Home / Lain / SEPEDA TUA WARISAN KAKEK / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of SEPEDA TUA WARISAN KAKEK : Chapter 21 - Chapter 30

165 Chapters

BAB 21 USIL

"Nggak orang kaya kok tamunya banyak, pasti dapat beras dan gula puluhan karung mereka." Bi Salimah bersuara dengan gigi bergemeletuk. "Aku juga heran, kenapa mereka bisa mempunyai tamu sebanyak itu. Padahal Kakak kamu itu nggak pernah main ke warung-warung untuk ngobrol dengan para lelaki di sana. Kok bisa-bisanya tamu datang hingga malam sampai berjubel seperti itu!" balas Lek Santoso. "Alah, paling juga itu tamunya Mbah Darma, tahu sendiri, 'kan, lelaki tua itu terlalu sayang sama mereka. Padahal anak cacat seperti itu apa istimewanya kok selalu diberikan tempat khusus," gerutu Bi Salimah lagi. "Kamu ngapain disini? Mau maling?" Suara Julia mengagetkanku, sontak jantung ini semakin kencang berdetak.Langkah kaki pasangan suami istri itu terdengar mendekat dan belum ada hitungan detik semua mata tertuju padaku seperti hendak menguliti diri ini. Julia yang berdiri dengan bersedekap dada memandang sinis ke arahku yang berdiri di dekat lemari penyekat ruang, lalu mata mereka berpind
last updateLast Updated : 2023-04-01
Read more

BAB 22 LELAH

Ibu yang berada di sampingku langsung menepuk pundak ini keras. Beliau mendelik tajam, tapi senyum manis tetap terukir indah di sudut bibirnya. Wanita terhebat yang aku miliki di dunia ini."Istri kamu ini memang kurang sajen, jangan lupa nanti malam biar Ibu siapkan sajennya supaya tidak ngelantur kalau bicara!" Ibu berlalu meninggalkan kami berdua yang tertawa mendengar perkataannya itu. Sungguh Ibu adalah wanita hebat, bisa bercanda kala hati sedang terluka demi menutupi sesuatu yang suatu saat suamiku yang telah menjadi bagian dari keluarga ini mengetahui kenyataan tentang arti dari sebuah saudara. Saudara yang seharusnya saling menghormati, menghargai dan mencintai harus berjarak kala harta benda adalah sebuah tolak ukur untuk mengakui bahwa itu keluarga. "Memang ada keluarga seperti itu? Aku lihat saat kita menikah kemarin sikap mereka kayak nggak suka, ada apa? Eh, maaf sih jika aku bertanya terlalu jauh," tanya Mas Yanuar membuka percakapan."Harta benda menjadi hal utama ba
last updateLast Updated : 2023-04-02
Read more

BAB 23 PENGANTIN BARU

Pasangan pengantin baru masih disematkan para tetangga jika kami lewat, seperti pagi ini. Kala matahari masih malu-malu untuk memperlihatkan wujudnya aku dan Mas Yanuar menikmati udara pagi dengan jalan santai bersama. Angin yang masih bersih karena polusi yang membuat udara kotor saling bertemu itu membuat para orang tua ataupun ibu hamil jalan-jalan pagi sekalian olahraga. Sambil bercerita dan tertawa kami begitu bahagia sama seperti mereka."Pengantin baru biasanya wangi ini," kelakar Bu Susi, wanita setengah baya yang berjalan bersama suaminya menyapa kami."Memangnya pengantin lama nggak wangi, Bu?" balasku yang membuat suaminya ikut tertawa. "Bisa saja kamu, Suci. Oh, iya, aku pesan gamis yang kemarin sudah ada belum, soalnya mau dipakai hari Minggu besok?" "Sudah ada, Bu. Nanti saya antar saja ke rumah Ibu Susi, ya." Beliau mengangguk dan berlalu melanjutkan jalan santainya. Tangan ini digenggam erat oleh Mas Yanuar, terasa menghangat hingga relung hati. Indahnya mempunyai
last updateLast Updated : 2023-04-03
Read more

BAB 24 BAHAGIA

Bapak mertua mengangguk dan memastikan kalau dalam keluarga ini baik dan menerima aku tulus. Hati ini menghangat, tanpa terasa air mata pun mengalir deras membasahi pipi yang dipoles dengan pewarna pipi yang tipis. "Yanuar, sebentar lagi kamu akan panen, apakah tidak sebaiknya datang kesana sekalian menikmati indahnya pemandangan!" tukas Bapak mertua yang membuat dahiku berkerut. "Pemandangan apa, Pak? Jangan mau Dek Suci, panas. Nanti kulitnya gosong, sudah di rumah saja sama kita mumpung kita disini dan menikmati liburan, iya, 'kan, Mel?" jawab Mbak Tania dengan mengerlingkan satu matanya. Mbak Melisa mengangguk setuju lalu dia mengajakku duduk di lantai bersama dengan anak-anak mereka."Nak Suci, Lek kamu yang bicara kemarin itu memang kurang baik yang hubungan kalian, kok, menghina kami karena tidak membawa motor atau mobil saat lamaran?" tanya Bapak mertua yang membuat wajah ini seketika memerah.Semua pandangan tertuju padaku, pun dengan Mas Yanuar, mata tajam itu menyorot pe
last updateLast Updated : 2023-04-03
Read more

BAB 25 MOTOR BARU

"Assalamualaikum, benar ini rumah Mbak Suci?" tanya seorang lelaki dengan dandanan rapi saat aku sibuk mengemas barang-barang pesanan online."Iya, Mas. Ada yang bisa saya bantu?" jawabku dengan sedikit memicingkan mata."Ini, Mbak!" Lelaki itu menyodorkan sepucuk kertas dan memberikan instruksi kepada temannya yang di luar. Bergegas aku bangkit dari duduk dan mendekati dia yang berdiri di depan pintu. Sontak mata ini membulat karena melihat sebuah kendaraan roda dua diturunkan. Motor berwarna merah itu tampak gagah kala sudah berdiri di teras rumah. Kupandangi tanpa kedip meski tatapan dari kedua lelaki di depanku seakan menatap balik dengan penuh kebingungan.Ibu yang di dalam sedang menyuapi Mas Agus pun turut serta keluar dan melihat aku yang memucat. Mata kami saling beradu sesaat lalu mengedikkan kedua bahu bersamaan."Dari mana, ya, Mas?" tanyaku kebingungan."Dari suami anda, Mbak. Mas Yanuar," jawabnya dengan mengangguk sopan.Tak kujawab lagi ucapan petugas dealer itu, berg
last updateLast Updated : 2023-04-04
Read more

BAB 26 JENGAH

"Assalamualaikum, Pak Budi!" Salam seseorang membuat aku dan Ibu segera bangkit dari duduk. Ibu yang menemaniku membungkus pesanan online segera bangkit dan menuju pintu. Berdiri seorang lelaki dengan perawakan tinggi dan kumis tebalnya."Benar ini rumahnya Pak Budi? Perkenalkan saya Sandi, kolektor barang antik dan tua. Saya mendapatkan informasi kalau sepeda Bapaknya akan dijual, benar?" tanya Pak Sandi saat memperkenalkan diri. Lelaki dengan senyum ramah itu terlihat berbinar matanya kala mengatakan sepeda tua yang kami miliki serta melihat besi berkarat itu bersandar di pojok dalam rumah."Benar ini rumahnya Pak Budi, beliau adalah suami saya, tapi apa memang mau di jual? Maaf, soalnya kami tidak tahu menahu, Pak," jelas Ibu yang tampak kebingungan sama seperti diriku.Aku mempersilahkan tamu itu untuk masuk dan duduk, menjelaskan maksudnya yang belum kami ketahui. Kalau Ayah mau menjualnya, kenapa tidak bermusyawarah dulu sama kami? Padahal jika ada sesuatu apapun beliau akan b
last updateLast Updated : 2023-04-04
Read more

BAB 27 TRAGEDI

Emosi ini benar-benar telah di ubun-ubun. Tanganku mengepal kuat, amarahku semakin panas dan menguasai diri ini serta membutakan mata hati untuk berlaku sopan terhadapnya."Lalu kenapa jika rumah kamu? Kenapa? Aku nggak akan pernah takut!" teriaknya lalu meludah di samping kiri. Tak bisa lagi kubendung, selangkah aku maju dan ingin merontokkan tulang-tulang Lek Santoso. Namun, pergelangan tangan ini dicekal oleh Ayah dengan gelengan kepala. Lelaki itu keluar dan berteriak seperti orang gila. Mengundang para perangkat desa yang tengah melakukan sosialisasi di rumah tetangga samping rumah. Bergegas mereka mendekati kami dan meminta untuk tenang dan kepala dingin dalam menyelesaikan semuanya. Namun, bukannya menurut justru Lek Santoso berkilah dan memutar balikkan fakta jika kamilah yang mencaci maki dan menghinanya terlebih dulu. Dasar mulut ular. Dari arah seberang berlari tergopoh-gopoh anak lelaki pecundang yang berdiri ini. Angga datang dengan Ibunya, Bi Salimah. Wajah mereka m
last updateLast Updated : 2023-04-04
Read more

BAB 28 KEJUTAN KECIL

"Yah … haruskah dengan jalan seperti ini?" Ibu menggenggam tangan Ayah yang terlihat gemetaran. Namun, Ayah justru mengangguk mantap dan berdiri menuju ke arah Mas Yanuar yang telah siap untuk pergi. Suamiku itu sudah berdiri di samping kendaraan roda dua yang akan membawa kami menuju kantor polisi."Sesekali mereka memang perlu di berikan sesuatu yang sesuai dengan perilakunya. Ayah saja yang sebagai orang tua Suci tidak pernah sekalipun mencubit atau memukul, ini anak saudara yang menganggap kita orang lain berani melayangkan tangannya ke pipi anak kita, Bu." Ayah tergugu. Lelaki di hadapanku yang rambutnya mulai memutih ini terlihat begitu terguncang.Kedua bahunya naik turun, sungguh sebuah penanda yang membuat diri ini semakin merasakan pilu karena sebagai anak belum bisa membahagiakannya hingga detik ini. Air mata yang sempat kutahan untuk tidak keluar akhirnya turun juga bak hujan deras. Aku melirik ke arah Mas Yanuar, dia mengangguk lalu tersenyum kala diri ini bangkit dan m
last updateLast Updated : 2023-04-05
Read more

BAB 29 MBAH LANANG

"Ibu bahagia, semoga kalian menjadi pasangan yang langgeng dan saling menyayangi sampai tua." Kalimat Ibu terdengar merdu, tapi bergetar. "Aamiin." Kami serempak mengucap syukur atas ucapan Ibu. Setelah Mas Agus di bawa masuk ke kamar oleh Ayah, kami berempat duduk menonton acara televisi dengan menikmati kopi hitam dan singkong rebus. Seksama melihat berita yang sedang hangat-hangatnya di layar kaca tersebut. Namun, seketika kami menoleh saat ada suara ketukan pintu yang terdengar begitu tergesa-gesa. Aku bangkit dari duduk dan membukanya, Mbah Darma datang sendirian saat malam telah sepi. Kupersilahkan lelaki tua itu masuk setelah mencium punggung tangannya takzim. Tak lupa juga membuatkan secangkir kopi dengan asap yang masih setia meliuk-liuk di atasnya.Rasa penasaran dalam hati terungkap saat beliau memintaku duduk bersama dan mendengarkan Mbah Darma berbicara tanpa ada yang berani menjedanya."Apa benar berita yang aku dengar tadi siang tentang kalian? Kenapa harus ada lagi
last updateLast Updated : 2023-04-05
Read more

BAB 30 MARAH

"Mbah, ada menantu saya disini. Tolong hargai sedikit rasa hormat itu terhadap Bapak!" "Buat apa? Yanuar juga sudah pasti paham dengan pola pikir mereka. Sejak pertama menginjakkan kaki di rumah ini mereka sudah tidak bersahabat. Iri dengki menjadi musuh terbesar dalam keluarga kita. Capek hati saja melihat kejadian hampir sama terulang tiap hari!" imbuhnya tanpa alih-alih sedikitpun."Namun, setidaknya Yanuar bisa tahu jika kami bersaudara, Mbah." Ayah mencoba lagi menutupi kekeluargaan yang renggang ini dengan menyangkal ucapan Mbah Darma."Bersaudara, tapi sudah berani main tangan sama anak orang. Itu bukan saudara, Budi, tapi musuh! Bagaimana kalau keadaan dibalik dan kalian yang melakukan ini? Mereka pasti tidak akan pernah terima dan justru semakin buas menyerang kalian!" Kali ini Mbah Darma seperti mengeluarkan segala uneg-unegnya dalam hati. Setelah menyesap kopi hitam buatanku, beliau pun berpamitan pulang. Tak banyak suara, Mbah Darma memandang diri ini dengan rasa kasihan
last updateLast Updated : 2023-04-05
Read more
PREV
123456
...
17
DMCA.com Protection Status