"Siapa yang menelpon?" Tiba-tiba Mas Elang datang, membuatku langsung terlonjak kaget. Sampai-sampai ponsel yang kupegang nyaris terlepas dari genggaman."Mas lihat saja sendiri!" jawabku sedikit kesal dengan degup jantung memompa lebih kuat. Lalu, menyerahkan ponsel milik Mas Elang, dan kembali melanjutkan sarapan.Dari ekor mata bisa kulihat Mas Elang nampak canggung, saat mengetahui siapa yang menelpon. Tapi, aku pura-pura cuek."Eum ... Nanti Mas telpon lagi!" Mas Elang langsung mematikan ponselnya. Lalu, berlalu ke kamar.Aku hanya meringis, melihat tingkahnya Mas Elang. Tak lama setelahnya, Mas Elang kembali keluar dengan setelan kerja yang tadi sudah kusiapkan, kemudian berpamitan.Seperti biasa aku mengantarnya kedepan pintu, menunggunya sampai hilang dibalik tikungan. Mungkin Mas Elang hendak menjemput perempuan itu ke rumahnya sesuai permintaan pertama saat aku mengangkat telpon tadi, terserahlah. Toh lelaki itu mana bisa kucegah dengan omongan.Aku pun berbalik ke dalam, me
Begitu membuka pesan dari Vania, suasana hatiku langsung berubah seketika. Bagaimana tidak?Vania: Nin, maaf aku gak ada maksud buat kamu sedih. Tapi, ini bener, 'kan suami kamu? Vania bertanya disertai gambar Mas Elang yang sedang makan disebuah restoran bersama perempua itu.Nyesek, seperti itulah kiranya hatiku saat ini, melihat laki-laki yang telah berjanji didepan Tuhan dan para saksi dengan tega melakukan itu, bahkan tanpa merasa bersalah dan berdosa. Entah terbuat dari apa hatinya? Melihat perubahan air mukaku membuat tanya di wajah Fahri juga ibu."Mbak kenapa?" tanya Fahri."Iya, Nduk kamu kenapa habis lihat ponsel wajah kamu jadi sedih gitu?"Aku tersenyum. Lebih tepatnya memaksa tersenyum aku tidak ingin Ibu atau pun Fahri tau soal ini, dan membuat mereka jadi khawatir."Eum ... Aku gak apa-apa, Kok," jawabku. "Beneran kamu gak apa-apa? Kalau ada masalah cerita sama Ibu! Jangan dipendem sendiri!" "Iya, Mbak. berdasarkan situs yang pernah aku baca kalau terlalu sering me
"Itu, 'kan?" Kalimatku terjeda sambil mulut sedikit menganga."Iya itu Nirmala temanmu waktu masih SD," ucap Ibu menjelaskan."Apa yang terjadi dengannya, Bu?" Aku bertanya penasaran melihat sosok Nirmala yang kini sangat jauh berbeda pada saat terakhir kali kami bertemu.Tubuh yang dulu terlihat tinggi, kulit putih-bersih dan bersisi kini hanya seperti tinggal kulit dan tulang."Mala?" Panggilku.Perempuan itu berhenti, dan menoleh. "Hanin?" panggilnya balik dengan wajah kaget, lalu tersenyum.Aku melangkah, berjalan menghampirinya. Lalu, menyambut tangannya dan mencium pipi kanan dan kiri layaknya bertemu seorang teman."Mau kemana?" tanyaku."Mau ke warung depan, kamu kapan pulangnya?" "Kemarin.""Sendiri?""Berdua sama anak, kebetulan suami lagi gak bisa ikut,"Mala nampak mengangguk, "Kamu sendiri kapan pulangnya?" tanyaku balik. Karena, setahuku sejak menikah Nirmala pindah ke Medan ikut bersama suaminya."Aku udah lama pulang kesini," jawab Mala.Sebenarnya aku masih ingin ngo
Fajar belum menyingsing. Tapi, aku dan Ibu sudah bersiap untuk berangkat ke salon. Bahkan suasana masih nampak gelap. Pun dengan angin subuh terasa menusuk ketulang."Nduk, apa sebaiknya gak usah aja ke salonnya?" tanya Ibu ragu begitu kami keluar dari rumah. "Kasian Ara." Wajah Ibu terlihat begitu khawatir saat melihat Ara masih tertidur dalam gendongan."Jangan, Bu kasian Fahri ini momen sekali seumur hidupnya. In Sha Allah Ara gak kenapa-kenapa," ucapku meyakinkan."Apa gak ada tukang salon yang bisa di ajak ke rumah?" tanya Ibu.Waktu mepet sekali, sudah pukul lima pagi kemana harus mencari MUA yang bisa diajak ke rumah? Kalau mau, harusnya dari kemarin. "Sebentar aku coba tanya Nirmala dulu siapa tahu dia ada kenalan." Aku pun langsung mengambil ponsel, dan mencari kontak Nirmala.Setelah beberapa saat akhirnya panggilanku dijawab."Hallo, Assalamualaikum, Mala. Maaf ganggu pagi-pagi.""Waalaikumsalam. Iya, Nin ada apa?""Eum ... Kamu punya kenalan MUA gak? Aku sama Ibu butuh MU
Aku pun langsung melangkah ke pintu, sambil menggendong Ara."Terima kasih lho, Nak Sava udah repot-repot mau jengukin, Tante. Pake bawain makanan kesukaan, Tante segala. Kamu benar-benar menantu idaman para orang tua." Aku yang baru saja hendak mengucap salam langsung mengurungkan niat begitu mendengar ucapan Mama.Dari pintu yang sedikit terbuka aku bisa melihat wajah Mama yang nampak semringah. Oh jadi yang datang perempuan itu? "Sama-sama, Tan. Ah, gak repot-kok. Sava malah senang kalau Tante juga senang. Sava langsung khawatir saat Mas Elang bilang kalau Tante sakit, makanya aku datang kesini," terang Sava. Oh jadi, Mama sakit. Tapi, kok Mas Elang gak bilang.Dalam hati sebenarnya ada perasaan khawatir juga mendengar penjelasan Sava. Tapi, disisi lain sedikit kesal dan kecewa saat Mas Elang lebih dulu memberitahu orang lain ketimbang istrinya sendiri. Lebih baik aku pura-pura tidak tahu saja, sampai mereka bicara sendiri. Toh kulihat keadaan Mama juga tidak terlihat mengkhawatir
Aku kembali duduk setelah mendengar permintaan Mas Elang."Apa yang ingin, Mas bicarakan?" Aku bertanya penasaran.Sebelum menjawab pertanyaanku, Mas Elang terlihat menarik napas dalam. Lalu, perlahan membuangnya seolah tengah membuang beban. Melihat ekspresinya begitu sepertinya yang akan disampaikannya serius."Begini Nin, setelah kemarin Mama sakit, dan tidak ada yang menjaganya. Jadi, aku dan Mama sudah berdiskusi kalau kita akan kembali ke rumah Mama."Mataku membulat mendengar kalimat yang keluar dari bibir Mas Elang, apa aku tidak salah dengar bahwa kami akan kembali ke rumah Mama? Bukankah ada Iza?"Bukannya ada Iza, juga kita bisa bolak-balik dari kontarakan. Terus kalau aku tidak setuju gimana?" "Ayolah, Hanin jangan mempersulit keadaan Mas anak laki-laki satu-satunya, kamu mau, 'kan?" ucap Mas Elang lembut seperti tengah membujuk anak yang tengah menangis."Mas-""Mas tidak ingin jadi anak durhaka, dan Mas yakin kamu juga tidak mau, 'kan kalau Mas jadi anak durhaka?" poton
"Mas bukannya kemarin kamu sendiri yang bilang kalau, Mas setuju dan tidak keberatan?" Tentu saja aku tak terima dengan keputusan Mas Elang yang terbilang plin-plan tersebut."Tapi, setelah Mas pikir-pikir, dan Mas berubah pikiran," ucap Mas Elang santai.Aku meringis mendengar ucapan yang keluar dari mulut Mas Elang."Jangan menjilat ludah sendiri, Mas!""Sudahlah tidak usah berdebat. Biarkan saja dia bekerja, mau kerja apa dia? Paling juga tahan berapa hari," ucap Mama menengahi. Aku pikir Mama benaran membelaku. Tapi, kalimat terakhirnya terkesan meremehkan."Mau kerja apa sih, Mbak lulusan SMA aja belagu," ketus Iza."Ya sudah kamu boleh bekerja. Tapi, kamu juga harus ingat tugasmu sebagai seorang istri juga di rumah ini!" lanjut Mama memberi peringatan."Aku tidak akan lupa tugasku, Ma selagi itu masih wajar," jawabku."Apa maksudmu?" tanya Mama dengan wajah jengkel."Apa yang dibilang Mama benar. Kamu boleh kerja. Asal tidak lupa dengan tugasmu sebagai seorang istri juga menantu
"Pa Pa Pa," ucap Ara. Kemudian tangan mungilnya menunjuk ke arah parkiran, dan menampakkan pemandangan yang seketika menyanyat hati.Seumur pernikahan kami, dan sebagai istri sahnya aku tak pernah diperlakukan begitu. Bahkan menaiki mobil itu masih bisa dihitung pakai jari. Tapi, Mas Elang dengan manisnya membukakan pintu mobil untuk perempuan lain. Cemburu? Ah, entahlah mungkin perasaanku terhadap Mas Elang seiring perubahan sikapnya semakin terkikis, yang ada kecewa.Aku memang sudah lama curiga, dan percaya kalau diantara mereka memang ada hubungan spesial. Meski Mas Elang berkata bahwa mereka berteman. Tapi, aku tidak sebodoh itu, dan hanya perlu menunggu waktu.Aku sengaja menurunkan Ara dalam gendongan, dan membiarkannya berlari menghampiri Mas Elang."Pa Pa Pa" teriak Ara sambil berlari menghampiri Mas Elang, tangannya terulur."A--ra?" ucap Mas Elang terlihat keget begitu melihat Puteri kecilnya berlari menghampirinya. "Dengan siapa kamu kesini?" tanya Mas Elang sembari berjo
Reflek aku pun melangkah ke arah keributan. Begitu sudah dekat, dan melihat yang terjadi seketika mataku terbelalak tak percaya."Makanya kalau gak punya duit, mainnya jangan disini. Udah salah gak mau ngaku lagi," teriak perempuan paru baya itu memaki ke arah Iza.Iza menggeleng. "Tapi, saya gak mencuri, Bu!""Halah, maling mana ada yang mau ngaku?" ucap Ibu itu terlihat begitu emosi."Ada apa ini?" tanyaku kemudian. Tadinya aku tak ingin peduli. Karena, aku tak ada lagi urusan dengan keluarganya Mas Elang. Tapi, entah mengapa tiba-tiba saja hatiku tergerak.Iza yang melihat kedatanganku langsung berlari. "Eh mau kemana kamu?" teriak perempuan itu."Tenang, Bu. Semuanya bisa dibicarakan baik-baik," ucapku berusaha menenangkan."Kamu siapa? Jangan ikut campur ya!" sergahnya."Saya Kakaknya!" Tiba-tiba kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku."Oh jadi kamu kakaknya? Tolong ya diajarin adiknya jangan jadi pencuri!" ucap perempuan itu masih terlihat emosi."Bukan saya ingin membel
"Apa maumu?" Aku kembali bertanya dengan perasaan yang sudah tak karu-karuan. Takut, marah, emosi seketika bercampur jadi satu.Bukannya menjawab ia malah tertawa, entah apa yang lucu."Jangan main-main! Kalau tidak aku akan berteriak!" ancamku."Teriak saja sekeras yang kau mau, tidak akan ada yang mendengarmu."Ia melangkah semakin dekat, sementara aku semakin melangkah mundur, hingga tubuhku tersandar ke mobil."Kenapa kau tidak jadi berteriak?" tanyanya.Badanku mulai gemetar kala jarak kami semakin dekat, bahkan untuk berlari rasanya tidak mungkin."Apa maumu?" tanyaku dengan suara bergetar, dengan keringat dingin.Dengan segenap keberanian, aku langsung menarik kain yang menutupi sebagian wajahnya. Tapi, aku tak mengenalinya. Setelah kain yang menutupi wajahnya terbuka, dengan cepat ia langsung mengayunkan pisau itu ke wajahku. Aku yang menyadari bahaya langsung menangkisnya dengan tangan, dan hingga akhirnya tanganku yang terluka hingga mengeluarkan cairan segar. Melihatku ter
Aku tengah berdiri di depan gedung pengadilan agama kota Bandung. Hari ini sidang perceraianku, dan Mas Elang.Lelaki itu tidak lagi berniat membujukku setelah kemarin betengkar hebat dengan Fahri di rumah makan depan kantor."Kenapa, Kak Elang mau balikan sama Mbak Hanin karena tahu Mbak Hanin kerja sebagai model, 'kan?" tanya Fahri kala itu.Mama dan Mas Elang yang mendengar pertanyaan Fahri langsung ke intinya terlihat kikuk."B--ukan begitu, kami melakukan semua ini demi Ara," terang Mama melakukan pembelaan.Tapi, Fahri tidak percaya begitu saja, dan akhirnya membuat Mama dan Mas Elang menyerah."Ibu yakin kamu kuat, Nduk!" Ibu yang saat ini tengah berdiri disamping kananku tiba-tiba membuyarkan lamunanku."Iya, Bu," jawabku.Kami pun akhirnya masuk ke dalam gedung. Aku tak pernah membayangkan jika pernikahanku akan berakhir disini, impian pernikahan sekali seumur hidup berakhir di pengadilan.Kulihat Mas Elang tertunduk lesu. Sementara Sava menatapku penuh kemenangan.Sidang pun
"Iya, Ibu mau," jawab Ibu yang akhirnya membuatku lega."Kalau begitu aku akan bicara sama Bude Maryam."Ibu mengangguk, akupun langsung memeluk tubuh Ibu dengan perasaan senang, dan berjanji pada diri sendiri disisa umurnya yang semakin tua aku akan berusaha untuk membuatnya bahagia."Yang bener kamu, Nin?" tanya Bude Maryam tak percaya saat kusuruh menempati rumah Ibu saja."Iya, Bude. Tadinya Ibu gak mau ikut denganku. Karena, khawatir rumah dan hewan ternaknya gak ada yang rawat," terangku."Ya begitulah, Ibumu," ucap Bude Maryam. "Keukeh dengan pendirian. Tapi, baik, dan mudah berempati. Sebenarnya, Ibumu juga ingin terus bersama sama kalian. Waktu pamit ke Bandung aja Ibumu bilang karena, khawatir sama kamu," lanjut Bude menjelaskan.Aku terdiam mendengar penjelasan Bude, merasa haru dengan apa yang Ibu lakukan untuk kami. Meski anaknya jauh, Ibu selalu tahu kalau anaknya tak baik-baik saja. Ah, Ibu sungguh pengorbananmu tidak akan bisa kubalas dengan apapun walaupun dunia dan s
"Mas Elang? Kamu ngapain disini?" Aku bertanya dengan ekpresi gugup. Karena terkejut melihatnya yang tiba-tiba ada di depanku."Eum ... Mas sengaja nungguin kamu.""Mau apa lagi, diantara kita sudah tak ada urusan. Aku sudah mengurus surat perceraian kita di pengadilan. Jadi, Mas tunggu saja!"Mas Elang menggeleng. "Tapi, Mas tidak ingin pisah dari kamu!"Entah apa maksudnya, setelah membuangku begitu saja sekarang ia ingin kembali. Setelah kemarin mengetahui kalau ternyata aku bekerja sebagai seorang model."Kenapa, Mas?" tanyaku. Ingin tahu alasannya."Kasian Ara kalau sampai kita pisah," ucapnya memberi alasan. Lalu, kemarin-kemarin saat aku sudah memberi waktu sekian lama kemana dia?"Kenapa baru sekarang kamu memikirkan Ara, Mas? Kemarin kemana saja?""Eum ... Maaf! Mas tahu salah makanya Mas kesini mau minta maaf, kamu mau, 'kan maafin Mas?""Mas apa-apaan kamu?" teriak seseorang yang sontak membuat aku dan Mas Elang menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Sava."Aku pikir dianta
Kulihat Mas Elang hendak berangkat dari tempat duduknya. Tapi, dengan cepat Sava segera menahannya."Mau kemana kamu, Mas?" tanya Sava yang jaraknya hanya tersekat meja denganku. Meski pelan aku masih bisa mendengarnya. Bahkan, di kantor pun ia sudah memanggil Mas Elang dengan sebutan, Mas."Ingat sebentar lagi meeting dimulai!" ucap Sava memperingati. Sementara aku yang mendengar hanya berpura-pura sibuk dengan berkas di tanganku. Setelahnya tak lama kemudian meeting pun dilaksanakan, clien yang datang dari negara tetangga hanya berjumlah dua orang, dan sudah berada di ruangan.Seperti yang diperintahkan Ezra, aku mulai menjelaskan isi meeting kali ini, untungnya aku bisa berbahasa Inggris.Mas Elang, dan Sava hanya bisa tercengang setelah mengetahui posisiku di kantornya Ezra.Pihak clien terlihat puas mendengar penjelasanku, dan mereka setuju untuk bekerja sama. Selain, menampilkan produk busana muslimah pihak kantor juga memproduksi kain secara langsung, dan itu menjadi salah sat
"Elang!" Tiba-tiba suara seorang perempuan yang kuhapal suaranya memanggil nama Mas Elang. Kami pun sontak menoleh ke arah sumber suara. Mataku membulat saat melihat perempuan itu bergerak maju ke arah kami."Ibu?" ucapku dan Mas Elang hampir berbarengan."I--bu kok bisa ada di sini?" tanyaku tergagap. Lalu, menyambut tangannya begitupun Mas Elang."Ibu baru saja dari rumah mertuamu. Ibu juga sudah tahu semuanya.""Eum ... Sebenarnya ini hanya salah paham, Bu. Aku bisa jelasin," ucap Mas Elang."Apa lagi yang ingin kamu jelaskan, Mas?" tanyaku."Bu!" Tiba-tiba Fahri datang, menghampiri kami. Aku yang tak tahu kalau Ibu datang bersama Fahri begitu kaget."Heh! Laki-laki bre ng sek kamu apakan kakakku?" tanya Fahri tiba-tiba wajahnya terlihat emosi. Aku tidak tahu apa yang dikatakan Mama pada Ibu dan Fahri hingga mereka tahu semuanya."Sudahlah, Bu, Fahri sebaiknya kita pergi! Ini kantor tidak enak kalau ada yang lihat!" tegurku. Malu, tentu saja. Kami pun memilih pergi masuk ke dalam k
"Jadi kamu sudah dapat tempat tinggal?" tanya Tante Sandra, saat aku datang ke rumah untuk berpamitan, dan mengambil beberapa barangku."Alhamdulillah iya, Tan." Tante Sandra tersenyum. "Tante hanya bisa mendoakan yang terbaik. Kapanpun kamu mau pintu rumah ini selalu terbuka untukmu.""Terima kasih banyak, Tan. Aku gak tau harus bilang apa? Sekali lagi terima kasih sudah merepotkan.""Tante sama Om tidak merasa direpotkan sama sekali," ucap Om Farhan yang tiba-tiba muncul dari arah dapur, dan membuat kami seketika menoleh."Om Farhan gak kerja?" tanyaku. Lalu, menyambut tangannya."Kerja, Om pulang makan siang. Soalnya gak ada masakan seenak masakan Tantemu," godanya sembari melirik Tante Sandra, membuat keduanya tersenyum.Aku senang melihat keromantisan yang tercipta diantara mereka. Usia bukan jadi penghalang untuk selalu menciptakan kehangatan. Ah, rasanya aku iri melihat keharmonisan diantara mereka, sementara aku? Pernikahan yang kuimpikan sekali seumur hidup nyata tengah bera
"Ini!" Ezra menyerahkan dua buah kunci ke arahku. "Apa ini?" tanyaku tak mengerti."Itu kunci mobil, dan apartemen untukmu. Fasilitas dari kantor," ucap Ezra. Aku yang baru datang, dan duduk tentu saja dibuat bingung dengan sikapnya itu."Untuk apa, bukankah masa kontrak kerja kita sudah berakhir?""Diperpanjang 5 tahun?" balasnya santai. "Jika kamu setuju, kamu bisa pakai mobil, dan apartemenya!" Mataku membulat, dengan mulut sedikit menganga mendengar penjelasan Ezra. Kaget, tentu saja. Ini seperti mimpi disiang bolong."Itu mulut tutup, nanti kemasukan lalat lagi," ucapnya Ezra sembari melipatkan tangan di dada.Dengan ekpresi kikuk aku langsung menutup mulutku. Ah, sial kenpa dari dulu sikapnya tidak berubah. Menyebalkan. Akukan jadi malu."Gimana apa kamu setuju?" Tuhan seperti menjawab doaku yang saat ini tengah bingung mencari tempat tinggal. Tapi, mobil aku tidak bisa menyetir.Aku mengangguk cepat. Kesempatan ini tidak boleh kusia-siakan. "Dan ini bayaran untuk bulan kema