal juga geram."Pikirkan baik-baik sebelum bicara Hanin! Jangan jadikan perceraian sebagai percandaan!" tegur Mama dengan nada jengkel."Aku tidak bercanda, dan aku serius!" tegasku. "Buat apa terus bersama, kalau hanya untuk saling menyakiti?""Kamu pikir bercerai dan jadi janda itu mudah? Mau makan apa kamu setelah pisah dari anak saya?" tanya Mama dengan nada angkuh, seolah selama ini aku bisa makan karena Mas Elang. Memang benar selama ini Mas Elang yang sudah memberi nafkah. Tapi, bukan berarti dia yang menjamin kehidupanku."Aku tahu jika aku yang mengajukan gugatan prosesnya tidak akan mudah, maka dari itu, aku ingin Mas Elang menalakku, dan aku juga tau bahwa menjadi single mom itu tidak mudah.Setelah ini kalian tidak perlu memikirkanku mau makan apa? Aku akan bekerja," jawabku yakin. Meski aku sendiri belum tahu mau kerja apa."Lihat istrimu
Read more

Kesempatan yang tak Datang Dua Kali

"Hallo, Assalamualaikum," sapaku dengan perasaan gugup begitu sambungan telpon terhubung.Selama ini aku dan Rena memang pernah bertukar nomor ponsel. Tapi, aku tak menyangka kalau dia akan memghubungiku terlebih dulu."Iya hallo Hanin. Waalaikumsalam. Ini aku Rena, maaf kalau ganggu," ucapnya memperkenalkan diri. Mungkin ia pikir aku tak lagi menyimpan nomornya."Iya, gak ganggu kok Mbak, ada apa ya Mbak?" "Kamu sibuk gak?" "Enggak Mbak paling juga beres-beres rumah aja.""Bisa ketemuan gak, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.""Eum ... Apa? Apa gak bisa lewat telpon aja?""Kalau lewat telpon kayaknya kurang enak aja.""Oh gitu? Iya Mbak. Tapi, saya izin ke Mas Elang dulu ya!""Iya.""Kalau jadi, ketemuannya dimana dan jam berapa?""Sekitar jam 9, nanti aku suruh supirku buat jemput kamu, kamu share aja tempat kamu tinggal ya!""Eh gak usah, Mbak. Nanti malah merepotkan.""Udah gak apa-apa."Kami pun mengakhiri topik pembicaraan. Setelahnya aku langsung mengirim pesan ke Mas Elan
Read more

Kehilangan Harga Diri

"Aduh, maaf, maaf saya gak sengaja," ucapku tak enak sambil sedikit membungkuk.Namun, begitu mata kami bertemu membuatku langsung terkejut."Kamu?" ucapnya yang juga tak kalah terkejut. Lalu, secepat mungkin ia langsung kembali menguasai diri. Cepat juga dia menguasai dirinya."Maaf!" ucapku, dan langsung melangkah pergi."Kenapa buru-buru? Mungkin kita bisa makan-makan dulu, tenang saja aku yang traktir," ucap Sava kemudian sambil tersenyum. Entah apa maksud dari senyumannya itu. Tapi, terlihat mencemooh."Tidak perlu, kamu simpan saja uangnya. Kebetulan aku baru saja makan," balasku santai.Entah mengapa perempuan ini bisa ada disini, bukannya harusnya saat ini dia bekerja di kantor sama Mas Elang?"Mbak Hanin yakin tidak mau menerima tawaran baikku? Padahal aku hanya ingin mengajak Mbak makan," ucap Sava dengan suara lembut. Tidak seperti biasanya saat ia bertemu denganku sebelum-sebelumnya."Katakan saja apa maumu?" "Maksud Mbak Hanin?""Sudahlah jangan berpura-pura!""Iya juga
Read more

Urus Diri Dulu, Baru Anak Orang

"Siapa yang menelpon?" Tiba-tiba Mas Elang datang, membuatku langsung terlonjak kaget. Sampai-sampai ponsel yang kupegang nyaris terlepas dari genggaman."Mas lihat saja sendiri!" jawabku sedikit kesal dengan degup jantung memompa lebih kuat. Lalu, menyerahkan ponsel milik Mas Elang, dan kembali melanjutkan sarapan.Dari ekor mata bisa kulihat Mas Elang nampak canggung, saat mengetahui siapa yang menelpon. Tapi, aku pura-pura cuek."Eum ... Nanti Mas telpon lagi!" Mas Elang langsung mematikan ponselnya. Lalu, berlalu ke kamar.Aku hanya meringis, melihat tingkahnya Mas Elang. Tak lama setelahnya, Mas Elang kembali keluar dengan setelan kerja yang tadi sudah kusiapkan, kemudian berpamitan.Seperti biasa aku mengantarnya kedepan pintu, menunggunya sampai hilang dibalik tikungan. Mungkin Mas Elang hendak menjemput perempuan itu ke rumahnya sesuai permintaan pertama saat aku mengangkat telpon tadi, terserahlah. Toh lelaki itu mana bisa kucegah dengan omongan.Aku pun berbalik ke dalam, me
Read more

Tak Percaya

Begitu membuka pesan dari Vania, suasana hatiku langsung berubah seketika. Bagaimana tidak?Vania: Nin, maaf aku gak ada maksud buat kamu sedih. Tapi, ini bener, 'kan suami kamu? Vania bertanya disertai gambar Mas Elang yang sedang makan disebuah restoran bersama perempua itu.Nyesek, seperti itulah kiranya hatiku saat ini, melihat laki-laki yang telah berjanji didepan Tuhan dan para saksi dengan tega melakukan itu, bahkan tanpa merasa bersalah dan berdosa. Entah terbuat dari apa hatinya? Melihat perubahan air mukaku membuat tanya di wajah Fahri juga ibu."Mbak kenapa?" tanya Fahri."Iya, Nduk kamu kenapa habis lihat ponsel wajah kamu jadi sedih gitu?"Aku tersenyum. Lebih tepatnya memaksa tersenyum aku tidak ingin Ibu atau pun Fahri tau soal ini, dan membuat mereka jadi khawatir."Eum ... Aku gak apa-apa, Kok," jawabku. "Beneran kamu gak apa-apa? Kalau ada masalah cerita sama Ibu! Jangan dipendem sendiri!" "Iya, Mbak. berdasarkan situs yang pernah aku baca kalau terlalu sering me
Read more

Nirmala

"Itu, 'kan?" Kalimatku terjeda sambil mulut sedikit menganga."Iya itu Nirmala temanmu waktu masih SD," ucap Ibu menjelaskan."Apa yang terjadi dengannya, Bu?" Aku bertanya penasaran melihat sosok Nirmala yang kini sangat jauh berbeda pada saat terakhir kali kami bertemu.Tubuh yang dulu terlihat tinggi, kulit putih-bersih dan bersisi kini hanya seperti tinggal kulit dan tulang."Mala?" Panggilku.Perempuan itu berhenti, dan menoleh. "Hanin?" panggilnya balik dengan wajah kaget, lalu tersenyum.Aku melangkah, berjalan menghampirinya. Lalu, menyambut tangannya dan mencium pipi kanan dan kiri layaknya bertemu seorang teman."Mau kemana?" tanyaku."Mau ke warung depan, kamu kapan pulangnya?" "Kemarin.""Sendiri?""Berdua sama anak, kebetulan suami lagi gak bisa ikut,"Mala nampak mengangguk, "Kamu sendiri kapan pulangnya?" tanyaku balik. Karena, setahuku sejak menikah Nirmala pindah ke Medan ikut bersama suaminya."Aku udah lama pulang kesini," jawab Mala.Sebenarnya aku masih ingin ngo
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status