"Ingat ya, Mas jangan sampai hanya kamu kasian karena dia janda. Lalu, kamu menjandakan istrimu!" tekanku.Mas Elang menghembuskan napas kasar, wajahnya langsung memerah, rahangnya mengeras, dan matanya membulat begitu mendengar perkataanku."Ngomong apasih kamu ini? Sudahlah kalau kamu memang tidak percaya!" Mas Elang menjawab dengan nada tegas. Detik berikutnya laki-laki itu keluar kamar dengan wajah gusar. Tak lama setelahnya terdengar suara mobil pergi menjauh. Entah mau kemana dia?Selama pernikahan aku tak pernah melihat Mas Elang semarah ini, demi membela perempuan itu. Rasa kecewa seketika merajai hati, juga marah kesal menjadi satu.***Malam kian larut. Aku terbangun, dan menatap jam yang menggantung di dinding. Waktu menunjukan pada angka 11 lebih 30 malam. Tapi, belum ada tanda-tanda Mas Elang akan pulang, sebenarnya sedikit menyesal. Tapi, mau bagaimana lagi? Karena, rumah tangga kami tengah terancam, dengan kehadiran seseorang, dan aku tentunya tidak bisa diam begitu saj
Dari jarak yang lumayan jauh, aku menatap awas ke arah Mas Elang berdiri. Memperhatikan setiap gerak-geriknya, apa kiranya yang membuat lelaki itu ada di sini. Sekedar healingkah atau ada urusan lain?Bukankah setelah menikah, ia selalu beralasan tak begitu menyukai tempat ramai seperti ini, jika aku mengajaknya untuk pergi. Lalu, apa yang menjadi alasannya saat ini, seseorangkah atau selama ini ia memang tak ingin jalan denganku karena, merasa bosan atau memang ada alasan lain?Ah, entahlah! Pertanyaan dan pradugaku tak akan pernah terjawab sebelum aku melihat dengan mata kepala sendiri, sedang apa dan bersama siapa Mas Elang ada di sini.Perlahan aku melangkah ke arah Mas Elang. Kemudian langkahku terhenti begitu melihat sosok anak kecil berlari ke arah Mas Elang, dan memeluk lututnya sambil mengadah ke atas sambil tersenyum."Ayo, Om kita main!" ajak anak perempuan yang belum kuketahui namanya itu dengan mata berbinar. Dari sini aku bisa melihat keakraban yang terjalin diantara ked
"Sudahlah, Mas sebaiknya Mas pulang saja! Urus saja istrimu yang tidak tahu malu itu. Aku gak mau gara-gara dia orang-orang disini menganggap aku perempuan gak bener, karena makan sama suami orang!" ucap Sava kemudian. Lalu, beranjak dari tempat duduknya.Mendengar ucapan Sava membuatku cukup terkejut, dan meringis. Pintar sekali dia berpura-pura, seolah-olah akulah yang bersalah. Playing victim sekali."Apa yang dibilang, Sava benar Mas. Sebaiknya Mas pulang bersamaku. Memang tidak baik perempuan dan laki-laki yang bukan muhrim duduk berdua, dan saling berpegangan tangan. Apalagi ada anak istri Mas disini. Apa kata orang?" balasku dengan nada menyindir. Lalu, tersenyum.Wajah Sava yang tadi terlihat begitu angkuh, seketika berubah memerah. Entah menahan malu atau marah. Aku menduga keduanya."Kamu ...?" ucap Sava, sembari menatap geram ke arahku. "Kenapa? Apa yang kubilang benar, 'kan?" tanyaku. Sava semakin terlihat kesal. Kemudian langsung pergi begitu saja.Sementara Mas Elang t
Sejenak suasana nampak hening. Mas Elang beberapa kali kulihat mengusap wajahnya dengan kasar. Sementara Mama menatapku dengan wajah kesal juga geram."Pikirkan baik-baik sebelum bicara Hanin! Jangan jadikan perceraian sebagai percandaan!" tegur Mama dengan nada jengkel."Aku tidak bercanda, dan aku serius!" tegasku. "Buat apa terus bersama, kalau hanya untuk saling menyakiti?""Kamu pikir bercerai dan jadi janda itu mudah? Mau makan apa kamu setelah pisah dari anak saya?" tanya Mama dengan nada angkuh, seolah selama ini aku bisa makan karena Mas Elang. Memang benar selama ini Mas Elang yang sudah memberi nafkah. Tapi, bukan berarti dia yang menjamin kehidupanku."Aku tahu jika aku yang mengajukan gugatan prosesnya tidak akan mudah, maka dari itu, aku ingin Mas Elang menalakku, dan aku juga tau bahwa menjadi single mom itu tidak mudah.Setelah ini kalian tidak perlu memikirkanku mau makan apa? Aku akan bekerja," jawabku yakin. Meski aku sendiri belum tahu mau kerja apa."Lihat istrimu
"Hallo, Assalamualaikum," sapaku dengan perasaan gugup begitu sambungan telpon terhubung.Selama ini aku dan Rena memang pernah bertukar nomor ponsel. Tapi, aku tak menyangka kalau dia akan memghubungiku terlebih dulu."Iya hallo Hanin. Waalaikumsalam. Ini aku Rena, maaf kalau ganggu," ucapnya memperkenalkan diri. Mungkin ia pikir aku tak lagi menyimpan nomornya."Iya, gak ganggu kok Mbak, ada apa ya Mbak?" "Kamu sibuk gak?" "Enggak Mbak paling juga beres-beres rumah aja.""Bisa ketemuan gak, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.""Eum ... Apa? Apa gak bisa lewat telpon aja?""Kalau lewat telpon kayaknya kurang enak aja.""Oh gitu? Iya Mbak. Tapi, saya izin ke Mas Elang dulu ya!""Iya.""Kalau jadi, ketemuannya dimana dan jam berapa?""Sekitar jam 9, nanti aku suruh supirku buat jemput kamu, kamu share aja tempat kamu tinggal ya!""Eh gak usah, Mbak. Nanti malah merepotkan.""Udah gak apa-apa."Kami pun mengakhiri topik pembicaraan. Setelahnya aku langsung mengirim pesan ke Mas Elan
"Aduh, maaf, maaf saya gak sengaja," ucapku tak enak sambil sedikit membungkuk.Namun, begitu mata kami bertemu membuatku langsung terkejut."Kamu?" ucapnya yang juga tak kalah terkejut. Lalu, secepat mungkin ia langsung kembali menguasai diri. Cepat juga dia menguasai dirinya."Maaf!" ucapku, dan langsung melangkah pergi."Kenapa buru-buru? Mungkin kita bisa makan-makan dulu, tenang saja aku yang traktir," ucap Sava kemudian sambil tersenyum. Entah apa maksud dari senyumannya itu. Tapi, terlihat mencemooh."Tidak perlu, kamu simpan saja uangnya. Kebetulan aku baru saja makan," balasku santai.Entah mengapa perempuan ini bisa ada disini, bukannya harusnya saat ini dia bekerja di kantor sama Mas Elang?"Mbak Hanin yakin tidak mau menerima tawaran baikku? Padahal aku hanya ingin mengajak Mbak makan," ucap Sava dengan suara lembut. Tidak seperti biasanya saat ia bertemu denganku sebelum-sebelumnya."Katakan saja apa maumu?" "Maksud Mbak Hanin?""Sudahlah jangan berpura-pura!""Iya juga
"Siapa yang menelpon?" Tiba-tiba Mas Elang datang, membuatku langsung terlonjak kaget. Sampai-sampai ponsel yang kupegang nyaris terlepas dari genggaman."Mas lihat saja sendiri!" jawabku sedikit kesal dengan degup jantung memompa lebih kuat. Lalu, menyerahkan ponsel milik Mas Elang, dan kembali melanjutkan sarapan.Dari ekor mata bisa kulihat Mas Elang nampak canggung, saat mengetahui siapa yang menelpon. Tapi, aku pura-pura cuek."Eum ... Nanti Mas telpon lagi!" Mas Elang langsung mematikan ponselnya. Lalu, berlalu ke kamar.Aku hanya meringis, melihat tingkahnya Mas Elang. Tak lama setelahnya, Mas Elang kembali keluar dengan setelan kerja yang tadi sudah kusiapkan, kemudian berpamitan.Seperti biasa aku mengantarnya kedepan pintu, menunggunya sampai hilang dibalik tikungan. Mungkin Mas Elang hendak menjemput perempuan itu ke rumahnya sesuai permintaan pertama saat aku mengangkat telpon tadi, terserahlah. Toh lelaki itu mana bisa kucegah dengan omongan.Aku pun berbalik ke dalam, me
Begitu membuka pesan dari Vania, suasana hatiku langsung berubah seketika. Bagaimana tidak?Vania: Nin, maaf aku gak ada maksud buat kamu sedih. Tapi, ini bener, 'kan suami kamu? Vania bertanya disertai gambar Mas Elang yang sedang makan disebuah restoran bersama perempua itu.Nyesek, seperti itulah kiranya hatiku saat ini, melihat laki-laki yang telah berjanji didepan Tuhan dan para saksi dengan tega melakukan itu, bahkan tanpa merasa bersalah dan berdosa. Entah terbuat dari apa hatinya? Melihat perubahan air mukaku membuat tanya di wajah Fahri juga ibu."Mbak kenapa?" tanya Fahri."Iya, Nduk kamu kenapa habis lihat ponsel wajah kamu jadi sedih gitu?"Aku tersenyum. Lebih tepatnya memaksa tersenyum aku tidak ingin Ibu atau pun Fahri tau soal ini, dan membuat mereka jadi khawatir."Eum ... Aku gak apa-apa, Kok," jawabku. "Beneran kamu gak apa-apa? Kalau ada masalah cerita sama Ibu! Jangan dipendem sendiri!" "Iya, Mbak. berdasarkan situs yang pernah aku baca kalau terlalu sering me
Reflek aku pun melangkah ke arah keributan. Begitu sudah dekat, dan melihat yang terjadi seketika mataku terbelalak tak percaya."Makanya kalau gak punya duit, mainnya jangan disini. Udah salah gak mau ngaku lagi," teriak perempuan paru baya itu memaki ke arah Iza.Iza menggeleng. "Tapi, saya gak mencuri, Bu!""Halah, maling mana ada yang mau ngaku?" ucap Ibu itu terlihat begitu emosi."Ada apa ini?" tanyaku kemudian. Tadinya aku tak ingin peduli. Karena, aku tak ada lagi urusan dengan keluarganya Mas Elang. Tapi, entah mengapa tiba-tiba saja hatiku tergerak.Iza yang melihat kedatanganku langsung berlari. "Eh mau kemana kamu?" teriak perempuan itu."Tenang, Bu. Semuanya bisa dibicarakan baik-baik," ucapku berusaha menenangkan."Kamu siapa? Jangan ikut campur ya!" sergahnya."Saya Kakaknya!" Tiba-tiba kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku."Oh jadi kamu kakaknya? Tolong ya diajarin adiknya jangan jadi pencuri!" ucap perempuan itu masih terlihat emosi."Bukan saya ingin membel
"Apa maumu?" Aku kembali bertanya dengan perasaan yang sudah tak karu-karuan. Takut, marah, emosi seketika bercampur jadi satu.Bukannya menjawab ia malah tertawa, entah apa yang lucu."Jangan main-main! Kalau tidak aku akan berteriak!" ancamku."Teriak saja sekeras yang kau mau, tidak akan ada yang mendengarmu."Ia melangkah semakin dekat, sementara aku semakin melangkah mundur, hingga tubuhku tersandar ke mobil."Kenapa kau tidak jadi berteriak?" tanyanya.Badanku mulai gemetar kala jarak kami semakin dekat, bahkan untuk berlari rasanya tidak mungkin."Apa maumu?" tanyaku dengan suara bergetar, dengan keringat dingin.Dengan segenap keberanian, aku langsung menarik kain yang menutupi sebagian wajahnya. Tapi, aku tak mengenalinya. Setelah kain yang menutupi wajahnya terbuka, dengan cepat ia langsung mengayunkan pisau itu ke wajahku. Aku yang menyadari bahaya langsung menangkisnya dengan tangan, dan hingga akhirnya tanganku yang terluka hingga mengeluarkan cairan segar. Melihatku ter
Aku tengah berdiri di depan gedung pengadilan agama kota Bandung. Hari ini sidang perceraianku, dan Mas Elang.Lelaki itu tidak lagi berniat membujukku setelah kemarin betengkar hebat dengan Fahri di rumah makan depan kantor."Kenapa, Kak Elang mau balikan sama Mbak Hanin karena tahu Mbak Hanin kerja sebagai model, 'kan?" tanya Fahri kala itu.Mama dan Mas Elang yang mendengar pertanyaan Fahri langsung ke intinya terlihat kikuk."B--ukan begitu, kami melakukan semua ini demi Ara," terang Mama melakukan pembelaan.Tapi, Fahri tidak percaya begitu saja, dan akhirnya membuat Mama dan Mas Elang menyerah."Ibu yakin kamu kuat, Nduk!" Ibu yang saat ini tengah berdiri disamping kananku tiba-tiba membuyarkan lamunanku."Iya, Bu," jawabku.Kami pun akhirnya masuk ke dalam gedung. Aku tak pernah membayangkan jika pernikahanku akan berakhir disini, impian pernikahan sekali seumur hidup berakhir di pengadilan.Kulihat Mas Elang tertunduk lesu. Sementara Sava menatapku penuh kemenangan.Sidang pun
"Iya, Ibu mau," jawab Ibu yang akhirnya membuatku lega."Kalau begitu aku akan bicara sama Bude Maryam."Ibu mengangguk, akupun langsung memeluk tubuh Ibu dengan perasaan senang, dan berjanji pada diri sendiri disisa umurnya yang semakin tua aku akan berusaha untuk membuatnya bahagia."Yang bener kamu, Nin?" tanya Bude Maryam tak percaya saat kusuruh menempati rumah Ibu saja."Iya, Bude. Tadinya Ibu gak mau ikut denganku. Karena, khawatir rumah dan hewan ternaknya gak ada yang rawat," terangku."Ya begitulah, Ibumu," ucap Bude Maryam. "Keukeh dengan pendirian. Tapi, baik, dan mudah berempati. Sebenarnya, Ibumu juga ingin terus bersama sama kalian. Waktu pamit ke Bandung aja Ibumu bilang karena, khawatir sama kamu," lanjut Bude menjelaskan.Aku terdiam mendengar penjelasan Bude, merasa haru dengan apa yang Ibu lakukan untuk kami. Meski anaknya jauh, Ibu selalu tahu kalau anaknya tak baik-baik saja. Ah, Ibu sungguh pengorbananmu tidak akan bisa kubalas dengan apapun walaupun dunia dan s
"Mas Elang? Kamu ngapain disini?" Aku bertanya dengan ekpresi gugup. Karena terkejut melihatnya yang tiba-tiba ada di depanku."Eum ... Mas sengaja nungguin kamu.""Mau apa lagi, diantara kita sudah tak ada urusan. Aku sudah mengurus surat perceraian kita di pengadilan. Jadi, Mas tunggu saja!"Mas Elang menggeleng. "Tapi, Mas tidak ingin pisah dari kamu!"Entah apa maksudnya, setelah membuangku begitu saja sekarang ia ingin kembali. Setelah kemarin mengetahui kalau ternyata aku bekerja sebagai seorang model."Kenapa, Mas?" tanyaku. Ingin tahu alasannya."Kasian Ara kalau sampai kita pisah," ucapnya memberi alasan. Lalu, kemarin-kemarin saat aku sudah memberi waktu sekian lama kemana dia?"Kenapa baru sekarang kamu memikirkan Ara, Mas? Kemarin kemana saja?""Eum ... Maaf! Mas tahu salah makanya Mas kesini mau minta maaf, kamu mau, 'kan maafin Mas?""Mas apa-apaan kamu?" teriak seseorang yang sontak membuat aku dan Mas Elang menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Sava."Aku pikir dianta
Kulihat Mas Elang hendak berangkat dari tempat duduknya. Tapi, dengan cepat Sava segera menahannya."Mau kemana kamu, Mas?" tanya Sava yang jaraknya hanya tersekat meja denganku. Meski pelan aku masih bisa mendengarnya. Bahkan, di kantor pun ia sudah memanggil Mas Elang dengan sebutan, Mas."Ingat sebentar lagi meeting dimulai!" ucap Sava memperingati. Sementara aku yang mendengar hanya berpura-pura sibuk dengan berkas di tanganku. Setelahnya tak lama kemudian meeting pun dilaksanakan, clien yang datang dari negara tetangga hanya berjumlah dua orang, dan sudah berada di ruangan.Seperti yang diperintahkan Ezra, aku mulai menjelaskan isi meeting kali ini, untungnya aku bisa berbahasa Inggris.Mas Elang, dan Sava hanya bisa tercengang setelah mengetahui posisiku di kantornya Ezra.Pihak clien terlihat puas mendengar penjelasanku, dan mereka setuju untuk bekerja sama. Selain, menampilkan produk busana muslimah pihak kantor juga memproduksi kain secara langsung, dan itu menjadi salah sat
"Elang!" Tiba-tiba suara seorang perempuan yang kuhapal suaranya memanggil nama Mas Elang. Kami pun sontak menoleh ke arah sumber suara. Mataku membulat saat melihat perempuan itu bergerak maju ke arah kami."Ibu?" ucapku dan Mas Elang hampir berbarengan."I--bu kok bisa ada di sini?" tanyaku tergagap. Lalu, menyambut tangannya begitupun Mas Elang."Ibu baru saja dari rumah mertuamu. Ibu juga sudah tahu semuanya.""Eum ... Sebenarnya ini hanya salah paham, Bu. Aku bisa jelasin," ucap Mas Elang."Apa lagi yang ingin kamu jelaskan, Mas?" tanyaku."Bu!" Tiba-tiba Fahri datang, menghampiri kami. Aku yang tak tahu kalau Ibu datang bersama Fahri begitu kaget."Heh! Laki-laki bre ng sek kamu apakan kakakku?" tanya Fahri tiba-tiba wajahnya terlihat emosi. Aku tidak tahu apa yang dikatakan Mama pada Ibu dan Fahri hingga mereka tahu semuanya."Sudahlah, Bu, Fahri sebaiknya kita pergi! Ini kantor tidak enak kalau ada yang lihat!" tegurku. Malu, tentu saja. Kami pun memilih pergi masuk ke dalam k
"Jadi kamu sudah dapat tempat tinggal?" tanya Tante Sandra, saat aku datang ke rumah untuk berpamitan, dan mengambil beberapa barangku."Alhamdulillah iya, Tan." Tante Sandra tersenyum. "Tante hanya bisa mendoakan yang terbaik. Kapanpun kamu mau pintu rumah ini selalu terbuka untukmu.""Terima kasih banyak, Tan. Aku gak tau harus bilang apa? Sekali lagi terima kasih sudah merepotkan.""Tante sama Om tidak merasa direpotkan sama sekali," ucap Om Farhan yang tiba-tiba muncul dari arah dapur, dan membuat kami seketika menoleh."Om Farhan gak kerja?" tanyaku. Lalu, menyambut tangannya."Kerja, Om pulang makan siang. Soalnya gak ada masakan seenak masakan Tantemu," godanya sembari melirik Tante Sandra, membuat keduanya tersenyum.Aku senang melihat keromantisan yang tercipta diantara mereka. Usia bukan jadi penghalang untuk selalu menciptakan kehangatan. Ah, rasanya aku iri melihat keharmonisan diantara mereka, sementara aku? Pernikahan yang kuimpikan sekali seumur hidup nyata tengah bera
"Ini!" Ezra menyerahkan dua buah kunci ke arahku. "Apa ini?" tanyaku tak mengerti."Itu kunci mobil, dan apartemen untukmu. Fasilitas dari kantor," ucap Ezra. Aku yang baru datang, dan duduk tentu saja dibuat bingung dengan sikapnya itu."Untuk apa, bukankah masa kontrak kerja kita sudah berakhir?""Diperpanjang 5 tahun?" balasnya santai. "Jika kamu setuju, kamu bisa pakai mobil, dan apartemenya!" Mataku membulat, dengan mulut sedikit menganga mendengar penjelasan Ezra. Kaget, tentu saja. Ini seperti mimpi disiang bolong."Itu mulut tutup, nanti kemasukan lalat lagi," ucapnya Ezra sembari melipatkan tangan di dada.Dengan ekpresi kikuk aku langsung menutup mulutku. Ah, sial kenpa dari dulu sikapnya tidak berubah. Menyebalkan. Akukan jadi malu."Gimana apa kamu setuju?" Tuhan seperti menjawab doaku yang saat ini tengah bingung mencari tempat tinggal. Tapi, mobil aku tidak bisa menyetir.Aku mengangguk cepat. Kesempatan ini tidak boleh kusia-siakan. "Dan ini bayaran untuk bulan kema